Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

ALERGI ANAK

Disusun Oleh:

Naraswari Ramadhiastuti Apriwibowo

1102014188

Pembimbing:

DR. dr. Elsye Souvriyanti, Sp. A.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 30 NOVEMBER-27 DESEMBER 2019


BAB I

PENDAHULUAN

Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis,
yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan
sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya
dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut allergen.

Prevalensi penyakit alergi pada anak meningkat seiring dengan pola kehidupan yang
berhubungan dengan pengaruh lingkungan. Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh
dunia menderita penyakit yang diperantarai oleh IgE. Penyakit alergi termasuk diantaranya
rhinitis alergi, asma alergi, dermatitis alergi, konjungtivitis alergi, anafilaksis, reaksi alergi
makanan atau alergi obat merupakan mayoritas dari penyakit alergi. Resiko dari penyakit
dapat mencapai 50% apabila salah satu dari orang tua anak mempunyai riwayat alergi, dan
dapat meningkat menjadi 66% apabila didapatkan riwayat alergi pada kedua orang tua anak,
dengan riwayat ibu yang mempunyai alergi mempunyai efek yang lebih besar daripada
riwayat alergi pada ayahnya (Wistiani dan Notoatmojo, 2011.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme
imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,
yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang
pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut
allergen. Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi silang
terhadap sel mast yang mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast
akan teraktivasi dengan melepaskan mediator terlarut seperti histamin untuk
kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ
tersebut (Wistiani dan Notoatmojo, 2011).
Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun
selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas.
2. Epidemiologi
Allergy Expert dalam info grafiknya tahun 2017 menyatakan bahwa dari
seluruh penduduk dunia, sekitar 10-40% diperkirakan mengalami alergi. Sedangkan
di Indonesia sendiri alergi menyerang sekitar 10,5% anak usia kurang dari 3 tahun dan
3,7% pada anak usia kurang dari 6-12 bulan (Nutriclub, 2017).
Untuk kasus asma, WHO memperkirakan terjadi pada 5%-15% populasi anak
di seluruh dunia. Di Indonesia prevalensi penyakit alergi yang telah diteliti pada
beberapa golongan masyarakat atau rumah sakit menunjukkan variasi, misalnya data
dari Poliklinik Alergi-Imunologi Anak RSCM dari pasien anak yang menderita alergi,
sekitar 2,4% berupa alergi susu sapi (Wistiani dan Notoatmojo, 2011).
Epidemiologi dermatitis atopik di dunia sekitar 15-20% pada anak dan 1-3%
pada dewasa. Insidensi tertinggi terjadi pada awal masa kanak-kanak dan bayi,
dimana 85% kasus muncul pada tahun pertama kehidupan dan 95% kasus muncul
sebelum usia 5 tahun. Sedangkan di Indonesia sedikit lebih tinggi, diangka 23,67%
(Danarti, 2017).
Prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10-20% dan secara
konstan meningkat dalam dekade terakhir. Usia rata-rata onset rhinitis alergi adalah 8-
11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang dengan usia 20 tahun. Biasanya rinitis
alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda) (Susanti, et al, 2016).

Gambar 1. Grafik Alergi Anak

3. Etiologi
Etiologi alergi multifaktorial. Diantaranya dapat berasal dari agen, host, dan
lingkungan. Host dapat berupa daya tahan tubuh dan usia dimana usia dini semakin
rentan terhadap alergi. Lingkungan dapat berupa suhu, musim. Agen dapat berupa
alergen. Reaksi alergi yang timbul akibat paparan alergen pada umumnya tidak
berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan dan sangat beragam. Diantaranya
adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk
darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat
berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, sterptomisin,
sulfonamid. Ekstrak alergen dapat berupa rumput-rumputan atau jamur, serum ATS,
ADS, dan anti bisa ular.
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan
dikarenakan maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain
selain ASI (Air Susu Ibu), contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan
akan menimbulkan manifestasi penyakit alergi. Hal ini disebabkan makanan yang
masuk masih dianggap asing oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang belum
matur sehingga makanan tidak terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan
kemudian menimbulkan hipersensitivitas
4. Patogenesis
Hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaksis terjadi dalam reaksi jaringan terjadi
dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan
kejadian anafilaksis adalah sebagai berikut:
1. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan.
2. Fase aktivasi merupakan waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang
antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan aktivitas
farmakologik (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Gambar 2. Patogenesis Hipersentivitas Tipe I


