TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Rinitis
Rinitis adalah peradangan pada mukosa cavum nasi. Rinitis diklasifikasikan
menjadi rinitis alergi dan non alergi. Rinitis non alergi disebabkan oleh berbagai
etiologi.6
2.1.1. Rinitis Alergi
2.1.1.1.Definisi
Rinitis alergi (WHO ARIA 2001) adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin- bersin, rinore, rasa gatal, dan hidung tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar allergen yang diperantai oleh Ig-E.6
2.1.1.2.Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu6,7:
a. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal alergi musiman, hanya ada di negara 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur.
b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi
musim, dan dapat terjadi sepanjang tahun. Penyebab paling sering ialah alergen
inhalan dan alergen ingestan. Penyebab tersering pada orang dewasa adalah alergen
inhalan.
Saat ini yang sering digunakan adalah klasifikasi WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma). Berdasarkan sifat berlangsungnya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Rinitis alergi intermiten
adalah gejala
2.1.1.3.Epidemiologi
2.1.1.4.Etiologi
Penyebab terjadinya rhinitis alergi yaitu adanya reaksi hipersensitivitas tipe 1.
2.1.1.5.Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang berperan dalam rhinitis alergi, yaitu:9
a.
Faktor genetik
Faktor genetik berhubungan dengan riwayat atopi dalam keluarga menjadi
faktor risiko utama dalam perkembangan dari gejala-gejala alergi. Atopi merupakan
kondisi utama dalam berkembangnya
Pasien menjadi peka dan menghasilkan antibodi IgE dalam menanggapi allergen.
Mekanisme genetik atopi masih tidak sepenuhnya dipahami(Gambar 1). Beberapa
studi menunjukkan bahwa patogenesis penyakit alergi adalah kompleks dan mungkin
disebabkan oleh kontribusi dari faktor genetik dan lingkungan, terutama pada tahap
sensitisasi alergen.9
Gambar 1.
Faktor
risiko
b.
Faktor lingkungan
1)
Paparan alergen
Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
2)
Polusi udara
Paparan tingkat tinggi polutan termasuk nitrit oksida, ozon, sulfur dioksida,
c.
Faktor-faktor lain
Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan rinitis alergi, seperti perubahan
gaya hidup, modifikasi diet, variasi geografis, iklim, kondisi sosial ekonomi, struktur
keluarga atau sejarah, pemberian makan bayi, paparan alergen yang berlebihan
terutama pada awal kehidupan, dan rokok.9
Gambar 2.
Efek polusi
terhadap
penyakit
alergi
\2.1.1.6.Gejala Klinis
Rinitis alergi memiliki empat gejala klasik, yaitu: bersin-bersin, gatal pada
hidung,rinore, dan kongesti nasal. Pasien sering memiliki gejala non-nasal seperti
iritasi pada konjungtiva, gatal pada palatum, dan epifora. Pasien juga kadang
memiliki gejala sepert nyeri pada fontal dan periorbital, gangguan penciuman dan
rasa penuh ditelinga. Pasien dengan alergi sering memiliki keluhan fatigue, malaise,
kesulitan konstrasi, gangguan psikomotor.11
Pemeriksaan fisik pada rinitis alergi dapat ditemukan facial puffines, edema,
asimetris pada wajah. Pada mata dapat ditemukan injeksi konjungtiva dan eritema,
allergic shiner. Pada hindung terdapat allergic crease, allergic salute, rinore dan
deformitas. Pada orofaring terdapat dinding posterior farong tampak granular dan
edema (cobblestonning appearance on orofaring), hipertrofi adenoid pada anak-anak.
Rhinoskopi anterior ditemukan edema pada mukosa, basah, warnanya pucat (livide),
secret encer yang banyak.6,7
2.1.1.7.Pemeriksaan penunjang
a.
In vitro
Hitung eosinophil dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total (prist-
paper radio immune-sorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya memiliki rhinitis
alergi dan asma. Pemeriksaan ini juga berguna untuk prediksi kemungkinan alergi
pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan risiko yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay).
b.
In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/ SET).
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dengan berbagai
konsentrasi. Keuntungannya adalah selain dapat mengetahui alergen penyebab juga
dapat menentukan derajat alergi.
10
Intracutaneus
Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai gold standar dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
2.1.1.8.Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. 10,11,12 ditandai
dengan adanya vasodilatasi, kebocoran vascular.12 Kemudian late phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 2448 jam.10,11,12 Reaksi alergi fase lambat timbul tanpa harus terpajan ulang oleh antigen.
