Anda di halaman 1dari 17

IMUNOTERAPI PADA NASAL ALERGI

I. PENDAHULUAN

Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh Von Pirquat pada tahun 1906, yang
pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti
pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. 7
Nasal alergi merupakan salah satu penyakit alergi yang secara klinis
didefinisikan sebagai suatu gejala kelainan hidung karena proses inflamasi yang
diperantarai oleh IgE akibat paparan alergen pada mukosa hidung. Gejala nasal alergi
meliputi hidung gatal, bersin-bersin berulang, rinore seros dan hidung tersumbat yang
bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Penyakit nasal alergi
tidak fatal tetapi pada yang mempunyai gejala berat dapat mengganggu prestasi belajar
atau sekolah dan dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. Selain itu jika tidak
10,11
mendapat pengobatan dapat terjadi komplikasi ke organ sekitarnya.
Salah satu jenis penanganan nasal alergi adalah imunoterapi. Imunoterapi atau
desensitisasi atau hiposensitisasi adalah pemberian ekstrak alergen kepada penderita
alergi yang jumlahnya secara perlahan ditingkatkan dengan tujuan menghilangkan
gejala yang ditimbulkan pajanan dengan alergen yang merupakan penyebab penyakit.
1,2,4,8

II. PATOGENESIS NASAL ALERGI


Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk nasal alergi maka dapat dibedakan
ke dalam fase sensitisasi dan elisitasi. Fase elisitasi kemudian dibedakan lagi menjadi
tahap aktifasi dan tahap efektor.3,6,7,11
1. Fase sensitisasi
Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti
tepung sari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama
inhalasi udara napas. Alergen/antigen yang terdeposit pada mukosa hidung
tersebut kemudian diproses oleh makrofag/sel dendrit yang berfungsi sebagai
fagosit dan sel penyaji antigen (APC = Antigen Presenting Cell) yang berikatan
dengan tempat pengenalan antigen dari kompleks MHC klas II. Sel APC ini akan

1
mengalami migrasi ke adenoid, tonsil, dan limfonodi. Pada penderita atopi,
reseptor T (TCR) pada limfosit Th0 bersama molekul CD4 dapat mengenali
peptida yang disajikan oleh APC. Kontak simultan yang terjadi antara reseptor
sel T (TCR) bersama molekul CD 4 dengan MHC klas II, CD 28 dan B 7 serta
molekul asesori pada sel T dengan ligand pada sel APC memicu terjadinya
rangkaian aktifitas pada membran sel, sitoplasma maupun nukleus sel T yang
hasil akhirnya berupa produksi sitokin.
Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seseorang yang
mempunyai bakal alergi (atopi) dan presentasi alergen oleh APC kepada sel B
disertai adanya pengaruh IL 4 memacu sel B untuk memproduksi IgE yang terus
bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan
sebagaian diantaranya berikatan dengan reseptornya (Fcξ-R1) dengan afinitas
tinggi di permukanna sel basofil dan sel mast. Sel mast kemudian masuk ke
venula postkapiler di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada
dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung. Dalam keadaan ini
maka seseorang dikatakan dalam keadaan sensitif atau sudah tersensitisasi.
Dalam fase ini seseorang dapat belum mempunyai gejala nasal alergi atau
penyakit yang lain, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang
positif

2. Fase Elisitasi
A. Tahap aktifasi
Pada seseorang atopi yang sudah sensitif/tersensitisasi jika terjadi paparan
ulang dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada
mukosa hidung dapat terjadi ikatan antara dua molekul IgE yang berdekatan
pada permukaan sel mast dengan alergen.
Ikatan ini memacu aktivasi guanosine triphosphate (GTP) binding protein
yang mengaktifkan anzim phospholipase C untuk mengkatalisis phosphatidyl
inositol biphosphate (PIP 2) menjadi inosotol triphosphate (IP 3) dan diacyl
glycerol (DAG) pada membran PIP2. Hasil akhir aktifasi ini adalah terbentuknya
prostaglandin D2 (PGD2), leucotrien C4 (LTC-4), dan platelet activating factors

