Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

Hipertensi, Dispepsia dan Elektrolit Imbalance

Disusun Oleh:

Eric Yesaya

112019024

Penguji:

dr. Suryantini, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

PERIODE 7 FEBRUARI 2022 – 16 APRIL 2022

RSPAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA

1
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan penyakit yang banyak dijumpai dalam praktek klinik sehari-
hari. Menurut JNC VII, hipertensi adalah peningkatan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg.
Prevalensi dunia memperkitakan terdapat 1 milyar individu yang mengalami hipertensi. WHO
juga mencatat terdapat kecenderungan hipertensi merukapakan penyebab utama terjadinya 62
persen pada kasus cerebrovascular disease dan 49 persen penyebab terjadinya Penyakit
jantung iskemik. Selain itu, hipertensi juga salah satu penyebab terjadinya penyakit seperti
stroke dan gagal ginjal bila tidak ditangani secara baik.1

Hipertensi merupakan salah satu penyebab kerusakan berbagai organ baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah hipertropi ventrikel kiri, angina atau infark miokard, gagal jantung,
stroke, penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer dan retinopati. Untuk itulah pentingnya
diagnosis dini serta penatalaksanaan yang tepat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas
yang akan terjadi atau mencegah kerusakan lebih lanjut yang sedang terjadi.1,2

Strategi penatalaksanaan hipertensi meliputi terapi non farmakologi seperti modifikasi


gaya hidup dan diet dan terapi farmakologi untuk mencapai target terapi hipertensi. Dalam
penanganannya, diperlukan kerjasama antara tim medis, pasien, serta keluarga dan
lingkungan. Edukasi terhadap pasien dan keluarga tentang penyakit dan komplikasi akan
membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki
kualitas hidup penderita.1

Dispepsia merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala/keluhan berupa nyeri atau
rasa tidak nyaman pada ulu hati, mual, kembung, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan
perut merasa penuh/begah. Penyebab timbulnya dispepsia diantaranya karena faktor diet dan
lingkungan, sekresi cairan asam lambung, persepsi viseral lambung dan infeksi Helicobacter
pylori. Dispepsia bisa juga di pengaruhi oleh tingkat stres, makanan dan minuman yang iritatif
dan riwayat penyakit gastritis dan ulkus peptikum.13,18

Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena metabolisme
tubuh membutuhkan perubahan yang tetap dalam berespons terhadap stressor fisiologis dan
lingkungan. Keseimbangan cairan adalah esensial bagi kesehatan. Dengan kemampuannya

2
yang sangat besar untuk menyesuaikan diri, tubuh mempertahankan keseimbangan, biasanya
dengan proses-proses faal (fisiologis) yang terintegrasi yang mengakibatkan adanya
lingkungan sel yang relatif konstan tapi dinamis. Kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan cairan ini dinamakan “homeostasis”

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertensi

Berdasarkan JNC VII, seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan sistolik nya
melebihi 140 mmHg dan atau diastoliknya melebihi 90 mmHg berdasarkan rerata dua atau
tiga kali kunjungan yang cermat sewaktu duduk dalam satu atau dua kali kunjungan.1

Tabel 1. Kategori Tekanan Darah

2.2 Epidemiologi Hipertensi

Lebih dari satu miliar orang dewasa di seluruh dunia memiliki hipertensi dengan
hingga 45% dari populasi orang dewasa yang terkena penyakit ini. Prevalensi tinggi
hipertensi konsisten di semua strata sosial ekonomi dan pendapatan, dan prevalensi
meningkat dengan usia terhitung hingga 60% dari populasi di atas usia 60 tahun.2

Pada tahun 2010, laporan survei kesehatan global diterbitkan di Lancet, yang terdiri
dari data pasien dari 67 negara, melaporkan Hipertensi sebagai penyebab utama kematian
dan kecacatan yang disesuaikan tahun hidup di seluruh dunia sejak tahun 1990.

Di Amerika Serikat, HTN sendiri menyumbang lebih banyak kematian terkait


penyakit kardiovaskular daripada faktor risiko lain yang dapat dimodifikasi dan
merupakan penyebab kematian kedua setelah merokok sebagai penyebab kematian yang
dapat dicegah dengan alasan apapun.3

Perkiraan terbaru menunjukkan jumlah pasien dengan hipertensi dapat meningkat


sebanyak 15 hingga 20%, yang dapat mencapai hampir 1,5 miliar pada tahun 2025.4
4
2.3 Etiologi Hipertensi

Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi hipertensi


primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana pada hipertensi jenis ini tidak diketahui
penyebabnya. Selain itu terdapat pula hipertensi sekunder akibat adanya suatu penyakit
atau kelainan yang mendasari, seperti stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal,
feokromositoma, hiperaldosteronism, dan sebagainya.1

2.4 Faktor Resiko Hipertensi

Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis
kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan
nutrisi.5,8

a. Usia

Usia mempengaruhi faktor resiko terkena Hipertensi dengan kejadian paling tinggi pada
usia 30 – 40 th. Kejadian 2 kali lebih besar pada orang kulit hitam, dengan 3 kali lebih
besar pada laki-laki kulit hitam, dan 5 kali lebih besar untuk wanita kulit hitam.

b. Jenis kelamin

Komplikasi hipertensi meningkat pada seseorang dengan jenis kelamin laki-laki.

c. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga dengan hipertensi memberikan resiko terkena hipertensi sebanyak 75%.

d. Obesitas

Meningkatnya berat badan pada masa anak-anak atau usia pertengahan resiko hipertensi
meningkat.

e. Serum lipid

Meningkatnya trigliserida atau kolesterol meninggi resiko dari hipertensi.