Reaksi fase lambat ditandai dengan adanya serbukan eosinophil, neutrophil, basophil,
monosit, sel T CD4+ ke jaringan dan disertai destruksi jaringan, yang biasanya
kerusakan sel epitel mukosa.12
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, sel dendritic
(makrofag atau monosit) yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
11
12
13
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating
Faktor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein
(EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase
ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat
gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi,10,12
2.1.1.9.Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penederita rinitis alergi
bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara benar, misalnya: sinusitis akut dan
kronik, polip hidung , perkembangan abnormal karniofasial, otitis media efusi, sleep
apneu, dan meningkatkan kecenderungan terkena asma. 13
2.1.1.10.Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada rinitis alergi dapat berupa nonfarmakologi dan farmakologi:
a.
Nonfarmakologi
14
Farmakoterapi
1)
Antihistamin
Antihistamin yang dipaki adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 pada mukosa nasal, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi.7,10 Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi
dengan
15
Dekongestan
Kongesti nasal adalah gejala utama dari kebanyakan pasien rhinitis alergi.
kepala, iritabilitas. Dekongestan harus diberikan dengan hati-hati pada pasien yang
memiliki penyakit jantung, hipertensi dan glaucoma.7
3)
Kortikosteroid
Steroid efektif untuk rintiis alergi dan rhinitis non alergi. Steroid tersedia dalam
bentuk oral, parenteral, dan topikal. Oral kortikosteroid dapat digunakan dalam waktu
yang singkat dengan gejala yang signifikan. Kortikosteroid topikal merupakan terapi
primer untuk rhinitis alergi dan non alegi, Kortikosteroid topikal dapat menurunkan
kemotaktik neutrophil dan eosinophil di dalam hidung, mengurangi aktifitas limfosit,
dan dapat mengurangi edema. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
16
Leukotrien Modifiers
Leukotrien berkontribusi terhadap hidung tersumbat pada rhinitis alergi.
Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Metode imunoterapi yang umum dilakukan ada 2 cara,
yaitu intradermal dan sub-lingual.10
7)
Operatif
17
Terapi operatif bukan terapi utama untuk rhinitis, operatif dapat memberikan
keuntungan pada pasien dengan kongesti nasal yang signifikan. Terapi operatif pada
konka inferior dapat mengurangi resistensi nasal dan meningkatkan aliran darah
hidung tetapi reseksi yang agresif juga dapat menyebabkan kering pada hidung dan
penyumbatan hidung.7
Definisi
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan ideopatik yang didiagnosis tanpa
18
Serabut sipatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginervasi
terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis
melepaskan ko-transmitter noradrenalin dan neuropeptida Y yang menyebabkan
vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi
sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang
bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai siklus nasi. Dengan adanya
siklus ini , seorang mampu untuk dapat bernapas dengan tetap normal melalui rongga
hidung yang berubah-ubah luasnya.14
Serabut saraf parasimpatis berasal nucleus salivatori superior menuju ganglion
sfenopalatina dan membentuk n.Vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darah
dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan kotransmitter asetilkolin dan vasoaktif interstinal peptida yang menyebabkan
peningkatan seresi hidung dan vasodilatasim sehingga terjadi kongesti hidung.14
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini berkerja belumlah diketahui dengan pasti
tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima impuls eferen,
termasuk rangsang emosional dari pusat yang lebih tinggi, Dala keadaan hidung
normal, persarafan simpatis lebih dominan. Rinitis vasomotor diduga sebagai akibat
dari ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang berupa
bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.14,15
2)
Neuropeptida
19
Nitrit Oksida
Kadar nitrit oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ata nekrosis epitel sehingga rangsangan non
spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan
reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment reflex vascular dan kelenjar mukosa
hidung.14
4)
Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma
Gejala Klinik
Pada rinitis vasomotor, gejala tersering dicetuskan oleh berbagai rangsangan
non spesifik seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol,
makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan
kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan stress/emosi. Pada keadaan normal
faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
20
Kelainan ini mempunayi gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun gejala
yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada
posisi pasienm selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa, Keluhan ini jarang
disertai degan gejala mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelanani dibedakan dalam 3 golongan, yaitu
1) golongan bersin, gejalanya biasanya memberikan respon yang baik dengan
terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal.
2) golongan rinore, hejala dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik topikal.
3) golongan tersumbat kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan
terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral.14
d.
Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara rksklusi, yaitu menyingkirkan
adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis
dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Pada pemeriksaaan rinoskopi anterior tampak gambarang yang khas berupa
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua tetapi dapat pula
pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi, Permukaan konka dapat licin atau
21
berbenjol-benjol (hipertropi). Pada rongga hidung terdapat secret mukoid. Akan tetapi
pada golongan rinore secret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis
alergi kadang ditemukan juga eosinofik oada secret hidung akan tetapi dalam jumlah
sedikit, Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.14
e.
Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada rinitis vasomotor bervariasi tergantung pada faktor
oenyebab dan gejala yang menonjol. Seccara garis besar dibagi dalam:
1) Mengindari stimulus/ faktor pencetus
2) Pengobatan simtomatis dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung
dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan
AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Dapat juga diberikan kortikosteroid
topikal 100-200 mikrogram. Dosis dapat ditingkatakan sampai 400 mikrogram
sehari. Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2
minggu, Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti
flutikason propionate dan mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali
sehari dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan rinore yang beratm dapat
ditambahkan dengan antikolinergik topikal (ipratropium bromide). Saat ini
sedang dalam penelitian adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin
topikal yang mengandung lada.
22
Prognosis
Prognosis pengobatan golongan obsturksi lebih baik daripada golongan rinore.
Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan
pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.
2.1.2.2.Rinitis Medikamentosa
a.
Definisi
Rinitis medikamentosa merupakan suatu kelainan hidung berupa gangguan
Etiologi
Beberapa obat berikut ini dapat menyebakan rinitis medikamentosa, yaitu
23
fisik didapatkan adanya hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan.16
d.
Patofisiologi
Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berulang dalam waktu lama akan
Penatalaksanaan
Hentikan pemakaian obat-obatan pencetus. Untuk mengatasi sumbatan
berulang dapat diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek yang dosis
24
diturunkan secara bertahap atau dapat juga dengan pemberian kortikosteroid topikal
selama minimal 2 minggu.16
2.1.2.3.Rinitis Hormonal
a.
Definisi
Rinitis hormonal yaitu rhinitis yang beruhubungan dengan metabolik dan
endokrin yang sering dihubungkan dengan peningkatan kadar estrogen. Keadaan ini
sering dijumpai, yaitu 22% pada wanita hamil yang tidak merokok dan 69% pada
wanita hamil yang merokok.17,18
b.
Etiologi
Hormonal seperti estrogen, beta estradiol dan progesteron. Rhinitis hormonal
Patofisiologi
Estrogen diketahui meningkatkan kadar asam hialuronik di mukosa hidung
yang menyebabkan sumbatan pada hidung, selain itu juga meningkatkan sekresi
mukus. Selain itu, beta estradiol dan progesteron yang menyebabkan peningkatan
histamin dan menyebabkan sumbatan hidung.17
d.
rinnorhe, keluhan yang jarang yaitu gatal-gatal pada hidung dan bersin. Pasien
25
dengan rhinitis non alergi juga kadang menimbulkan gejala konjungtivitis seperti
mata gatal, berair, kemerahan, bengkak. 18
e.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sesuai penyakit yang mendasari dan simptomatik. Beberapa
Definisi
Rinitis okupasi adalah suatu peradangan pada mukosa hidung yang ditandai
dengan hidung tersumbat, bersin bersin, rhinorrehea, dan gatal yang disebabkan
oleh bahan iritan di lingkungan kerja dan tidak ditemui rangsangan bahan iritan di
luar tempat kerja.19
b.
Epidemiologi
Angka kejadan Rinitis okupasi menurut peneitian pada tahun 1990-an
melaporkan bahwa kejadian Rinitis okupasi lebih banyak pada orang yang bekerja
26
menjadi tukang roti, peternak, pekerja pabrik pengolah makanan, dokter hewan,
petani, perakit produk elektronik, dan pekerja pembuat perahu.
Proses sensitisasi yang dilakukan di laboratorium, didapatkan bahwa bulu
binatang dan tepung merupakan dua agen yang paling umum sebagai penyebab
Rinitis okupasi.19
c.
Etiologi
Ada lebih dari 200 agen yang telah dikaitkan dengan Rinitis okupasi, Namun,
agen penyebab penyakit yang dapat secara luas diklasifikasikan berdasarkan berat
molekulnya, berat molekul tinggi (HMW) dan berat molekul rendah (LMW).