2
(PAF) dan eksostosis granula sel mast yang berisi mediator kimia histamin,
triptase dan bradikinin.
Histamin merupakan mediator penting yang dilepaskan sel mast karena
histamin dapat mengakibatkan lebih dari 50 % gejala reaksi alergi hidung.
Histamin mempunyai efek langsung pada endotel yaitu meningkatkan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan proses transudasi yang memperberat
gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf nociceptif tipe C pada mukosa
hidung yang berasal dari N. V menyebabkan rasa gatal pada hidung dan
merangsang timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada kelenjar karena
aktifitas refleks para simpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar
yang menyebabkan gejala rinore seros. Selain itu histamin juga menyebabkan
gejala hidung tersumbat karena menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
mukosa hidung terutama konka. Gejala yang segera timbul setelah paparan
alergen disebut reaksi fase cepat atu reaksi fase segera (RFS)
B. Tahap Efektor
Apabila mediator kimia yang menyebabkan reksi fase segera telah
mengalami metabolisme dan bersih dari mukosa maka gejala-gejala klinik akan
berkurang. Setelah reaksi fase segera dengan adanya pelepasan sitokin dan
aktifasi endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat (RFL). Reaksi fase
lambat terjadi pada sebagian penderit (30 – 35 %), yang terjadi antara 4 – 6 jam
setelah paparan alergen dan menetap selama 24 – 48 jam. Gambaran khas RFL
adalah tertariknya berbagai macam sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi
alergi yang merupakan sel efektor mayor pada reaksi alergi kronik seperti nasal
alergi dan asma bronkial. Eosinofil dalam perjalannya dari sirkulasi darah sampai
ke jaringan /lokasi alergi melalui beberapa tahap seperti migrasi (perpindahan)
eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan secara
reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi yang diikuti perlekatan
pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adhesi
endotel seperti ICAM-1 (Inter Cell Adhesi Molecul -1) dan VCAM-1 (Vascular Cell
Adhesi Molecul – 1). ICAM-1 juga diekspresikan oleh epitel mukosa hidung
penderita nasal alergi yang mendapatkan paparan alergen spesifik terus-

3
menerus dan menjadi dasar konsep adanya Minimal persistent Inflamation (MPI)
yang terlihat pada rinitis alergi terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam
keadaan bebas gejala.

Klasifikasi Rinitis Alergi (ARIA WHO 2001) 11


Berdasarkan lamanya penyakit :
1. Rinitis alergi intermiten
Yaitu jika penderita mempunyai gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
penyakitnya baru berlangsung 4 minggu
2. Rinitis alergi persisten
Yaitu bila penderita mempunyai gejala lebih dari 4 hari/minggu dan penyakitnya
sudah berlangsung lebih dari 4 minggu

Berdasarkan beratnya penyakit :


1. Rinitis alergi ringan
Jika gejala pileknya tidak mengganggu tidur, aktifitas sehari-hari, dan tidak
mengganggu kerja atau sekolah
2. Rinitis alergi sedang-berat
Yaitu jika gejala pileknya mengakibatkan gangguan pada satu atau lebih aktifitas
berikut : tidur, aktifitas sehari-hari, sekolah atau kerja.

III. PENANGANAN NASALALERGI


Pedoman terapi nasal alergi yang selama ini dipakai adalah yang
direkomendasikan oleh ARIA WHO adalah9
 Menghindari alergen
 Farmakoterapi
 Imunoterapi spesifik
 Edukasi
 Pembedahan