f. Diet

Meningkatnya resiko dengan diet sodium tinggi, resiko meninggi pada masyarakat
industri dengan tinggi lemak, diet tinggi kalori.

g. Merokok

5
Resiko terkena hipertensi dihubungkan dengan jumlah rokok dan lamanya merokok.
Terdapat penambahan kriteria, sebagai berikut :

a. Keturunan atau Gen

Kasus hipertensi esensial 70%-80% diturunkan dari orang tuanya kepada anaknya.

b. Stres Pekerjaan

Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stress berhubungan dengan
pekerjaan mereka. Stres dapat meningkatkan tekanan darah dalam waktu yang pendek,
tetapi kemungkinan bukan penyebab meningkatnya tekanan darah dalam waktu yang
panjang

c. Asupan Garam

Konsumsi garam memiliki efek langsung terhadap tekanan darah. Terdapat bukti bahwa
mereka yang memiliki kecenderungan menderita hipertensi secara keturunan memiliki
kemampuan yang lebih rendah untuk mengeluarkan garam dari tubuhnya

d. Aktivitas Fisik (Olahraga)

Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi karena olahraga


isotonik dan teratur dapat menurunkan tekanan darah.

2.5 Patofisiologi Hipertensi

Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang timbul


akibat berbagai interaksi faktor-faktor resiko tertentu. Faktor-faktor resiko yang
mendorong timbulnya kenaikan.7

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak


di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah kapiler, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah kapiler.7

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon


pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat
6
sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin
yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid
lainnya, yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi
yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin
II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung
mencetus keadaan hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh
darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut
usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri
besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer.7

7
Gambar 2.1 Patofisiologi Hipertensi

Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan
perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tekanan perifer akan
mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam yang tinggi, faktor genetik, stres,
obesitas, faktor endotel. Selain curah jantung dan tahanan perifer sebenarnya tekanan
darah dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi tidak mempunyai banyak
pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan
darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi yang berusaha untuk
mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian
tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan
cepat misalnya reflek kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek kemoreseptor, respon
iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis otot polos. Dari
sistem pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem pengendalian yang
bereaksi kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga
intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan
sistem yang poten dan berlangsung dalam jangka panjang misalnya kestabilan tekanan
darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah cairan

8
tubuh yang melibatkan berbagai organ. Peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer
dipengaruhi oleh beberapa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan
membran sel, aktivitas saraf simpatis dan renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan
hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan
faktor endotel. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan
arteri yang membawa darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan otak
kekurangan oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan akan
mengakibatkan kematian pada bagian otak yang kemudian dapat menimbulkan stroke.
Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada
organ mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, sakit kepala, Jantung berdebar-debar,
sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah lelah,
penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di
malam hari telingga berdering (tinnitus) dan dunia terasa berputar.7

2.6 Manifestasi Klinis Hipertensi

Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang
disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial. Penglihatan
kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan langkah yang tidak mantap
karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal
dan filtrasi glomerulus. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan
kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka
merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan
lain-lain.7

2.7 Diagnosis Hipertensi

Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat asimptomatik.


Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa seperti berputar, atau
penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke arah hipertensi sekunder
antara lain penggunaan obat-obatan seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid,
dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal, berkeringat atau takikardi serta
adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula digali mengenai
faktor resiko kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan riwayat
keluarga.5,7

9
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua kali
pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan tekanan
darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset yang tepat
(setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar. Pemeriksaan penunjang dilakukan
untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi seperti pemeriksaan
laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium,
asam urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa
elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan ekokardiografi. Pada kasus
dengan kecurigaan hipertensi sekunder dapat dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan
diagnosis banding yang dibuat. Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi
tiroid (TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+), hiperaldosteronisme
primer berupa kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen, peningkatan
kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis
metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan kadar metanefrin, CT scan/MRI abdomen.
Pada sindrom cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular,
dapat dilakukan CT angiografi arteri renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi.7,8

2.8 Diagnosis Banding


Hipertensi dapat didiagnosis secara lebih terperinci berdasarkan klasifikasinya
hipertensi primer atau sekunder, maupun berdasar hasil pengukuran tekanan darah.
Hipertensi primer
Hipertensi sekunder
Hipertensi refrakter : Hipertensi dikategorikan refrakter jika tekanan darah sistolik tetap >
140 mmHg atau tekanan darah diastolik >90 mmHg walaupun sudah mendapatkan terapi
3 (tiga) obat anti hipertensi.
Krisis hipertensi : Krisis hipertensi terbagi menjadi hipertensi urgensi dan emergensi.
Klasifikasi ini didasari hipertensi arterial dengan tekanan darah sistolik ≥180 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥120 mmHg disertai dengan/atau tanpa kerusakan organ. Jika
ditemukan kerusakan organ maka tergolong hipertensi emergensi.9

2.9 Penatalaksanaan Hipertensi

10
Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi antihipertensi
dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan hipertensi derajat
2. Penggunaan antihipertensi harus tetap disertai dengan modifikasi gaya hidup.8

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:

1. Target tekanan darah <150/90, untuk individu dengan diabetes, gagal ginjal, dan individu
dengan usia > 60 tahun <140/90

2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler

Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta
lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga
mencapai target terapi masing-masing kondisi.

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan farmakologis. Terapi


nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan
menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko penyakit penyerta
lainnya.

Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks massa tubuh
dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m2), kontrol diet berdasarkan
DASH mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak
jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl yang disarankan
adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang disarankan adalah target aktivitas fisik minimal
30 menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan konsumsi
alkohol. Terapi farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga mencapai
tujuan terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan antihipertensi didasarkan pada
ada atau tidaknya usia, ras, serta ada atau tidaknya gagal ginjal kronik. Apabila terapi
antihipertensi sudah dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat pengaturan dosis
setiap bulan hingga target tekanan darah tercapai. Perlu dilakukan pemantauan tekanan
darah, LFG dan elektrolit.1,8

Jenis obat antihipertensi:8

1. Diuretik

Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (lewat kencing),
sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi

11
lebih ringan dan berefek pada turunnya tekanan darah. Contoh obat-obatan ini adalah:
Bendroflumethiazide, chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan indapamide.

2. ACE-Inhibitor

Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat yang dapat
meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang sering timbul adalah batuk kering,
pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat yang tergolong jenis ini adalah Catopril,
enalapril, dan lisinopril.

3. Calsium channel blocker

Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung dengan
menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat yang tergolong jenis obat
ini adalah amlodipine, diltiazem dan nitrendipine.

4. ARB

Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptornya
yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk
golongan ini adalah eprosartan, candesartan, dan losartan.

5. Beta blocker

Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis
obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan
pernafasan seperti asma bronchial. Contoh obat yang tergolong ke dalam beta blocker
adalah atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.

2.9.1 Penatalaksanaan Hipertensi pada Geriatri

Banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya terapi hipertensi pada lanjut usia;
dimana terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler dan
serebrovaskuler. Sebelum diberikan pengobatan, pemeriksaan tekanan darah pada lanjut
usia hendaknya dengan perhatian khusus, mengingat beberapa orang lanjut usia
menunjukkan

pseudohipertensi (pembacaan spigmomanometer tinggi palsu) akibat kekakuan pembuluh


darah yang berat. Khususnya pada perempuan sering ditemukan hipertensi jas putih dan
sangat bervariasinya tekanan darah sistolik.6

a. Sasaran tekanan darah


12
Pada hipertensi lanjut usia, penurunan tekanan darah diastolik hendaknya
mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan pada
JNCVI dimana pengendalian tekanan darah (sistolik <140 mmHg dan disatolik
<90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut usia. Sys-Eur trial
merekomendasikan penurunan tekanan darah sistolik < 160 mmHg sebagai sasaran
intermediet tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan darah awal.

b. Modifikasi pola hidup

Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita hipertensi lanjut usia,


seperti halnya pada semua penderita, sangat menguntungkan untuk menurunkan tekanan
darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah : menurunkan berat badan jika
ada kegemukan, mengurangi minum alcohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik,
mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan kalium yang adekuat,
mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat, menghentikan merokok,
mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih
muda, intervensi nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.

c. Terapi farmakologis

Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi metabolisme dan
distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam memberikan obat antihipertensi.
Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis kecil dan kemudian ditingkatkan secara
perlahan. Menurut JNC VII pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi
lanjut usia adalah diuretic atau penyekat beta. Pada HST, direkomendasikan penggunaan
diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretic tiazid sama
dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta lainnya
akan menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan
penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun demikian
terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/
kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung
dan gagal jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin convening enzyme)
atau kombinasi keduanya merupakan pilihan terbaik. Obat-obatan yang menyebabkan
perubahan tekanan darah postural (penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik
dosis tinggi) atau obat-obatan yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis a 2
sentral) harus diberikan dengan hati-hati. Karena pada lanjut usia sering ditemukan

13
penyakit lain dan pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya
interaksi obat antara antihipertensi dengan obat lainnya. Obat yang potensial memberikan
efek antihipertensi misalnya : obat anti psikotik terutama fenotiazin, antidepresan
khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol. Obat yang memberikan
efek antagonis antihipertensi adalah: kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid.
Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah:

(a) tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas meningkat,
karbamazepin risiko hiponatremia menurun;

(b) Penyekat beta: verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung;
digoksin memperberat bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek
hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia.6

Dosis beberapa obat diuretic penyekat beta, penghambat ACE, penyekat kanal
kalsium, dan penyakat alfa yang dianjurkan pda penderita hipertensi pada lanjut usia
adalah sebagai berikut.15 Dosis obat-obat diuretic (mg/hari) msialnya: bendrofluazid
1,25-2,5, klortiazid 500-100, klortalidon 25-50, hidroklortiazid 12,5-25, dan indapamid
SR 1,5. Dosis obat-obat penyekat beta yang direkomendasikan adalah: asebutolol 400 mg
sekali atau dua kali sehari, atenolol 50 mg sekali sehari, bisoprolol 10-20 mg sekali sehari,
celiprolol 200-400 mg sekali sehari, metoprolol 100-2000 mg sekali sehari, oksprenolol
180-120 mg dua kali sehari, dan pindolol 15-45 mg sekali sehari. Dosis obat-obat
penghambat ACE yang direkomendasikan adalah: kaptopril 6,25-50 mg tiga kali sehari,
lisinopril 2,5-40 mg sekali sehari, perindropil 2-8 mg sekali sehari, quinapril 2,5-40 mg
sekali sehari, ramipril 1,25-10 mg sekali sehari. Dosis obat-obat penyekat kanal kalsium
yang dianjurkan adalah: amlodipin 5-10 mg sekali sehari, diltiazem 200 mg sekai sehari,
felodipin 5-20 mg sekali sehari, nikardipin 30 mg dua kali sehari, nifedipin 30-60 mg
sekali sehari, verapamil 120-240 mg dua kali sehari. Dosis obat-obat penyakat alfa yang
dianjurkan adalah; doksazosin 1-16 mg sekali sehari, dan prazosin 0,5 mg sehari sampai
10 mg dua kali sehari.