Agen berat molekul tinggi (HMW) cenderung dari bahan organik dan dengan
demikian berasal dari tanaman (misalnya, karet alam protein lateks, tepung, debu),
mikroorganisme (misalnya, cetakan, enzim bakteri), atau hewan (misalnya, bulu
binatang, protein ikan) Contoh pekerjaan yang menyebabkan Rinitis okupasi
termasuk pekerja pizzeria terkena tepung beras, seorang petani penanam padi dan
petani jagung (serbuk sari).
Agen berat molekul rendah (LMW) sebagian besar senyawa anorganik
termasuk diisosianat, anhidrida, logam, dan obat-obatan tertentu. Misalnya,
anhidrida trimelita dan anhidrida hexahydrophthalic. Keduanya terkait dengan
Rinitis okupasi pada pekerja industri penata rambut dan perawatan kecantikan,
penyebab lainnya yang dapat menyebabkan Rinitis okupasi yaitu zat pemutih yang
mengandung persulfat, pewarna rambut yang mengandung parafenilena diamina atau
27
dan pasase udara menurun yang disebabkan oleh bahan iritan di lingkungan kerja dan
tidak ditemui rangsangan bahan iritan di luar tempat kerja.
e.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien yang dicurigai Rinitis okupasi dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti tes alergi diantaranya Skin Prick Test, tes alergen nasal, dan
RAST (
Penatalaksanaan
Penatalaksanaa Rinitis okupasi prinsipnya untuk menghindari dari paparan
28
sensitisasi. Hal ini terutama penting untuk memantau pasien dengan potensi
Rinitis okupasi untuk mencegah terjadinya asma.
Strategi dari pencegahan tersier di rinitis okupasi tetap fokus untuk
menggurangi paparan agen, dalam sebuah studi dari rumah kaca paprika pekerja
dengan rinitis okupasi, yang meninggalkan pekerjaan mereka melaporkan
peningkatan kualitas kehidupannya secara signifikan dibandingkan dengan pekerja
yang terkena paparan terus menerus.
Pengobatan medikamentosa diberikan antihistamin, dekongestan, kortikosteroid
intranasal, antibiotik dan imunoterapi. Antihistamin yang diberikan khususnya
generasi baru yang non sedatif contohnya loratadine, cetirizine, dan terfenadine.
Antihistamin tersebut sangat efektif dan direkomendasikan untuk penderita rinitis
okupasi, mengingat mereka harus tetap bekerja tanpa khawatir oleh rasa kantuk.19,20
2.1.2.5 Rinitis Atrofi
a.
Definisi
Peradangan kronik yang mengenai mukosa hidung yang ditandai dengan adanya
atrofi yang progresif pada mukosa dan tulang hidung dengan gejala obstruksi pada
hidung, epistaksis, anosmia/cacosmia, nanah, krusta dan penyakit radang kronis pada
saluran napas bagian atas.21,22
b.
Epidemiologi
Sering terjadi pada wanita, terutama pada usia dewasa muda, sering ditemukan
pada sosial ekonomi rendah dan higenitas yang buruk dengan prevalensi berkisar 0,3-1%.
29
Etiologi
Penyebab paling sering yang dapat menyebabkan Rinitis atrofi sering disebabkan
1) Kokobasil
2) mucosus Bacillus
3) kokobasil foetidus ozaenae
4) basil Diptheroid
5) Klebsiella ozaenae.
Selain mikroorganisme diatas, ada beberapa faktor predisposisi lain yang dapat
menyebabkan Rinitis atrofii yaitu22,23:
1) Sinusitis kronik
2) Defisiensi gizi
3) Defisiensi vitamin A
4) Ketidakseimbangan endokrin
5) Penyakit autoimun
6) Keturunan
7) Penyakit kolagen
d.
30
Gejala klinis Rinitis atrofi adanya obstruksi hidung yaitu ketidak mampuan
untuk merasakan aliran udara, hidung kering dan tenggorokan kering, sering disertai
dengan krusta (kerak), gangguan penciuman mulai dari hiposmia hingga anosmia dan
cacosmia, sakit kepala, kelelahan, insomnia, dan kecemasan atau depresi.
Pada pemeriksaan klinis, dilihat dengan endoskopi hidung ditemukan adanya
pembesaran rongga hidung hingga choanae terlihat
kadang-kadang berkulit atau mukosa ulserasi dari rongga hidung. Dalam beberapa
kasus nasofaring terlihat Tidak adanya hipoplasia atau atrofi turbinat rendah dan /
atau menengah.21,22
e.