4
IV. IMUNOTERAPI

1. Sejarah imunoterapi 4,5,9


Imunoterapi spesifik (ITS) pertama kali digunakan untuk mengobati nasal
alergi musiman (polinosis) yang dilakukan oleh Noon dan Freeman pada
tahun 1911 dengan menyuntikkan subkutan ekstrak tepung sari rumput-
rumputan.
Imunoterapi subkutan (Subcutaneus Immunotherapy / SIT) secara luas
dilakukan termasuk di Indonesia dengan hasil yang memuaskan dalam
mengurangi gejala nasal alergi dalam jangka panjang. Rute sublingual
(Sublingual Immunotherapy / SLIT) akhir – akhir ini mulai dilakukan terutama
pada kasus rinitis dan asma. SLIT pertama kali diteliti secara double blind
dengan control pada tahu 1966 dan semenjak itu mulai banyak dilakukan
karena cukup aman dan efektif serta cukup menyenangkan terutama untuk
anak.
WHO telah menyetujui dan menganjurkan untuk mengganti istilah ‘ekstrak
alergen’ menjadi ‘ vaksin alergen’, karena bahan yang digunakan pada ITS
tidak hanya merupakan ekstrak tidak murni, tetapi untuk alergen utama
sudah mempunyai unit biologik dan atau dalam mikrogram

2. Mekanisme ITS4
A. Blocking Antibody
Pada tahun 1930 Cook dkk, menduga bahwa ITS berhubungan
dengan “blocking antibody” yang kemudian ternyata merupakan blocking
antibody berupa IgG. IgG terutama IgG4 diduga akan menangkap alergen
yang masuk tubuh sebelum alergen diikat oleh IgE pada permukaan
basofil/sel mst yang merupakan efektor, sehingga tidak terjadi aktifasi dan
degrnulasi sel-sel tersebut.

5
Orang yang mengandung IgE terhadap alergen memiliki sel B
memori yang memberikan respons terhadap alergen untuk berkembang
menjadi sel plasma yang memproduksi IgE spesifik. IgE tersebut diikat
oleh FCξ-R pada sel mast. Degranulasi sel mast terjadi bila orang tersebut
terpajan ulang dengan alergen yang sama. Suntikan alergen yang
berulang kali akan meginduksi respon IgG melalui rangsangan sel B
spesifik yang belum menunjukkan pengalihan kelas. IgG tersebut akan
diproduksi dalam jumlah yang lebih besar dibanding IgE dan akan
berkompetisi dengan efektif untuk alergen yang sama, sehingga akan
mencegah alergen untuk menrangsang sel B memori. Dengan demikian
alergen tidak akan diikat sel mast oleh karena sudah disingkirkan sebelum
dapat diikatnya.
Induksi sel B yang alergen spesifik pada ITS diduga memproduksi
antibody IgA dan IgM. Beberapa studi menunjukkan bahwa IgG 4
berhubungan dengan perbaikan klinis. ITS yang diberikan untuk jangka
waktu lama menimbulkan pengalihan sintesis IgG1 ke- IG54 IgG 1
meningkat, kemudian menurun setelah 2 tahun imunoterapi. IgG lebih
tinggi pada akhir tahun pertama bila dosis perawatan diberikan setiap
minggu dan menurun bila dosis perawatan dijarakkan menjadi
sekali/bulan

6
4
Gambar 1. Desensitisasi
(dikutip dari Baratawidjaya KG, 2006)

B. Penurunan IgE
IgE spesifik dalam serum dan pada sel efektor di jaringan pasien
alergi merupakan ciri penyakit atopi. ITS sering menginduksi peningkatan
IgE serum yang sementara diikuti oleh penurunan perlahan dalam
beberapa bulan atau tahun ITS. Penurunan kadar IgE lambat, relatif kecil,
dan hampir tidak berhubungan dengan menurunnya respon terhadap
alergen spesifik akibat ITS, hal ii belum dapat diterangkan.

C. Perubahan imunologik
Berbagai perubahan imun yang ditemukan pada ITS adalah sebagai
berikut :
 IgE spesifik total menurun.
 Pajanan alergen musiman tidak meningkatkan IgE.
 Peningkatan blocking antibody IgG1 (puncak pada 2 – 3 bulna) dan
IgG4 (puncak pada 2 bulan)
 Peningkatan afinitas sel Ts
 Penurunan pelepasan histamin oleh sel mast
 Penurunan faktor kemotaktik eosinofil
 Penurunan IL 4, IL 5, IL 10 dan peningkatan IL 13 dan sekresi
nasal, peningkatan IgA dan IgG spesifik.

