Anda di halaman 1dari 48

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Rinitis
Rinitis adalah peradangan pada mukosa cavum nasi. Rinitis diklasifikasikan

menjadi rinitis alergi dan non alergi. Rinitis non alergi disebabkan oleh berbagai
etiologi.6
2.1.1. Rinitis Alergi
2.1.1.1.Definisi
Rinitis alergi (WHO ARIA 2001) adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin- bersin, rinore, rasa gatal, dan hidung tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar allergen yang diperantai oleh Ig-E.6
2.1.1.2.Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu6,7:
a. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal alergi musiman, hanya ada di negara 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur.
b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi
musim, dan dapat terjadi sepanjang tahun. Penyebab paling sering ialah alergen

inhalan dan alergen ingestan. Penyebab tersering pada orang dewasa adalah alergen
inhalan.
Saat ini yang sering digunakan adalah klasifikasi WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma). Berdasarkan sifat berlangsungnya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Rinitis alergi intermiten

adalah gejala

terjadi kurang dari 4 hari dalam

seminggu atau kurang dari 4 minggu.


2. Rinitis alergi persisten adalah gejala terjadi lebih dari 4 hari dalam seminggu
dan lebih dari 4 minggu.
Berdasarkan tingkat keparahan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Rinitis alergi ringan (mild allergic rhinitis)
Penderita tidak memiliki ganguan tidur, tidak ada ganguan aktivitas sehari-hari,
berolahraga, bekerja dan sekolah serta tidak memiliki gejala yang mengganggu.
2. Rinitis alergi sedang-berat (moderate-severe allergic rhinitis)
Penderita harus memiliki salah satu atau lebih gejala sebagai berikut: tidur
yang terganggu, gangguan aktivitas sehari-hari, gangguan pekerjaan ataupun
sekolah, serta memiliki gejala yang mengganggu.

2.1.1.3.Epidemiologi

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak ditemui dan


naenrpakan masalah kesehatan global. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia yang
diderita sedikitnya l0-25% populasi dan prevalensinya terus meningkat. Di lndonesia
prevalensi 40 % anak-anak, 10-30% dewasa. Prevalensi terbesar pada usia 15-30
tahun. Prevalensi pada usia sekolah dan produktif meningkat yang mengakibatkan
penurunan kualitas hidup baik fisik, emosional, gangguan bekerja dan sekolah,
gangguan tidur, sakit kepala, lemah, malas, penurunan kewaspadaan dan penampilan.
Pada anak berhubungan erat dengan gangguan belajar.8

2.1.1.4.Etiologi
Penyebab terjadinya rhinitis alergi yaitu adanya reaksi hipersensitivitas tipe 1.

2.1.1.5.Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang berperan dalam rhinitis alergi, yaitu:9
a.

Faktor genetik
Faktor genetik berhubungan dengan riwayat atopi dalam keluarga menjadi

faktor risiko utama dalam perkembangan dari gejala-gejala alergi. Atopi merupakan
kondisi utama dalam berkembangnya

penyakit alergi, yang dimediasi oleh IgE.

Pasien menjadi peka dan menghasilkan antibodi IgE dalam menanggapi allergen.
Mekanisme genetik atopi masih tidak sepenuhnya dipahami(Gambar 1). Beberapa
studi menunjukkan bahwa patogenesis penyakit alergi adalah kompleks dan mungkin

disebabkan oleh kontribusi dari faktor genetik dan lingkungan, terutama pada tahap
sensitisasi alergen.9

Gambar 1.
Faktor
risiko

b.

Faktor lingkungan

1)

Paparan alergen

Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya


tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farina), kecoa, serpihan epitel kulit
binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass), serta jamur
(Aspergillus).

Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.

Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya


penicillin dan sengatan lebah-Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak
kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.10

2)

Polusi udara
Paparan tingkat tinggi polutan termasuk nitrit oksida, ozon, sulfur dioksida,

karbon monoksida, dan senyawa organik yang mudah menguap.9


3)

Infeksi bakteri atau virus

c.

Faktor-faktor lain
Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan rinitis alergi, seperti perubahan

gaya hidup, modifikasi diet, variasi geografis, iklim, kondisi sosial ekonomi, struktur
keluarga atau sejarah, pemberian makan bayi, paparan alergen yang berlebihan
terutama pada awal kehidupan, dan rokok.9

Gambar 2.
Efek polusi
terhadap
penyakit
alergi

\2.1.1.6.Gejala Klinis
Rinitis alergi memiliki empat gejala klasik, yaitu: bersin-bersin, gatal pada
hidung,rinore, dan kongesti nasal. Pasien sering memiliki gejala non-nasal seperti
iritasi pada konjungtiva, gatal pada palatum, dan epifora. Pasien juga kadang
memiliki gejala sepert nyeri pada fontal dan periorbital, gangguan penciuman dan
rasa penuh ditelinga. Pasien dengan alergi sering memiliki keluhan fatigue, malaise,
kesulitan konstrasi, gangguan psikomotor.11
Pemeriksaan fisik pada rinitis alergi dapat ditemukan facial puffines, edema,
asimetris pada wajah. Pada mata dapat ditemukan injeksi konjungtiva dan eritema,

allergic shiner. Pada hindung terdapat allergic crease, allergic salute, rinore dan
deformitas. Pada orofaring terdapat dinding posterior farong tampak granular dan
edema (cobblestonning appearance on orofaring), hipertrofi adenoid pada anak-anak.
Rhinoskopi anterior ditemukan edema pada mukosa, basah, warnanya pucat (livide),
secret encer yang banyak.6,7
2.1.1.7.Pemeriksaan penunjang
a.

In vitro
Hitung eosinophil dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total (prist-

paper radio immune-sorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya memiliki rhinitis
alergi dan asma. Pemeriksaan ini juga berguna untuk prediksi kemungkinan alergi
pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan risiko yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay).
b.

In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/ SET).
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dengan berbagai
konsentrasi. Keuntungannya adalah selain dapat mengetahui alergen penyebab juga
dapat menentukan derajat alergi.

10

Untuk uji alergen makanan, yang sering dilakukan adalah

Intracutaneus

Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai gold standar dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).