5. Manifestasi
1. Rinitis Alergi
Rinitis adalah inflamasi mukosa hidung yang ditandai oleh satu atau lebih
gejala hidung seperti bersin, gatal, rinorea, atau hidung tersumbat. Rinitis sering
disertai gejala yang melibatkan mata, telinga, dan tenggorok. Alergi merupakan
penyebab tersering rhinitis dan menjadi salah satu penyakit kronis pada masa
anak. Gejala yang timbul pada rhinitis alergi merupakan akibat inflamasi yang
diinduksi oleh respons imun yang dimediasi IgE terhadap alergen tertentu.
Klasifikasi menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008:
- Intermiten
- Gejala < 4 hari/minggu
- atau, < 4 minggu berturut-turut
- Persisten
- Gejala > 4 hari/minggu
- dan, > 4 minggu berturut-turut
- Ringan
- Tidur normal
- Tidak terdapat gangguan aktivitas harian
- Tidak terdapat penurunan produktivitas kerja/sekolah
- Gejala tidak mengganggu
- Sedang-berat
- Terdapat gangguan tidur
- Terdapat gangguan aktivitas harian
- Terdapat penurunan produktivitas kerja/sekolah
- Gejala mengganggu

Diagnosis

Anamnesis

 Rasa gatal di hidung, telinga, palatum, tenggorok, dan mata


 Bersin
 Rinorea, sekret hidung jernih
 Hidung tersumbat
 Bernapas melalui mulut atau mengorok. Gejala bernapas melalui mulut sering
terjadi pada malam hari yang dapat menimbulkan gejala tenggorokan kering,
mendengkur, gangguan tidur, serta rasa kelelahan pada siang hari.
 Gejala sinusitis: post nasal drip, sakit kepala
 Mimisan
 Batuk kronik
 Riwayat atopi pada keluarga
 Anamnesis juga diarahkan untuk mencari faktor pencetus seperti faktor
lingkungan, makanan, atau faktor fisik seperti dingin, panas, dan sebagainya.

Pemeriksaan fisik

 Sering didapatkan warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak di
bawah mata.
 Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada anak, sering terlihat
mulut selalu terbuka yang disebut sebagai adenoid face. Keadaan ini
memudahkan timbulnya gejala lengkung palatum yang tinggi, serta maloklusi.
 Anak yang sering menggosok hidung karena rasa gatal menunjukkan tanda
yang disebut allergic salute.
 Tanda-tanda sinusitis seperti nyeri tekan sinus juga dapat ditemukan.

Gambar 3. Gejala Rinitis Alergi Pada Anak dan Adenoid Face


Gambar 4. Allergic Salute

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk mencari:

 Komplikasi sinusitis (pencitraan sinus), asma (uji fungsi paru)


 Faktor pencetus: skin prick test atau IgE spesifik darah.

Tatalaksana

 Tata laksana rinitis alergi meliputi penghindaran alergen penyebab,


medikamentosa, dan imunoterapi.
 Antihistamin H1 generasi 2 oral (setirizin, loratadin, levosetirizin,
desloratadin) diberikan untuk mengurangi gejala bersin, gatal, dan rinorea
tetapi sangat sedikit pengaruhnya terhadap sumbatan hidung.
 Kortikosteroid topikal adalah pengobatan paling efektif untuk mengontrol
gejala rinitis alergi persisten.
 Kortikosteroid oral dapat diberikan untuk jangka pendek (5-7 hari) untuk
gejala yang berat dan sulit diatasi atau pasien dengan polip nasal.
 Dekongestan oral tidak diberikan secara rutin. Dekongestan oral dapat
diberikan untuk mengurangi sumbatan hidung bila diperlukan.
 Dekongestan topikal dapat dipertimbangkan untuk penggunaan jangka pendek
(tidak lebih dari 5 hari). Hindari penggunaan dekongestan topikal untuk
jangka Panjang karena terdapat risiko terjadinya rinitis medikamentosa.
Dekongestan topikal tidak disarankan untuk diberikan pada anak di bawah 5
tahun.
 Ipratropium bromide topikal dapat diberikan untuk mengurangi gejala rinorea.
 Imunoterapi dengan alergen spesifik dapat dipertimbangkan pada pasien yang
tidak membaik dengan kombinasi penghindaran alergen dan pengobatan.

Rinitis alergi intermiten

1. Ringan
 Antihistamin H1 generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis.
 Bila terdapat gejala hidung tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti
pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis, diberikan 3 kali sehari.
2. Sedang/Berat
 Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin 0,25mg/kg/kali diberikan sekali
sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang dari 2 tahun, atau generasi
ketiga seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2 tahun.
 Bila tidak ada perbaikan atau bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid
misalnya prednison 1 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari.

