Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DENGAN FRAKTUR

OLEH
PUTU IIN ANGGRENI
209.012.487

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN FRAKTUR

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi Fraktur
a. Menurut Helmi (2012) fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang,
tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagain.
b. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 dalam
Jitowiyono & Kristiyanasari, 2012:15).
c. Brunner & Suddart (2013) menyebutkan bahwa fraktur adalah
terputusnya tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
d. Fraktur tulang terjadi apabila resistensi tulang terhadap tekanan
menghasilkan daya untuk menekan. Ketika terjadi fraktur pada sebuah
tulang , maka periosteum serta pembuluh darah di dalam korteks,
sumsum tulang, dan jaringan lunak di sekitarnya akan mengalami
disrupsi, hematoma akan terbentuk diantara kedua ujung patahan tulang
serta di bawah periosteum, dan akhirnya jaringan granulasi menggantikan
hematoma tersebut (Wong, 2009 : 1377).
Jadi kesimpulannya fraktur terputusnya kontinuitas tulang yang
disebabkan trauma langsung ataupun trauma tidak langsung.

2. Epidemiologi Fraktur
Badan kesehatan dunia mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta
orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang
mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki
prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari
insiden kecelakaan yang terjadi. Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian
terbesar ketiga dibawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis. Berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 didapatkan bahwa angka
kejadian cidera mengalami peningkatan dibandingkan dari hasil pada tahun 2007.
Kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena terjatuh, kecelakaan
lalu lintas dan 2 trauma benda tajam atau tumpul. Kecenderungan prevalensi
cedera menunjukkan kenaikan dari 7,5 % pada tahun 2007 menjadi 8,2% pada
tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013). Peristiwa terjatuh terjadi sebanyak 45.987 dan
yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (58 %) turun menjadi 40,9%, dari
20.829, kasus kecelakaan lalu lintas yang mengalami fraktur sebanyak 1.770
orang (25,9%) meningkat menjadi 47,7%, dari 14.125 trauma benda tajam atau
tumpul yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (20,6%) turun menjadi 7,3%.
Fraktur yang sering terjadi yaitu fraktur femur. Fraktur femur adalah hilangnya
kontinuitas tulang paha tanpa atau disertai adanya kerusakan jaringan lunak
(Helmi, 2012). Kejadian fraktur di Provinsi Bali cukup tinggi. Data registrasi
Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinisi Bali tahun 2011, didapatkan data fraktur
sebanyak 3.065 kasus (8,9%) dari seluruh penyakit yang dirawat di Rumah Sakit
di Bali.

3. Etiologi Fraktur
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada
anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)

Menurut Carpenito (2014:47) adapun penyebab fraktur antara lain:


a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.

Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:


a. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur.
b. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat kejadian kekerasan.

4. Patofisiologi Fraktur
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit [ CITATION Sme02 \l 1057 ] . Sewaktu tulang patah
perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah an ke dalam jaringan lunak
sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut
syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf
perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan
sindrom compartment[ CITATION Sme02 \l 1057 ].
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2002). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri
dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri[ CITATION Car99 \l 1057 ].
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada
jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin
akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi[ CITATION
Pri051 \l 1057 ].
Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang yaitu: (a) Fase 1:
inflamasi, (b) Fase 2: proliferasi sel, (c) Fase 3: pembentukan dan penulangan
kalus (osifikasi), (d) Fase 4: remodeling menjadi tulang dewasa.
a. Inflamasi
Respons tubuh pada saat mengalami fraktur sama dengan respons apabila
ada cedera di bagian tubuh lain. Terjadi perdarahan pada jaringan yang
cedera dan pembentukan hematoma pada lokasi fraktur. Ujung fragmen
tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat
cedera kemudian akandiinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar) yang
akan membersihkan daerah tersebut dari zat asing. Pada saat ini terjadi
inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung
beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
b. Proliferasi sel
Dalam sekitar lima hari, hematoma akan mengalami organisasi.
Terbentuk benang-benang fibrin pada darah dan membentuk jaringan
untuk revaskularisasi, serta invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast
dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endostel, dan sel
periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan
tulang rawan (osteoid). Dari periosteum tampak pertumbuhan melingkar.
Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal
pada tempat patah tulang. Namun, gerakan yang berlebihan akan
merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan
potensial elektronegatif.
c. Pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan serat tulang
imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah
kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu
agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus.
Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan.
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai
tiga minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial.
Mineral terus-menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu
dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif. Pada patah
tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu tiga
sampai empat bulan.
d. Remodeling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati
dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.
Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun
bergantung pada beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi
tulang, dan stres fungsional pada tulang (pada kasus yang melibatkan
tulang kompak dan kanselus). Tulang kanselus mengalami penyembuhan
dan remodeling lebih cepat dari pada tulang kortikal kompak, khusunya
pada titik kontak langsung. Ketika remodeling telah sempurna, muatan
permukaan pada tulang tidak lagi negatif. Proses penyembuhan tulang
dapat dipantau dengan pemeriksaan sinar X. Imobilisasi harus memadai
sampai tanda-tanda adanya kalus tampak pada gambaran sinar X.
5. Pathway Fraktur