2.1.1.8.Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. 10,11,12 ditandai
dengan adanya vasodilatasi, kebocoran vascular.12 Kemudian late phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 2448 jam.10,11,12 Reaksi alergi fase lambat timbul tanpa harus terpajan ulang oleh antigen.
Reaksi fase lambat ditandai dengan adanya serbukan eosinophil, neutrophil, basophil,
monosit, sel T CD4+ ke jaringan dan disertai destruksi jaringan, yang biasanya
kerusakan sel epitel mukosa.12
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, sel dendritic
(makrofag atau monosit) yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major

11

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper


(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. 10,11,12 Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 berfungsi
mengaktifkan sel B penghasil Ig-E dan untuk mempertahankan perkembangan sel
Th2. IL-5 berfungsi untuk mengaktifkan eosinophil yang merupakan efektor penting
hipersensitivitas tipe 1. IL-13 akan meningkatkan produksi Ig-E dan bekerja pada sel
epitel untuk merangsang sekresi mucus.12 IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE (Fc Ig-E) di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar alergen yang sama, antigen (allergen) mengikat antibody Ig-E yang telah
melekat pada sel mast. Antigen multivalen mengikat lebih dari satu molekul Ig-E
sehingga menyebabkan terbentuknya ikatan silang antara antibody-antibodi Ig-E yang
berdekatan dengan reseptor Fc IgE dibawahnya. Pembentukan jembatan anta
molekul-molekul Ig-E mengaktifkan jalur-jalur transduksi sinyal dari bagian
sitoplasma reseptor Fc Ig-E. Sinyal-sinyal ini memicu dua proses yang parallel, tapi
saling bergantung. Satu proses menyebabkan degranulasi sel mast disertai pelepasan
mediator jadi (preformed, orimer) yang tersimpan digranula, dan proses yang lain

12

menyebabkan sintesis de novo dan pelepasan mediator sekunder. Mediator primer


yang terkandung dalam grnaula sel mast terutama histamin (peningkatan
permeabilitas vaskuler, peningkatan sekresi oleh kelenjar hidung), enzim kimase,
triptase (kerusakan jaringan) dan prostaglandin D (mengemas dan menyimpan
mediator lain di dalam granula). Mediator sekunder seperti Leukotrien B4 (LT B4)
(kemotaktik bagi meutrofil, basophil, dan eosinophil) Leukotrien D4 (LT D4) dan
Leukotrien C4 (LT C4) (meningkatkan permeabilitas vascular), Platelet Activating
Faktor (PAF),(berperan penting dalam fase lambat karena kaemampuannya dalam
merekrut dan mengaktifkan sel radang) berbagai sitokin (TNF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Faktor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).10,12
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit
juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel
eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja,
tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada

13

RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating
Faktor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein
(EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase
ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat
gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi,10,12
2.1.1.9.Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penederita rinitis alergi
bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara benar, misalnya: sinusitis akut dan
kronik, polip hidung , perkembangan abnormal karniofasial, otitis media efusi, sleep
apneu, dan meningkatkan kecenderungan terkena asma. 13
2.1.1.10.Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada rinitis alergi dapat berupa nonfarmakologi dan farmakologi:

a.

Nonfarmakologi

14

Menghindari atau eliminasi alergen dengan edukasi. Cara ini berfujuan


mencegah terjadinya kontak antara alergen dengan IgE spesifik yang terdapat
dipermukaan sel mast atau basofil sehingga degranulasi tidak terjadi dan gejala dapat
dihindarkan.
b.

Farmakoterapi

1)

Antihistamin
Antihistamin yang dipaki adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara

inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 pada mukosa nasal, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi.7,10 Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi

dengan

dekongestan secara peroral.7,10


Antihistamin dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan antihistamin generasi1 (klasik) dan generasi-2 (nonsedatif). Antihistamin generas-1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai serta mempunyai efek kolinergik. Ynag termasuk
kelompok ini adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin
generasi ke-2 bersifat lipofibik, sehingga sulit menembus sawar adarah otak. Bersifat
selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,
antiadrenergic dan efek pada SSP minimal (non sedatif). Kelompok ini dibagi
menjadi 2, yaitu kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai

15

efek kardiotoksik. Kemudian kelompok dua adalah loratadin, setirizin, fexofenadin,


desloratadin dan levosetirisin.10
2)

Dekongestan
Kongesti nasal adalah gejala utama dari kebanyakan pasien rhinitis alergi.

Dekongestan adalah reseptor agonis -adrenergik yang dapat menyebabkan kontraksi


dari vena di hidung. Dekongestan sangat efektif untuk gejala obstruksi nasal.
Dekongestan tersedia dalam bentuk oral dan topikal. Yang paling sering dipakai pada
sediaan nasal topikal adalah phenylephrine dan oxymetazoline. Pemakaiannya hanya
3-5 hari karena setelahnya mukosa akan menjadi resisten terhadap dekongestan dan
dapat mencetuskan terjadinya rhinitis medikamentosa. Dekongestan oral juga sering
digunakan untuk obstruksi nasal. Yang sering tersedia adalah pseudoephedrine yang
merupakan -adrenergik. Efek samping

dekongestan oral adalah nausea, nyeri

kepala, iritabilitas. Dekongestan harus diberikan dengan hati-hati pada pasien yang
memiliki penyakit jantung, hipertensi dan glaucoma.7
3)

Kortikosteroid
Steroid efektif untuk rintiis alergi dan rhinitis non alergi. Steroid tersedia dalam

bentuk oral, parenteral, dan topikal. Oral kortikosteroid dapat digunakan dalam waktu
yang singkat dengan gejala yang signifikan. Kortikosteroid topikal merupakan terapi
primer untuk rhinitis alergi dan non alegi, Kortikosteroid topikal dapat menurunkan
kemotaktik neutrophil dan eosinophil di dalam hidung, mengurangi aktifitas limfosit,
dan dapat mengurangi edema. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak

16

hiperresponsif terhadap rangsangan alergen.7,10 Kortikosteroid topikal dipilih terdapat


gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat
lain. Yang sering dipakai adalah beklometason, budesonide, flunisolid, flutikason,
mometason furoat, dan triamnisolon.10
4)

Leukotrien Modifiers
Leukotrien berkontribusi terhadap hidung tersumbat pada rhinitis alergi.

Reseptor agonis leukotriene (LTRAs) salah satunya adalah montelukast. Leukotrien


merupakan mediator penting dalam respon alergi fase lambat, logis bila
mengasumsikan reseptor leukotriene akan memberikan keuntungan pada rhinitis
alergi.7
5)

Antikolinergik topikal spray


Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk

mengurangi rinore, karena aktifitas inhibisi parasimpatik pada mukosa hidung.7,10


6)

Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan

sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Metode imunoterapi yang umum dilakukan ada 2 cara,
yaitu intradermal dan sub-lingual.10

7)

Operatif

17

Terapi operatif bukan terapi utama untuk rhinitis, operatif dapat memberikan
keuntungan pada pasien dengan kongesti nasal yang signifikan. Terapi operatif pada
konka inferior dapat mengurangi resistensi nasal dan meningkatkan aliran darah
hidung tetapi reseksi yang agresif juga dapat menyebabkan kering pada hidung dan
penyumbatan hidung.7

2.1. 2.Rinitis Non-Alergi


2.1.2.1Rinitis Vasomotor
a.

Definisi
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan ideopatik yang didiagnosis tanpa

adanya infeksi, alergi, eosinofillia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan


pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan
obat topikal hidung dekongestan). Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila
adanya alergi/allergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi
yang sesuai (anamnesis, tes cukit kilit, kadar antibody IgE spesifik serum). Kelainan
ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorea, nasal vasomotor instability,
atau juga non-alergic perennial rinitis.)14
b.

