ALERGI ANAK
Disusun Oleh:
1102014188
Pembimbing:
PENDAHULUAN
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis,
yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan
sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya
dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut allergen.
Prevalensi penyakit alergi pada anak meningkat seiring dengan pola kehidupan yang
berhubungan dengan pengaruh lingkungan. Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh
dunia menderita penyakit yang diperantarai oleh IgE. Penyakit alergi termasuk diantaranya
rhinitis alergi, asma alergi, dermatitis alergi, konjungtivitis alergi, anafilaksis, reaksi alergi
makanan atau alergi obat merupakan mayoritas dari penyakit alergi. Resiko dari penyakit
dapat mencapai 50% apabila salah satu dari orang tua anak mempunyai riwayat alergi, dan
dapat meningkat menjadi 66% apabila didapatkan riwayat alergi pada kedua orang tua anak,
dengan riwayat ibu yang mempunyai alergi mempunyai efek yang lebih besar daripada
riwayat alergi pada ayahnya (Wistiani dan Notoatmojo, 2011.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme
imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,
yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang
pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut
allergen. Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi silang
terhadap sel mast yang mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast
akan teraktivasi dengan melepaskan mediator terlarut seperti histamin untuk
kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ
tersebut (Wistiani dan Notoatmojo, 2011).
Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun
selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas.
2. Epidemiologi
Allergy Expert dalam info grafiknya tahun 2017 menyatakan bahwa dari
seluruh penduduk dunia, sekitar 10-40% diperkirakan mengalami alergi. Sedangkan
di Indonesia sendiri alergi menyerang sekitar 10,5% anak usia kurang dari 3 tahun dan
3,7% pada anak usia kurang dari 6-12 bulan (Nutriclub, 2017).
Untuk kasus asma, WHO memperkirakan terjadi pada 5%-15% populasi anak
di seluruh dunia. Di Indonesia prevalensi penyakit alergi yang telah diteliti pada
beberapa golongan masyarakat atau rumah sakit menunjukkan variasi, misalnya data
dari Poliklinik Alergi-Imunologi Anak RSCM dari pasien anak yang menderita alergi,
sekitar 2,4% berupa alergi susu sapi (Wistiani dan Notoatmojo, 2011).
Epidemiologi dermatitis atopik di dunia sekitar 15-20% pada anak dan 1-3%
pada dewasa. Insidensi tertinggi terjadi pada awal masa kanak-kanak dan bayi,
dimana 85% kasus muncul pada tahun pertama kehidupan dan 95% kasus muncul
sebelum usia 5 tahun. Sedangkan di Indonesia sedikit lebih tinggi, diangka 23,67%
(Danarti, 2017).
Prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10-20% dan secara
konstan meningkat dalam dekade terakhir. Usia rata-rata onset rhinitis alergi adalah 8-
11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang dengan usia 20 tahun. Biasanya rinitis
alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda) (Susanti, et al, 2016).
3. Etiologi
Etiologi alergi multifaktorial. Diantaranya dapat berasal dari agen, host, dan
lingkungan. Host dapat berupa daya tahan tubuh dan usia dimana usia dini semakin
rentan terhadap alergi. Lingkungan dapat berupa suhu, musim. Agen dapat berupa
alergen. Reaksi alergi yang timbul akibat paparan alergen pada umumnya tidak
berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan dan sangat beragam. Diantaranya
adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk
darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat
berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, sterptomisin,
sulfonamid. Ekstrak alergen dapat berupa rumput-rumputan atau jamur, serum ATS,
ADS, dan anti bisa ular.
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan
dikarenakan maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain
selain ASI (Air Susu Ibu), contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan
akan menimbulkan manifestasi penyakit alergi. Hal ini disebabkan makanan yang
masuk masih dianggap asing oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang belum
matur sehingga makanan tidak terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan
kemudian menimbulkan hipersensitivitas
4. Patogenesis
Hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaksis terjadi dalam reaksi jaringan terjadi
dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan
kejadian anafilaksis adalah sebagai berikut:
1. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan.
2. Fase aktivasi merupakan waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang
antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan aktivitas
farmakologik (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Sering didapatkan warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak di
bawah mata.
Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada anak, sering terlihat
mulut selalu terbuka yang disebut sebagai adenoid face. Keadaan ini
memudahkan timbulnya gejala lengkung palatum yang tinggi, serta maloklusi.
Anak yang sering menggosok hidung karena rasa gatal menunjukkan tanda
yang disebut allergic salute.
Tanda-tanda sinusitis seperti nyeri tekan sinus juga dapat ditemukan.
Pemeriksaan penunjang
Tatalaksana
1. Ringan
Antihistamin H1 generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis.
Bila terdapat gejala hidung tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti
pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis, diberikan 3 kali sehari.
2. Sedang/Berat
Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin 0,25mg/kg/kali diberikan sekali
sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang dari 2 tahun, atau generasi
ketiga seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2 tahun.
Bila tidak ada perbaikan atau bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid
misalnya prednison 1 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari.
1. Ringan
Antihistamin generasi II (setirizin) jangka lama.
Bila gejala tidak membaik dapat diberikan kortikosteroid intranasal misalnya
mometason furoat atau flutikason propionat.
2. Sedang/berat
Diberikan kortikosteroid intranasal jangka lama dengan evaluasi setelah 2-4
minggu.