6. atautenagafisik
Trauma Patologis, Osteoporosis
yangmenekantulang (kompresi,traksi)

Fraktur

Terputusnyakontiunitas
jaringantulang
TindakanOperasi

Luka post operasi


Kehilangan
integritastulang MerusakJaringanda
nmerobekkulit
Gangguan
Kurang Mobilitas Fisik
aktifitasfisik Pelepasan Mediator nyeri
(Histamin, Prostaglandin,
Bradikinin, Serotonin, dll)
Peristaltik Usus
Menurun GangguanKerusakanIn
Ditangkapreseptor tegritasKulit
nyeriperifer
Konstipasi

Di bawakeotak
(Thalamus)
memprosespersepsinyer
i
Otakmemberikansinyalke
periferbahwaadapersepsin
yeri

NyeriAkut
7. Tanda dan Gejala Fraktur
Menurut Mansjoer, Arif (2014) tanda dan gejala fraktur sebagai berikut:
a. Deformitas (perubahan struktur lain dan bentuk) disebabkan oleh
ketergantungan fungsional otot pada kestabilan otot.
b. Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh
darah, berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi plasma dan adanya
peningkatan leukosit pada jaringa di sekitar tulang.
c. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yang sering
disebabkan karena tulang menekan otot.
d. Nyeri karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat
karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
e. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf,
dimana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
f. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan
tulang nyeri atau spasme otot.
g. Pergerakan abnormal
h. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya.

8. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur menurut Rasjad (2007):
a. Berdasarkan etiologi:
1) Fraktur traumatik
2) Fraktur patologis
3) Fraktur stress terjadi karena adanya trauma terus menerus di suatu
tempat.
b. Berdasarkan klinis:
1) Fraktur terbuka
2) Fraktur tertutup
3) Fraktur dengan komplikasi
c. Berdasarkan radiologi:
1) Lokalisasi
2) Konfigurasi
3) Ekstensi
4) Fragmen
Tipe fraktur Ada beberapa subtipe fraktur secara klinis antara lain:
a. Fragility fracture
Merupakan fraktur yang diakibatkan oleh karena trauma minor. Misalnya,
fraktur yang terjadi pada seseorang yang mengalami osteoporosis, dimana
kondisi tulang mengalami kerapuhan. Kecelakaan ataupun tekanan yang
kecil bisa mengakibatkan fraktur.
b. Pathological fracture
Fraktur yang diakibatkan oleh struktur tulang yang abnormal. Tipe fraktur
patologis misalnya terjadi pada individu yang memiliki penyakit tulang
yang mengakibatkan tulang mereka rentan terjadi fraktur.Fraktur pada
seseorang yang diakibatkan oleh patologi bisa menyebabkan trauma
spontan ataupun trauma sekunder.
c. High-energy fraktur
High-energy fraktur adalah fraktur yang diakibatkan oleh adanya trauma
yang serius, misalnya seseorang yang mengalami kecelakaan jatuh dari
atap sehingga tulangnya patah. Stress fracture adalah tipe lain dari high-
energy fracture, misalnya pada seorang atlet yang mengalami trauma
minor yang berulang kali. Kedua tipe fraktur ini terjadi pada orang yang
memiliki struktur tulang yang normal. (Garner, 2008)
Beberapa ahli yang lain (Mansjoer, 2010) membagi jenis fraktur berdasarkan
pada ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan paparan luar sebagai
fraktur tertutup (closed fracture) dan fraktur terbuka (open fracture). Derajat
fraktur tertutup berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Derajat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
b. Derajat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c. Derajat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan adanya pembengkakan.
d. Derajat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman terjadinya sindroma kompartement.
Derajat fraktur terbuka berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Derajat 1: laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
b. Derajat 2: laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
c. Derajat 3: luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
Price & Wilson (2006) juga membagi derajat kerusakan tulang menjadi dua,
yaitu patah tulang lengkap (complete fracture) apabila seluruh tulang patah dan
patahtulang tidak lengkap (incomplete fracture) bila tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang. Hal ini ditentukan oleh kekuatan penyebab fraktur dan kondisi
kerusakan tulang yang terjadi trauma. Smeltzer & Bare (2006) membagi jenis
fraktur sebagai berikut:
a. Greenstick: fraktur sepanjang garis tengah tulang.
b. Oblique: fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
c. Spiral: fraktur memuntir seputar batang tulang.
d. Comminutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa
fragmen/bagian.
e. Depressed: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam, sering
terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah.
f. Compression: fraktur dimana tulang mengalami kompresi, biasanya sering
terjadi pada tulang belakang.
g. Patologik: fraktur pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, paget,
metastasis tulang, dan tumor).
h. Avultion: tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada
perlekatannya.
i. Epificial: fraktur melalui epifisis
j. Impaction: fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya.
9. Pemeriksaan Penunjang Fraktur
a. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang
cedera.
b. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans.
c. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
d. CCT kalau banyak kerusakan otot.
e. Pemeriksaan Darah Lengkap
f. Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat
bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca
meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban kreatinin
untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multiple, atau cederah hati.