Etiologi dan Patofisiologi


Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa hipotesis telah

dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rinitis vasomotor:


1)

Nurogenik (disfungsi sistem otonom)

18

Serabut sipatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginervasi
terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis
melepaskan ko-transmitter noradrenalin dan neuropeptida Y yang menyebabkan
vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi
sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang
bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai siklus nasi. Dengan adanya
siklus ini , seorang mampu untuk dapat bernapas dengan tetap normal melalui rongga
hidung yang berubah-ubah luasnya.14
Serabut saraf parasimpatis berasal nucleus salivatori superior menuju ganglion
sfenopalatina dan membentuk n.Vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darah
dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan kotransmitter asetilkolin dan vasoaktif interstinal peptida yang menyebabkan
peningkatan seresi hidung dan vasodilatasim sehingga terjadi kongesti hidung.14
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini berkerja belumlah diketahui dengan pasti
tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima impuls eferen,
termasuk rangsang emosional dari pusat yang lebih tinggi, Dala keadaan hidung
normal, persarafan simpatis lebih dominan. Rinitis vasomotor diduga sebagai akibat
dari ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang berupa
bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.14,15

2)

Neuropeptida

19

Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh


meningkatnya rangsang terhadap saraf sensoris serabut C di hidung, Adanya
rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkaan pelepasan
neuropeptida seperti substansi P dan kalsitonin gene-related protein yang
menyebabkan peningkatan permebilitas vaskular dan sekresi kelenjar, Keadaan ini
menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hipereaktivitas hidung.14,15
3)

Nitrit Oksida
Kadar nitrit oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung

dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ata nekrosis epitel sehingga rangsangan non
spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan
reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment reflex vascular dan kelenjar mukosa
hidung.14
4)

Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma

hidung melalui mekanisme neurogenic dan atau neuropeptide.14


c.

Gejala Klinik
Pada rinitis vasomotor, gejala tersering dicetuskan oleh berbagai rangsangan

non spesifik seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol,
makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan
kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan stress/emosi. Pada keadaan normal
faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.

20

Kelainan ini mempunayi gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun gejala
yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada
posisi pasienm selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa, Keluhan ini jarang
disertai degan gejala mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelanani dibedakan dalam 3 golongan, yaitu
1) golongan bersin, gejalanya biasanya memberikan respon yang baik dengan
terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal.
2) golongan rinore, hejala dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik topikal.
3) golongan tersumbat kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan
terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral.14

d.

Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara rksklusi, yaitu menyingkirkan

adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis
dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Pada pemeriksaaan rinoskopi anterior tampak gambarang yang khas berupa
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua tetapi dapat pula
pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi, Permukaan konka dapat licin atau

21

berbenjol-benjol (hipertropi). Pada rongga hidung terdapat secret mukoid. Akan tetapi
pada golongan rinore secret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis
alergi kadang ditemukan juga eosinofik oada secret hidung akan tetapi dalam jumlah
sedikit, Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.14

e.

Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada rinitis vasomotor bervariasi tergantung pada faktor

oenyebab dan gejala yang menonjol. Seccara garis besar dibagi dalam:
1) Mengindari stimulus/ faktor pencetus
2) Pengobatan simtomatis dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung
dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan
AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Dapat juga diberikan kortikosteroid
topikal 100-200 mikrogram. Dosis dapat ditingkatakan sampai 400 mikrogram
sehari. Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2
minggu, Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti
flutikason propionate dan mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali
sehari dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan rinore yang beratm dapat
ditambahkan dengan antikolinergik topikal (ipratropium bromide). Saat ini
sedang dalam penelitian adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin
topikal yang mengandung lada.

22

3) Operasim dengan cara bedah bekum elektrokauter, atau konkotomi parsial


konka inferior
4) Neurektomi n. Vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. vidanus,
bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil optimal. Operasi ini tidak lah
mudah dapat menimbulkan komplikasi, seperti sinusitis, diplopia, buta
gangguan lakrimasi, neuralgia atau anestesis infraorbita dan palatum. Dapat
juga dilakukan tindakan blocking ganglin sfenopalatina.14
f.

Prognosis
Prognosis pengobatan golongan obsturksi lebih baik daripada golongan rinore.

Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan
pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.

2.1.2.2.Rinitis Medikamentosa
a.

Definisi
Rinitis medikamentosa merupakan suatu kelainan hidung berupa gangguan

respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian obat seperti


vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan
berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.16
b.

Etiologi
Beberapa obat berikut ini dapat menyebakan rinitis medikamentosa, yaitu

obat-obatan sistemik seperti obat antihipertensi (methyldopa, guanethidine, reserpine,

23

hydralazine, prazosin, ACE inhibitor), beta blocker, kontrasepsi oral, NSAID


(aspirin), obat-obatan anti tiroid, antidepresan trisiklik, phosphodiesterase tipe-5
inhibitor (PDE-5), aspirin serta obat-obatan topikal seperti vasokonstriktor
(oxymetazoline, xylometazoline, phenylephrine, ephedrine) dan kokain.17
c.

Tanda dan Gejala


Pasien mengeluh hidung tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan

fisik didapatkan adanya hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan.16
d.

Patofisiologi
Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berulang dalam waktu lama akan

menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah


vasokontriksi sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obtruksi menyebabkan
pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut. Hal ini akan diikuti
dengan penurunan sensitivitas reseptor alfa-adrenergik di pembuluh darah sehingga
terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi menghilang. Keadaan ini disebut juga sebagai rebound congestion.
Dampak pada pemakaian obat tetes hidung dalam waktu lama yaitu menyebabkan
silia rusak, pembuluh darah melebar, stroma tampak edema, hipersekresi kelenjar
mucus dan perubahan pH sekret hidung.16
f.

Penatalaksanaan
Hentikan pemakaian obat-obatan pencetus. Untuk mengatasi sumbatan

berulang dapat diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek yang dosis

24

diturunkan secara bertahap atau dapat juga dengan pemberian kortikosteroid topikal
selama minimal 2 minggu.16

2.1.2.3.Rinitis Hormonal
a.

Definisi
Rinitis hormonal yaitu rhinitis yang beruhubungan dengan metabolik dan

endokrin yang sering dihubungkan dengan peningkatan kadar estrogen. Keadaan ini
sering dijumpai, yaitu 22% pada wanita hamil yang tidak merokok dan 69% pada
wanita hamil yang merokok.17,18
b.

Etiologi
Hormonal seperti estrogen, beta estradiol dan progesteron. Rhinitis hormonal

dilaporkan terjadi pada kehamilan, menstruasi, penggunaan kontrasepsi oral.17,18


c.

Patofisiologi
Estrogen diketahui meningkatkan kadar asam hialuronik di mukosa hidung

yang menyebabkan sumbatan pada hidung, selain itu juga meningkatkan sekresi
mukus. Selain itu, beta estradiol dan progesteron yang menyebabkan peningkatan
histamin dan menyebabkan sumbatan hidung.17
d.