Bila diperlukan ditambahkan pula obat-obat simtomatik lain seperti rinitis
alergi intermiten sedang/berat.
Prognosis
Rinitis alergi dapat semakin memberat dengan bertambahnya usia dan menjadi
masalah di saat dewasa. Menghindari alergen penyebab dikombinasi dengan
medikamentosa profilaksis dapat mengurangi kekerapan timbulnya gejala (IDAI,
2011).
Gambar 5. Guideline Rinitis Alergi Anak
2. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada bayi
dan anak, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit dan didasari oleh faktor
herediter dan lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif. Bila residif biasanya
disertai infeksi, akibat alergi, faktor psikogenik, atau akibat bahan kimia atau
iritan.
Dermatitis atopik dapat sembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula
menetap bahkan meluas dan memberat sampai usia dewasa. Kejadian dermatitis
atopi meningkat dari 3 – 10 %. Enam puluh persen anak dengan dermatitis atopi
manifestasi klinis terjadi pada tahun pertama kehidupan, 90% pada anak usia 5
tahun.
Faktor-faktor pencetus
Iritan: sabun, detergen, desinfektan
Alergen kontak dan hirup: debu, serbuk bunga
Mirkoorganisme: kandida, dermatofit, stafilokokus aureus,
pityrosporum yeast,
Infeksi virus
Lain-lain: makanan, faktor psikogenik, iklim, hormon
Manifestasi klinis:
Terdapat 3 bentuk klinis dermatitis atopik yaitu bentuk infantil, anak dan
bentuk dewasa.
Bentuk infantil
Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi
daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ektremitas.
Bentuk ini berlangsung sampai usia 2 tahun.
Lesi yang paling menonjol adalah vesikel dan papula, serta
garukan yang menyebabkan krusta dan kadang infeksi sekunder.
Bentuk anak
Seringkali merupakan lanjutan dari bentuk infantil walaupun
diantaranya terdapat suatu periode remisi.
Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih bersifat
kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea
tangan, kaki dan periorbita.
Bentuk dewasa
Terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Umumnya berlokasi didaerah
lipatan muka, leher, bagian badan atas dan ekstremitas.
Lesi bebentuk dermatitis kronik dengan gejala utama likenifikasi
dan skuamasi.
Pemeriksaan Penunjang
Skabies
Dermatitis seboroik infantil
Dermatitis kontak
Psoriasis
Neurodermatitis
Sistemik dermatitis
Dermatitis herpetiformis
Infeksi dermatofit
Imunodefisiensi: Wiskott-Aldrich syndrome, DiGeorge syndrome, Hyper-IgE
syndrome, severe combined immune deficiency
Penyakit metabolik: phenylketonuria, tyrosinemia, histidinemia, multiple
carboxylase deficiency, essential fatty acid deficiency
Neoplasma: Cutaneous T-cell lymphoma, Histiocytosis X
Tata laksana
Gejala ringan
Perawatan harian rutin:
Memotong kuku untuk mengurangi abrasi kulit
Mandi dengan air hangat
Kurangi kontak sabun pada genitalia, aksila, tangan dan kaki
Gunakan sabun yang lembut
Keringkan dan gunakan pelembab
Hindari kontak dengan alergen
Kortikosteroid topikal potensi lemah-sedang
Antihistamin bila perlu
Bila membaik, lanjutkan terapi. Bila tidak membaik, tata laksana sesuai gejala sedang
berat.
Gejala sedang-berat
Perawatan harian rutin
Naikkan potensi kortikosteroid topikal
Antihistamin rutin
Kortikosteroid
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai
secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi biasanya dikaitkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantai oleh IgE. Namun demikian ASS dapat
diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan
antara keduanya.
Insidens alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih
mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian besar reaksi
alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens 1.5%, sedangkan sisanya adalah tipe
non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai sedang,
hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat (IDAI, 2014).
Berikut algoritma pendekatan diagnosis dan tatalaksana untuk pasien dengan alergi
susu sapi menurut IDAI 2014.
6. Pencegahan Alergi
Pencegahan alergi merupakan upaya pencegahan manifestasi alergi, terdiri
dari pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer adalah pencegahan
terjadinya sensitisasi alergi. Pencegahan sekunder adalah pencegahan terjadinya
sensitisasi selanjutnya. Pencegahan tersier (pencegahan memberatnya manifestasi
klinis atau kekerapan kambuh).
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2010. Imunologi Dasar. 9th ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; p.383-9.
Danarti, R. (2017). Prevalensi kelainan Kulit pada Siswa SD Luar Biasa Pembina Yogyakarta
Prevalensi Kelainan Kulit Pada Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa ( SDLB ) Pembina.
IDAI. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
IDAI. 2014. Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu SAPI. I. Jakarta. Balai Penerbit IDAI.
IDAI. 2014. Rekomendasi Pencegahan Primer Alergi. I. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
Liu, A. H, et al. 2019. Childhood Asthma. In: Nelson Textbook of Pediatrics. 21st Ed.
Elsevier; p. 4936.
Susanti, E. et al. (2016). Hubungan kadar RANTES sekret hidung dengan skor gejala total
penderita rinitis alergi. Vol. 46(2), pp. 110–120.
Wistiani dan Notoatmojo, H. 2011. Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi
pada Anak. Sari Pediatri. Vol.13, No.3; p.185-190.