10. Penatalaksaan Fraktur


a. Penatalaksanaan fraktur terbuka
Prinsip penatalaksanaan fraktur terbuka yaitu:
1) Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi.
2) Lakukan penilaian awal adanya cedera lain yang dapat mengancam
jiwa.
3) Berikan antibiotika yang sesuai dan adekuat.
4) Lakukan debridement dan irigasi luka.
5) Lakukan stabilisaasi fraktur.
6) Lakukan rehabilitasi ektremitas yang, mengalami fraktur.
Penanganan awal fraktur terbuka tetap mengedepankan keadaan umum
(life threatening) pasien terlebih dahulu yaitu: memasang cairan intravena
dua jalur, pemeriksaan klinis dan radiologi terhadap toraks, abdomen,
cervical dan lain-lain, pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin dan
urinalisa dan pemeriksaan lain sesuai indikasi. Hal yang paling penting
dalam penanganan fraktur terbuka adalah untuk mengurangi atau mencegah
terjadinya infeksi yaitu:
1) Antibiotika
Untuk fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan
cephalosporin,dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida.
Untuk fraktur terbuka tipe I diberikan inisial 2 gram golongan
cephalosporin, dan dilanjutkan dengan pemberian 1 gr setiap 6 sampai
8 jam selama 48 sampai 72 jam. Pada fraktur terbuka tipe II dan tipe III
pemberian antibiotika kombinasi sangat di anjurkan untuk dapat
mencegah infeksi dari bakteri gram positif ataupun gram negatif.
Kombinasi antibiotika yang dianjurkan adalah golongan cephalosporin
(2 gr) dikombinasikan dengan golongan aminoglikosida (3 – 5 mg/kg)
diberikan inisial, dilanjutkan selama 3 hari. 10.000.000 unit penisilin
diberikan terhadap luka sangat kotor (farm injuries). Anti tetanus di
indikasikan untuk semua fraktur terbuka.
2) Debridement
Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati
sehingga luka menjadi bersih. Untuk melakukan debridement yang
adekuat, luka lama dapat diperluas, Debridement yang adekuat
merupakan tahapan yang sangat penting untuk pengelolaan fraktur
terbuka. Debridement harus dilakukan sistematis, komplit serta
berulang.
3) Stabilisasi fraktur
Pada fraktur terbuka, stabilisasi fraktur berguna untuk memberikan
perlindungan terhadap kerusakan jaringan yang lebih parah,
mempermudah akses dalam melakukan perawatan luka, mempermudah
pasien dalam melakukan mobilisasi, dan pasien dapat melakukan
isometric muscle exercise serta melakukan gerakan sendi di atas
ataupun dibawah garis fraktur baik secara aktif ataupun pasif.
Stabilisasi pada fraktur terbuka di bagi dua cara yaitu dengan
menggunakan fiksasi internal (intramedullary nails atau plate and
screw) dan fiksasi eksternal. Pemilihan implant didasarkan dari lokasi
cedera, konfigurasi fraktur, tipe fraktur terbuka, cedera lain yang
menyertai fraktur terbuka dan kemampuan dari ahli bedah.
1) Fiksasi internal atau ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur
bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka
untuk mengatur ulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa
patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan
piring untuk megaktifkan penyembuhan (Brunner & Suddart,
2002).
2) Fiksasi Eksternal atau OREF (Open Reduction Internal Fixation).
Open reduction Eksternal Fixation (OREF) adalah reduksi terbuka
dengan fiksasi internal dimana prinsipnya tulang di transfiksasikan
di atas dan di bawah fraktur, sekrup atau kawat di transfiksi di
bagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama
lainnya dengan suatu batang lain.
b. Tujuan utama dari penanganan fraktur adalah:
1) Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri,
namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut.
Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang
rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan
daerah yang fraktur).
2) Teknik imobilisasi
a) Pembidaian adalah pemasangan benda keras yang ditempatkan di
daerah sekeliling tulang yang mengalami fraktur.
b) Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang
patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai
dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah:
 Immobilisasi dan penyangga fraktur
 Istirahatkan dan stabilisasi
 Koreksi deformitas
 Mengurangi aktifitas
 Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan
gips adalah :
 Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
 Gips patah tidak bisa digunakan
 Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat
membahayakan klien
 Jangan merusak / menekan gips
 Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips /
menggaruk
 Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama     
3) Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari
fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu
yang lama. Untuk itu diperlukan lagi teknik yang lebih mantap
seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi
internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
Penarikan (traksi):
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban
dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan
sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu
panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
a) Traksi manual
b) Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan
pada keadaan emergency.
c) Traksi mekanik, ada 2 macam :
 Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain
misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5
kg.
 Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang
merupakan balanced traction. Dilakukan untuk
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit
melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
a) Mengurangi nyeri akibat spasme otot
b) Memperbaiki & mencegah deformitas
c) Immobilisasi
d) Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
e) Mengencangkan pada perlekatannya.
Prinsip pemasangan traksi :
1) Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya
tarik
2) Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan
pemberat agar reduksi dapat dipertahankan
3) Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan
khusus
4) Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
5) Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai

11. Komplikasi Fraktur


a. Early :
1) Lokal :
a) Vaskuler : Compartement syndrome, Trauma vaskuler
b) Neurologis : lesi medulla spinalis atau saraf perifer
2) Sistemik : emboli lemak
a) Crush syndrome
b) Emboli paru dan emboli lemak

b. Late :
1) Malunion : Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
2) Delayed union : Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih dari
normal
3) Non union : Fraktur yang tidak menyambung dalam 20 minggu.
Penyatuan tulang tidak terjadi,  cacat diisi  oleh  jaringan  fibrosa.
Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor –
faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya
imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen
contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
4) Kekakuan sendi/kontraktur