Penatalaksanaan
Pada Rinitis atrofi dapat dilakukan pengobatan konservatif dan operatif,
pengobatan konservatif mencakup pemberian antibiotika spektrum luas dan dosis kuat ,
dan dapat diberikan nasal douching untuk menghilangkan bau busuk, krusta dan secret
purulen, diberikan minimal dua kali dalam sehari dengan larutan :
1) Natrium bikarbonat - 28,4 g
2) Sodium diborate - 28,4 g
3) Natrium klorida - 56,7 g
Larutan tersebut dicampur dalam 280 ml air hangat, larutan dihirup / dimasukan
ke dalam hidung lalu di keluarkan dengan cara menghembuskan secara kuat, jika
terdapat ke nasofaring keluarkan melalui mulut.
Pengobatan operatif dapat dilakukan jika dalam pengobatan konservatif tidak
ada perbaikan, prosedur operasi dapat berupa penutupan rongga hidung dengan cara
31
penjahitan lipatan kulit, penyuntikan submucous parafin, injeksi submukosa dari 50%
Teflon dalam pasta gliserin, dan blok ganglion stellata.21,22
Definisi
Rinitis non alergi adalah keadaan inflamasi pada mukosa hidung yang bukan
disebabkan karena adanya alergi, yang ditandai adanya peningkatan eosinofil pada
pemeriksaan nasal smears (20-25%) dan tidak disertai dengan peningkatan antibodi
IgE serum.
b.
Epidemiologi
Prevalensi rinitis non alergi sering terjadi pada orang dewasa, jarang pada anak
anak. Penelitian yang dilakukan di norwegia menemukan 25% penderita Rinitis non
alergi dari seluruh penderita yang mengalami Rinitis.
c.
Diagnosis
Pada penderita rinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia sering ditemukan
gejala bersin-bersin, hidung gatal, hidung terasa penuh / tersumbat, dan berkurangnya
kemampuan penciumannya, tanpa adanya riwayat alergi sebelumnya.
d.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan nasal smear,
IgE antibodi serum, serta skin prick test. Pada pemeriksaan nasal smear ditemukan
adanya peningkatan eosinofil >20%.
e.
Patofisiologi
Patofisiologi rinitis non alergi sindrom eosinofil masih belum jelas, adanya
inflamasi hidung yang bersifat kronik dicurigai sebagai salah satu faktor penyebab.
Adanya peningkatan eosinofil menyebabkan kerusakan sel epitel hidung dan gangguan
32
pembersihan mukosiliar hidung. Dari evaluasi 20 pasien dengan diagnosis rinitis non
alergi sindrom eosinofil terdapat dua tingkatan, yaitu (1) Migrasi eosinofil dari
pembuluh darah hidung dan (2) Penyimpanan eosinofil didalam mukosa.
f.
Penatalaksanaan
Terapi konservatif diberikan untuk mengurangi gejala klinis dapat di berikan
kortikosteroid intranasal, jika tidak ada perbaikan dapat dilakukant terapi operatif
dengan dilakukan polipektomi.30
2.1.3 Rinitis Infeksi
2.1.3.1 Rinoskleroma
Penyakit infeksi granulomatosa kronik pada hidung yang disebabkan Klebsiella
rhinoscleromatis. Penyakit ini endemis di beberapa wilayah termasuk Indonesia timur.
Perjalanan penyakit Rinoskleroma terjadi dalam tiga tahap :
1. Tahap kataral atau atrofi, gejalanya seperti rhinitis tidak spesifik ditemukan adanya
secret purulen berbau dan krusta, yang terjadi berbulan-bulan dan
belum
terdiagnosis.
2. Tahap granulomatosa, mukosa hidung dalam masa peradangan yang terdiri dari
jaringan ikat, membentuk jaringan granulasi seperti polip, yang akan
dapat
33
3. Tahap sklerotik atau sikatrik, pergantian jaringan granulasi menjadi fibrotic dan
sklerotik yang dapat menyebabkan penyempitan saluran napas.
Diagnosis rhinoskleroma mudah ditegakkan di daerah endemis, tapi di tempat non
endemis perlu diagnosis banding dengan penyakit granulomatosa lain. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan bakteriologik dan gambaran
histopatologi yang sangat khas dengan adanya sel-sel Mikulicz.
