Anda di halaman 1dari 9

JOURNAL READING

“A Successfull Treatment Of A Rare Case Of Dermatitis Herpetiformis”

Disusun Oleh :

Naraswari Ramadhiastuti Apriwibowo

1102014188

Pembimbing :

Dr. dr. Nenden Sobarna, Sp.KK, FINSDV.

KEPANITERAAN KLINIK KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 16 NOVEMBER – 29 NOVEMBER 2020


ABSTRAK

Dermatitis Herpetiformis merupakan kasus autoimun bullosa yang jarang,


dengan karakteristik pruritis yang intens, kronik, dan vesikula rekuren pada
permukaan ekstensor seperti siku, lutut, dan bokong. Kejadian ini dikaitkan dengan
gen HLA-DR3, HLA DQw2, yang ditemukan pada 80-90% kasus. Immunofloresensi
merupakan gold standard untuk diagnosis, namun uji serologi dapat membantu
apabila didapatkan hasil negatif pada immunofloresensi. Pemeriksaan histopatologik
pada ujung dari dermis papiller, ditemukan banyak neutrophil dan granular
immunoglobulin A. Dermatitis Herpetiformis juga dikaitkan dengan intoleransi
glukosa, meskipun mekanismenya masih belum diketahui secara pasti. Pasien yang
diet bebas gluten dapat mengurangi penyakit ini baik pada kulit maupun saluran usus,
dengan demikian dapat mengurangi resiko dari perkembangan limfoma. Dapson
merupakan terapi utama, namun diperlukan pemantauan efek samping dari terapi.
Pendahuluan

Dermatitis Herpetiformis mempunyai karakteristik seperti rasa gatal yang


berat, gambaran umum yang kronik seperti erupsi papulovesikel tersebar pada
permukaan ekstensor secara simetris. Penyakit ini berbeda dengan penyakit erupsi
blister subepidermal lain dari kriteria gastrointestinal, histologi, dan immunologi.

Cormane mendeskripsikan karakteristik klinis dari penurunan IgA pada


dermoepidermal junction. Meskipun asimptomatik, pasien dapat merasakan gangguan
pada gastrointestinal, khususnya pada pasien dengan Gluten Sensitive Enteropathy
(GSE). Hubungan dermatitis herpetiformis dengan GSE lebih lanjut terkait dengan
penurunan kadar IgA pada kulit. Dermatitis herpetiformis dan GSE mempunyai
haplotip HLA yang sama (DQ2 dan DQ8), diet bebas gula merupakan salah satu
penanganan untuk penyakit ini.

Prevalensi dermatitis herpetiformis paling banyak pada keturunan Eropa


Utara. Rasio pria lebih banyak dibandingkan wanita yakni 1.5:1 sampai 2:1.
Dermatitis herpetiformis dapat mengenai segala usia, namun paling banyak pada
dewasa muda antara 15-40 tahun. Prevalensi dermatitis herpetiformis bervariasi tiap
negara. Jerman 1:100.000 kasus baru/tahun.; Irlandia 58.8:100.000; Swedia 20-
39:100.000; dan Skotlandia 11:100.000. Meskipun dermatitis herpetiformis paling
sering pada populasi kaukasia, akan tetapi jarang pada orang Asia. Di Rumah Sakit
Umum Moh. Hosein Palembang, dermatitis herpetiformis merupakan kasus yang
jarang. Mulai dari Januari 2014 sampai Desember 2017, hanya ada satu pasien yang
pernah di diagnosis dengan penyakit ini.

Manajemen pada dermatitis herpetiformis untuk tatalaksana non farmakologis


seperti diet bebas gluten, dan untuk tatalaksana farmakologis berupa dapson.

Pada laporan kasus ini, akan dibahas seorang pria, 42 tahun, yang pernah di
diagnosis dengan dermatitis herpetiformis dan sembuh setelah diterapi dengan dapson
dan dengan diet bebas gluten.
Laporan Kasus