14
Gambar 2.2 Algoritma penanganan hipertensi (JNC 8)

2.10 Pencegahan
Perubahan gaya hidup
Berbagai intervensi nonfarmakologis telah terbukti efektif dalam menurunkan tekanan
darah dan mencegah hipertensi. Intervensi yang paling efektif adalah penurunan berat badan,
pengurangan asupan natrium, peningkatan asupan kalium, peningkatan aktivitas fisik,

15
pengurangan konsumsi alkohol dan diet seperti Dietary Approaches to Stop Hypertension
(DASH) diet yang menggabungkan beberapa elemen yang mempengaruhi tekanan darah. Diet
DASH sangat berhasil bila dikombinasikan dengan intervensi penurunan tekanan darah
efektif lainnya seperti pengurangan asupan natrium makanan. Perubahan gaya hidup adalah
cara terbaik bagi individu untuk menerapkan intervensi ini. Bahkan perbaikan kecil dalam
gaya hidup seseorang bisa sangat berharga. Situs web lembaga pemerintah dan masyarakat
profesional memberikan tips bermanfaat untuk perubahan gaya hidup dan pemantauan
tekanan darah. Pemantauan tekanan darah yang cermat sangat penting karena efek
menguntungkan dari perubahan gaya hidup didasarkan pada pemeliharaan intervensi.7

2.11 Komplikasi

Komplikasi berikut telah dilaporkan dengan hipertensi yang tidak terkontrol, dalam
beberapa percobaan populasi skala besar : 11,12

1. Penyakit jantung koroner (PJK)

2. Infark miokard (MI)

3. Stroke (CVA), baik perdarahan iskemik atau intraserebral

4. Ensefalopati hipertensi

5. Gagal ginjal, akut versus kronis

6. Penyakit arteri perifer

7. Fibrilasi atrium

8. Aneurisma aorta

9. Kematian (biasanya karena penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah,


terkait stroke)

2.11 Prognosis

Metaanalisis skala besar juga menunjukkan peningkatan risiko penyakit


kardiovaskular dan vaskular dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, dengan
hampir dua kali lipat risiko kematian akibat penyakit jantung dan stroke dengan peningkatan
SBP sebanyak 20 dan DBP 10mmHg.

16
Prognosis tergantung pada kontrol tekanan darah dan menguntungkan hanya jika
tekanan darah mencapai kontrol yang memadai; namun, komplikasi dapat berkembang pada
beberapa pasien karena hipertensi adalah penyakit progresif.

Kontrol yang memadai dan langkah-langkah gaya hidup hanya berfungsi untuk
menunda perkembangan dan perkembangan gejala sisa seperti penyakit ginjal kronis dan
gagal ginjal.11

2.12 Definisi Dispepsia

Dispepsia merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala/keluhan berupa nyeri atau
rasa tidak nyaman pada ulu hati, mual, kembung, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang dan
perut merasa penuh/begah.13

Dispepsia dapat di bagi dalam berbagai definisi, salah satu definisi yang dikemukakan
oleh suatu kelompok kerja internasional adalah : suatu sindroma yang terdiri dari keluhan -
keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang dapat
berupa mual atau muntah, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium, yang berlangsung lebih
dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat
kronik.14

Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :

2.12.1 Dispepsia organik

Bila diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Sindroma dispepsia organik
terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua
belas jari, radang pankreas, radang empedu, dan lain - lain.15

2.12.2 Dispepsia non organik / fungsional

Gangguan pencernaan fungsional yang memiliki gejala umum gastrointestinal dan tidak
ditemukan kelainan organik berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi dan
endoskopi.16

2.13 Manifestasi Klinis

Terbagi menjadi tiga, yaitu :

2.13.1 Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus ( ulkus - like dyspepsia), dengan gejala: 17

- Nyeri pada epigastrium

17
- Nyeri saat lapar

- Nyeri episodik

2.13.2 Dispepsia dengan keluhan seperti dismotilitas (dysmotility -like dyspepsia),


dengan gejala:

- Mudah kenyang

- Perut terasa cepat penuh saat makan

- Mual

- Muntah

- Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)

- Rasa tidak nyaman saat makan

2.13.3 Dispepsia non- spesifik (tidak ada gejala seperti dua bagian atas).14

2.14 Etiologi

Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna, yaitu: tukak pada pada gaster atau
duodenum, gastritis, tumor dan infeksi Helicobacter pylori. Bisa juga disebabkan oleh obat -
obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotik, digitalis,
teofilin dan sebagainya.15

2.15 Klasifikasi Dispepsia

1. Dispepsia organik

Jika telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Sindroma dispepsia
organik tedapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum),
gastritis, gastro esophageal reflux disease.

Jenis - jenis dispepsia organik yaitu :

 Tukak pada saluran cerna atas

Keluhan yang sering terjadi yaitu nyeri pada epigastrium. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri
tajam, menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeti epigastrium
terjadi selama 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung. Biasa nya nyeri
dapat berkurang setelah atau hilang sementara sesudah makan atau setelah minum antasida.
Gejala lain yang dapat timbul seperti mual, muntah, bersendawa, dan kurang nafsu makan.

18
 Gastritis

Adalah peradangan/ inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Penyebabnya oleh
makanan atau obat - obatan yang mengiritasi mukosa lambung dan adanya pengeluaran asam
lambung yang berlebihan. Gejala yang timbul seperti mual, muntah, nyeri epigastrium, nafsu
makan menurun, dan kadang terjadi perdarahan.

 Gastro esophageal reflux disease (GERD)

Adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke
kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa panas terbakar di dada (heart burn),
kadang disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan
menelan.

 Karsinoma

Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon) sering


menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri diperut, nafsu makan menurun,
timbul anoreksia yang dapat menyebabkan berat badan turun.