D. Pengalihan respons Th2 – Th1


Pada dasarnya penyakit alergi adalah penyakit imunologis yang
berhubungan dengan aktifasi sitokin Th2 terutama IL 4, IL 5 dan/atau IL
13. ITS diaplikasikan untuk menghindari respons imun IgE yang terjadi
dengan perantaraan sel Th2 melalui induksi respons IgG dengan memacu
pengalihan ke respons Th1.

7
Imunoterapi spesifik mengurangi pelepasan sitoki Th2 dan
meningkatkan sitokin Th1 (IL 12) dan sitokin anti inflamasi (IL 10) yang
menurunkaan inflamasi saluran napas.

Gambar 2. Peranan sitokin Th2 (IL 4 dan IL 13) pada sintesis IgE dan
4
inflamasi yang terjadi dengan perantaraan IgE
(dikutip dari Baratawidjaya KG, 2006)

E. Produksi IL 10 dan anergi sel T


ITS menginduksi produksi produksi IL 10 dengan sifat autokrin
yang menibulkan anergi spesifik pada sel T perifer. ITS menurunkan
perbandingan IgE-IgG4 antigen spesifik dalam darah perifer. Sel T

8
melepas sitokin yang esensial untuk priming, hidup dan aktifasi sel efektor
inflamasi. Oleh karena itu, aktifsi sel T spesifik berhubungan langsung
dalam patogenesis inflamasi alergi. IL 10 tidak hanya menginduksi anergi
sel T, tetapi juga mencegah aktifasi reaksi inflamasi oleh mast sel dan
eosinofil. Th2 yang memproduksi sitokin inflamasi dapat pula ditekan oleh
pemberian alergen dengan dosis yang menghasilkan milieu sitokin
dengan dominasi IFN-γ.
Pemberian alergen dosis tinggi yang terus-menerus akan
meimbulkan anergi spesifik pada sel T perifer. Anergi tersebut ditandai
oleh adanya penurunan respon sitokin sel T yang disertai dengan
peningkatan produksi IL 10. IL 10 menekan sel T spesifik secara autokrin,
juga produksi IgE spesifik dan meningkatkan produksi IgG4. Akibatnya
adalah penurunan aktifasi, priming dan masa hidup sel-sel efektor
inflamasi. Sel T yang anergi dapat diaktifkan kembali oleh sitokin IL 12
dan/atau IL 5 yang berasal dari lingkungan mikro jaringan untuk
memproduksi sitokinTh0/Th1. Pada orang atopi, IL 4 dapat
mengembalikan pengalihan ke jalur sitokin Th2 dan mengaktifkan kembali
respon alergi.

Gambar 3. Mekanisme imunologik ITS 4


(dikutip dari Baratawidjaya KG, 2006)

9
F. Perbedaan dalam presentasi antigen
Presentasi protein alamiah menggunakan jalur IgE yang memacu
produksi sitokin sel Th2. Kadar tinggi IL 4 dan IL 13 diproduksi melalui
jalur IgE klasik yang memacu lebih banyak produksi IgE, sedang produksi
IL 10 mengaktifkan dan memperpanjang hidup eosinofil. Mengingat efek
samping ITS dan diperlukannya dosis perawatan yang tinggi pada ITS,
mungkin dosis tersebut tidak dapat dicapai dengan vaksin alergen
alamiah.
Mekanisme uptake yang menggunakan jalur dengan mekanisme
antigen pinositik yang menginduksi sitokin Th0/Th1 akan menurunkan
produksi IgE dan meningkatkan IgGoleh sel B memori. Dengan memotong
jalur IgE dan menjadikan sel T menjadi sasaran alergen yang dimodifikasi,
maka dosis tinggi untuk menginduksi toleransi sel Th2 tanpa risiko
anafilaksis akan dapat diberikan.