Rinitis alergi persisten

1. Ringan
 Antihistamin generasi II (setirizin) jangka lama.
 Bila gejala tidak membaik dapat diberikan kortikosteroid intranasal misalnya
mometason furoat atau flutikason propionat.
2. Sedang/berat
 Diberikan kortikosteroid intranasal jangka lama dengan evaluasi setelah 2-4
minggu.
 Bila diperlukan ditambahkan pula obat-obat simtomatik lain seperti rinitis
alergi intermiten sedang/berat.

Prognosis

Rinitis alergi dapat semakin memberat dengan bertambahnya usia dan menjadi
masalah di saat dewasa. Menghindari alergen penyebab dikombinasi dengan
medikamentosa profilaksis dapat mengurangi kekerapan timbulnya gejala (IDAI,
2011).
Gambar 5. Guideline Rinitis Alergi Anak
2. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada bayi
dan anak, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit dan didasari oleh faktor
herediter dan lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif. Bila residif biasanya
disertai infeksi, akibat alergi, faktor psikogenik, atau akibat bahan kimia atau
iritan.
Dermatitis atopik dapat sembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula
menetap bahkan meluas dan memberat sampai usia dewasa. Kejadian dermatitis
atopi meningkat dari 3 – 10 %. Enam puluh persen anak dengan dermatitis atopi
manifestasi klinis terjadi pada tahun pertama kehidupan, 90% pada anak usia 5
tahun.
Faktor-faktor pencetus
 Iritan: sabun, detergen, desinfektan
 Alergen kontak dan hirup: debu, serbuk bunga
 Mirkoorganisme: kandida, dermatofit, stafilokokus aureus,
pityrosporum yeast,
 Infeksi virus
 Lain-lain: makanan, faktor psikogenik, iklim, hormon
Manifestasi klinis:
Terdapat 3 bentuk klinis dermatitis atopik yaitu bentuk infantil, anak dan
bentuk dewasa.
 Bentuk infantil
 Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi
daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ektremitas.
 Bentuk ini berlangsung sampai usia 2 tahun.
 Lesi yang paling menonjol adalah vesikel dan papula, serta
garukan yang menyebabkan krusta dan kadang infeksi sekunder.
 Bentuk anak
 Seringkali merupakan lanjutan dari bentuk infantil walaupun
diantaranya terdapat suatu periode remisi.
 Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih bersifat
kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea
tangan, kaki dan periorbita.
 Bentuk dewasa
 Terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Umumnya berlokasi didaerah
lipatan muka, leher, bagian badan atas dan ekstremitas.
 Lesi bebentuk dermatitis kronik dengan gejala utama likenifikasi
dan skuamasi.

Gambar 6. Distribusi Lesi Pada Dermatitis Atopik

Kriteria diagnosis dermatitis atopik


Diagnosis Dermatitis atopi bila ditemukan minimal 3 gejala mayor dan 3
gejala minor (Hanifin & Rajka, 1980).
 Kriteria mayor
 Pruritus
 Morfologi dan distribusi khas:
 Dewasa: likenifikasi fleksura
 Bayi dan anak: lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor
 Dermatitis bersifat kronik residif
 Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
 Kriteria minor
 Xerosis
 Iktiosis/pertambahan garis di palmar/keatosis pilaris
 Reaktivasi pada uji kulit tipe cepat
 Peningkatan kadar IgE
 Kecenderungan mendapat infeksi kulit atau kelainan imunitas
seluler
 Dermatitis pada areola mamae
 Keilitis
 Konjungtivitis berulang
 Lipatan Dennie-Morgan daerah infraorbita
 Keratokonus
 Katarak subskapular anterior
 Hiperpigmentasi daerah orbita
 Kepucatan/eritema daerah muka
 Pitiriasis alba
 Lipatan leher anterior
 Gatal bila berkeringat
 Intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solvent
 Gambaran polifolikuler lebih nyata
 Intoleransi makanan
 Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi
 White dermographism/delayed blanch

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk dermatitis atopic.