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatuproses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber
untukmengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien Pengkajian pasien
dengan fraktur menurut (Doengoes, 2000 : 760) adalah :
a. Anamnesa
1) Identitas pasien
Meliputi ; nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa
yangdigunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi
golongandarah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit
(MRS), dandiagnosis medis.
2) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalahrasa
nyeri.Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai
rasanyeri pasien, perawat dapat menggunakan PQRST.
Provokating incident : hal yang menjadi faktor presipitasi
nyeriadalah trauma pada bagian paha.
Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien,
apakahseperti terbakar, berdenyut/menusuk.
Region, Radiation, Relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasasakit menjalar/menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
Severity (scale) of pain : seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakanpasien, bisa berdasarkan skala nyeri/pasien menerangkan
seberapajauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambahburuk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan
olehtrauma/kecelakaan degenerative dan patologis yang didahului
denganperdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan
nyeri,bengkak, kebiruan, pucat/perubhan warna kulit dan kesemutan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur femur)
ataupernah punya penyakit yang menular/menurun sebelumnya
5) Riwayat penyakit keluarga
Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita osteoporosis,arthritis,
dan tuberkolosis/penyakit lain yang sifatnya menurun danmenular.
6) Riwayat Psikososial Spiritual
Kaji respons emosi pasien terhadap penyakit yang dideritanya,peran
pasien dalam keluarga dan masyarakat, serta respons
ataupengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari aik dalam keluarga
maupundalam masyarakat.
7) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pasien fraktur akan merasa takut terjadi kecacatan pada dirinya
danharus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantupenyembuhan tulangnya. Selain itu pengkajian juga
meliputi kebiasaanhidup pasien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggumetabolism kalsium, pengonsumsian alcohol
yang dapat mengganggukeseimbangan pasien dan apakah pasien
melakukan olahraga atau tidak.
8) Pola nutrisi dan metabolik
Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu
makan,meskipun menu berubah misalnya makan dirumah gizi tetap
samasedangkan ketika di RS disesuaikan dengan penyakit dan diet
pasien.
9) Pola eliminasi
Kebiasaan miksi/defkasi sehari-hari, kesulitan waktu
defekasidikarenakan imobilisasi.
10) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas dan latihan mengalami perubahan/gangguan akibat
darifraktur femur sehingga kebutuhan pasien perlu dibantu
olehperwat/keluarga.
11) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur adalah timbul
ketakutanakan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas,
rasaketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
danpandangan terhadap dirinya yang salah atau gangguan citra diri.
12) Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian
distalfraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak
mengalamigangguan, selain itu timbul nyeri akibat fraktur.
13) Pola penanggulangan stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan dirinya,
yaituketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanismekoping yang ditempuh pasien dapat tidak efektif.
14) Pola tata nilai dan keyakinan
Pasien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan
baik,terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah.Hal ini
dapatdisebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak pasien. Adanya
kecemasandan stress sebagai pertahanan dan pasien
memintaperlindungan/mendekatkan diri dengan Tuhan YME.
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal
ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit
tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
2) Kesadaran penderita:
Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi sempurna
Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan
pemeriksaan penglihatan , pendengaran dan perabaan normal
Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus
menerus
Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan
Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh dan
menjawab pertanyaan, bila rangsangan berhenti penderita tidur
lagi.
3) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang
rasa.
4) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
5) Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan deformitas.
6) Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai respon
nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah),
penurunan nadi pada bagian distal yang cidera, capilary refil
melambat, pucat pada bagian yang terkena, dan masa hematoma
pada sisi cedera.

b. Keadaan Lokal
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut :
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut :
a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal)
d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal (3 – 5) detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal)
d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain
itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi
sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan
gravitasi tapi dengan sentuhan jatuh(3), kekuatan otot kurang (4),
kekuatan otot utuh (5). ( Carpenito, 1999)
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari
tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat
adalah gerakan aktif dan pasif. (Muttaqin, 2008).