3. Jenis vaksin
Vaksin alergen dengan kualitas tinggi adalah esensial untuk diagnosis dan
terapi. Vaksin yang distandarisasi untuk D. farinae, D. pteronyssinus, kucing,
anjing, dan rumput-rumputan, Altenaria dan Kladosporium dan bisa
Hymenoptera sudah dapat diperoleh. Potensi vaksin dipengaruhi oleh lama
penyimpanan, suhu, dan konsentrasi.
Beberapa vaksin yang dapat diperoleh berupa :
 Vaksin dalam air ; banyak digunakan
 Vaksin dalam air yang dimodifikasi, berupa agregasi protein
menurunkan alergenisitas, sedang imunogenisitas dipertahankan.

4. ITS alternatif dan Rush specific immunotherapy


Efek imunoterapi spesifik (ITS) melalui rute lain telah dipelajari dengan
harapan menemukan cara pemberian yang lebih mudah yang juga dapat
meningkatkan kepatuhan dan efikasi serta menurunkan efek samping

10
A. ITS nasal
Studi telah dilakukan dengan vaksin dalam air yang disemprotkan
(tepung sari dan tungau debu rumah) terhadap mukosa nasal. Efek
samping utamanya adalah gatal, bersin, rinore dan hidung tersumbat yang
cukup berat pada beberapa subyek. Efikasinya terhadap asma,
konjungtivitis atau kulit yang alergi belum diketahui.

B. ITS oral
ITS oral telah digunakan dalam usaha mengurangi efek sistemik.
Studi awal tidak menunjukkan efikasi, mungkin oleh karena terjadi
degradasi alergen yang berarti oleh saluran cerna. Efek samping seperti
nausea, muntah, diare dan sakit perut sering ditemukan.

C. ITS sublingual
Studi-studi ITS sublingual melaporkan efikasi yang variabel. Studi
di Eropa menunjukkan penururnan gejala, tetapi studi di Amerika Serikat
selama 3 bulan menggnakan dosis tinggi tidak menunjukkan efikasi.

D. Rush SIT
ITS cepat atau rush SIT telah dikembangkan. Protokol ini
dikembangkan dengan menyuntikkan alergen dalam jumlah besar hanya
untuk selama beberapa jam-hari. Peningkatan dosis yang sangat cepat ini
sering disertai peningkatan reaksi lokal dan sistemik.

5. Indikasi dan kontra indikasi ITS3,4,8


A. Indikasi ITS pada nasal alergi
 Bila antihistamin dan pengobatan lokal tidak cukup mengontrol
gejala.
 Tidak menginginkan farmakoterapi
 Terjadi efek yang tidak dikehendaki akibat farmakoterapi.

11
 Tidak menginginkan farmakoterapi untuk jangka waktu lama.
B. Kontra idikasi ITS
 Asma tidak stabil / tidak terkontrol
 Hamil
 Pasien dengan kontraindikasi adrenalin
 Subyek dengan β-blocker
 Penyakit kronis
 Subyek dengan kepatuhan buruk
 Kelainan psikososial yang berarti
 Hipersensitivitas, tidak hanya yang diperantarai IgE (Alergic
Bronchopulmonary Aspergillosis dan Hypersensitivity Pneumonitis)

6. Efek samping dan pengobatan reaksi ITS


A. Efek samping
Risiko utama ITS adalah anafilaksis. Reaksi sistemik yang terjadi
setelah ITS bervariasi antara < 1 % pasien yang mendapat ITS
konvensional sampai > 36 % pada pasien yang mendapat rush SIT
Pembagian efek samping terlihat sebagai berikut :
1. Reaksi nonspesifik
Reaksi ini diduga tidak terjadi dengan perantaraan IgE ; gejalanya
berupa rasa tidak nyaman, sakit kepala, artralgia dan sebagainya.
2. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal dapat berupa pingsan, hipotensi yang disertai
bradikardi. Dapat ditemukan kulit dingin ataupanas, keringatan, dan
mual. Tidak diperlukan pengobatan. Biasanya menunjukkan respon
cepat dalam posisi terlentang.
3. Reaksi lokal
Bercak kemerahan dan bengkak di tempat suntikan. Pengibatannya
dengan pemberian antihistamin atau mengurangi dosis ITS. Steroid
topikal atau sistemik kadang diperlukan.
4. Reaksi sistemik