Tanda dan Gejala


Keluhan-keluhan yang sering ditemukan antara lain hidung tersumbat,

rinnorhe, keluhan yang jarang yaitu gatal-gatal pada hidung dan bersin. Pasien

25

dengan rhinitis non alergi juga kadang menimbulkan gejala konjungtivitis seperti
mata gatal, berair, kemerahan, bengkak. 18
e.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sesuai penyakit yang mendasari dan simptomatik. Beberapa

penatalaksanaan lazim dilakukan pada rhinitis kehamilan yaitu kortikosteroid topikal,


dekongestan, irigasi dengan nasal saline.17,18
Beclomethasone adalah kortikosteroid yang aman digunakan pada wanita
hamil. Kortikosteroid memiki efek untuk hidung tersumbat, hidung rinorrhea, bersin,
hidung gatal. Dekongestan yang digunakan dapat dekongestan oral ataupun topikal.
Digunakan untuk melegakan hidung tersumbat. Irigasi saline untuk membantu
mengeluarkan mukus dari hidung, meningkatkan kenyamanan serta melegakan
pernafasan. 18
2.1.2.4 Rinitis Okupasional
a.

Definisi
Rinitis okupasi adalah suatu peradangan pada mukosa hidung yang ditandai

dengan hidung tersumbat, bersin bersin, rhinorrehea, dan gatal yang disebabkan
oleh bahan iritan di lingkungan kerja dan tidak ditemui rangsangan bahan iritan di
luar tempat kerja.19
b.

Epidemiologi
Angka kejadan Rinitis okupasi menurut peneitian pada tahun 1990-an

melaporkan bahwa kejadian Rinitis okupasi lebih banyak pada orang yang bekerja

26

menjadi tukang roti, peternak, pekerja pabrik pengolah makanan, dokter hewan,
petani, perakit produk elektronik, dan pekerja pembuat perahu.
Proses sensitisasi yang dilakukan di laboratorium, didapatkan bahwa bulu
binatang dan tepung merupakan dua agen yang paling umum sebagai penyebab
Rinitis okupasi.19
c.

Etiologi
Ada lebih dari 200 agen yang telah dikaitkan dengan Rinitis okupasi, Namun,

agen penyebab penyakit yang dapat secara luas diklasifikasikan berdasarkan berat
molekulnya, berat molekul tinggi (HMW) dan berat molekul rendah (LMW).
Agen berat molekul tinggi (HMW) cenderung dari bahan organik dan dengan
demikian berasal dari tanaman (misalnya, karet alam protein lateks, tepung, debu),
mikroorganisme (misalnya, cetakan, enzim bakteri), atau hewan (misalnya, bulu
binatang, protein ikan) Contoh pekerjaan yang menyebabkan Rinitis okupasi
termasuk pekerja pizzeria terkena tepung beras, seorang petani penanam padi dan
petani jagung (serbuk sari).
Agen berat molekul rendah (LMW) sebagian besar senyawa anorganik
termasuk diisosianat, anhidrida, logam, dan obat-obatan tertentu. Misalnya,
anhidrida trimelita dan anhidrida hexahydrophthalic. Keduanya terkait dengan
Rinitis okupasi pada pekerja industri penata rambut dan perawatan kecantikan,
penyebab lainnya yang dapat menyebabkan Rinitis okupasi yaitu zat pemutih yang
mengandung persulfat, pewarna rambut yang mengandung parafenilena diamina atau

27

toluena-2,5-diamin sulfat, dan lem yang mengandung etil cyanoacrylate digunakan


untuk menerapkan ekstensi bulu mata.19
d.

Tanda dan Gejala Klinis


Gejala yang sering timbul Hidung tersumbat, bersin bersin, rhinorrehea, gatal

dan pasase udara menurun yang disebabkan oleh bahan iritan di lingkungan kerja dan
tidak ditemui rangsangan bahan iritan di luar tempat kerja.
e.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien yang dicurigai Rinitis okupasi dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

seperti tes alergi diantaranya Skin Prick Test, tes alergen nasal, dan

RAST (

radioallergosorbent test) untuk menentukan agen yang spesifik.20


f.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaa Rinitis okupasi prinsipnya untuk menghindari dari paparan

alergen dengan melakukan starategi pencegahan, yaitu pencegahan primer, skunder


dan tersier. Strategi pencegahan primer ditujukan untuk mencegah berkembangnya
penyakit, untuk mengurangi atau menghilangkan sensitisasi dari agen yang sudah
diketahui di tempat kerja, dengan cara meningkatkan ventilasi tempat kerja,
mengurangi kontak dengan bahan kimia, mengenakan pakaian pelindung dan masker,
dan dipindah ke tempat atau bagian dengan rendah paparan.
Strategi pencegahan sekunder yang penting untuk membantu mencegah
manisfestasi gejala pada individu yang sensitif terhadap agen dengan cara mengisi
kuesioner untuk memantau gejala dan dilakukan tes imunologi untuk mengevaluasi

28

sensitisasi. Hal ini terutama penting untuk memantau pasien dengan potensi
Rinitis okupasi untuk mencegah terjadinya asma.
Strategi dari pencegahan tersier di rinitis okupasi tetap fokus untuk
menggurangi paparan agen, dalam sebuah studi dari rumah kaca paprika pekerja
dengan rinitis okupasi, yang meninggalkan pekerjaan mereka melaporkan
peningkatan kualitas kehidupannya secara signifikan dibandingkan dengan pekerja
yang terkena paparan terus menerus.
Pengobatan medikamentosa diberikan antihistamin, dekongestan, kortikosteroid
intranasal, antibiotik dan imunoterapi. Antihistamin yang diberikan khususnya
generasi baru yang non sedatif contohnya loratadine, cetirizine, dan terfenadine.
Antihistamin tersebut sangat efektif dan direkomendasikan untuk penderita rinitis
okupasi, mengingat mereka harus tetap bekerja tanpa khawatir oleh rasa kantuk.19,20
2.1.2.5 Rinitis Atrofi
a.

Definisi
Peradangan kronik yang mengenai mukosa hidung yang ditandai dengan adanya

atrofi yang progresif pada mukosa dan tulang hidung dengan gejala obstruksi pada
hidung, epistaksis, anosmia/cacosmia, nanah, krusta dan penyakit radang kronis pada
saluran napas bagian atas.21,22
b.

Epidemiologi
Sering terjadi pada wanita, terutama pada usia dewasa muda, sering ditemukan

pada sosial ekonomi rendah dan higenitas yang buruk dengan prevalensi berkisar 0,3-1%.

29

Rinitis atrofi primer semakin jarang ditemukan di negara-negara denganm sosial


ekonomi yang telah meningkat dan pelayanan kesehatan yang baik.22
c.

Etiologi
Penyebab paling sering yang dapat menyebabkan Rinitis atrofi sering disebabkan

oleh adanya infeksi oleh bakteri diantaranya22 :

1) Kokobasil
2) mucosus Bacillus
3) kokobasil foetidus ozaenae
4) basil Diptheroid
5) Klebsiella ozaenae.
Selain mikroorganisme diatas, ada beberapa faktor predisposisi lain yang dapat
menyebabkan Rinitis atrofii yaitu22,23:
1) Sinusitis kronik
2) Defisiensi gizi
3) Defisiensi vitamin A
4) Ketidakseimbangan endokrin
5) Penyakit autoimun
6) Keturunan
7) Penyakit kolagen

d.