Penatalaksanaan pada kasus ini mencakup terapi antibiotik jangka panjang dan
tindakan bedah untuk obstruksi saluran pernapasan, antibiotik yang direkomendasikan
yaitu tetrasiklin, kloramfenikol, trimetoprim-sulfametoksazol, siprofloksasin, klindamisin
dan sefalosporin. Pemberian antibiotik paling sedikit selama 4 minggu bahkan bisa
sampai berbulan-bulan. Tindakan Operasi dapat dilakukan untuk mengangkat jaringan
granulasi dan sikatrik, operasi plastik kadang-kadang dilakukan untuk memperbaiki
saluran pernafasan atau merekonstruksi deformitas. Penyakit ini jarang bersifat fatal
kecuali bila menyumbat saluran napas, tingkat rekurensinya tergolong tinggi terutama
bila pengobatan tidak tuntas.31
Definisi
Infeksi pada hidung yang disebabkan oleh jamur. Rhinitis Mikosa dapat bersifat
invasif dan non-invasif. Rhinitis jamur non-invasif dapat menyerupai gumpalan jamur
(rinolit/fungus ball) dengan inflamasi mukosa yang lebih berat. Tipe invasif ditandai
34
dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propia. Bila invasi sampai submukosa
maka bisa terjadi perforasi septum nasi.25
b.
Etiologi
Penyebab rinitis mikosa diantaranya, yaitu: Aspergillus, Candida, Histoplasma,
atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman (black
eschar). Untuk mengetahui jamur penyebab dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi.25
d.
Penatalaksanaan
Terapi rhinitis mikosa non invasif dengan mengangkat seluruh gumpalan jamur,
Terapi untuk rhinitis jamur invasif yaitu dengan mengeradikasi agen penyebab dengan
pemberian anti jamur oral dan topikal.25
Definisi
Rhinitis sicca disebut juga dry nose atau dry rhinitis yaitu bentuk rhinitis dimana
b.
Etiologi
Lingkungan yang berdebu, panas dan kering.26
c.
35
Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung, sumbatan hidung,
epistaksis dan penurunan fungsi penghidu.26
d.
Penatalaksanaan
Pengobatan Rinitis Sicca terutama untuk mengeliminasi faktor pencetus,
gliserol
mengembangkan
efek
melembabkan dan proteksi hidung dari kehilangan air. Konsentrasi minyak yang rendah
juga memiliki efek menguntungkan pada frekuensi gerak silia. Efektivitas dexpanthenol,
analog alkohol asam pantotenat dalam pengobatan rhinitis Sicca tersebar luas dan telah
terbukti secara klinis.26
Penggunaan ectoine dalam semprot hidung saline bisa menjadi pendekatan terapi
yang berguna untuk pasien rhinitis sicca. Selain itu terapi kombinasi dapat juga
diaplikasikan, misalnya kombinasi ectoine dan dexpanthenol.26
36
37
38
Penyakit ini sudah jarang ditemukan. Penyebab rintitis sifilis adalah kuman
Treponema pallidum. Infeksi ini dapat menimbulkan manifestasi klinis pada hidung.
Perjalanan penyakit sifilis terdiri dari fase primer, sekunder dan tersier. Chancre primer
dapat terbentuk di bagian hidung luar atau pada vestibulum nasi, tahap ini terjadi 3-4
minggu setelah kontak dan akan menghilang secara spontan dalam 6-10 minggu. Pada
fase awal ini, hasil pemeriksaan apusan pada lesi menunjukan adanya treponema
pallidum, sedangkan uji serologis dapat saja negatif. Sifilis fase sekunder muncul 6-10
minggu setelah infeksi dan dapat menyebabkan rinitis catarrhal simplek. Pemeriksaan
serologis dapat menunjukan hasil positif pada fase ini. Sifilis fase tersier ditandai dengan
adanya gumma yang berbatas tegas, berupa nodul merah yang terbentuk pada membran
mukosa, periosteum dan tulang. Gumma sering menimbulkan nyeri tekan di atas nose
bridge, perforasi septum posterior dan nasal collapse. Pada fase ini 90% pasien
menunjukan hasil positif pada pemeriksaan serologis.2,12
Sifilis kongenital dapat bermanifestasi sebagai rinitis sifilis atau syphilitica
snuffles. Manifestasi muncul beberapa minggu setelah kelahiran atau bisa menjadi bentuk
laten yang bermanifestasi saat masa pubertas. Syphilitica snuffles memiliki karakteristik
berupa nasal saddling, abnormalitas gigi geligi dan gangguan dengar sensorineural.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi dan pemeriksaan mikrobiologik.2,12
Penatalaksanaan yang diberikan sesuai dengan etiologi penyakit. Antibitoik yang
diberikan untuk mengeradikasi treponema pallidum. Pemberian antibiotik Benzathine
Penicillin G secara intramuskular banyak dipilih untuk mengobati semua fase infeksi sifilis
pada dewasa, kecuali pada neurosifilis. Penicillin G intravaskular diberikan untuk
39
pengobatan neurosifilis. Dosis Benzathine penicillin G yang diberikan yaitu 2.400.000 unit
dosis tunggal secara intramuskular. Alternatif lain dapat diberikan bagi pasien yang alergi
terhadap Penisilin yaitu Doksisiklin 100 mg peroral yang diberikan selama 14 hari atau
ceftriaxone 1 gr IV atau IM perhari, diberikan selama 10 hari. Jenis antibitik dan dosis
dapat disesuaikan berdasarkan usia, sedang masa kehamilan atau tidak dan fase penyakit
sifilis itu sendiri. Penatalaksanaan lain berupa pembersihan krusta secara rutin dan obat
cuci hidung.25,37
2.2. Epistaksis
Epistaksis adalah kondisi yang sering dialami 7% sampai 14% pada populasi
umum setiap tahunnya. Kebanyakan penderita epistaksis tidak mencari pengobatan
karena perdarahan yang terjadi minor dan biasanya dapat membaik dengan sendiri.
