OLEH
PUTU IIN ANGGRENI
209.012.487
2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN FRAKTUR
2. Epidemiologi Fraktur
Badan kesehatan dunia mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta
orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang
mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki
prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari
insiden kecelakaan yang terjadi. Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian
terbesar ketiga dibawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis. Berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 didapatkan bahwa angka
kejadian cidera mengalami peningkatan dibandingkan dari hasil pada tahun 2007.
Kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena terjatuh, kecelakaan
lalu lintas dan 2 trauma benda tajam atau tumpul. Kecenderungan prevalensi
cedera menunjukkan kenaikan dari 7,5 % pada tahun 2007 menjadi 8,2% pada
tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013). Peristiwa terjatuh terjadi sebanyak 45.987 dan
yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (58 %) turun menjadi 40,9%, dari
20.829, kasus kecelakaan lalu lintas yang mengalami fraktur sebanyak 1.770
orang (25,9%) meningkat menjadi 47,7%, dari 14.125 trauma benda tajam atau
tumpul yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (20,6%) turun menjadi 7,3%.
Fraktur yang sering terjadi yaitu fraktur femur. Fraktur femur adalah hilangnya
kontinuitas tulang paha tanpa atau disertai adanya kerusakan jaringan lunak
(Helmi, 2012). Kejadian fraktur di Provinsi Bali cukup tinggi. Data registrasi
Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinisi Bali tahun 2011, didapatkan data fraktur
sebanyak 3.065 kasus (8,9%) dari seluruh penyakit yang dirawat di Rumah Sakit
di Bali.
3. Etiologi Fraktur
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada
anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)
4. Patofisiologi Fraktur
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit [ CITATION Sme02 \l 1057 ] . Sewaktu tulang patah
perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah an ke dalam jaringan lunak
sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut
syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf
perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan
sindrom compartment[ CITATION Sme02 \l 1057 ].
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2002). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri
dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri[ CITATION Car99 \l 1057 ].
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada
jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin
akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi[ CITATION
Pri051 \l 1057 ].
Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang yaitu: (a) Fase 1:
inflamasi, (b) Fase 2: proliferasi sel, (c) Fase 3: pembentukan dan penulangan
kalus (osifikasi), (d) Fase 4: remodeling menjadi tulang dewasa.
a. Inflamasi
Respons tubuh pada saat mengalami fraktur sama dengan respons apabila
ada cedera di bagian tubuh lain. Terjadi perdarahan pada jaringan yang
cedera dan pembentukan hematoma pada lokasi fraktur. Ujung fragmen
tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat
cedera kemudian akandiinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar) yang
akan membersihkan daerah tersebut dari zat asing. Pada saat ini terjadi
inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung
beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
b. Proliferasi sel
Dalam sekitar lima hari, hematoma akan mengalami organisasi.
Terbentuk benang-benang fibrin pada darah dan membentuk jaringan
untuk revaskularisasi, serta invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast
dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endostel, dan sel
periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan
tulang rawan (osteoid). Dari periosteum tampak pertumbuhan melingkar.
Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal
pada tempat patah tulang. Namun, gerakan yang berlebihan akan
merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan
potensial elektronegatif.
c. Pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan serat tulang
imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah
kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu
agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus.
Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan.
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai
tiga minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial.
Mineral terus-menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu
dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif. Pada patah
tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu tiga
sampai empat bulan.
d. Remodeling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati
dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.
Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun
bergantung pada beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi
tulang, dan stres fungsional pada tulang (pada kasus yang melibatkan
tulang kompak dan kanselus). Tulang kanselus mengalami penyembuhan
dan remodeling lebih cepat dari pada tulang kortikal kompak, khusunya
pada titik kontak langsung. Ketika remodeling telah sempurna, muatan
permukaan pada tulang tidak lagi negatif. Proses penyembuhan tulang
dapat dipantau dengan pemeriksaan sinar X. Imobilisasi harus memadai
sampai tanda-tanda adanya kalus tampak pada gambaran sinar X.
5. Pathway Fraktur
6. atautenagafisik
Trauma Patologis, Osteoporosis
yangmenekantulang (kompresi,traksi)
Fraktur
Terputusnyakontiunitas
jaringantulang
TindakanOperasi
Di bawakeotak
(Thalamus)
memprosespersepsinyer
i
Otakmemberikansinyalke
periferbahwaadapersepsin
yeri
NyeriAkut
7. Tanda dan Gejala Fraktur
Menurut Mansjoer, Arif (2014) tanda dan gejala fraktur sebagai berikut:
a. Deformitas (perubahan struktur lain dan bentuk) disebabkan oleh
ketergantungan fungsional otot pada kestabilan otot.
b. Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh
darah, berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi plasma dan adanya
peningkatan leukosit pada jaringa di sekitar tulang.
c. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yang sering
disebabkan karena tulang menekan otot.
d. Nyeri karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat
karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
e. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf,
dimana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
f. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan
tulang nyeri atau spasme otot.
g. Pergerakan abnormal
h. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya.
8. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur menurut Rasjad (2007):
a. Berdasarkan etiologi:
1) Fraktur traumatik
2) Fraktur patologis
3) Fraktur stress terjadi karena adanya trauma terus menerus di suatu
tempat.
b. Berdasarkan klinis:
1) Fraktur terbuka
2) Fraktur tertutup
3) Fraktur dengan komplikasi
c. Berdasarkan radiologi:
1) Lokalisasi
2) Konfigurasi
3) Ekstensi
4) Fragmen
Tipe fraktur Ada beberapa subtipe fraktur secara klinis antara lain:
a. Fragility fracture
Merupakan fraktur yang diakibatkan oleh karena trauma minor. Misalnya,
fraktur yang terjadi pada seseorang yang mengalami osteoporosis, dimana
kondisi tulang mengalami kerapuhan. Kecelakaan ataupun tekanan yang
kecil bisa mengakibatkan fraktur.
b. Pathological fracture
Fraktur yang diakibatkan oleh struktur tulang yang abnormal. Tipe fraktur
patologis misalnya terjadi pada individu yang memiliki penyakit tulang
yang mengakibatkan tulang mereka rentan terjadi fraktur.Fraktur pada
seseorang yang diakibatkan oleh patologi bisa menyebabkan trauma
spontan ataupun trauma sekunder.
c. High-energy fraktur
High-energy fraktur adalah fraktur yang diakibatkan oleh adanya trauma
yang serius, misalnya seseorang yang mengalami kecelakaan jatuh dari
atap sehingga tulangnya patah. Stress fracture adalah tipe lain dari high-
energy fracture, misalnya pada seorang atlet yang mengalami trauma
minor yang berulang kali. Kedua tipe fraktur ini terjadi pada orang yang
memiliki struktur tulang yang normal. (Garner, 2008)
Beberapa ahli yang lain (Mansjoer, 2010) membagi jenis fraktur berdasarkan
pada ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan paparan luar sebagai
fraktur tertutup (closed fracture) dan fraktur terbuka (open fracture). Derajat
fraktur tertutup berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Derajat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
b. Derajat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c. Derajat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan adanya pembengkakan.
d. Derajat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman terjadinya sindroma kompartement.
Derajat fraktur terbuka berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Derajat 1: laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
b. Derajat 2: laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
c. Derajat 3: luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
Price & Wilson (2006) juga membagi derajat kerusakan tulang menjadi dua,
yaitu patah tulang lengkap (complete fracture) apabila seluruh tulang patah dan
patahtulang tidak lengkap (incomplete fracture) bila tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang. Hal ini ditentukan oleh kekuatan penyebab fraktur dan kondisi
kerusakan tulang yang terjadi trauma. Smeltzer & Bare (2006) membagi jenis
fraktur sebagai berikut:
a. Greenstick: fraktur sepanjang garis tengah tulang.
b. Oblique: fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
c. Spiral: fraktur memuntir seputar batang tulang.
d. Comminutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa
fragmen/bagian.
e. Depressed: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam, sering
terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah.
f. Compression: fraktur dimana tulang mengalami kompresi, biasanya sering
terjadi pada tulang belakang.
g. Patologik: fraktur pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, paget,
metastasis tulang, dan tumor).
h. Avultion: tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada
perlekatannya.
i. Epificial: fraktur melalui epifisis
j. Impaction: fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya.
9. Pemeriksaan Penunjang Fraktur
a. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang
cedera.
b. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans.
c. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
d. CCT kalau banyak kerusakan otot.
e. Pemeriksaan Darah Lengkap
f. Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat
bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca
meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban kreatinin
untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
b. Late :
1) Malunion : Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
2) Delayed union : Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih dari
normal
3) Non union : Fraktur yang tidak menyambung dalam 20 minggu.
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor –
faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya
imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen
contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
4) Kekakuan sendi/kontraktur
b. Keadaan Lokal
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut :
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut :
a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal)
d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal (3 – 5) detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal)
d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain
itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi
sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan
gravitasi tapi dengan sentuhan jatuh(3), kekuatan otot kurang (4),
kekuatan otot utuh (5). ( Carpenito, 1999)
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari
tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat
adalah gerakan aktif dan pasif. (Muttaqin, 2008).
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1) Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisik (post operasi) ditandai
dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif, gelisah,
frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat, pola
napas berubah, nafsu makan berubah, menarik diri, berfokus pada diri
sendiri.
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
ditandai dengan mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, kekuatan otot
menurun, ROM menurun, nyeri saat bergerak, enggan melakukan
pergerakan, merasa cemas saat bergerak, sendi kaku, gerakan terbatas,
gerakan tidak terkoordinasi, fisik lemah.
3) Gangguan Integritas kulit berhubungan dengan factor mekanis (post
operasi) ditandai dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit, nyeri,
perdarahan, kemerahan, hematoma.
4) Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal
ditandai dengan defekasi kurang dari 2 kali seminggu, pengeluaran feses
lama dan sulit, feses keras, peristaltic menurun, mengejan saat defekasi,
distensi abdomen, kelemahan umum, teraba massa pada rektal.
3. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisik (post operasi)
ditandai dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif,
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat,
pola napas berubah, nafsu makan berubah, menarik diri, berfokus pada
diri sendiri.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan … x 24 jam nyeri akut
dapat teratasi.
Kriteria hasil:
a. Melaporkan bahwa nyeri berkurang atau terkontrol.
b. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
c. Skala Nyeri 0-1 dalam rentang skala NRC.
d. Mampu mengontrol nyeri.
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri termasuk lokasi, 1. Untuk mengetahui tingkat
karakteristik, durasi, frekuensi, nyeri klien.
kualitas, intensitas nyeri dan 2. Untuk mengetahui tingkat
faktor presipitasi. ketidaknyamanan dirasakan
2. Observasi reaksi oleh klien.
ketidaknyaman secara 3. Untuk mengalihkan perhatian
nonverbal. klien dari rasa nyeri.
3. Gunakan strategi komunikasi 4. Untuk mengetahui apakah
terapeutik untuk nyeri yang dirasakan klien
mengungkapkan pengalaman berpengaruh terhadap yang
nyeri dan penerimaan klien lainnya.
terhadap respon nyeri. 5. Untuk mengurangi factor yang
4. Tentukan pengaruh dapat memperburuk nyeri yang
pengalaman nyeri terhadap dirasakan klien.
kualitas hidup (nfsu makan, 6. Pemberian “health education”
tidur, aktivitas,mood, hubungan dapat mengurangi tingkat
sosial). kecemasan dan membantu
5. Tentukan faktor yang dapat klien dalam membentuk
memperburuk nyeri dan mekanisme koping terhadap
lakukan evaluasi dengan klien rasa nyeri.
dan tim kesehatan lain tentang 7. Untuk mengurangi tingkat
ukuran pengontrolan nyeri yang ketidaknyamanan yang
telah dilakukan. dirasakan klien.
6. Berikan informasi tentang 8. Agar nyeri yang dirasakan
nyeri termasuk penyebab nyeri, klien tidak bertambah.
berapa lama nyeri akan hilang, 9. Agar klien mampu
antisipasi terhadap menggunakan teknik
ketidaknyamanan dari nonfarmakologi dalam
prosedur. memanagement nyeri yang
7. Control lingkungan yang dirasakan.
dapat mempengaruhi respon 10. Pemberian analgetik dapat
ketidaknyamanan klien (suhu mengurangi rasa nyeri pasien.
ruangan, cahaya dan suara).
8. Hilangkan faktor presipitasi
yang dapat meningkatkan
pengalaman nyeri klien
(ketakutan, kurang
pengetahuan).
9. Ajarkan cara penggunaan
terapi non farmakologi
(distraksi, guide imagery,
relaksasi).
10. Kolaborasi pemberian
analgetik.
4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang sudah ditetapkan
diatas, apabila semua intervensi sudah dilaksanakan tetapi masalah klien belum
teratasi, maka intervensi dapat dimodifikasi dan dilakukan ulang dalam
implementasi lanjutan.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setelah melakukan intervensi yang telah dibuat untuk
mengetahui respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan.
Berdasarkan diagnose keperawatan di atas, evaluasi hasil yang diharapkan adalah
sebagai berikut:
a. Nyeri akut klien dapat teratasi.
b. Gangguan mobilitas fisik klien dapat teratasi.
c. Gangguan kerusakan kulit klien dapat teratasi.
d. Konstipasi klien dapat teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2.
Jakarta: EGC.
Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey.
2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa:
Mosby Elsavier.
Carpenito, L. J. (1999). Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendekumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Doengoes, Marilynn E. 2014. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan Keperawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Helmi, Z. N. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
Medika.
Jhonson, Marion. 2016. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St.
Louis, Missouri; Mosby.
Mansjor, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: FKUI Medica
Aesculpalus.
Mansjor, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius.
Mansjor, Arif. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis.
Yogyakarta: Medi Action.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC.
Jogjakarta:Mediaction.
Price, A. W. (2005). Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit, Edisi IV.
Jakarta: EGC.
Price, S.A dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisin6. Volume 1. Jakarta: EGC.
Purwanto, Hadi. 2016. Keperawatan Medikal Bedah II: Modul Bahan Ajar Cetak
Keperawatan. Jakarta: Kemenkes RI.
Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3. Jakarta: Yarsi
& Watampone.
Riskesdas. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Bali. Bali: Depkes Prov Bali. Diakses
pada tanggal 14 Januari 2019 dari
http://diskes.baliprov.go.id/files/subdomain/diskes/November
%202015/Riskesdas/riskesdas%20bali%202013.pdf.
Riskesdas 2013. Profil Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI. Diakses pada
tanggal 14 Januari 2019 dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil
%20Riskesdas%202013.pdf.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner &Suddarth Edisi 8 Vol 3alih bahasa H. Y. Kuncara,
Andry Hartono, Monica Ester,Yasmin asih, Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner &Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa Kuncara Monica
Ester. Jakarta: EGC.
Tim Pogja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat PPNI.
Wong, L. Donna. 2009. “Buku Ajar Keperawatan Pediatrik”. Volume 1. Jakarta:
EGC.