Tanda dan Gejala Klinis

30

Gejala klinis Rinitis atrofi adanya obstruksi hidung yaitu ketidak mampuan
untuk merasakan aliran udara, hidung kering dan tenggorokan kering, sering disertai
dengan krusta (kerak), gangguan penciuman mulai dari hiposmia hingga anosmia dan
cacosmia, sakit kepala, kelelahan, insomnia, dan kecemasan atau depresi.
Pada pemeriksaan klinis, dilihat dengan endoskopi hidung ditemukan adanya
pembesaran rongga hidung hingga choanae terlihat

kering, distrofik, atrofi dan

kadang-kadang berkulit atau mukosa ulserasi dari rongga hidung. Dalam beberapa
kasus nasofaring terlihat Tidak adanya hipoplasia atau atrofi turbinat rendah dan /
atau menengah.21,22
e.

Penatalaksanaan
Pada Rinitis atrofi dapat dilakukan pengobatan konservatif dan operatif,

pengobatan konservatif mencakup pemberian antibiotika spektrum luas dan dosis kuat ,
dan dapat diberikan nasal douching untuk menghilangkan bau busuk, krusta dan secret
purulen, diberikan minimal dua kali dalam sehari dengan larutan :
1) Natrium bikarbonat - 28,4 g
2) Sodium diborate - 28,4 g
3) Natrium klorida - 56,7 g
Larutan tersebut dicampur dalam 280 ml air hangat, larutan dihirup / dimasukan
ke dalam hidung lalu di keluarkan dengan cara menghembuskan secara kuat, jika
terdapat ke nasofaring keluarkan melalui mulut.
Pengobatan operatif dapat dilakukan jika dalam pengobatan konservatif tidak
ada perbaikan, prosedur operasi dapat berupa penutupan rongga hidung dengan cara

31

penjahitan lipatan kulit, penyuntikan submucous parafin, injeksi submukosa dari 50%
Teflon dalam pasta gliserin, dan blok ganglion stellata.21,22

2.1.2.6 Non Allergic Rhinitis with Eosinophilia Syndrome (NARES)


a.

Definisi
Rinitis non alergi adalah keadaan inflamasi pada mukosa hidung yang bukan

disebabkan karena adanya alergi, yang ditandai adanya peningkatan eosinofil pada
pemeriksaan nasal smears (20-25%) dan tidak disertai dengan peningkatan antibodi
IgE serum.
b.

Epidemiologi
Prevalensi rinitis non alergi sering terjadi pada orang dewasa, jarang pada anak

anak. Penelitian yang dilakukan di norwegia menemukan 25% penderita Rinitis non
alergi dari seluruh penderita yang mengalami Rinitis.
c.
Diagnosis
Pada penderita rinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia sering ditemukan
gejala bersin-bersin, hidung gatal, hidung terasa penuh / tersumbat, dan berkurangnya
kemampuan penciumannya, tanpa adanya riwayat alergi sebelumnya.
d.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan nasal smear,
IgE antibodi serum, serta skin prick test. Pada pemeriksaan nasal smear ditemukan
adanya peningkatan eosinofil >20%.
e.
Patofisiologi
Patofisiologi rinitis non alergi sindrom eosinofil masih belum jelas, adanya
inflamasi hidung yang bersifat kronik dicurigai sebagai salah satu faktor penyebab.
Adanya peningkatan eosinofil menyebabkan kerusakan sel epitel hidung dan gangguan

32

pembersihan mukosiliar hidung. Dari evaluasi 20 pasien dengan diagnosis rinitis non
alergi sindrom eosinofil terdapat dua tingkatan, yaitu (1) Migrasi eosinofil dari
pembuluh darah hidung dan (2) Penyimpanan eosinofil didalam mukosa.
f.

Penatalaksanaan
Terapi konservatif diberikan untuk mengurangi gejala klinis dapat di berikan

kortikosteroid intranasal, jika tidak ada perbaikan dapat dilakukant terapi operatif
dengan dilakukan polipektomi.30
2.1.3 Rinitis Infeksi
2.1.3.1 Rinoskleroma
Penyakit infeksi granulomatosa kronik pada hidung yang disebabkan Klebsiella
rhinoscleromatis. Penyakit ini endemis di beberapa wilayah termasuk Indonesia timur.
Perjalanan penyakit Rinoskleroma terjadi dalam tiga tahap :
1. Tahap kataral atau atrofi, gejalanya seperti rhinitis tidak spesifik ditemukan adanya
secret purulen berbau dan krusta, yang terjadi berbulan-bulan dan

belum

terdiagnosis.
2. Tahap granulomatosa, mukosa hidung dalam masa peradangan yang terdiri dari
jaringan ikat, membentuk jaringan granulasi seperti polip, yang akan

dapat

menyebabkan destruksi tulang dan tulang rawan sehingga menyebabkan


deformitas puncak hidung , septum dan dapat menyebabkan epistaksis. Jaringan
ikat tersebut meluas keluar dari nares anterior atau sinus paranasal, nasofaring,
faring atau saluran napas bawah. Tapah ni berlagsung berbulan-bulan atau
bertahun-tahun.

33

3. Tahap sklerotik atau sikatrik, pergantian jaringan granulasi menjadi fibrotic dan
sklerotik yang dapat menyebabkan penyempitan saluran napas.
Diagnosis rhinoskleroma mudah ditegakkan di daerah endemis, tapi di tempat non
endemis perlu diagnosis banding dengan penyakit granulomatosa lain. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan bakteriologik dan gambaran
histopatologi yang sangat khas dengan adanya sel-sel Mikulicz.
Penatalaksanaan pada kasus ini mencakup terapi antibiotik jangka panjang dan
tindakan bedah untuk obstruksi saluran pernapasan, antibiotik yang direkomendasikan
yaitu tetrasiklin, kloramfenikol, trimetoprim-sulfametoksazol, siprofloksasin, klindamisin
dan sefalosporin. Pemberian antibiotik paling sedikit selama 4 minggu bahkan bisa
sampai berbulan-bulan. Tindakan Operasi dapat dilakukan untuk mengangkat jaringan
granulasi dan sikatrik, operasi plastik kadang-kadang dilakukan untuk memperbaiki
saluran pernafasan atau merekonstruksi deformitas. Penyakit ini jarang bersifat fatal
kecuali bila menyumbat saluran napas, tingkat rekurensinya tergolong tinggi terutama
bila pengobatan tidak tuntas.31

2.1.3.2 Rinitis Mikosa (Jamur)


a.

Definisi
Infeksi pada hidung yang disebabkan oleh jamur. Rhinitis Mikosa dapat bersifat

invasif dan non-invasif. Rhinitis jamur non-invasif dapat menyerupai gumpalan jamur
(rinolit/fungus ball) dengan inflamasi mukosa yang lebih berat. Tipe invasif ditandai

34

dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propia. Bila invasi sampai submukosa
maka bisa terjadi perforasi septum nasi.25
b.