12
Manifestasi dapat berupa :
 Kemerahan, sensasi panas, diaforesis
 Urtikaria, rasa sangat gatal di telapak tangan / kaki ataukepala
 Rasa tercekik
 Dada tertekan, mengi, sesak
 Bersin
 Batuk paroksismal, stridor, disfoni
 Nausea, muntah, pusisng, pingsan.
 Takikardi, hipotensi
 Angioedema, konjungtivitis
 Rasa logam di mulut
 Kontraksi kandungan
Efek samping sistemik tersebut dapat dibagi dalam derajatnya sebagai
berikut :
 Ringan sistemik
 Tidak mengancam jiwa
 Syok anafilaksis

B. Pengobatan efek samping


Reksi local dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi antihistamin
atau dengan kantong es di tempat suntikan. Bila reaksi lokal besar (> 2
cm), dosis ITS diturunkan. Bila terjadi anafilaksis, dilakukan penanganan
sebagai berikut :

1. Tentukan derajat berat reaksi dengan menilai napas, kesulitan


menelan, mengi, dan gerak napas yang cepat.
2. Untuk kemerahan kulit saja, berikan antihistamin kerja cepat (misalnya
difenhidramin 50 mg oral atau im 5 mg/kg) diikuti antihistamin kerja
lama ( 50 mg hydroksizin eliksir oral atau im 1 mg/kg) ata ulang
difenhidramin setiap 4 jam untuk 8 – 12 jam. Awasi pasien sampai
kemerahan kulit menghilang dan yakin gejala lain tidak timbul.

13
Pemberian alternatif adrenalin dapat diberikan im dengan dosis 0,15
ml (anak) atau 0,30 ml (dewsa) 1 : 1000
3. Untuk reaksi vagal, dudukkan atau rebahkan pasien, berikan rangsang
bau-bauan atau atropin 0,30 mg (anak) atau 0,60 mg (dewasa) im/iv.
Sementara siapkan pemberian cairan iv ; pantaulah tekanan darah dan
denyut jantung sampai menjadi normal.
4. Untuk reaksi sistemik dengan keterlibatan saluran napas atau
anafilaksis :
Dudukkan pasien, jangan baringkan pasien dengan kesulitan
bernapas. Pasang torniket di atas tempat suntikan. Berikan epinefrin 1
: 1000, 0,01 ml/kg sampai 0,30ml (anak) im, ¼ dosis di tempat
pemberian ITS dan ¾ dosis di atas torniket. Epinefrin dapat diulang
setiap 3-5 menit.
5. Siapkan nebulizer, baik untuk anak atau dewasa, albuterol 0,05 ml
dalam 2,5 ml garam fisiologis atau dengan epinefrin 1 : 1000, 0,05 ml
dengan atau tanpa atropin 1ml (1 mg/ml) atau ipatropium bromide 2,5
ml.
6. Medikasi lain adalah pemberian difenhidramin 50 mg oral/im atau 5
mg/kg, H2 blocker seperti ranitidin 75 mg oral / 25 mg iv (sampai usia 6
tahun) 150 mgoral / 50 mg iv (usia 6 tahun dan lebih). Prednison 0,5 –
1 mg/kg oral atau metilprednisolon 0,5 – 1 mg/kg iv.
7. Siapkan pemberian cairan atau obat iv dan sediakan peralatan
resusitasi