Seorang laki-laki 42 tahun datang ke klinik bagian kulit dan kelamin dengan
keluhan ruam yang banyak pada kulit yang terakumulasi di wajah, perut, punggung,
kaki, 2 minggu sebelum dirawat. 2 minggu sebelum konsultasi pasien mengeluhkan
munculnya urtikaria seperti plak, vesikel eritem dan bulla pada regio fasialis, trunkus
anterior dan posterior, brachii dan antebrachia bilateral, femoris anterior, kruris dan
dorsum pedis bilateral dengan multiple, lenticular, dan diskrit. Keluhan tambahan
berupa gatal dan rasa panas. Tidak ada demam, diarrhea, maupun steatorrhea. Pasien
berobat ke dokter umum dan diberikan salep serta tablet namun pasien lupa nama
obatnya. Keluhan tidak berkurang. Pasien kemudian diresepkan 2 minuman herbal
yang dikonsumsi selama 3 hari namun vesikel dan bulla tidak membaik. Kemudian
dirujuk ke poli kulit dan kelamin Rumah Sakit Mohammad Husein Palembang dan
dirawat. Pada pemeriksaan fisik, status dermatologikus: regio fasialis, trunkus anterior
dan posterior, ekstremitas superior dan inferior dekstra dan sinistra: macula patch,
hiperpigmentasi, multiple, milier numuler, konfluen parsial diskrit. Vesikel bulla,
multiple, milier lenticular, diskret: erosi ekskoriasi, multiple irregular, diskrit,
Sebagian tertutup dengan kerak kehitaman, tebal dan mudah terkelupas. Cutaneous
sign: Nikolsky dan Asboe Hansen negatif. Hasil dari uji laboratorium dalam batas
normal. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan sel radang neutrophil, fragmen
neutrophil, jumlah eosinophil yang bervariasi, dan junctional separation. Pemeriksaan
immunofloresensi ditemukan penurunan granular IgA. Penatalaksanaan sistemik
pasien berupa IVFD: RL xx gtt/min, tablet dapson 100 mg/hari, tablet cetirizine 1x10
mg/hari. Penatalaksanaan topical: Acid salicylic solutio 1 0/00, 2x30 menit/hari
kompres pada bagian erosi dan ekskoriasi. Pasien juga melakukan diet bebas gluten.
Pasien dirujuk ke bagian gizi, dan dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi gluten. Pada
minggu ke 8 terapi, lesi kulit telah terobati dengan sisa macula hipo dan
hiperpigmentasi serta patch. Pasien akhirnya di diagnosis dengan Dermatitis
Herpetiformis.
Diskusi

Dermatitis Herpetiformis ditemukan pertama kali pada tahun 1884 oleh Louis
Duhring. Awalnya, dermatitis herpetiformis mempunyai klinis yang sama seperti
pemphigus dan pemfigoid, sehingga digolongkan dalam penyakit vesikobullosa. Pada
1888, Brocq mendiagnosis sebagai dermatitis polimorfik pruritis. Oleh karena itu,
sinonim dari dermatitis herpetiformis adalah penyakit Duhring-Brocq.

Meskipun sedikit, pasien dermatitis herpetiformis akan mengalami gangguan


gastrointestinal apabila mengkonsumsi gluten. Beberapa literatur menyatakan kalau
gluten mempunya peranan penting dalam pathogenesis dari dermatitis herpetiformis.
Gluten bisa didapatkan pada gandum hitam, barley, dan gandum. Mekanisme dari IgA
Tgase antiepidermal yang berada pada kulit masih belum diketahui. Hipotesis lama
menyatakan bahwa kompleks imun dalam sirkulasi yang mengandung IgA
berkontribusi dalam penurunan kadar IgA pada kulit. Penemuan terbaru dari
antiepidermal antibody IgA Tgase berperan pada kompleks imun epidermal IgA
Tgase. Namun hanya sedikit pasien dermatitis herpetiformis yang mempunyai IgA
dan penurunan epidermal Tgase jaringan dengan pola perivascular. Walaupun
penurunan IgA mempunyai peranan penting dalam pembentukan bulla, masih harus
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendukung hipotesis ini.

Lesi primer dari dermatitis herpetiformis adalah urtikaria seperti plak, papul
eritem, kebanyakan ditemukan vesikel. Bulla yang besar jarang. Lesi akan
menghasilkan hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Pada beberapa area muncul
kelompok herpetiformis, tapi ada juga lesi yang tidak masuk kelompok. Manifestasi
klinis lain berupa rasa terbakar dan sangat gatal. Pada pasien ini, ditemukan vesikel
eritem dan bulla pada trunkus anterior dan posterior. Penyebaran lesi simetris sikut,
pundak, bokong, dan area lutut.