Etiologi
Penyebab rinitis mikosa diantaranya, yaitu: Aspergillus, Candida, Histoplasma,

Fussarium dan Mucor.25


c.

Tanda dan Gejala


Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen, mungkin ada ulkus

atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman (black
eschar). Untuk mengetahui jamur penyebab dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi.25
d.

Penatalaksanaan
Terapi rhinitis mikosa non invasif dengan mengangkat seluruh gumpalan jamur,

Terapi untuk rhinitis jamur invasif yaitu dengan mengeradikasi agen penyebab dengan
pemberian anti jamur oral dan topikal.25

2.1.3.3 Rhinitis Sicca


a.

Definisi
Rhinitis sicca disebut juga dry nose atau dry rhinitis yaitu bentuk rhinitis dimana

mukosa hidung kering.26

b.

Etiologi
Lingkungan yang berdebu, panas dan kering.26

c.

Tanda dan Gejala

35

Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung, sumbatan hidung,
epistaksis dan penurunan fungsi penghidu.26
d.

Penatalaksanaan
Pengobatan Rinitis Sicca terutama untuk mengeliminasi faktor pencetus,

melembabkan mukosa cavum nasi, pembersihan krusta, perawatan mukosa dan


menghambat terjadinya infeksi atau dalam kasus yang jarang eliminasi ruang
endonasal yang overlarge. Irigasi hidung dan semprotan saline nasal mengeliminasi
sel-sel inflamasi secara langsung dan mencapai peningkatan clearance mukosiliar
dengan meningkatkan frekuensi gerak silia. 26
Salep hidung sebagian besar termasuk

gliserol

mengembangkan

efek

melembabkan dan proteksi hidung dari kehilangan air. Konsentrasi minyak yang rendah
juga memiliki efek menguntungkan pada frekuensi gerak silia. Efektivitas dexpanthenol,
analog alkohol asam pantotenat dalam pengobatan rhinitis Sicca tersebar luas dan telah
terbukti secara klinis.26
Penggunaan ectoine dalam semprot hidung saline bisa menjadi pendekatan terapi
yang berguna untuk pasien rhinitis sicca. Selain itu terapi kombinasi dapat juga
diaplikasikan, misalnya kombinasi ectoine dan dexpanthenol.26

36

2.1.3.4 Rinitis Virus


Infeksi saluran nafas atas yang diakibatkan oleh virus dapat menyebabkan
terjadinya rhinitis akut. Virus yang berperan antara lain Rhinovirus (rinitis simplek),
Respiratory syncytial virus, Parainfluenza virus, Influenza virus dan Adenovirus.
Pada sebagian besar penyakit ini dapat sembuh dengan sedirinya dan hanya
membutuhkan pengobatan simptomatik.35
Rinitis simplek merupakan rinitis virus yang paling sering terajdi. Penyakit ini sering
disebut juga sebagai salesma, commond cold atau flu. Infeksi biasanya terjadi melalui
droplet di udara. Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak
adanya kekebalan, atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya
penyakit kronis).32
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas,
kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul bersing berulang-ulang, hidung
tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala.
Mukosa hidung tampak merah dan bengkak.32
Rhinovirus paling sering menyebabkan rinitis simpleks, diduga 80% rinitis simplek
pada dewasa muda disebabkan oleh rhinovirus. Rhinovirus memiliki kemampuan untuk
bermutasi, sehingga sulit untuk melakukan imunisasi sebagai profilaksis. Berdasarkan
penelitian, sebagian besar orang dewasa dapat mengalami 2-3 kali serangan rinitis simpleks
setiap tahunnya dan <2% diantaranya dapat berkembang menjadi rinitis baktrerial karena
infeksi sekunder.35,36

37

Faktor predisposisi rinitis simplek diantaranya perubahan iklim, perubahan


lingkungan, dan menurunnya daya tahan tubuh (kelelahan, adanya penyakit menahun, dan
lain-lain).
Tidak ada terapi spesifik untuk rinitis simpleks, selain istirahat dan diberikan obat
simtomatis, seperti analgetika, antipiretik, dan dekongestan. Gejala klinis dapat sembuh
spontan 7-10 hari. Antibiotik hanya diberikan bila terdapat infeksi sekunder oleh
bakteri.32,34,35

2.1.3.5 Rinitis Difteri


Rinitis Difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, dapat terjadi primer
pada hidung atau sekunder dari tenggorok, perjalanan penyakitnya dapat terjadi secara
akut atau kronis. Dugaan adanya rhinitis difteri harus dipikirkan pada penderita dengan
riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan, karena
cakupan program imunisasi yang semakin meningkat. Gejala rinitis difteri akut adalah
demam, terdapat limfadenitis, dan dapat disertai paralisis otot pernapasan. Pada hidung
dapat ditemukan sekret bercampur darah, pseudomembran putih yang mudah berdarah,
dan krusta coklat di nares anterior dan rongga hidung. 3,11 Jika perjalanan penyakitnya
menjadi kronik, masih dapat menulari. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
kuman dari sekret hidung.25

2.1.3.6 Rinitis Sifilis

38

Penyakit ini sudah jarang ditemukan. Penyebab rintitis sifilis adalah kuman
Treponema pallidum. Infeksi ini dapat menimbulkan manifestasi klinis pada hidung.
Perjalanan penyakit sifilis terdiri dari fase primer, sekunder dan tersier. Chancre primer
dapat terbentuk di bagian hidung luar atau pada vestibulum nasi, tahap ini terjadi 3-4
minggu setelah kontak dan akan menghilang secara spontan dalam 6-10 minggu. Pada
fase awal ini, hasil pemeriksaan apusan pada lesi menunjukan adanya treponema
pallidum, sedangkan uji serologis dapat saja negatif. Sifilis fase sekunder muncul 6-10
minggu setelah infeksi dan dapat menyebabkan rinitis catarrhal simplek. Pemeriksaan
serologis dapat menunjukan hasil positif pada fase ini. Sifilis fase tersier ditandai dengan
adanya gumma yang berbatas tegas, berupa nodul merah yang terbentuk pada membran
mukosa, periosteum dan tulang. Gumma sering menimbulkan nyeri tekan di atas nose
bridge, perforasi septum posterior dan nasal collapse. Pada fase ini 90% pasien
menunjukan hasil positif pada pemeriksaan serologis.2,12
Sifilis kongenital dapat bermanifestasi sebagai rinitis sifilis atau syphilitica
snuffles. Manifestasi muncul beberapa minggu setelah kelahiran atau bisa menjadi bentuk
laten yang bermanifestasi saat masa pubertas. Syphilitica snuffles memiliki karakteristik
berupa nasal saddling, abnormalitas gigi geligi dan gangguan dengar sensorineural.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi dan pemeriksaan mikrobiologik.2,12
Penatalaksanaan yang diberikan sesuai dengan etiologi penyakit. Antibitoik yang
diberikan untuk mengeradikasi treponema pallidum. Pemberian antibiotik Benzathine
Penicillin G secara intramuskular banyak dipilih untuk mengobati semua fase infeksi sifilis
pada dewasa, kecuali pada neurosifilis. Penicillin G intravaskular diberikan untuk