Insidensi epistaksis lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita dan
lebih sering terjadi pada musim dingin dibandingkan dengan musim panas. Epistaksis
anterior terhitung 90% sampai 95% dari semua kejadian.29
2.2.1 Definisi dan Klasifikasi Epistaksis
Epistaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung dapat primer atau
sekunder, spontan atau akibat rangsangan, dan berlokasi di sebelah anterior atau
posterior.28
Pada anak dan dewasa muda, epistaksis terutama timbul dari bagian anterior
septum yang disebut Littles area atau Plexus Kiesselbach. Daerah ini terbuka
40
terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan juga trauma-trauma kecil yang
multiple. Terjadi ulkus, rupture, atau kondisi patologik local lainnya, dan selanjutnya
timbul perdarahan.28
Melihat asal perdarahannya, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan
epistaksis posterior. Sumber perdarahan memperngaruhi penatalaksanaan yang
dilakukan.27,28
Epistaksis Anterior sering terjadi dari pleksus Kiesselbach di septum bagian
anterior atau dari arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan septum anterior biasanya
ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengirek hidung dan
sering terjadi pada anak-anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.27,28,29
Epistaksis Posterior dapat berasal dari arteri ethmoidalis posterior atau arteri
sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri,
sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arterosklerosis, atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina.27
Sistemik
Hipertensi
Penyakit vascular
Blood dyscrasias
Hematologi
41
(Malignansi)
Alergi
Malnutrisi
Alcohol
Obat-obatan
Infeksi
2.2.2.1 Trauma
Epistaksis dapat terjadi spontan atau karena trauma pada septum nasi oleh jari
atau obat semprot hidung. Terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma
yang lebih hebat yaitu karena pukulan, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu
dapat juga terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis juga sering terjadi karena adanya spina septum yang tajam, perdarahan
dapat terjadi pada tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan
bila konka itu sedang mengalami pembengkakkan. Penggunaan obat semprot hidung
kortikosteroid terus menerus, dapat menyebabkan terjadinya kerusakan epithelial
septum nasi yang membentuk kerak dan terjadi perdarahan. Deviasi septum nasal
dapat memperberat terjadinya epistaksis karena pada defleksi septum sering terjadi
pembentukan kerak dan melepaskan kerak tersebut dengan menggunakan tangan
dengan sering menyebabkan trauma terus menerus mengakibatkan ulkus septal. Pada
daerah ulkus septal terjadi penurunan suplai darah sehingga menyebabkan perforasi
septum, sehingga epistaksis lebih sering terjadi. Benda asing pada hidung menjadi
penyebab terjadinya epistaksis yang jarang, dapat terjadi pada anak kecil atau pada
42
pasien dengan retardasi mental. Pada pasien dengan benda asing pada hidung terjadi
pengeluaran sekret bercampur dengan darah yang bau, dan terjadi hanya pada salah
satu lubang hidung.27,28,29
2.2.2.3.Tumor
Epistaksis dapat terjadi pada haemangioma dan karsinoma. Yang paling sering
terjadi adalah angiofibrioma, dapat menyebabkan epistaksis berat. Tumor nasal dapat
menyebabkan epistaksis intermitten. Pada pria dewasa muda, juvenile angiofibroma
dapat disingkirkan, dan pada pasien yang lebih dewasa malignansi hidung, sinus atau
rung postnasal dapat disingkirkan.27,29
2.2.2.4.Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arterosklerosis, nefritis kronis, sirosis hepatis dan diabetes mellitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali
hebat dan dapat berakibat fatal. Pada pasien hipertensi terjadi perubahan kemampuan
pembekuan akibat obat antikoagulan dan disfungsi hati. Obat-obatan yang dapat
43