 Pankreatitis

Gejala yang khas pada pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat di epigastrium. Nyeri timbul
mendadak dan terus menerus, seperti di tusuk - tusuk dan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari
epigastrium kemudian menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar keseluruh perut dan
terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang tegang dapat menyebabkan mual dan
kadang menyebabkan muntah juga. Rasa nyeri di bagian perut atas juga terjadi pada penderita
pankreatitis kronik. Pada pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih.

 Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori

Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih nobel dari Australia, Barry Marshall
dan Robin Warre yang menemukan adanya bakteri yang bisa hidup di dalam lambung
manusia. Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori
lambung dapat menyebabkan peradangan mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses ini
dapat terjadi sampai terjadi ulkus atau tukak bahkan dapet menjadi kanker.

2. Dispepsia non- organik/ dispepsia fungsional/ dispepsia non ulkus (DNU)

19
Dispepsia fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan
pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi dan endoskopi. Menurut penelitian Friedman
(2010) beberapa hal yang dapat menyebabkan dispepsia fungsional antara lain:

 Sekresi asam lambung

Dispepsia fungsional, pada umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung baik sekresi
basal maupun dengan stimulasi pentagastrin dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal atau
hiposekresi.

 Dismotalitas gastrointestinal

Yaitu perlambatan dari masa pengosongan lambung dan gangguan motalitas lain. Pada
berbagai studi dilaporkan dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan
hipomotilitas antrum hingga 50% kasus.

 Diet dan faktor lingkungan

Intoleransi makanan dinyatakan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional. Dengan
melihat, mencium bau atau membayangkan sesuatu makanan saja sudah terbentuk asa
lambung yang banyak mengandung HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena faktor nervus
vagus, dimana ada hubungannya dengan faal saluran cerna pada proses pencernaan. Nervus
vagus tidak hanya merangsan sel parietal secara langsung tetapi efek dari antral gastrin dan
rangsangan lain sel parietal.

 Psikologik

Stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang
sehat. Adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah
stimulus stres sentral.

2.16 Diagnosis Dispepsia

Anamnesis yang lengkap dan tepat sangat penting untuk penilaian bahkan dapat mengarahkan
pada diagnosis. Riwayat penyakit sebaiknya di tanyakan seperti riwayat makanan (diet),
masalah psikologis dan factor social, sehingga memungkinkan mencari hubungan antara
gejala yang timbul dengan diet, aktifitas maupun stress.

Sebaiknya orang tua dan anak/remaja melengkapi keterangan tentang gejala dan waktu
timbul, lokasi, intensitas dan karakter nyeri dan rasa tidak nyaman tersebut waktu dan jenis
asupan makanan, aktivitas harian, serta pola defekasi.

20
Dispepsia yang telah di ketahui terdiri dari dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia
organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi, gastritis duodenitis, dan
proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III. Kriteria Roma III
belum di validasi di Indonesia. Konsesu Asia - Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti
konsep dari kriteria diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada
abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional.

Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang
berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal.

 Nyeri epigastrium
 Rasa terbakar di epigastrium
 Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
 Rasa cepat kenyang

Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama 3 bulan terakhir dengan awitan
gejala 6 bulan diagnosis ditegakkan.

Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 yaitu, epigastric pain syndrome
dan postpradial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat
tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia.

2.17 Tatalaksana Dispepsia

2.17.1 Dispepsia organik

Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan
berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk kedalam kelompok dyspepsia
organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum,
atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat
yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misalnya rabeprazole 2x20mg/ lansoprazole
2x30mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.

2.17.2. Dispepsia fungsional

Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat
diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.

Penggunaan prokinetic seperti metoklopramid, domperidone, cisaprid, itopride dan lain


sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dyspepsia

21
fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu
patofisiologi dyspepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan pada gangguan cisaprid
oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular.

Data penggunaan obat – obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dyspepsia
fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di jepang baru – baru ini menunjukan
perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dyspepsia fungsional yang mendapatkan agonis
5 – HT1 dibandingkan placebo. Disisi lain venlafaxine, penghambat ambilan serotonin dan
norepineprin tidak menunjukan hasil yang lebih baik disbanding placebo.

Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral mungkin
merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi antidepresan pada pasien dyspepsia
fungsional.

2.18 Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Gangguan keseimbangan elektrolit yang umum yang sering ditemukan pada kasus-kasus di
rumah sakit hanyalah beberapa sahaja. Keadaan-keadaan tersebut adalah :19

• Hiponatremia dan hypernatremia

• Hipokalemia dan hyperkalemia

• Hipokalsemia

1. Hiponatremia

Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik dari peningkatan mutlak dalam jumlah
berat badan (total body weight, TBW) atau hilangnya natrium dalam relatif lebih hilangnya
air. Kapasitas normal ginjal untuk menghasilkan urin encer dengan osmolalitas serendah 40
mOsm / kg (berat jenis 1,001) memungkinkan mereka untuk mengeluarkan lebih dari 10 L air
gratis per hari jika diperlukan. Karena cadangan yang luar biasa ini, hiponatremiahampir
selalu merupakan efeknya dari akibat kapasitas pengenceran urin tersebut (osmolalitas urin>
100 mOsm / kg atau spesifik c gravitasi> 1,003).1 Kondisi hiponatremia apabila kadar
natrium plasma di bawah 130mEq/L. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi,
gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110
mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Antara penyebab terjadinya Hiponatremia
adalah euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare,
muntah, third space losses, diuretika), hypervolemia (sirosis, nefrosis). Terapi untuk

22
mengkoreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan secara perlahan-lahan,
sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif.19-21

Dosis NaCl yang harus diberikan, dihitung melalui rumus berikut:

NaCl = 0,6(N-n) x BB

N = Kadar Na yang diinginkan

n = Kadar Na sekarang

BB = berat badan dalam kg

Tabel 2. Gradasi Hiponatremia

2. Hipokalemia

Nilai normal Kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Disebut hipokalemia apabila kadar
kalium <3,5mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan ekstraselular
ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala
hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST
segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa.
Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia,
obatobatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia >2 mEq/L)
atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk
hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).19-21

Rumus untuk menghitung defisit kalium:

K = K1 - (K0 x 0,25 x BB)

K = kalium yang dibutuhkan

K1 = serum kalium yang diinginkan

K0 = serum kalium yang terukur

BB = berat badan (kg)

23
BAB III

PENUTUP

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik melebihi 140 mmHg dan atau
diastoliknya melebihi 90 mmHg berdasarkan rerata dua atau tiga kali kunjungan yang cermat
sewaktu duduk dalam satu atau dua kali kunjungan. Salah satu tujuan tata laksana hipertensi
adalah untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencegah terjadinya komplikasi. Diet/nutrition
care pada pasien hipertensi memeran peranan penting dalam tata laksananya.

Dispepsia merupakan kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri epigastrium,
mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh diperut, sendawa, regurgitasi, dan rasa
panas yang menjalar di dada. Penatalaksanaan yang baik dalam kasus dispepsia diperlukan
dengan pendekatan berorientasi pasien dan kelurga. Pendekatan dengan intervensi dokter
keluarga mampu memperbaiki kebiasaan yang berpengaruh dalam prognosis dispepsia antara
lain perubahan pola hidup dan olah raga.

Secara normal, tubuh bisa mempertahankan diri dari ketidakseimbangan cairan &
elektrolit. Namun, ada kalanya tubuh tidak bisa mengatasinya. Ini terjadi apabila kehilangan
terjadi dalam total banyak sekaligus, seperti pada muntah-muntah, diare, berkeringat luar
biasa, terbakar, luka/pendarahan dan sebagainya. Pasien yang mengalami gangguan cairan
dan elektrolit sebaiknya segera ditangani karena sebagian besar dalam tubuh manusia terdiri
dari cairan dan elektrolit dan apabila tidak segera ditangani akan menyebabkan kematian

24
BAB IV

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. Y
Umur : 68 tahun
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Pensiun
Alamat :-
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa :-
Agama : Islam
Pendidikan :-
B. Anamnesis
Seorang pasien laki laki berusia 68 tahun dibawa ke IGD RSAU Esnawan Antariksa pada
tanggal 22 Februari 2022 dengan keluhan mual, muntah disertai lemas serta nyeri perut sejak
3 hari SMRS. 3 hari SMRS, pasien mengeluhkan mual dan muntah, muntah sebanyak 5 kali
sehari berisi makanan dan cairan. Muntah darah disangkal pasien. Pasien juga mengeluh nafsu
makan menurun. 1 hari SMRS, pasien mengeluh lemas, tidak bisa berdiri maupun berjalan
hanya berbaring. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSAU dan diberikan pengobatan. 2 hari
setelah dirawat dirumah sakit, pasien sudah dapat makan, keluhan mual dan muntah serta
nyeri perut sudah berkurang tetapi pasien masih mengeluh lemas. 3 hari setelah dirawat,
keluhan muntah sudah tidak ada. Pasien dikatakan memiliki riwayat sakit maag sejak lama.
Keluhan lain seperti demam, diare dan BAB berdarah disangkal. Riwayat BAK normal dan
pasien tidak BAB selama 5 hari. Saat ini pasien masih mengeluh lemas

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien dikatakan memiliki riwayat maag. Pasien juga memiliki riwayat tekanan darah tinggi,
asam urat serta kolestrol sejak 3 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.

25
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan di ruang bangsal Merak pada 24 Februari 2022

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tinggi Badan : 167 cm

Berat Badan : 63 kg

Tekanan Darah : 117/74 mmHg

Nadi : 68 x/menit

Suhu : 36.6oC

Pernafasan : 18 x/menit

SpO2 : 98%

Akral : Hangat

Sianosis : (-)

Edema umum : (-)

Cara Berjalan : Tidak dilakukan

Mobilitas (Aktif/pasif): Tidak dilakukan

Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai dengan umur

26
Aspek Kejiwaan

Tingkah Laku : Wajar

Alam Perasaan : Biasa

Proses Fikir : Wajar

Kulit

Warna : Sawo matang

Efloresensi : Tidak ada

Jaringan Parut : Tidak ada

Pigmentasi : Tidak ada

Pertumbuhan rambut : Merata, berwarna hitam

Lembab/Kering : Lembab

Suhu Raba : Normal

Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran Pembuluh darah

Keringat : (-)

Turgor : Baik

Ikterus : Tidak ada

Lapisan lemak : Tidak diketahui

Edema : Tidak ada

Petekie : (+)

Kelenjar Getah Bening

Submandibula : Tidak dilakukan


27
Leher : Tidak dilakukan

Supraklavikula : Tidak dilakukan

Ketiak : Tidak dilakukan

Lipat paha : Tidak dilakukan

Kepala
Ekspresi wajah : tenang
Simetri muka : simetris
Rambut : hitam, sedikit putih
Pembuluh darah temporal : teraba pulsasi

Mata
Exopthalmus : tidak ada
Enopthalmus : tidak ada
Kelopak : edem (-)
Lensa : jernih
Konjungtiva : anemis (+)
Visus : normal
Sklera : ikterik (-)
Gerakan bola mata : aktif
Lapangan penglihatan : normal
Tekanan bola mata : normal
Nistagmus : tidak ada

Telinga
Tuli : tidak tuli
Selaput pendengaran : utuh, intak (+)
Lubang : lapang
28
Penyumbatan : tidak dilakukan
Serumen : tidak dilakukan
Perdarahan : tidak dilakukan
Cairan : tidak dilakukan

Mulut
Bibir : lembab
Tonsil : T1-T1 edema (-), hiperemis (-)
Langit-langit : tidak ada kelainan
Bau pernapasan : tidak dilakukan
Gigi geligi : utuh
Trismus : tidak ada
Faring : tidak hiperemis
Selaput lendir : normal
Lidah : Tidak kotor

Leher
JVP : Tidak dilakukan
Kelenjar tiroid : Tidak dilakukan
Kelenjar limfe : Tidak dilakukan
Deviasi trachea : Tidak dilakukan

Dada
Bentuk : simetris, sela iga tidak terlalu lebar atau sempit
Pembuluh darah : spider nevi (-)
Buah dada : simetris, tidak ada ginekomastia

Paru-paru

29
Depan Belakang

Kanan Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Inspeksi
Kiri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Kanan Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Palpasi
Kiri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Kanan Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Perkusi
Kiri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Kanan Vesikuler Tidak dilakukan


Auskultasi
Kiri Vesikuler Tidak dilakukan

Jantung
Inspeksi Tidak dilakukan.

Palpasi Tidak dilakukan.

Perkusi Tidak dilakukan.

Auskultasi Tidak dilakukan.

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Karotis : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Brakhialis : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Radialis : Teraba pulsasi, regular, kuat angkat

Arteri Femoralis : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Poplitea : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Tibialis Posterior : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Dorsalis Pedis : Tidak dilakukan perabaan

30
Perut

Inspeksi : Datar, dilatasi vena (-), tidak ada bekas luka

Palpasi : Dinding perut : nyeri tekan (+) pada regio epigastrium ,nyeri lepas (-),
defans muskular (-), massa (-)

Hati : Tidak teraba

Limpa : Tidak teraba

Ginjal : Balotement (-), nyeri ketok CVA (-)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : BU positif

Refleks dinding perut : Baik

Alat kelamin : Tidak dilakukan

Anggota Gerak :

Lengan Kanan Kiri


Otot - -
Tonus - -
Massa - -
Sendi - -
Gerakan - -
Edema - -
Lain-lain - -
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka - -
Varises - -
Otot - -
Sendi - -

31
Gerakan - -
Edema - -
Krepitasi - -
Lain-lain - -

Refleks Tendon Kanan Kiri


Bisep Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Trisep Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Patella Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Achiles Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Kulit Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Patologis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Colok dubur : Tidak dilakukan

D. Pemeriksaan yang Dianjurkan


 Endoskopi
 Kimia klinik (ureum dan kreatinin)
 Elektrolit
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (22 Februari 2022)

Parameter Hasil Rujukan


Darah Rutin Darah Rutin Darah Rutin
• Hemoglobin • 11 • 13.0-17.5
• Leukosit • 7600 • 4000-10.000
• Hematokrit • 30 • 40-52
• Trombosit • 206000 • 150.000-400.000
Diff Diff Diff
• Basofil • 0 • 0-1
• Eusinofil • 3 • 2-4

32
• Neutrofil Batang • 3 • 3-5
• Neutrofil Segmen • 71 • 50-70
• Limfosit • 19 • 25-40
• Monosit • 4 • 2-8
Kimia Klinik
• Ureum • 61 • <50

• Creatinin • 1,3 • <1,3

• Glukosa Sewaktu • 115 • <120

Elektrolit
• 105 • 136-149
• Na
• K • 2,5 • 3,5-5,2
• Cl • 70 • 95-105

F. Resume

Seorang pasien laki laki berusia 68 tahun dibawa ke IGD RSAU Esnawan Antariksa pada
tanggal 22 Februari 2022 dengan keluhan mual, muntah disertai lemas serta nyeri perut sejak
3 hari SMRS. 3 hari SMRS, pasien mengeluhkan mual dan muntah, muntah sebanyak 5 kali
sehari berisi makanan dan cairan. Muntah darah disangkal pasien. Pasien juga mengeluh nafsu
makan menurun. 1 hari SMRS, pasien mengeluh lemas, tidak bisa berdiri maupun berjalan
hanya berbaring. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSAU dan diberikan pengobatan. 2 hari
setelah dirawat dirumah sakit, pasien sudah dapat makan, keluhan mual dan muntah serta
nyeri perut sudah berkurang tetapi pasien masih mengeluh lemas. 3 hari setelah dirawat,
keluhan muntah sudah tidak ada. Pasien dikatakan memiliki riwayat sakit maag sejak lama.
Pasien tidak BAB selama 5 hari. Saat ini pasien masih mengeluh lemas. Pada pemeriksaan
fisik tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan
epigastrium. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 11, Hematokrit 30, Ureum 61, Na
105, K 2,5, dan Cl 70

G. Diagnosis Banding
 Hipertensi Sekunder
 Dispepsia Organik

33
H. Diagnosis Kerja
 Hipertensi
 Dispepsia Fungsional
 Elektrolit Imbalance
I. Tatalaksana
Non Medikamentosa

 Tirah baring
 Diet Lunak
 Observasi balance cairan
 Observasi KU Kesadaran, Tensi, Nadi, Suhu
 Cek ureum, kreatinin, dan elektrolit

Medikamentosa
 Infus NaCl 0,9% 20 tpm
 NaCl caps 2x500 mg
 KSR 600mg 2x1
 Ondansetron 3x4 mg
 Ranitidine 2x1 amp

J. Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam : Bonam

K. FOLLOW UP
 Follow Up Tanggal 25 Februari 2022
Subjective Objective Laboratorium Assessment Planning

34
- Mual (+) KU : Sakit Kimia Klinik Hipertensi  Tirah baring
- Muntah (+) sedang Ureum 66 Dispepsia  Diet Lunak
- Nafsu Kes : CM Creaatinin 2,2 Elektrolit  Observasi
makan Suhu : 36 Imbalance balance cairan
masih TD : 116/78  Observasi KU
menurun N : 85x/mnt Kesadaran,
- Lemas (+) Nafas : Tensi, Nadi,
20x/mnt Suhu
Nyeri tekan  Cek ureum,
epigastrium kreatinin, dan
elektrolit
 Infus NaCl
0,9% 20 tpm
 NaCl caps
2x500 mg
 KSR 600mg
2x1
 Ondansetron
3x4 mg
 Ranitidine 2x1
amp

 Follow Up Tanggal 26 Februari 2022


Subjective Objective Laboratorium Assessment Planning
- Lemas + KU : Sakit Darah Lengkap Hipertensi  Tirah baring
sedang Hb 10,7 g/dl Dispepsia  Diet Lunak
Kes : CM Leukosit 9600 mm3 Elektrolit  Observasi
Suhu : 36 Ht 30 % Imbalance balance cairan
TD : Trombosit 282000  Observasi KU
156/100 mm3 Kesadaran,
N: Tensi, Nadi,

35
86x/mnt Elektrolit Suhu
Nafas : Na 127  Cek ureum,
20x/mnt K 3,7 kreatinin, dan
Cl 93 elektrolit
 Infus NaCl
0,9% 20 tpm
 NaCl caps
2x500 mg
 KSR 600mg
2x1
 Ondansetron
3x4 mg
 Ranitidine 2x1
amp

36
DAFTAR PUSTAKA

1. The Eight Joint National Commitee. Evidence based guideline for the management of

high blood pressure in adults-Report from the panel members appointed to the eight

joint national commitee. 2014.

2. NCD Risk Factor Collaboration (NCD-RisC). Worldwide trends in blood pressure

from 1975 to 2015: a pooled analysis of 1479 population-based measurement studies

with 19·1 million participants. Lancet. 2017 Jan 07;389(10064):37-55.

3. Danaei G, Ding EL, Mozaffarian D, Taylor B, Rehm J, Murray CJ, Ezzati M. The

preventable causes of death in the United States: comparative risk assessment of

dietary, lifestyle, and metabolic risk factors. PLoS Med. 2009 Apr 28;6(4):e1000058.

4. Kearney PM, Whelton M, Reynolds K, Muntner P, Whelton PK, He J. Global burden

of hypertension: analysis of worldwide data. Lancet. 2005 Jan 15-21;365(9455):217-

23.

5. ESH and ESC. 2013. ESH/ESC Guidelines For the Management Of Arterial

Hypertension. Journal Of hypertension 2013, vol 31, 1281-1357.

6. Kuswardhani T. 2006. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA LANJUT

USIA. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 7 Nomor 2 Mei 2006

7. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. The McGraw –

Hill Companies. 2005

8. Mohammad Yogiantoro. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Hipertensi Esensial.

Perhipunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.

9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan praktik klinis dan

clinical pathway penyakit jantung dan pembuluh darah, edisi pertama. Jakarta :

PERKI. 2016, p 38-42.

37
10. Oparil S, et al. Hypertension. Nat Rev Dis Primers. Author manuscript; available in

PMC 2019 April 23.

11. Lewington S, Clarke R, Qizilbash N, Peto R, Collins R., Prospective Studies

Collaboration. Age-specific relevance of usual blood pressure to vascular mortality: a

meta-analysis of individual data for one million adults in 61 prospective studies.

Lancet. 2002 Dec 14;360(9349):1903-13.

12. Rapsomaniki E, Timmis A, George J, Pujades-Rodriguez M, Shah AD, Denaxas S,

White IR, Caulfield MJ, Deanfield JE, Smeeth L, Williams B, Hingorani A,

Hemingway H. Blood pressure and incidence of twelve cardiovascular diseases:

lifetime risks, healthy life-years lost, and age-specific associations in 1·25 million

people. Lancet. 2014 May 31;383(9932):1899-911.

13. Andre Y, Rizanda M, Arina WM. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Depresi

Pada Penderita Dispepsia Fungsional. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013;2(2); 73-75.

14. Jones MP. Evaluation And Treatment Of Dyspepsia. Post Graduate Medical Journal.

2003; 79; 25 - 29.

15. Djojoningrat D, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.

Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi

IV, 2007, Indonesia ; Balai Penerbit FKUI. H. 285.

16. Reksuppaphol L. Functional Dyspepsia in Children. Journal of Medicine.2007; 14; 78

– 90

17. Jaji. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Dispepsia Terhadap Pengetahuan

Pekerja Penenun Songket Di Desa Muara Penimbung Ulu. Jurnal Keprawatan

Sriwijaya. 2016 ; 3(1) ; 57-64.

38
18. Karyanah Y. Analisis Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dispepsia

Fungsional Pada Mahasiswa Program Studi Keperawatan Fakultas Ilmu - Ilmu

Kesehatan Universitas Esa Unggul. Ejurnal.esaunggul.ac.id. 2018; 3(2); 72 - 78.

19. Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku Ajar

Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2010. 6 (5) : h.272 – 98.

20. Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders. Dalam

Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th ed. Philadelphia:

Elsevier Inc. 2013; 18: h.216 – 230.

21. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative

Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 : h. 1 – 10.

39

Anda mungkin juga menyukai