7. Kegagalan ITS
Banyak sebab mengapa ITS gagal antara lain seleksi pasien. Penyakit
yang jelas terjadi dengan perantaraan IgE harus diidentifikasi dengan tes
alergi oleh dokter yang terlatih. Dengan seleksi yang baik, kegagalan
ditemukan oada 5 % kasus. Pengobatan pasien yang benat dengan antigen
yang salah seperti rinitis vasomotor yang terjadi tanpa perantaraan IgE, ITS
dapat menimbulkan kegagalan. Pajanan dengan antigen lingkungan yang

14
berlebihan, potensi alergen yang rendah, ITS yang belum cukup lama,
ketidakpatuhan pasien juga menimbulkan kegagalan ITS.

KESIMPULAN
Imunoterapi atau desensitisasiadalah pemberian suntikan alergen subkutan yang
jumlahnyaseara perlahan ditingkatkan dengan tujuan menghilangkan gejala yang
ditimbulkan penyakit tersebut.
Suntikan alergen yang berulang kali akan menginduksi respon IgG terutama
IgG4 yng merupakan blcking antibody. IgG4 ini akan menangkap alergen sebelum
diikat oleh IgE sehingga mencegah degranulasi sel mast/basofil yang bertanggung
jawab terhadap gejala alergi. Imunoterapi spesifik (ITS) juga akan mengurangi
pelepasan sitokin Th2 (IL 4, IL 5, dan IL 13) dan meningkatkan sitokin Th1 (IL 12) dan
sitokin anti inflamasi (IL 10) yang menimbulkan anergi spesifik sel T perifer.

Manfaat
Pengetahuan mengenai mekanisme dasar penyakit alergi dan mekanisme imunoterapi
akan dapat menghasilkan cara-cara manipulasi respon imun yang baru, yang lebih
aman dan efektif.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas AK. The Immune System in Disease, in Cellular nd Molecular


Immunology, Fifth edition, University of California, San Fransisco School of
medicine, San Fransisco, California : 448 – 452
2. Adkinson NF. Immunotherapy for Allergic Rhinitis, in the New England Journal of
Medicine, Johns Hopkins School of Medicine, Baltimore, 1999, vol 341 : 522 –
524
3. Ballenger JJ. Peran Hipersensitifitas dengan Perantaraan IgE pada Otitis Media
dan Rinitis, dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, edisi
ke-13, jilid 1. Alih bahasa oleh Staf Ahli Bagian THT, RSCM-FKUI, Binarupa
Aksara, Jakarta, 1994 : 176 – 179
4. Baratawidjaya KG. Imunoterapi, dalam Imunologi Dasar, edisi ke-7, FK-UI<
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006 : 462 –
484
5. Canonica GW, et al. Sublingual Immunotherapy in the Treatment of Adult Allergic
Rhinitis Patients, in Allergy, University of Genoa Padiglione Maragliano, Italy,
2006, vol 61 Issue s81 : 20
6. Clancy JR. Immediate Hypersensitivity, in Basic Concepts in Immunology, Layola
Univerity Medical Center, New York, 2000 : 117 – 123
7. Kresno SB. Penyakit Alergi, dalam Imunologi : Diagnosis dan Prosedur
Labortorium, edisi ke-4, FK-UI, Jakarta, 2003 : 315 – 328
8. Lee KJ. Immunology and Allergy, in essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery, Eighth Edition, Yale Unoversity School of Medicine, New York, 2003 :
292 – 295
9. Mulyarjo. Penanaganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi pada Simtom,
dalam Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini
Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi, Malang, 19 – 20
Agustus 2006 : 10.2.12 – 10.2.13
10. Parslow TG, et al. The Atopic Diseases, in Medical Immunology, Tenth Edition,
University of California, San Fransisco, 2006 : 356 – 359

16
11. Suprihati. Patofisioloi Rinitis Alergi, dalam Kumpulan Naskah Simposium
Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta
Rinitis Alergi, Malang, 19 -20 Agustus 2006 : 10.1.1 – 10.1.6

17

Anda mungkin juga menyukai