2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1) Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisik (post operasi) ditandai
dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif, gelisah,
frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat, pola
napas berubah, nafsu makan berubah, menarik diri, berfokus pada diri
sendiri.
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
ditandai dengan mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, kekuatan otot
menurun, ROM menurun, nyeri saat bergerak, enggan melakukan
pergerakan, merasa cemas saat bergerak, sendi kaku, gerakan terbatas,
gerakan tidak terkoordinasi, fisik lemah.
3) Gangguan Integritas kulit berhubungan dengan factor mekanis (post
operasi) ditandai dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit, nyeri,
perdarahan, kemerahan, hematoma.
4) Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal
ditandai dengan defekasi kurang dari 2 kali seminggu, pengeluaran feses
lama dan sulit, feses keras, peristaltic menurun, mengejan saat defekasi,
distensi abdomen, kelemahan umum, teraba massa pada rektal.
3. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisik (post operasi)
ditandai dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif,
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat,
pola napas berubah, nafsu makan berubah, menarik diri, berfokus pada
diri sendiri.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan … x 24 jam nyeri akut
dapat teratasi.
Kriteria hasil:
a. Melaporkan bahwa nyeri berkurang atau terkontrol.
b. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
c. Skala Nyeri 0-1 dalam rentang skala NRC.
d. Mampu mengontrol nyeri.
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri termasuk lokasi, 1. Untuk mengetahui tingkat
karakteristik, durasi, frekuensi, nyeri klien.
kualitas, intensitas nyeri dan 2. Untuk mengetahui tingkat
faktor presipitasi. ketidaknyamanan dirasakan
2. Observasi reaksi oleh klien.
ketidaknyaman secara 3. Untuk mengalihkan perhatian
nonverbal. klien dari rasa nyeri.
3. Gunakan strategi komunikasi 4. Untuk mengetahui apakah
terapeutik untuk nyeri yang dirasakan klien
mengungkapkan pengalaman berpengaruh terhadap yang
nyeri dan penerimaan klien lainnya.
terhadap respon nyeri. 5. Untuk mengurangi factor yang
4. Tentukan pengaruh dapat memperburuk nyeri yang
pengalaman nyeri terhadap dirasakan klien.
kualitas hidup (nfsu makan, 6. Pemberian “health education”
tidur, aktivitas,mood, hubungan dapat mengurangi tingkat
sosial). kecemasan dan membantu
5. Tentukan faktor yang dapat klien dalam membentuk
memperburuk nyeri dan mekanisme koping terhadap
lakukan evaluasi dengan klien rasa nyeri.
dan tim kesehatan lain tentang 7. Untuk mengurangi tingkat
ukuran pengontrolan nyeri yang ketidaknyamanan yang
telah dilakukan. dirasakan klien.
6. Berikan informasi tentang 8. Agar nyeri yang dirasakan
nyeri termasuk penyebab nyeri, klien tidak bertambah.
berapa lama nyeri akan hilang, 9. Agar klien mampu
antisipasi terhadap menggunakan teknik
ketidaknyamanan dari nonfarmakologi dalam
prosedur. memanagement nyeri yang
7. Control lingkungan yang dirasakan.
dapat mempengaruhi respon 10. Pemberian analgetik dapat
ketidaknyamanan klien (suhu mengurangi rasa nyeri pasien.
ruangan, cahaya dan suara).
8. Hilangkan faktor presipitasi
yang dapat meningkatkan
pengalaman nyeri klien
(ketakutan, kurang
pengetahuan).
9. Ajarkan cara penggunaan
terapi non farmakologi
(distraksi, guide imagery,
relaksasi).
10. Kolaborasi pemberian
analgetik.

2. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan gangguan


musculoskeletal ditandai dengan mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas, kekuatan otot menurun, ROM menurun, nyeri saat
bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat bergerak,
sendi kaku, gerakan terbatas, gerakan tidak terkoordinasi, fisik lemah.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam
diharapkan gangguan mobilitas fisik klien dapat teratasi.
Kriteria hasil:
a. Pasien mampu melakukan ROM aktif, body mechanic, dan ambulasi
dengan perlahan.
b. Neuromuskuler dan skeletal tidak mengalami atrofi dan terlatih.
c. Pasien mampu sedini mungkin melakukan mobilisasi apabila
kontinuitas neuromuskuler dan skeletal berada dalam tahap
penyembuhan total.
d. Memverbalisasikan perasan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kemampuan 1. ROM aktif dapat
ROM aktif klien. membantu dalam
2. Anjurkan klien untuk mempertahankan/ meningkatkan
melakukan body mechanic kekuatan dan kelenturan otot,
dan ambulasi. mempertahankan fungsi
3. Berikan sokongan (support) cardiorespirasi, dan mencegah
pada ekstremitas yang luka. kontraktur dan kekakuan sendi.
4. Ajarkan cara-cara yang benar 2. Body mechanic dan ambulasi
dalam melakukan macam- merupakan usaha koordinasi diri
macam mobilisasi seperti muskuloskeletal dan sistem
body mechanic ROM aktif, saraf untuk mempertahankan
dan ambulasi. keseimbangan yang tepat.
5. Kolaborasi dengan fisioterapi 3. Memberikan sokongan pada
untuk latihan ekstensi ekstremitas yang luka dapat
punggung, latihan ini mingkatkan kerja vena,
dilakukan dengan cara duduk menurunkan edema, dan
di kursi serta melengkungkan mengurangi rasa nyeri.
punggung ke belakang. 4. Agar klien terhindar dari
6. Ajarkan klien bagaimana kerusakan kembali pada
merubah posisi dan berikan ekstremitas yang luka.
bantuan jika diperlukan. 5. Penanganan yang tepat dapat
mempercepat waktu
penyembuhan dan klien dapat
melakukan latihan fisik yang
tepat dan ringan tanpa
menimbulkan fraktur.
6. Agar klien dapat merubah
posisinya secara benar tanpa
memcederai daerah yang sakit.

3. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan factor mekanis (post


operasi) ditandai dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit,
nyeri, perdarahan, kemerahan, hematoma.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x jam
kerusakan integritas kulit dapat teratasi
Kriteria hasil:
a. Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan
b. Kondisi luka tidak terinfeksi
Intervensi Rasional
1. Pantau perkembangan 1. Mengevaluasi status
kerusakan kulit klien setiap kerusakan kulit sehingga dapat
hari. memberikan intervensi yang
2. Cegah penggunaan linen tepat.
bertekstur kasar dan jaga agar 2. Keadaan yang lembab dapat
linen tetap bersih, tidak lembab, meningkatkan
dan tidak kusut. perkembangbiakan
3. Lakukan perawatan kulit mikroorganisme dan untuk
secara aseptik 2 kali sehari. mencegah terjadinya lesi kulit
4. Monitor karakteristik luka, akibat gesekan dengan linen.
meliputi warna, ukuran, bau 3. Untuk meningkatkan proses
dan pengeluaran pada luka. penyembuhan lesi kulit serta
5. Bersihkan luka dengan mencegah terjadinya infeksi
normal salin. sekunder.
6. Lakukan pembalutan pada 4. Memonitor karakteristik luka
luka sesuai dengan kondisi dapat membantu perawat dalam
luka. menentukan perawatan luka dan
7. Pertahankan teknik steril penangan yang sesuai untuk
dalam perawatan luka pasien. pasien.
5. Normal salin adalah cairan
fisologis yang mirip dengan
cairan tubuh sehingga aman
digunakan untuk membersihkan
dan merawat luka.
6. Permbalutan luka dilakukan
untuk mempercepat proses
penutupan luka. Pemilihan
bahan dan cara balutan
disesuaikan dengan jenis luka
pasien.
7. Perawatan luka dengan tetap
menjaga kesterilan dapat
menghindarkan pasien dari
infeksi

4. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal


ditandai dengan defekasi kurang dari 2 kali seminggu, pengeluaran
feses lama dan sulit, feses keras, peristaltic menurun, mengejan saat
defekasi, distensi abdomen, kelemahan umum, teraba massa pada
rektal.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam
konstipasi pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil:
a. Feses lunak dan berbentuk.
b. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi.
c. Mengidentifikasi idikator untuk mencegah konstipasi.
d. Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari.
Intervensi Rasional
NIC : Constipation/Impaction NIC: Constipation/Impaction
Management Management
1. Monitor tanda dan gejala 1. Untuk mengetahui tanda dan
konstipasi. gejala konstipasi.
2. Monior bising usus. 2. Untuk mengetahui keadaan
3. Monitor feses: frekuensi, bissing usus pasien dan
konsistensi dan volume. mengetahui perubahannya.
4. Jelaskan etiologi dan 3. Untuk mengetahui feses pasien
rasionalisasi tindakan terhadap apakah ada perubahan warna
pasien. dan banyak atau sedikitnya
5. Identifikasi faktor penyebab dan pengeluaran feses.
kontribusi konstipasi. 4. Agar keluarga dan pasien
6. Kolaborasikan pemberian mengetahui tujuan dari
laksatif. tindakan yang dilakukan
7. Mendorong meningkatkan perawat.
asupan cairan, kecuali 5. Untuk mengetahui apa yang
dikontraindikasikan. menjadi penyebebab
8. Anjurkan pasien / keluarga untuk konstipasi.
mencatat warna, volume, 6. Obat laktasif membantu untuk
frekuensi, dan konsistensi tinja. melunakkan feses.
9. Kolaborasi dengan ahli gizi 7. Asupan cairan membantu
untuk diet tinggi serat. untuk membantu melunakkan
10. Menyarankan pasien untuk feses.
berkonsultasi dengan dokter jika 8. Untuk mengetahui apakah
sembelit atau ìmpaksi terus ada. dalam feses ada darah, lender.
9. Pemberian diet tinggi serat
membantu untuk mencegah
terjadinya sembelit.
10. Konsultasi dengan dokter
untuk mencegah terjadinya
sembelit yang berkepanjangan.

4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang sudah ditetapkan
diatas, apabila semua intervensi sudah dilaksanakan tetapi masalah klien belum
teratasi, maka intervensi dapat dimodifikasi dan dilakukan ulang dalam
implementasi lanjutan.

5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setelah melakukan intervensi yang telah dibuat untuk
mengetahui respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan.
Berdasarkan diagnose keperawatan di atas, evaluasi hasil yang diharapkan adalah
sebagai berikut:
a. Nyeri akut klien dapat teratasi.
b. Gangguan mobilitas fisik klien dapat teratasi.
c. Gangguan kerusakan kulit klien dapat teratasi.
d. Konstipasi klien dapat teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2.
Jakarta: EGC.
Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey.
2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa:
Mosby Elsavier.
Carpenito, L. J. (1999). Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009.  Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilynn E. 2000.  Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendekumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Doengoes, Marilynn E. 2014. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan Keperawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Helmi, Z. N. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
Medika.
Jhonson, Marion. 2016. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St.
Louis, Missouri; Mosby.
Mansjor, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: FKUI Medica
Aesculpalus.
Mansjor, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius.
Mansjor, Arif. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis.
Yogyakarta: Medi Action.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC.
Jogjakarta:Mediaction.
Price, A. W. (2005). Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit, Edisi IV.
Jakarta: EGC.
Price, S.A dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisin6. Volume 1. Jakarta: EGC.
Purwanto, Hadi. 2016. Keperawatan Medikal Bedah II: Modul Bahan Ajar Cetak
Keperawatan. Jakarta: Kemenkes RI.
Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3. Jakarta: Yarsi
& Watampone.
Riskesdas. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Bali. Bali: Depkes Prov Bali. Diakses
pada tanggal 14 Januari 2019 dari
http://diskes.baliprov.go.id/files/subdomain/diskes/November
%202015/Riskesdas/riskesdas%20bali%202013.pdf.
Riskesdas 2013. Profil Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI. Diakses pada
tanggal 14 Januari 2019 dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil
%20Riskesdas%202013.pdf.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner &Suddarth Edisi 8 Vol 3alih bahasa H. Y. Kuncara,
Andry Hartono, Monica Ester,Yasmin asih, Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner &Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa Kuncara Monica
Ester. Jakarta: EGC.
Tim Pogja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat PPNI.
Wong, L. Donna. 2009. “Buku Ajar Keperawatan Pediatrik”. Volume 1. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai