Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS DENGAN PENDEKATAN PELAYANAN

KEDOKTERAN KELUARGA PADA PASIEN RHINITIS


ALERGI

Pembimbing :
Dr. dr. Djap Hadi Susanto, M.Kes
Disusun Oleh:
Eric Yesaya (112019024)

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN MASYARAKAT


PERIODE 9 AGUSTUS – 16 OKTOBER 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA, SEPTEMBER 2021

1
Lembar Pengesahan

Pembimbing
Dr. dr. Djap Hadi Susanto, M.Kes

2
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya saya
dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu kewajiban
dalam rangka Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana.

Makalah ini dibuat dengan pendekatan kedokteran keluarga. Semoga laporan yang saya buat
ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya atas segala bimbingan dan bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian
makalah ini kepada DR. dr. Djap Hadi Susanto M.Kes dan semua pihak yang turut membantu
terselesainya makalah ini.

Saya juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah yang saya buat ini,
oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga di masa mendatang
dapat ditingkatkan menjadi lebih baik.

Jakarta, Oktober 2021

Eric Yesaya

3
BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.

2.2 Epidemiologi Rinitis Alergi

Sebagian besar studi epidemiologi telah diarahkan pada identifikasi rinitis alergi musiman
(SAR), atau demam, karena identifikasi yang mudah dari onset dan offset gejala yang cepat dan
dapat direproduksi dalam kaitannya dengan paparan serbuk sari. Rinitis alergi perenial (PAR) lebih
sulit diidentifikasi karena gejalanya kompleks sering tumpang tindih dengan sinusitis kronis, infeksi
saluran pernapasan atas berulang, dan rinitis vasomotor.

Prevalensi rinitis yang dilaporkan dalam studi epidemiologi, yang dilakukan di berbagai
negara, berkisar antara 3% hingga 19%. Studi yang memasukkan informasi terbanyak menunjukan
bahwa SAR (hay fever) ditemukan pada sekitar 10% populasi umum dan rinitis perenial pada 10%
hingga 20% populasi. Secara keseluruhan, rinitis alergi mempengaruhi 20 hingga 40 juta orang di
Amerika Serikat. Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi di Indonesia diperkirakan
berkisar antara 10 - 20% dan secara konstan meningkat. Usia rata-rata onset rinitis alergi adalah 8 –
11 tahun dan 80% rinitis alergi berkembang dengan usia 20 tahun. Biasanya rhinitis alergi timbul
pada usia muda.

2.3 Etiologi Rinitis Alergi

Rinitis menggambarkan penyakit yang melibatkan inflamasi epitel hidung dan mempunyai
ciri-ciri bersin, gatal, rinore, dan kongesti. Rhinitis alergi, yang biasanya dikenal sebagai Hay Fever,
disebabkan oleh respon alergi tipe I, yang diperantarai oleh IgE. Pada fase awal alergi, sel mast
mengalami degranulasi dan mengeluarkan mediator kimia yang sudah ada sebelumnya, seperti
histamine dan triptase, serta mediator kimia yang terbentuk kemudian, seperti leukotrien
prostaglandin dan platelet-activating factor. Setelah suatu periode tertentu dengan semua sel telah

5
direkrut, fase lambat akan terjadi, yaitu sekitar 4-8 jam kemudian Eosinofil, basophil, sel T CD4,
monosit, dan neutrophil akan melepaskan mediator kimia yang akan menyebabkan terjadinya
inflamasi nasal kronik.1

Rhinitis alergi dapat bersifat musiman, persisten atau episodik bergantung pada alergen
tertentu dan paparannya. Rinitis alergi musiman disebabkan oleh pollen yang sifatnya airborne,
yang mempunyai pola musiman. Rhinitis alergi persisten biasanya disebabkan oleh alergen didalam
rumah, seperti tungau debu rumah, bulu hewan, jamur, dan kecoa. Rhinitis alergi episodik terjadi
apabila terdapat paparan alergen secara intermiten, seperti berkunjung kerumah teman yang
mempunyai hewan peliharaan.1

Predisposisi genetic dan paparan alergen yang berulang berperan dalam terjadinya rhinitis
alergi. Biasanya perlu waktu beberapa minggu, bulan, atau tahun untuk mensensitasi sistem imun
untuk produksi IgE spesifik alergen dalam jumlah yang cukup. Apabila anak atopi menghirup
alergen airborne, protein ini akan penetrasi ke epitel mukosa hidung dan berinteraksi dengan IgE
spesifik antigen pada jaringan sel mast.1

Rhinitis alergi merupakan penyakit multifaktorial yang meliputi interaksi antara faktor
genetik dan lingkungan. Faktor genetik pada rhinitis alergi dapat dilihat dari hubungan fenotipik
yang erat antara rinitis alergi dan asma bronkial. Penyakit alergi bersifat diturunkan dalam keluarga.
Jika salah satu orang tua menderita alergi, maka risiko anak terkena alergi adalah 50%. Dan jika
kedua orang tua memiliki alergi, risiko anak terkena alergi adalah 75%. Penelitian dengan imigran
sebagai subjek menunjukkan bahwa terdapat faktor genetik yang mempengaruhi pola IgE yang
diturunkan dari orang tua khususnya dari ibu.3

2.4 Patofisiologi Rinitis Alergi

6
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction
atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung

2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
24-48 jam.2

Gambar 1. Patofisiologi Rhinitis Alergi.2

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.2

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
7
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC).2

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel
goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala
lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).2

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja,
tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase
ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.2

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun,
sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat

8
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen
asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari2 :

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut
menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis
kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.2

2.5 Klasifikasi Rinitis Alergi

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

9
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

2.6 Manifestasi klinis

Gejala utama rhinitis alergi adalah sedikit pilek dengan cairan jernih, kongesti nasal, bersin
yang paroksismal dan gatal pada mata, hidung, telinga dan palatum. Post nasal drip akan
menyebabkan aktivitas pembersihan tenggorok yang sering, batuk pada malam hari, dan
tenggorokan yang kasar. Penting sekali untuk mencari hubungan onset, durasi dan beratnya gejala
dengan paparan musiman atau persisten, perubahan lingkungan rumah atau sekolah, dan paparan
terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok.

Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan hidung menyeluruh dan evaluasi pada mata,
telinga, tenggorok, dan kulit. Temuan fisik bisa saja sangat ringan. Pemeriksaan fisik klasik antara
lain konka hidung yang berwarna merah muda pucat atau abu-abu kebiruan dan bengkak dengan
sekret hidung yang jernih. Alergik salut- merupakan suatu kondisi gatal pada hidung yang
menyebabkan penderita sering menggosokan telapak tangan pada hidung, dapat menimbulkan
guratan transversal pada hidung bagian bawah. Anak-anak dapat mengeluarkan suara clucking
akibat gosokan palatum molle dengan lidah. Pemeriksaan orofaring dapat memperlihatkan adanya
mukus atau adanya hiperplasi limfoid pada palatum molle dan faring posterior atau keduanya.
Kelainan ortodontik dapat terlihat pada anak yang secara kronis bernafas melalui mulut. Allergic
shiner adalah suatu kondisi periorbital yang berwarna gelap akibat kongesti vena, sering terjadi
bersama pembengkakan kelopak mata dan peradangan selaput lendir mata. Retraksi membran
timpani akibat disfungsi tuba eustachius atau otitis media serosa juga dapat terjadi. Penyakit atopi
lain, seperti asma atau eksim juga dapat terjadi yang akan membantu klinisi untuk menegakan
diagnosis yang tepat.1

2.7 Diagnosis dan diagnosis banding

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan2 :

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan
10
keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan
keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan
pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih
gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer
lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif .

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertropi.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapat bayangan gelap didaerah bawah mata yang
terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung yang disebut allergic shiner. Selain dari
tiu sering juga tampak anak menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang disebut allergi crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung-
lengkung langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).2

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan aleri dapat dilakukan dengan uji kulit in vivo atau dengan pemeriksaan serum
in vitro (radioallergosorbent test (RAST)) untuk menemukan alergen yang terdapat di
lingkungan pasien. Uji kulit (Prick/tusuk) memberikan hasil yang cepat dan akurat. Hasil
yang positif berhubungan dengan uji provokasi nasal dan bronkus. Pemeriksaan serum in
vitro akan bermanfaat untuk pasien yang mempunyai kondisi kulit abnormal, kecenderungan
mengalami anafilaksis atau pasien yang meminum obat yang dapat mepengaruhi hasil uji
kulit. Kerugian pemeriksaan serum antara lain biaya yang lebih mahal, ketidakmampuan
untuk mendapatkan hasil dalam waktu singkat dan sensitifitas yang lebih rendah
dibandingkan uji kulit. Skrining luas menggunakan uji serum pada orang tanpa gejala tidak
direkomendasikan. Pengukuran serum IgE total dan eosinofil darah umumnya tidak
bermanfaat. Adanya eosinofil hidung menunjukan kemungkinan diagnosis alergi, namun
eosinofil dapat dijumpai pada pasien rhinitis non alergi dengan eosinofilia. Eosinofilia
hidung merupakan prediktor respons kulit yang baik terhadap kortikosteroid.1

In vitro
11
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian oula pemeriksaan
IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkalimenunjukan nilai normal,kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi pasien juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi
pada bayi atau anak kecildari suatu keluarga dengan derajat alergi tinggi. Lebih bermakna adalah
pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (radio immune sorbent test) atau ELISA (enzyme linked
immune sorbent assay test). Pemeriksaan sitologi hidung dari sekret hidung atau kerokan mukosa
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (>5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukan adanya infeksi bakteri.2

In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET), yang dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntukan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi
dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit yang banyak dilakukan adalah intracutaneus
Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet
eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas hilang dari tubuh dalam
waktu 2 minggu. Karena itu pada challenge test makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai gejala menghilang dengan meniadakan suatu
jenis makanan.2

Diagnosis Banding1

Rhinitis non alergi tidak mempunyai bukti alergi sebagai etiologinya. Selanjutnya dapat
dibagi lagi berdasarkan etiologi non anatomi dan anatomi. Rhinitis infeksi akut (selesma) biasanya
disebabkan oleh virus, antara lain rinovirus dan koronavirus dan biasanya membaik dalam 7-10
hari. Infeksi sebagai penyebab pikirkan apabila terdapat tanda-tanda nyeri menelan, demam dan
nafsu makan yang menurun, khususnya apabila rerdapat riwayat paparan dengan orang lain yang
juga mengalami flu. Infeksi rhinosinusitis kronik atau sinusitis, dicurigai apabila terdapat sekret
nasal mukopurulen dengan gejala yang berlangsung lebih dari 10 hari. Gejala klasik sinusisits akut
pada anak yang lebih tua antara lain nyeri pada wajah, sakit gigi, sakit kepala, dan demam. Gejala
klasik biasanya tidak terlihat pada anak kecil, yang biasanya menunjukan gejala postnasal drainage
12
dengan batuk, upaya membersihkan tenggorok, halitosis dan rinore. Karakter sekret nasal pada
rhinitis infeksi dapat bervariasi dari purulent hingga minimal atau tidak ada sama sekali.
Koeksistensi dengan penyakit telinga tengah, seperti otitis media atau disfungsi tuba eustachius
dapat menjadi petunjuk tambahan kemungkinan adanya infeksi.

Rhinitis non infeksi, non alergi (rhinitis vasomotor) dapat bermanifestasi sebagai rinote dan
bersin pada anak dengan sekret hidung jernih yang banyak. Paparan terhadap iritan seperti asap
rokok, debu dan bau-bauan yang menyengat. Rhinitis alergi dengan sidrom eosinofilia umumnya
berupa sekret nasal yang jernih dengan eosinofil pada pewarnaan nasal dan biasanya jarang
dijumpai pada anak. Udara dingin (skier’s nose), makan makanan yang pedas/berbumbu (gustatory
rhinitis) dan paparan terhadap cahaya yang terang (reflex rhinitis) merupakan contoh rhinitis fisis.

Rhinitis medikamentosa yang biasanya disebabakan oleh penggunaan dekongestan nasal


topical yang berlebihan seperti oksimetozolin, fenilefrin jarang dijumpai pada anak kecil. Remaja
taau dewasa muda bisa mengalami ketergantungan pada obat-obatan yang dijual bebas ini.
Tatalaksana berupa penghentian dekongestan nasal, pemberian kortikosteroid topikal, dan kadang-
kadang diperlukan kortikosterois oral jangka pendek.

Masalah anatomik yang paling sering dijumpai anak kecil adalah obstruksi sekunder akibat
hipertrofi adenoid yang dapat dicurigai apabila terdapat gejala bernapas lewat mulut, mengorok,
hyponasal speech, dan rhinitis persisten dengan atau tanpa otitis media kronik. Infeksi nasofaring
dapat terjadi sekunder akibat jaringan adenoid hipertrofi yang terinfeksi.

Atresia koana merupakan anomaly kongenital hidung yang paling sering dijumpai dan
berupa adanya septum dari tulang atau membrane yang terletak antara hidung dan faring, baik
unilateral maupun bilateral. Obstruksi jalan napas dan sianosis biasanya hilang apabila mulut
terbuka pada saat menangis dan berulang apabila bayi mulai tenang dan kembali bernapas
menggunakan hidung. Hampir separuh bayi dengan atresia koana mempunyai anomali kongenital
lain sebagian dari kelainan CHARGE (coloboma, congenital heart disease/penyakit jantung
kongenital, atresia koana, retardasi genitourinary defects dan anomali telinga).

Polip nasal biasanya tampak sebagai kantong bilateral, keabu-abuan dan mengkilap yang
berasal dari sinus etmoidalis dan biasanya berhubungan dengan sekret yang jernih atau purulen.
Polip nasal jarang terjadi pada anak kurang dari 10 tahun namun apabila terjadi dapat
mencerminkan proses penyakit, seperti fibrosis kistik atau dyskinesia silia primer. Triad asma
adalah asma, sensitivitas terhadap aspirin dan polip nasal dengan sinusistis kronik atau rekuren.

13
Benda asing biasanya lebih sering terlihat pada anak kecil yang menyembunyikan makanan,
mainan kecil, batu, atau penghapus pada hidung mereka. Terdapat sekret nasal purulen unilateral
atau bau yang busuk. Benda asing hanya dapat terlihat dengan pemeriksaan menggunakan
spekulum nasal.

Deviasi septum nasi pada bayi dapat bersifat kongenital atau terjadi akibat trauma lahir.
Pada anak yang lebih besar trauma wwajah akibat olahraga kontak, otomobil, kecelakaan sepeda,
atau aktivitas bermain dapat meyebabkan deformitas septum. Hipertrofi konka yang menyebabkan
gejala nasal juga dapat terlihat pada anak.

2.8 Penatalaksanaan

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.

Gambar 2. A, Algoritma pada pasien yang tidak diobati menggunakan VAS (remaja dan dewasa). Algoritma
mempertimbangkan langkah-langkah pengobatan dan preferensi pasien. Tingkat VAS ditunjukkan dalam rasio. Jika
14
gejala mata tetap ada setelah pengobatan dimulai, tambahkan pengobatan intraokular. B, Algoritma pada pasien yang
dirawat menggunakan VAS (remaja dan dewasa). Algoritma yang diusulkan mempertimbangkan pengobatan dan
preferensi pasien. Tingkat VAS ditunjukkan dalam rasio. Jika gejala mata masih tersisa, tambahkan pengobatan
intraokular.5

Medikamentosa

Kortikosteroid intranasal merupakan terapi farmakologi yang paling poten untuk mengobati
rhinitis alergi dan non alergi. Hal ini mencakup beklometason, budesonid, siklesonid, flunisolid,
flutikason, mometason, dan triamsinolon. Obat topical ini bekerja dengan mengurangi inflamasi,
edema, dan produksi mukus. Obat ini efektif untuk gejala kongesti nasal, rinore, gatal dan bersin
namun kurang bermanfaat untuk gejala pada mata. Kortikosteroid nasal aman digunakan untuk
jangka panjang. Efek samping yang paling sering terjadi adalah iritasi lokal, terbakar, dan bersin
yang terjadi pada 10% pasien. Perdarahan nasal yang terjadi akibat teknik penggunaan yang tidak
tepat (menyemprot pada septum nasal) dapat terjadi.2

Antihistamin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati rhinitis alergi.
Obat ini bermanfaat untuk mengobati rinore, bersin, gatal pada hidung dan gatal pada mata namun
kurang bermanfaat untuk mengobati kongesti hidung. Antihistamin yang dipakai adalah antaonis
histamine H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
perngobatan lini pertama pada rhinitis alergi. Pemberian dapat diberikan dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan generasi 1 (klasik) yang bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan
generasi 2 (non sedatif) yang bersifat lipofobik sehingga sulit menembus sawar darah otak. Contoh
kelompok generasi 1 adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan
yang berefek secara topical adalah azelastin. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2
golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adlaah asremisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut didsebabkan repolarisasi
jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian
mendadak. Kelompok kedua adlaah loratadin, setirisin, fexofenadine, desloratadin dan
levosetirisin.2

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan


hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Digunakan untuk
mengurangi kongesti nasal. Obat oral contohnya seperti pseudoefedrin dan fenilefrin. Efek samping
dekongestan antara lain insomnia, gelisah, iritabilitas, takikardi, tremor dan palpitasi. Obat semprot
dekongestan topikal efektif untuk melegakan obstruksi napas segeraa namun hanya boleh
digunakan kurang dari 5-7 hari untuk mencegah kongesti nasal rebound (rhinitis medikamentosa).
15
Ipratropium bromid topikal merupakan suatu semprot hidung antikolinergik digunakan khususnya
untuk rhinitis non alergi dan rhinitis yang berhubungan dengan infeksi saluran respiratori atas oleh
virus.2

Tabel 1. Dosis Pengobatan Rhintis Alergi.4

Operatif

16
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertropi berat dan
tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.2

Ada beberapa sistem klasifikasi untuk hipertrofi konka inferior. Tiga di antaranya
didasarkan pada pemeriksaan klinis dari ukuran konka inferior, sedangkan satu didasarkan pada
pencitraan pemindaian tomografi terkomputerisasi. Untuk menilai hasil reseksi submukous pada
pasien mereka, Friedman et al. menggunakan sistem tiga penilaian; grade 1 adalah pembesaran
ringan tanpa obstruksi yang jelas, grade 2 adalah obstruksi inkomplit, dan level 3 oklusi rongga
hidung. Sebuah penelitian yang menghubungkan anatomi hidung dengan keparahan apnea tidur
obstruktif mengklasifikasikan hipertrofi konka inferior sebagai 0 — normal, 1 — ringan, 2 —
sedang, atau 3 — berat. Camacho dkk, mengklasifikasikan konka inferior sebagai empat tingkat
berdasarkan posisinya di total ruang saluran napas hidung seperti yang divisualisasikan penilaian
nasoendoskopi. Ketika konka inferior menempati 0 sampai 25% dari total ruang jalan napas, itu
adalah tingkat 1, tingkat 2 adalah 26% sampai 50%, tingkat 3 adalah 51% sampai 75%, dan tingkat
4 adalah 76% sampai 100% (Gambar 2). Dengan mempelajari tulang turbinat inferior
menggunakan computed tomography, Uzun dkk. menilai ukuran turbinat inferior sebagai tipe 1
(lamelar), tipe 2 (tulang kompak), tipe 3 (gabungan), dan tipe 4 (bulosa).6

17
Gambar 3. Sistem penilaian nasoendoskopik dari hipertrofi turbinat inferior; tingkat 1 adalah 0 – total ruang jalan napas
yang ditempati (A), tingkat 2 adalah 26–50% terisi (B), tingkat 3 adalah 51–75% terisi dan tingkat 4 adalah 76–100%
terisi.6

Obstruksi hidung karena hipertrofi konka inferior dapat diukur menggunakan


rhinomanometry anterior aktif, dengan mengukur perbedaan antara bagian anterior dan posterior
hidung. Ini berasal dari volume aliran udara di hidung, diukur secara terpisah sebelum dan sesudah
pemberian dekongestan. Dengan cara ini, jumlah mukosa atau tulang yang berkontribusi terhadap
obstruksi dapat diperkirakan. Setiap peningkatan impedansi mukosa hidung yang menyebabkan
obstruksi hidung dapat diidentifikasi dengan evaluasi ini, tetapi tidak dapat melokalisasi situs
obstruksi. Untuk akurasi yang lebih baik, ini harus diterapkan bersamaan dengan rhinometri.
Refleksi sinyal akustik oleh masing-masing anatomi hidung membentuk dasar pengukuran
rinometri akustik. Dengan cara ini, semua bagian hidung dapat diukur, yang memungkinkan
identifikasi obstruksi topografi yang andal. Sesuai dengan rhinomanometry anterior aktif,
pengukuran dan setelah dekongesti memungkinkan untuk membedakan patologi mukosa dari
penyebabnya. Prosedur ini memiliki kemampuan reproduksi yang baik dan cepat.6

Salah satu manifestasi rinitis kronis yang paling umum adalah obstruksi hidung. Obstruksi
hidung terjadi akibat hipertrofi submukosa atau mukosa yang berkaitan dengan peningkatan
vaskularisasi dari konka inferior. Pengobatan hipertrofi konka inferior terdiri dari semprotan
kortikosteroid intranasal topikal, antihistamin oral, dan dekongestan topikal. Ketika manajemen
konservatif gagal dalam periode perawatan yang sesuai, tindakan bedah diindikasikan. Umumnya,
kesepakatan untuk titik intervensi bedah dalam 3 bulan, terjadi kegagalan terapi medis untuk
mengatasi obstruksi hidung sebagai akibat dari hipertrofi konka. Namun, jika terjadi rinosinusitis
bersamaan, perawatan medis bisa diperpanjang hingga 6 bulan.6

Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2
metode imunoterapi yang umum yaitu intradermal dan sublingual.2

Imunoterapi dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung
lama serta dengan pengobatan tidak membaik. Tujuan dari pemberian imunoterapi adalah untuk
pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Terdapat dua metode yang umum
dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. Indikasi pemberian imunoterapi termasuklah usia >6
tahun, tanpa gejala berat sistemik, pasien dengan emergensi yang membutuhkan adrenalin / alergi

18
inhalan dengan derajat gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum
memuaskan. Kontraindikasi pemberian untuk pasien yang menggunakan beta blocker, dan
penderita asma berat. Langkah-langkah pemberian imunoterapi dilihat dari gejala sedang-berat
rhinitis alergi pada pasien melalui anamnesis, pemeriksaan penunjang seperti tes tusuk kulit, dan/
atau igE serum spesifik. Pada kasus yang sukar diidentifikasi, tes provokasi diperlukan. Diberikan
terapi sesuai pedoman ARIA dan Langkah pencegahan juga diperlukan pada pasien rhinitis alergi.
Jika dengan terapi antihistamin, kortikosteroid, dan antagonis leukotriene reseptor tidak membaik,
perlu dipertimbangkan pemberian imunoterapi. Ketepatan pengobatan dalam mengindikasi allergen
immunotherapy (AIT) adalah berikut :7

1. Diagnosis yang tepat berdasarkan anamnesis, tes tusuk kulit dan/ atau IgE spesifik
dan jika perlu, diagnosis component-resolved in vitro (CRD)

2. Dalam beberapa kasus yang jarang terjadi, tes provokasi mungkin diperlukan.

3. Indikasinya yaitu rhinitis alergi, konjungtivitis alergik dan/atau asma.

4. Gejala alergi terutama disebabkan oleh paparan alergen

5. Seleksi pasien dengan gejala yang tidak respon terhadap terapi obat yang tepat
(sesuai pedoman) atau ada perubahan riwayat alergi

6. Verifikasi efikasi dan keamanan produk yang dipilih

7. Rundingkan dengan pasien dan keluarga mengenai indikasi dan keputusan

19
Gambar 4. Alur Pemberian Obat Allergen Immunotherapy (AIT) pada Pasien

dengan Gejala Sedang Berat pada Rhinitis Alergi.8

2.9 Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah:

1. Polip hidung

2. Otits media efusi yang sering residif terutama pada anak-anak.

3. Rhinosinusitis

2.10 Pencegahan

Rhinitis dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor pemicunya, misalnya menghindari debu,
hewan peliharaan, atau lingkungan yang banyak polusi. Penderita rhinitis alergi perlu mengenali
dan menghindari zat-zat pemicu alergi (alergen). Beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk menghindari alergen, yaitu:

1 Mencuci barang-barang, seperti tirai, bantal, sprei dan sarung bantal, serta boneka, secara rutin.
20
2 Membersihkan permukaan barang atau perabot dalam rumah dengan kain lap basah yang bersih.
3 Tidak memasukkan pakaian yang lembap ke dalam lemari pakaian atau menjemur pakaian di
dalam ruangan tertutup.
4 Memiliki ventilasi rumah yang baik.
5 Jika memiliki hewan peliharaan, dimandikan secara rutin, setidaknya dua minggu sekali
6 Tidak membiarkan hewan peliharaan masuk ke ruangan yang beralaskan karpet.

21
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. JH

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Lahir : 6 September 1998

Umur : 23 tahun

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Alamat : Jl. Pualam Raya No 40B, Sumur Batu, Jakarta Pusat

Status Perkawinan : Belum Menikah

Agama : Kristen

Suku : Tionghoa

Pendidikan : S1

Anamnesis : Autoanamnesis

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Saat ini pasien memiliki keluhan bersin-bersin dan hidung meler. Bersin-bersin dan hidung
meler dirasakan setiap hari dan memberat terutama pada malam hari sehingga menganggu tidur
pasien. Menurut pasien keluhan bersin-bersin dipicu oleh udara dingin dan bulu kucing. Keluhan
hidung meler pada pasien disertai keluarnya cairan yang bening, encer dan tidak berbau dari hidung
pasien. Menurut pasien gejala yang dirasakan pasien pertama kali muncul pada saat pasien berumur
10 tahun. Pasien juga mengeluh rasa tersumbat pada hidungnya. Keluhan lain seperti telinga
berdengung, penurunan pendengaran, keluar cairan dari telinga, batuk, nyeri menelan hingga
demam disangkal pasien.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Sejak usia 10 tahun pasien memiliki keluhan bersin-bersin dan hidung meler.

22
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

1. Ayah pasien memiliki riwayat hipertensi dan penyakit jantung sejak 6 tahun yang lalu.
2. Kakak pasien memiliki penyakit yang serupa dengan pasien.

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI

Pasien tinggal bersama ayah, ibu dan kakak dan adiknya. Pasien berasal dari keluarga dengan
ekonomi menengah.

RIWAYAT ALERGI

Pasien memiliki alergi terhadap cuaca dingin dan bulu kucing.

RIWAYAT PENGOBATAN

Pasien rutin mengkonsumsi obat warung yang mengandung Paracetamol 500mg, Pseudoephedrine
HCl 30mg, Chlorphenamine Maleate 2mg, Guaifenesin 50mg.

PERILAKU PASIEN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKITNYA SEKARANG

1. Pasien selalu tidur satu kamar dengan kucingnya. Pasien mengaku sulit tidur bila kucing
peliharaan pasien tidak tidur di kamar bersama pasien.
2. Pasien jarang membersihkan/memandikan kucingnya.
3. Pasien jarang sekali membersihkan kamarnya baik tempat tidur maupun meja kerja,
sedangkan kamar pasien banyak terdapat bulu kucing peliharaannya.
4. Selama pandemi Covid-19, pasien hanya bekerja di rumah dan pasien bekerja di dalam
kamarnya.
KEBIASAAN DAN PERILAKU SOSIAL PASIEN

 Olahraga: pasien olahraga rutin setiap 2 hari sekali pada malam hari yaitu push up dan sit up

 Pola jajan: pasien suka mengkonsumsi ayam goreng

 Pola makan: makan sehari 3 kali, makan makanan rumah, tidak ada pantangan makanan

 Pola minuman sehari hari: pasien minum air putih sehari 5-8 gelas yang berukuran 230ml
atau 2 liter dalam sehari.

 Kebersihan diri: pasien mandi 2 hari sekali, keramas setiap kali mandi, sikat gigi 1 kali
sehari dan ganti baju setelah mandi serta pasien mencuci tangan sebelum makan, dan rajin
memotong kuku jari tangan.

23
 Rekreasi: kegiatan rekreasi pasien hanya bermain game pada hari Senin-Jumat, saat selesai
bekerja. Tidak ada aktivitas fisik yang dilakukan kecuali olahraga. Hari Sabtu pasien
kadang-kadang pergi ke mall.

 Makan dan minuman lain seperti minuman kemasan (-), kopi (-), minuman beralkohol (-),
merokok (-)

HUBUNGAN DENGAN KELUARGA

Pasien tinggal bersama ayah, ibu, kakak dan adiknya.

RIWAYAT BIOLOGIS KELUARGA

• Keadaan kesehatan sekarang: baik

• Keadaan kesehatan pasien dan anggota keluarga: baik karena pasien dan anggota keluarga lainnya
pada saat dilakukan anamnesis dapat berkomunikasi dan memberikan respon dengan pertanyaan
yang ditanyakan.

• Penyakit yang sering diderita (oleh anggota keluarga): Tidak ada

• Penyakit keturunan : Tidak ada

• Penyakit kronis/menular : Tidak ada

• Kecacatan anggota keluarga : Tidak ada

• Pola istirahat : Cukup

• Jumlah anggota keluarga : 5 orang

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

1. Keadaan umum : Sakit sedang

2. Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda vital

3. Suhu : 36 0C

4. Tekanan darah : 130/80 mmHg

5. Frekuensi nadi : 80 x/menit

6. Frekuensi pernafasan : 18 x/menit

7. Kepala dan leher : Dalam batas normal


24
Status Lokalis

Telinga

No Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri


. Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (-), edema (-),
2. Daun telinga Normotia, hematoma (-), Normotia, hematoma (-),
nyeri tarik aurikula (-), nyeri tarik aurikula (-), fistula
fistula retroaurikula (-), retroaurikula (-), fistula
fistula preaurikula (-) preaurikula (-)
3. Liang telinga Lapang, serumen (-), Lapang, serumen (-),
hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
edema (-), sekret (-) edema (-), sekret (-)
4. Membran timpani Intak, putih mengkilat Intak, putih mengkilat seperti
seperti mutiara, refleks mutiara, refleks cahaya (+)
cahaya (+) arah jam 5 arah jam 7

Pemeriksaan Garpu Tala (512 Hz)

 Tes Rinne

Telinga kanan : +

Telinga kiri :+

 Tes Weber : normal, tidak terdapat lateralisasi

Hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri


Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-), Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-), nyeri tekan (-), deformitas (-),
krepitasi (-) krepitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)

25
Cavum nasi Sempit, mukosa pucat dan Sempit, mukosa pucat dan
basah, hiperemia (-), sekret (+) basah, hiperemia (-), sekret (+)
Konka nasi inferior Hipertrofi Hipertrofi

Konka nasi media Tidak terlihat Tidak terlihat

Septum nasi Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi

Pemeriksaan sinus Tidak ada nyeri tekan

Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir normal


Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, berada di tengah, hiperemi (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa normal, reflex muntah (+), granular (-)
Tonsil Kanan Kiri
T1, hiperemi (-), detritus (-), T1, hiperemi (-), detritus (-),
kriptus tidak melebar kriptus tidak melebar

DIAGNOSIS KERJA

Rhinitis Alergi Persisten Sedang-Berat dengan Hipertrofi Konka Inferior

DIAGNOSIS BANDING

Rhinitis Vasomotor

PEMERIKSAAN ANJURAN

Pemeriksaan kadar IgE

SET (Skin End-point Titration)

PENATALAKSANAAN

Menghindari paparan allergen

Medikamentosa

 Triamcinolone acetonide 2x semprot, satu kali sehari

26
 Azelastine hydrochloride 1x semprot, dua kali sehari

PENDEKATAN SECARA HOLISTIK

Profil Keluarga

Saat ini pasien tinggal bersama dengan ayah, ibu, kakak laki-laki serta adik laik-laki.

No Nama Hubungan Jenis Usia Pendidikan Pekerjaan Keadaan


dengan Kelamin Terakhir Kesehatan
Pasien Saat Ini

1 Tn. HI Ayah L 66 S1 Pensiun Sehat

2 Ny. KD Ibu P 52 SMA Ibu Rumah Sehat


Tangga

3 Tn. E Kakak L 26 S1 Karyawan Sehat

4 Tn. ME Adik L 21 SMA Mahasisw Sehat


a

Genogram

Keterangan :

: Keluarga Tn. HI

: Laki-laki normal

27
: Wanita normal

: Pasien Rinitis Alergi

Bentuk Keluarga

Bentuk keluarga ini adalah keluarga besar

Hubungan Anggota Keluarga

Tn. JH merupakan anak kedua dari 3 bersaudara dengan memiliki satu kakak laki-laki dan satu
adik-adik laki-laki. Hubungan antara Tn. JH dengan anggota keluarga yang lain sangat baik.
Hubungan antara anggota keluarga sangat akrab.

Keadaan Umum Keluarga

Ayah pasien

Tanda-tanda vital:

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Tekanan Nadi : 86 kali/menit

Frekuensi Nafas : 20 kali/menit

Suhu : 36 C

Status Gizi :

- Berat badan : 60 kg

- Tinggi badan : 165 cm

- IMT : 22 kg/m2

- Status gizi : Normal

Ibu Pasien

Tanda-tanda vital:

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

Tekanan Nadi : 86 kali/menit

28
Frekuensi Nafas : 18 kali/menit

Suhu : 36.4 C

Status Gizi :

- Berat badan : 52 kg

- Tinggi badan : 151 cm

- IMT : 22,8 kg/m2

- Status gizi : Normal

Adik Pasien

Tanda-tanda vital:

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Tekanan Nadi : 84 kali/menit

Frekuensi Nafas : 18 kali/menit

Suhu : 36.2 C

Status Gizi :

- Berat badan : 85 kg

- Tinggi badan : 175 cm

- IMT : 27,8 kg/m2

- Status gizi : Obesitas

Kakak Pasien

Tanda-tanda vital:

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Tekanan Nadi : 84 kali/menit

Frekuensi Nafas : 18 kali/menit

Suhu : 36.6 C

Status Gizi :

- Berat badan : 70 kg

29
- Tinggi badan : 172 cm

- IMT : 23,7 kg/m2

- Status gizi : Normal

Psikologis Keluarga

▪ Kebiasaan buruk : Tidak ada

▪ Pengambilan keputusan : Keluarga (semua keputusan diambil secara mufakat dengan melibatkan
seluruh anggota keluarga yang ada)

▪ Ketergantungan obat : Tidak ada

▪ Tempat mencari pelayanan kesehatan : Puskesmas dan Rumah Sakit (Jarak dari rumah ke
Puskesmas Dan Rumah Sakit Sekitar 1 km)

▪ Pola rekreasi : Baik

Spiritual Keluarga

▪ Ketaatan Ibadah : Baik

▪ Keyakinan tentang kesehatan : Baik

Keadaan Sosial Keluarga

▪ Tingkat pendidikan : Menengah ke atas

▪ Hubungan antar anggota keluarga : Baik

▪ Hubungan dengan orang lain : Baik

▪ Kegiatan organisasi sosial : Baik

▪ Keadaan ekonomi : Baik

Kultural Keluarga

▪ Adat yang berpengaruh : Tidak ada

▪ Lain-lain : Tidak ada

Identitas Keadaan Rumah /Lingkungan (Berisiko/tidak)

▪ Daerah pemukiman : Tidak padat penduduk

▪ Jenis bangunan : Permanen

▪ Status kepemilikan rumah : Milik kedua orang tua

30
▪ Luas rumah : 20 x 15 m2

▪ Luas halaman rumah : 3 x 12 m2

▪ Lantai rumah : Keramik

▪ Dinding rumah : Beton

▪ Penerangan matahari : Cukup

▪ Kebersihan rumah : Baik

▪ Ventilasi udara : Cukup

▪ Penerangan listrik : 6.000 watt

▪ Dapur : Ada

▪ Jamban keluarga : Ada 2

▪ Ketersediaan air bersih : Tidak ada

▪ Sumber air minum : Air mineral/gallon air

▪ Sumber pencemaran air : Tidak ada

▪ Pemanfaatan perkarangan : Ada

▪ Tempat pembuangan sampah : Ada, di dalam rumah dan di luar rumah (petugas kebersihan
mengambil sampah setiap hari)

▪ Sanitasi lingkungan : Baik

▪ Keadaan udara/polusi di luar rumah : cukup buruk

(rumah berada dekat dari jalan raya)

Penilaian Perilaku Kesehatan

▪ Jenis tempat berobat : Puskesmas dan Rumah Sakit

▪ Asuransi/ Jaminan Kesehatan : BPJS

Pola Konsumsi Keluarga

Keluarga Tn. JH memiliki kebiasaan makan dua hingga tiga kali dalam sehari dengan menu
makanan sehari-hari yang bervariasi. Menu makanan yang biasa disajikan di rumah Tn. JH terdiri
dari nasi, sayur, dan lauk (kebanyakan melalui proses penggorengan) yang di masak sendiri. Lauk
yang paling sering dikonsumsi adalah ikan dan ayam. Konsumsi buah-buahan juga tidak menentu,
dalam seminggu bisa 2-3 kali mengkonsumsi buah buahan seperti pisang, semangka, ataupun
31
pepaya. Selain itu, keluarga Tn.JH suka membeli makanan dari luar jika lauk yang di masak habis
dan dikonsumsi saat malam hari.

Pola Dukungan Keluarrga

a. Faktor Pendukung Terselesaikannya Masalah Dalam Keluarga

Pasien memiliki keluarga yang mendukung pasien untuk meningkatkan rasa percaya diri. Selain itu
jarak dari rumah ke fasilitas kesehatan yang tidak jauh dan biaya pengobatan ditanggung oleh biaya
sendiri secara mandiri (masih terjangkau oleh pasien)

b. Faktor Penghambat Terselesaikannya Masalah Dalam Keluarga

Di antara yang merupakan faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga tersebut
adalah dari diri pasien sendiri karena awalnya pasien kurang rajin minum obat karena merasa tidak
ada keluhan dan terkadang lupa untuk memakai tabir surya saat berpergian.

Fungsi patologis (SCREEM)

Aspek sumber daya patologi:

- Sosial: pasien mengatakan dia aktif di kegiatan sosial dengan teman dan gereja, karena pandemi
sekarang komunikasi dengan media Whatsapp dan Zoom.

- Cultural: pasien adalah orang Indonesia yang makanan pokoknya adalah nasi. Dan pasien setiap
makan selalu mengkonsumsi nasi sesuai kebutuhan.

- Religious: Taat beribadah sesuai dengan aturan agama. Saat pandemi semua dilakukan secara
online

- Economy: keluarga pasien merasa kebutuhan ekonomi sekarang cukup. - Education: Pendidikan
anggota keluarga sudah baik, Tn. JH merupakan lulusan S1

- Medication: Pasien dan keluarga menggunakan sarana pelayanan kesehatan dari puskesmas dan
memiliki asuransi kesehatan BPJS dan asuransi swasta.

- Medikasi

Pembiayaan pelayanan kesehatan sudah cukup baik. Pasien dan keluarganya biasanya membayar
secara mandiri. Keluarga ini juga berpendapat bahwa pemeriksaan rutin kesehatan merupakan hal
yang sangat perlu untuk dilakukan.

Diagnosis Pasien

❖ Biologi

32
Rhinitis Alergi

❖ Psikologis

Hubungan pasien dengan semua anggota keluarga terjalin dengan sangat baik & akrab

❖ Sosial

Pasien tidak bersosialisasi dengan tetangga disekitar rumahnya.

❖ Ekonomi

Keadaan ekonomi pasien cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

❖ Religius

Pasien menjalankan ibadah dengan baik setiap hari sesuai dengan aturan agama.

Diagnosis Keluarga

❖ Biologi

Ayah : hipertensi

❖ Psikologi

Hubungan semua anggota keluarga terjalin dengan baik.

❖ Sosiologi

Anggota keluarga bersosialisasi baik dengan tetangga disekitar rumahnya.

❖ Ekonomi

Keadaan ekonomi keluarga anggota keluarga cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari.

❖ Religius

Keluarga Pasien menjalankan ibadah dengan baik setiap hari sesuai dengan aturan agama.

PENATALAKSANAAN PENYAKIT DAN EDUKASI

Promotif

a. Health Promotion : Meningkatkan derajat kesehatan perorangan, mengurangi peranan penyebab


dan derajat risiko, dan meningkatkan lingkungan yang sehat secara optimal. Tindakan ini dilakukan
pada seseorang yang sehat.

Sasaran untuk pasien dan keluarga:


33
▪ Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit rinitis alergi bahwa penyakit ini
adalah penyakit yang tidak menular dan cenderung mengalami perbaikan.

▪ Menjaga kebersihan badan

▪ Menjauhi alergen

▪ Makanan dengan kandungan serat (seperti: Oatmeal, roti gandum, wortel, brokoli, bayam) dan
mengganti karbohidrat sederhana menjadi karbohidrat kompleks (seperti: nasi merah, ubi jalar,
kacang polong)

▪ Olahraga

(berenang, jogging, naik sepeda, dan senam)

Durasi : Pemanasan dan Pendinginan 5-10 menit.

Olahraga inti : 30-40 menit

Frekuensi : 3-5 kali seminggu

Preventif

b. Spesific Protection : Tindakan untuk mencegah penyakit, menghentikan proses interaksi


penyakit, tetapi sudah terarah pada penyakit tertentu (faktor risiko).

Sasaran untuk pasien:

Tn JH melakukan Spesific Protection dengan menghindari alergen yang memicu penyakit seperti
bulu hewan dan tungau debu.

Sasaran untuk keluarga Tn JH:

▪ Skrining Kesehatan atau medical check up.

Kuratif

c. Early Diagnosis and Prompt Treatment : Merupakan tindakan menemukan penyakit sedini
mungkin dan melakukan penatalaksanaan segera dengan terapi yang tepat. Tindakan ini bertujuan
untuk mendeteksi, mencegah meluasnya penyakit, dan menghentikan proses penyakit sejak dini.

Sasaran untuk keluarga Tn JH:

▪ Jika di keluarga Tn JH ada yang mengalami keluhan serupa dengan pasien segera memeriksakan
diri ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.

▪ Segera berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan begitu ada gejala walau sedikit.

34
▪ Konsultasi ke dokter dan kepatuhan menggunakan obat perlu diperhatikan

d. Disability Limitation : Tindakan penatalaksanaan terapi yang adekuat pada pasien dengan
penyakit yang telah lanjut, mencegah penyakit menjadi lebih berat, menyembuhkan pasien, serta
mengurangi kemungkinan terjadinya kecacatan yang akan timbul.

Sasaran untuk keluarga Tn JH:

▪ Pengobatan dan perawatan yang sesuai agar tidak terjadi komplikasi, atau setidaknya dapat
melihat kemungkinan komplikasi agar tidak berkembang lanjut dengan cara kontrol rutin ke
fasilitas layanan kesehatan.

▪ Jika gejala dirasakan memberat agar segera memeriksakan diri ke dokter agar bisa dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui progesivitas penyakit.

▪ Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk dimungkinkan pengobatan dan perawatan
yang lebih intensif atau mengikuti saran untuk dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi.

▪ Mematuhi anjuran dokter untuk melakukan pengobatan dan kontrol teratur.

Rehabilitatif

e. Rehabilitation : Sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu yang sudah sembuh atau
terkontrol dalam usaha memulihkan fungsinya serta program rehabilitasi, untuk mengembalikan
pasien ke masyarakat dan berfungsi sebaik mungkin agar mereka dapat hidup dan bekerja secara
wajar, atau agar tidak menjadi beban orang lain.

Sasaran untuk pasien:

▪ Pasien diminta untuk tetap melakukan kontrol secara rutin ke fasilitas layanan kesehatan untuk
dilakukan pemantauan pengobatan dan melihat perkembangan penyakit.

▪ Penggunaan obat-obatan secara bijaksana sesuai dengan anjuran dokter.

PROGNOSIS

Pasien

Quo ad vitam : Dubia ad Bonam

Quo ad functionam : Dubia ad Bonam

Quo ad sanactionam : Dubia ad Bonam

35
Prognosis pasien dubia et bonam. Tidak terlihat terlihat adanya komplikasi yang terjadi. Pasien
sudah mendapatkan pengobatan yang tapat. Selain itu pasien juga selalu mendapatkan dukungan
dari keluarganya.

Keluarga

Prognosis kesehatan keluarga saat ini dubia et bonam karena meskipun memiliki risiko untuk terjadi
rinitis alergi karena rinitis alergi bisa terjadi dikarenakan adanya factor salah satunya adalah
genetik, namun keluarga sudah cukup mengetahui cara mencegah terjadinya rinitis alergi.

36
BAB IV

ANALISIS KASUS

Diagnosis rinitis alergi ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta


pemeriksaan penunjang. Anamnesis rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Pada kasus
ini pasien mengeluh bersin-bersin, hidung meler serta hidung tersumbat. Pasien mengaku
memlihara kucing yang dapat menjadi salah satu sumber alergen.

Pemeriksaan fisik rinitis alergi dengan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertropi. Pada pemeriksaan fisik pasien di dapatkan cavum nasi sempit, mukosa
pucat dan basah, dan terdapat sekret encer.

Penatalaksanaan pada pasien adalah dengan menghindari paparan alergen serta pemberian
obat-obatan yaitu antihistamin generasi kedua yaitu Cetirizine dan kortikosteroid intranasal yaitu
Triamcinolone acetonide.

37
Foto Pasien

Kamar mandi pasien jarang dibersihkan sehingga


dapat menjadi sarang bakteri atau virus yang
dapat menimbulkan penyakit bagi pasien di
kemudian hari

38
Kamar pasien terlalu banyak benda dan kurang
mendapat pencahayaan. Masalah yang dapat
timbul karena terlalu banyak benda berupa
banyak debu yang justru dapat memicu terjadinya
penyakit rhinitis alergi.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Marcdante K J, et al. 2011. Rinitis Alergi in Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi
keenam. Elsevier. IDAI; Vol 79 h350-353.

2. Irawati Nina et al. 2012. Rhinitis Alergi ini Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. FKUI. h106-111.

3. Wheatley LM, Togias A. Allergic Rhinitis. N Engl J Med. 2015. 29; 372(5):

4. Small P, et al. Allergic rhinitis. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):51

5. Busquets J, et al. Next-generation Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA)
guidelines for allergic rhinitis based on Grading of Recommendations Assessment,
Development and Evaluation (GRADE) and real-world evidence. J ALLERGY CLIN
IMMUNOL VOLUME 145, NUMBER 1

6. Abdullah B, Singh S. Surgical Interventions for Inferior Turbinate Hypertrophy: A


Comprehensive Review of Current Techniques and Technologies. Int. J. Environ. Res.
Public Health 2021, 18

7. Gotua M, Gamkrelidze A, Rukhadze M, Abramidze T, Bochorishvili E, et al. 2020 ARIA


care pathways for allergic rhinitis – Georgia. Georgian MedicalNews. 2020. (297)12; 108-
16

8. Bousquet J, Schunemann HJ, Samolinski B, Demoly P, Bachert C, et al. Allergic Rhinitis


and its Impact on Asthma (ARIA): Achievements in 10 years and future needs. American
Academy of Allergy, Asthma & Immunology. 2012.1-4

40

Anda mungkin juga menyukai