Eosinofilia dapat ditemukan pada beberapa pasien dan ada peningkatan serum IgE.
Pengukuran serum IgE dan skin-prick testing dapat digunakan untuk mengetahui
allergen.
Diagnosis banding

 Skabies
 Dermatitis seboroik infantil
 Dermatitis kontak
 Psoriasis
 Neurodermatitis
 Sistemik dermatitis
 Dermatitis herpetiformis
 Infeksi dermatofit
 Imunodefisiensi: Wiskott-Aldrich syndrome, DiGeorge syndrome, Hyper-IgE
syndrome, severe combined immune deficiency
 Penyakit metabolik: phenylketonuria, tyrosinemia, histidinemia, multiple
carboxylase deficiency, essential fatty acid deficiency
 Neoplasma: Cutaneous T-cell lymphoma, Histiocytosis X

Tata laksana

 Gejala ringan
 Perawatan harian rutin:
 Memotong kuku untuk mengurangi abrasi kulit
 Mandi dengan air hangat
 Kurangi kontak sabun pada genitalia, aksila, tangan dan kaki
 Gunakan sabun yang lembut
 Keringkan dan gunakan pelembab
 Hindari kontak dengan alergen
 Kortikosteroid topikal potensi lemah-sedang
 Antihistamin bila perlu

Bila membaik, lanjutkan terapi. Bila tidak membaik, tata laksana sesuai gejala sedang
berat.

 Gejala sedang-berat
 Perawatan harian rutin
 Naikkan potensi kortikosteroid topikal
 Antihistamin rutin

Bila tidak membaik:

 Pertimbangkan infeksi sekunder atau dermatitis kontak


 Pertimbangkan leukotrien inhibitor
 Antihistamin rutin
 Perawatan harian rutin
 Naikkan potensi kortikosteroid topikal

Bila membaik, lanjutkan perawatan harian rutin, turunkan potensi


kortikosteroid topikal potensi ringan-sedang, antihistamin bila perlu. Bila tidak
membaik, rujuk ke ahli imunologi atau dermatologi (IDAI, 2011).

Kortikosteroid

Untuk anak-anak dan remaja:

 Dermatitis Atopik Ringan


Kortikosteroid kelas 6-7, 2 kali sehari. Contoh: Hydrocortisone cream
atau ointment, 1% dan 2.5%
 Dermatitis atopik sedang
Steroid potensi menengah (kelas III, IV, V) dapat digunakan untuk
waktu yang singkat (<2 minggu) untuk mengontrol flare eksim.
 Untuk kasus dermatitis atopik yang berat, steroid topikal potensi tinggi (kelas
II) atau steroid oral mungkin bermanfaat pada remaja.
 Gunakan steroid potensi rendah pada wajah, aksila, selangkangan, dan area
lipatan
 Untuk dermatitis atopik ringan pada bayi, steroid topikal kelas VI atau VII.
 Jika bayi mengalami dermatitis atopik yang lebih berat, steroid potensi sedang
dapat diresepkan selama 1 minggu dan kemudian dikurangi menjadi potensi
lebih rendah untuk terapi maintenance (Schwartz, 2020).
Alergi Susu Sapi

Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai
secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi biasanya dikaitkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantai oleh IgE. Namun demikian ASS dapat
diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan
antara keduanya.

Insidens alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih
mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian besar reaksi
alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens 1.5%, sedangkan sisanya adalah tipe
non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai sedang,
hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat (IDAI, 2014).

Berikut algoritma pendekatan diagnosis dan tatalaksana untuk pasien dengan alergi
susu sapi menurut IDAI 2014.
6. Pencegahan Alergi
Pencegahan alergi merupakan upaya pencegahan manifestasi alergi, terdiri
dari pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer adalah pencegahan
terjadinya sensitisasi alergi. Pencegahan sekunder adalah pencegahan terjadinya
sensitisasi selanjutnya. Pencegahan tersier (pencegahan memberatnya manifestasi
klinis atau kekerapan kambuh).
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2010. Imunologi Dasar. 9th ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; p.383-9.

Danarti, R. (2017). Prevalensi kelainan Kulit pada Siswa SD Luar Biasa Pembina Yogyakarta
Prevalensi Kelainan Kulit Pada Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa ( SDLB ) Pembina.

IDAI. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.

IDAI. 2014. Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu SAPI. I. Jakarta. Balai Penerbit IDAI.

IDAI. 2014. Rekomendasi Pencegahan Primer Alergi. I. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.

Liu, A. H, et al. 2019. Childhood Asthma. In: Nelson Textbook of Pediatrics. 21st Ed.
Elsevier; p. 4936.

Nutriclub. 2017. Allergy Expert - Info Graphics | Nutriclub. Available at:


https://www.nutriclub.co.id/umbraco/surface/allergyexpert/infographicsBeforeLogin
(Accessed 13 December 2020)

Susanti, E. et al. (2016). Hubungan kadar RANTES sekret hidung dengan skor gejala total
penderita rinitis alergi. Vol. 46(2), pp. 110–120.

Wistiani dan Notoatmojo, H. 2011. Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi
pada Anak. Sari Pediatri. Vol.13, No.3; p.185-190.

Anda mungkin juga menyukai