menyebabkan epistaksis antara lain aspirin, clopidogrrel, NSAID dan warfarin. Obatobatan tersebut memiliki cara kerja yang berbeda namun dapat meningkatkan
kejadian epistaksis. Pada pasien hipertensi dengan epistaksis menyababkan
pembentukan fibrosis pada tunika media arteri, hal tersebut menyebabkan terjadinya
vaskontriksi yang adekuat setelah terjadiya rupture pembuluh darah sehingga
membutuhkan intervensi yang cepat untuk menghentikan perdarahan. 27,29
2.2.2.5.Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemophilia. Hemophilia A lebih sering terjadi,
hemophilia A adalah penyakit yang disebabkan karena penurunan anticoagulant
faktor pembekuan VIII yang diikuti dengan von Willebrand disease dengan
mereduksi faktor pembekuan von Willebrand (vWF). Prokoagulan dan von
Willebrand terbentuk dari fakter VIII. Hemofilia B lebih jarang terjadi, pada
hemophilia B terjadi penurunan kadar faktor pembekuan IX.27,29
2.2.2.6.Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah telengiektasis
hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic telengiektasis Osler-Randu-Weber
disease). Pada pasien dengan penyakit tersebut terjadi malformasi arteriovenous yang
terjadi pada semua mukosa. Dinding pembuluh darah tipis dan tidak memiliki sel otot
polos dan sering terbentuk berkelompok pada otak, paru-paru dan system pencernaan.
44
Pada hidung, lesi tersebut dapat terbentuk dari lesi pada septum, dinding hidung
lateral, dan dasar dari hidung. Keadaan ini dapat menyebabkan epistaksis tanpa
trauma. 27,29
2.2.2.9.Gangguan Hormonal
Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal.27
2.2.3 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber
perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor risiko penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan.27
45
46
47
diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui
hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan
bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum molle masuk ke nasofaring.
Kedua benang yang keuar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di
depan nares anterior, agar tampon tetap pada tempatnya. Benang lain yang keluar dari
mulut difiksasi secara longgar pada pipi pasien, gunanya adalah untuk mengeluarkan
tampon melalui mulut. Cara lain yaitu dengan memasukkan kateter melalui nares
anterior dan setelah mencapai nasofaring , lakukan ballooning pada kateter dengan
saline 15mL. Diharapkan balon akan menempati kavum postnasal.27,28,29
48
49
Step 4
tampon
dapat
menyebabkan
rhinosinusitis, otitis
media,
septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu harus selalu diberikan
antibiotic pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus
dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.27
Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi
palatum mole atau sudut bibir, jika fiksasi benang pada pipi terlalu ketat. Kateter
balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras sarena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.29
Secara keseluruhan penanganan kasus epistaksis dapat dilihat pada bagan
dibawah ini:38
50
EPISTAKSIS
Observasi keadaan umu dan tanda vital
Keadaan umum lemah
Atasi/Perbaiki Tanda Vital
Keadaan umum baik dan stabil
LOKASI DIKETAHUI
Kaustik AgNO3/
As. Triklorasetat
Kauterasi Elektrik
Kalau perlu
+ Tampon Anterior
+ Koagulansia oral /
sistemik
TAMPON ANTERIOR
2X 24 Jam / lebih
Kalau perlu :
TAMPON POTERIOR
Rawat, obs Tanda Hipoksia
Kalau Perlu:
Lab. Darah tepi
Cari kausa dan terapi kausa
Cari komplikasi & terapi koplikasi
ANGKAT TAMPON
PERDARAHAN (-)
PERDARAHAN (+)
TAMPON ULANG
2x24 Jam / lebih
Jika belum dikerjakan, lakukan :
Lab darah tepi
Cari kausa & terapi kausa
Cari komplikasi & terapi komplikasi
ANGKAT TAMPON
PERDARAHAN (+)
PERDARAHAN (-)
INTERVENSI BEDAH :
LIGASI ARTERI
SMR/SEPTOPLASTI
ANGIOGRAFI / EMBOLISASI
Bagan 1. Penatalaksanaan Epistaksis Berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Dan Tenggorok
Bedah Kepala Dan Leher Indonesia.38