Untuk tambahan, kriteria diagnosis dermatitis herpetiformis dapat ditunjang


apabila didapatkan penurunan IgA granular pada kulit. Penurunan dari IgA ini tidak
bisa diobati, namun dapat ditangan dengan diet bebas gula. Penurunan IgA tidak bisa
di deteksi pada semua kulit namun dapat di deteksi pada kulit normal yang berdekatan
dengan lesi. Penurunan IgA juga dapat ditemukan pada pasien pemfigoid bullosa,
Henoch-Schonlein purpura, scarring pemfigoid, walaupun terdapat pola penyebaran
yang berbeda. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa IgA1 merupakan subkelas
IgA yang ditemukan pada pasien dermatitis herpetiformis.

Pada pemeriksaan histologi untuk lesi awal dermatitis herpetiformis, terdapat


neutrophil pada dermis papiller, fragmen neutrophil, beberapa eosinophil, fibrin, dan
papiller yang terpisah dari epidermis. Pada pasien ini, ditemukan infiltrasi neutrophil
pada dermis papiller dengan pembentukan celah diantara dermalepidermal junction.

100% pasien dermatitis herpetiformis sensitive terhadap gluten, namun hanya


beberapa yang menunjukkan gejala kolik ataupun malabsorpsi usus (rasio 1:5). Ada
bukti bahwa dengan diet bebas gluten, lesi pada kulit dan gangguan pada usus akan
membaik walaupun perbaikan tidak terlihat pada 1 tahun atau 2 tahun pertama.
Barley, gandum, dan gandum hitam harus dihindari, namun oat, nasi, dan jagung
masih dapat dikonsumsi. Ini merupakan bukti dari pasien yang melakukan diet bebas
gluten dan menunjukkan perbaikan lesi meskipun tidak langsung terlihat.

Terapi tambahan diperlukan untuk menangani penyakit dengan cepat. Terapi


berhasil pada pasien yang diberikan diaminodiphenyl sulfone (dapsone), dosis awal
diberikan antara 100 dan 200 mg/hari. Perbaikan terlihat pada 3 jam atau beberapa
hari setelah pengobatan awal dan lesi tidak lagi erupsi setelah 1 sampai 2 hari dari
terapi awal. Dapsone tidak mempunyai efek samping pada usus sehingga penting
untuk pasien yang diet bebas gula. Dapsone berperan penting sebagai anti inflamasi
dan menghambat pengambilan neutrophil melalui kemotaksis, dan juga menekan
cedera jaringan yang dimediasi neutrophil. Dapsone diberikan jika uji G6PD telah
diperiksa karena efek samping dari dapsone dapat menyebabkan hemolisis. Ini
berhubungan dengan efek oksidan dari stress pada penuaan dari sel darah merah pada
individu yang rentan, sehingga pasien harus melakukan uji hitung darah lengkap
setelah mendapatkan terapi awal dapsone. Pada pasien ini, kadar G6PD normal
sehingga diberikan tablet dapsone 100 mg/hari. Cetirizine dibutuhkan untuk
mengurangi gatal pada dosis 10 mg/hari. Pengobatan dikombinasikan dengan ahli gizi
untuk yang memerlukan diet bebas gula. Pada pasien ini, gejala berkurang dalam 5
hari dan lesi pecah dalam 8 minggu dengan sisa macula hipo dan hiperpigmentasi
serta patch.
Kesimpulan

Dermatitis herpetiformis merupakan penyakit autoimun yang jarang dengan


perubahan immunopatologik yang spesifik pada kulit. Dermatitis herpetiformis
dianggap sebagai manifestasi spesifik dari enteropati sensitif gluten. Lesi muncul
pada permukaan ekstensor berupa papulovesikel yang sangat gatal, dengan ekskoriasi
dan pengerasan kulit dan infiltrasi neuthrofilik yang sesuai dari papila dermal dan
deposit IgA granular pada uji immunofloresensi secara langsung. Secara umum,
dermatitis herpetiformis memiliki prognosis yang baik dengan terapi awal gabungan
diet bebas gluten dan dapsone. Tim interprofessional yang melibatkan dokter kulit dan
ahli gizi sangat ideal.
DAFTAR PUSTAKA

Nopriyati, et al. 2016. A Successfull Treatment Of A Rare Case Of Dermatitis Herpetiformis.


Journal of Physics: Conference Series, pp 1-4.

Anda mungkin juga menyukai