39

pengobatan neurosifilis. Dosis Benzathine penicillin G yang diberikan yaitu 2.400.000 unit
dosis tunggal secara intramuskular. Alternatif lain dapat diberikan bagi pasien yang alergi
terhadap Penisilin yaitu Doksisiklin 100 mg peroral yang diberikan selama 14 hari atau
ceftriaxone 1 gr IV atau IM perhari, diberikan selama 10 hari. Jenis antibitik dan dosis
dapat disesuaikan berdasarkan usia, sedang masa kehamilan atau tidak dan fase penyakit
sifilis itu sendiri. Penatalaksanaan lain berupa pembersihan krusta secara rutin dan obat
cuci hidung.25,37

2.2. Epistaksis
Epistaksis adalah kondisi yang sering dialami 7% sampai 14% pada populasi
umum setiap tahunnya. Kebanyakan penderita epistaksis tidak mencari pengobatan
karena perdarahan yang terjadi minor dan biasanya dapat membaik dengan sendiri.
Insidensi epistaksis lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita dan
lebih sering terjadi pada musim dingin dibandingkan dengan musim panas. Epistaksis
anterior terhitung 90% sampai 95% dari semua kejadian.29
2.2.1 Definisi dan Klasifikasi Epistaksis
Epistaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung dapat primer atau
sekunder, spontan atau akibat rangsangan, dan berlokasi di sebelah anterior atau
posterior.28
Pada anak dan dewasa muda, epistaksis terutama timbul dari bagian anterior
septum yang disebut Littles area atau Plexus Kiesselbach. Daerah ini terbuka

40

terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan juga trauma-trauma kecil yang
multiple. Terjadi ulkus, rupture, atau kondisi patologik local lainnya, dan selanjutnya
timbul perdarahan.28
Melihat asal perdarahannya, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan
epistaksis posterior. Sumber perdarahan memperngaruhi penatalaksanaan yang
dilakukan.27,28
Epistaksis Anterior sering terjadi dari pleksus Kiesselbach di septum bagian
anterior atau dari arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan septum anterior biasanya
ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengirek hidung dan
sering terjadi pada anak-anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.27,28,29
Epistaksis Posterior dapat berasal dari arteri ethmoidalis posterior atau arteri
sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri,
sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arterosklerosis, atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina.27

2.2.2 Etiologi Epistaksis


Etiologi dari epistaksis dapat terjadi karena berbagai faktor. Faktor-faktor
tersebut meliputi:
Tabel 1. Tabel etiologi epistaksis29
Lokal
Trauma: digital, fraktur
Nasal spray (efek trauma local)
Reaksi inflamasi
Deformitas anatomi

Sistemik
Hipertensi
Penyakit vascular
Blood dyscrasias
Hematologi

41

(contoh: septal spur/defleksi)


Benda asing
Tumor intranasal
Iritan kimiawi
Nasal prong O2, CPAP
Surgery

(Malignansi)
Alergi
Malnutrisi
Alcohol
Obat-obatan
Infeksi

2.2.2.1 Trauma
Epistaksis dapat terjadi spontan atau karena trauma pada septum nasi oleh jari
atau obat semprot hidung. Terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma
yang lebih hebat yaitu karena pukulan, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu
dapat juga terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis juga sering terjadi karena adanya spina septum yang tajam, perdarahan
dapat terjadi pada tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan
bila konka itu sedang mengalami pembengkakkan. Penggunaan obat semprot hidung
kortikosteroid terus menerus, dapat menyebabkan terjadinya kerusakan epithelial
septum nasi yang membentuk kerak dan terjadi perdarahan. Deviasi septum nasal
dapat memperberat terjadinya epistaksis karena pada defleksi septum sering terjadi
pembentukan kerak dan melepaskan kerak tersebut dengan menggunakan tangan
dengan sering menyebabkan trauma terus menerus mengakibatkan ulkus septal. Pada
daerah ulkus septal terjadi penurunan suplai darah sehingga menyebabkan perforasi
septum, sehingga epistaksis lebih sering terjadi. Benda asing pada hidung menjadi
penyebab terjadinya epistaksis yang jarang, dapat terjadi pada anak kecil atau pada

42

pasien dengan retardasi mental. Pada pasien dengan benda asing pada hidung terjadi
pengeluaran sekret bercampur dengan darah yang bau, dan terjadi hanya pada salah
satu lubang hidung.27,28,29

2.2.2.2 Infeksi Lokal


Epistaksis dapat terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis
atau sinusitis. Dapat pula pada infeksi spesifik seperti jamut, tuberculosa, lupus,
sifilis atau lepra.27

2.2.2.3.Tumor
Epistaksis dapat terjadi pada haemangioma dan karsinoma. Yang paling sering
terjadi adalah angiofibrioma, dapat menyebabkan epistaksis berat. Tumor nasal dapat
menyebabkan epistaksis intermitten. Pada pria dewasa muda, juvenile angiofibroma
dapat disingkirkan, dan pada pasien yang lebih dewasa malignansi hidung, sinus atau
rung postnasal dapat disingkirkan.27,29
2.2.2.4.Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arterosklerosis, nefritis kronis, sirosis hepatis dan diabetes mellitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali
hebat dan dapat berakibat fatal. Pada pasien hipertensi terjadi perubahan kemampuan
pembekuan akibat obat antikoagulan dan disfungsi hati. Obat-obatan yang dapat

43

menyebabkan epistaksis antara lain aspirin, clopidogrrel, NSAID dan warfarin. Obatobatan tersebut memiliki cara kerja yang berbeda namun dapat meningkatkan
kejadian epistaksis. Pada pasien hipertensi dengan epistaksis menyababkan
pembentukan fibrosis pada tunika media arteri, hal tersebut menyebabkan terjadinya
vaskontriksi yang adekuat setelah terjadiya rupture pembuluh darah sehingga
membutuhkan intervensi yang cepat untuk menghentikan perdarahan. 27,29
2.2.2.5.Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemophilia. Hemophilia A lebih sering terjadi,
hemophilia A adalah penyakit yang disebabkan karena penurunan anticoagulant
faktor pembekuan VIII yang diikuti dengan von Willebrand disease dengan
mereduksi faktor pembekuan von Willebrand (vWF). Prokoagulan dan von
Willebrand terbentuk dari fakter VIII. Hemofilia B lebih jarang terjadi, pada
hemophilia B terjadi penurunan kadar faktor pembekuan IX.27,29
2.2.2.6.Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah telengiektasis
hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic telengiektasis Osler-Randu-Weber
disease). Pada pasien dengan penyakit tersebut terjadi malformasi arteriovenous yang
terjadi pada semua mukosa. Dinding pembuluh darah tipis dan tidak memiliki sel otot
polos dan sering terbentuk berkelompok pada otak, paru-paru dan system pencernaan.

44

Pada hidung, lesi tersebut dapat terbentuk dari lesi pada septum, dinding hidung
lateral, dan dasar dari hidung. Keadaan ini dapat menyebabkan epistaksis tanpa
trauma. 27,29

2.2.2.7. Infeksi sistemik


Infeksi sistemik yang dapat menyebabkan epistaksis, diantaranya: Dengue
Fever, demam typhoid, influenza dan morbili.27

2.2.2.8.Perubahan Udara Dan Tekanan Atmosfer


Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada ditempat cuaca yang
sangat dingin atau kering. Hal serupa juga dapat disebabkan adanya zat-zat kimia
ditempat industry yang menyebabkan keringnya mukosa hidung.27

2.2.2.9.Gangguan Hormonal
Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal.27

2.2.3 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber
perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor risiko penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan.27

45

Bila pasien dating dengan epistaksis, perhatiakan keadaan umum, nadi,


pernapasan, serta tekanan darah. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu.27
2.2.3.1.Menghentikan Perdarahan Anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kiesselbach di septum
bagian depan, apabila tidak berhenti dengan sendirinya (perdarahan minor),
perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat coba dihentikan denga menekan
hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil.27
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut duberi krim
antibiotik.27,38
Bila dengan cara seperti ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu
dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kassa yang diberi
pelumas vaselin atau salep antibiotic. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah
dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut.
Tampon dimasukkan sebagai 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat
menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus
dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukkan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan
masih belum berhenti, dipasang tampon baru.27,28,38

46

Gambar 3. Pemasangan kateter anterior


2.2.3.2.Menghentikan Perdarahan Posterior
Perdarahan dari posterior lebih sulit diatasi, karena asal perdarahan sulit
diketahui. Seringkali hanya diketahui sisi tempat perdarahan dan kemungkianan
bahwa daerah tepatnya adalah didekat koana posterior atau mungkin di nasofaring
sendiri.27,28
Pada keadaan perdarahan posterior dilakukan anestesi local, kemudian tampon
posterior (tampon Bellocq) dimasukkan ke bagian ujung posterior hidung melalui
nasofaring dengan bantuan kateter, tampon ini terbuat dari kasa padat dibentuk kubus
atau bulat dengan diameter 3cm, pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu
sisi dan sebuah di sisi berlawanan. Tahap pertama masukkan kateter melalui lubang
hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter

47

diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui
hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan
bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum molle masuk ke nasofaring.
Kedua benang yang keuar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di
depan nares anterior, agar tampon tetap pada tempatnya. Benang lain yang keluar dari
mulut difiksasi secara longgar pada pipi pasien, gunanya adalah untuk mengeluarkan
tampon melalui mulut. Cara lain yaitu dengan memasukkan kateter melalui nares
anterior dan setelah mencapai nasofaring , lakukan ballooning pada kateter dengan
saline 15mL. Diharapkan balon akan menempati kavum postnasal.27,28,29

Gambar 4. Pemasangan tampon poeterior dengan tampon Bellocq

48

Gambar 5. Pemasangan tampon poeterior dengan kateter


Pada exsanguinating hemorrhage biasanya terjadi setelah trauma mayor
seperti fraktur basis kranii anterior yang mungkin menyebabkan kerusakan pada arteri
ethmoidalis anterior dan posterior. Pada fraktur maxilar dapat menyebabkan
perdarahan pada artery maxillaris. Pasien dengan perdarahan major (exsanguinating
hemorrhage) harus segera dilakukan resusitasi di unit gawat darurat. Bila perdarahan
tetap terjadi pasang postnasal kateter.29
Tabel 3. Penatalaksanaan exsanguinating hemorrhage29
Penatalaksanaan pada exsanguinating hemorrhage
Step 1
ABC dan anestesi umum
Step 2
Anestesi dapat menyebabkan rendahnya tekanan darah agar dapat
mencari sumber perdarahan, bila perdarahan tetap tidak terkontrol,
buatlah insisi pada leher lalu klem arteri carotid eksterna dengan klem
vascular. Bila perdarahan berlanjut klem arteri carotid interna untuk
sementara dengan klem vascular untuk menstabilkan perdarahan yang
terjdai pada hidung.
Step 3
Jika terjadi perdarahan pada hidung bagian superior, gunakan local pack
diikuti dengan ligase etmoid anterior
Jika perdarahan terjadi pada hidung bagian posterior, menstabilasasikan
pada area sphenoid atau sphenopalatine. Jika terjadi pada area

49

Step 4

sphenopalatine lakukan ligase sphenopalatine.


Jika terjadi pada sphenoid, gunakan ribbon gauze pack pada sphenoid
Lakukan pemeriksaan radiologi yang menunjang dan angiogram.

2.2.4 Komplikasi Dan Pencegahan


Komplikasi dapat terjadi akibat epistaksis sendiri atau karena usaha
penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah
ke dalam saluran napas bawah, syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan
darah secara mendadak dapat menyebabkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi coroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.27
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi bakteri, sehingga
perlu diberikan antibiotik.27
Pemasangan

tampon

dapat

menyebabkan

rhinosinusitis, otitis

media,

septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu harus selalu diberikan
antibiotic pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus
dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.27
Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi
palatum mole atau sudut bibir, jika fiksasi benang pada pipi terlalu ketat. Kateter
balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras sarena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.29
Secara keseluruhan penanganan kasus epistaksis dapat dilihat pada bagan
dibawah ini:38

50

EPISTAKSIS
Observasi keadaan umu dan tanda vital
Keadaan umum lemah
Atasi/Perbaiki Tanda Vital
Keadaan umum baik dan stabil

Identifikasi Sumber/ Lokainsi Perdarahan


(hisap bekuan darah, tampon adrenal dan lidocaine)

LOKASI TIDAK DIKETAHUI

LOKASI DIKETAHUI

Kaustik AgNO3/
As. Triklorasetat
Kauterasi Elektrik
Kalau perlu
+ Tampon Anterior
+ Koagulansia oral /
sistemik

TAMPON ANTERIOR
2X 24 Jam / lebih

Kalau perlu :
TAMPON POTERIOR
Rawat, obs Tanda Hipoksia
Kalau Perlu:
Lab. Darah tepi
Cari kausa dan terapi kausa
Cari komplikasi & terapi koplikasi

ANGKAT TAMPON
PERDARAHAN (-)

PERDARAHAN (+)

TAMPON ULANG
2x24 Jam / lebih
Jika belum dikerjakan, lakukan :
Lab darah tepi
Cari kausa & terapi kausa
Cari komplikasi & terapi komplikasi

ANGKAT TAMPON

PERDARAHAN (+)

PERDARAHAN (-)

INTERVENSI BEDAH :
LIGASI ARTERI
SMR/SEPTOPLASTI
ANGIOGRAFI / EMBOLISASI

Bagan 1. Penatalaksanaan Epistaksis Berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Dan Tenggorok
Bedah Kepala Dan Leher Indonesia.38

Anda mungkin juga menyukai