Anda di halaman 1dari 39

TUGAS FORENSIK

DISUSUN OLEH:
Dokter Muda RSUD Moh. Saleh, Probolinggo

Kelompok A2: Kelompok E2:


I Gusti Ngurah Nanda P. (20710061) Kadek Yulianti (20710083)
I Made Agung Suya A. (20710089) Yoga Airlangga Putra (20710073)
Siluh Nyoman Raita Sari (20710092)
Yossy Meirani Rasa (20710085)
Niken Nabila Ayuningtyas (20710040 )
Yuni Ani Langi (20710087)
Yefta Amandea Cahyono P. (20710074)
Guido Trischesmuel Tola (20710004)
Sang Putu Hendy E. (20710075)

Kelompok H2 :
Putu Desita Devi S. (20710039)
Kelompok G2:
Ni Putu Christina A. (20710012)
Safira Rizky Octaviana (20710018)
Adex Wahyu Artha F. (20710072)
Dwi Putri Wulandari (20710026)
I Dewa Putu Gede A. (20710050)
Nabillaturrahmah (20710044)
Made Wismaya Sidharta (20710113)
I Putu Bagas Ananda (20710117)
I kadek Mande Dwiky A. (20710116)

PEMBIMBING:
dr. H. Agus Moch. Algozi, Sp.F (K) DFM, S.H

KEPANITRAAN KLINIK SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN


MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat dan rahmatnya
lah penulis dapat menyelesaikan tugas Referat Forensik sebagai salah satu syarat
untuk mengikuti ujian di bidang Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal dalam
menyelesaikan Pendidikan dokter muda di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya.
Selain itu penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
2. dr. H.Agus Moch. Algozi, Sp.F (K) DFM, S.H selaku Kepala Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik Dan Medikolegal di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya.
3. dr. Meivy Isnoviana, S.H, M.H selaku pembimbing di Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
4. Kedua orang tua kami yang telah memberikan dukungan moril, materil, maupun
spiritual.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis
mengharap kritik dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat bermanfaat
untuk dokter muda yang melaksanakan kepanitraan klinik pada khususnya, serta
masyarakat pada umumnya.

Surabaya, 9 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul ......................................................................................i

Kata Pengantar ......................................................................................ii

Daftar Isi ...............................................................................................Iii

Lembar Pengesahan...............................................................................v

BAB I Forensik Klinis .......................................................................1

1.1 Pemeriksaan Selaput Dara .........................................................1

1.2 Pemeriksaan Anus......................................................................2

1.3 Pemeriksaan Derajat Luka ........................................................3

1.4 Klasifikasi Luka ........................................................................5

BAB II Teknik Pengambilan Sampel ...............................................6

2.1 Buccal Swab ............................................................................6

2.2 Pengambilan Darah..................................................................7

2.3 Vaginal Swab...........................................................................7

2.4 Pengambilan Urin ....................................................................8

2.5 Pengambilan Muntahan dan Isi Lambung ...............................9

2.6 Pemeriksaan Jaringan dan Sampel Tulang ..............................10

2.7 Pengambilan Sampel Gigi .......................................................10

2.8 Pengumpulan dan Pengemasan Barang Bukti .........................11

BAB III Pemeriksaan Toksologi .......................................................12

3.1 Pemeriksaan TKP ....................................................................12

3.2 Pemeriksaan Jenazah ...............................................................12

3.3 Pemeriksaan Toksologi ...........................................................13

BAB IV Laboratorium Forensik .......................................................16

4.1. Pemeriksaan Cairan Mani........................................................16

iii
4.2. Pemeriksaan Bercak Darah......................................................16

4.3. Histopatologi Forensik ............................................................18

4.4. Fotografi Forensik ...................................................................18

4.5. Tes Getah Paru ........................................................................19

4.6 Pengambilan Gas CO2 dari Sumur...........................................19

4.7. Alkali Dilution Test .................................................................20

4.8 Tes Apung Paru .......................................................................21

4.9. Emboli Udara Vena .................................................................22

4.10. Emboli Udara Arteri ..............................................................22

4.11. Emboli Lemak .......................................................................22

4.12. Pneumothorax........................................................................23

BAB V Surat Kematian .....................................................................24

5.1 Guna Surat Kematian ..............................................................24

5.2 Macam-Macam Surat Kematian .............................................24

5.3 Contoh Surat Kematian ...........................................................26

BAB VI Visum Et Repertum ............................................................28

6.1 Visum et Repertum .................................................................28

6.2 Prosedur Permintaan Visum et Repertum ...............................28

6.3 Bagian-bagian Visum et Repertum .........................................28

6.4 Macam-macam Visum et Repertum .......................................29

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 31

LEMBAR PENGESAHAN

iv
Kelompok : A2,E2,G2,H2 DM RSUD Moh.Saleh Probolinggo

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Wijaya Kusuma Surabaya

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan : SMF Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Periode Kepaniteraan Klinik : 30 September 2021 s/d 10 September 2021

Judul : Tugas Forensik

Pembimbing : dr. H. Agus Moch. Algozi, Sp.F(K)., S.H., DFM.

SMF Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal Fakultas Kedokteran

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo

Disetujui Oleh :

dr. H. Agus Moch. Algozi, Sp.F(K)., S.H., DFM

v
BAB I

FORENSIK KLINIK

1.1.Pemeriksaan Selaput Dara


Selaput dara adalah selaput vestigial yang secara embriologi
memisahkan 2/3 bagian atas vagina dengan 1/3 bagian bawahnya selama
pertumbuhan janin perempuan. Pada saat kelahiran, selaput dara
membuka dan bergeser ke bagian luar alat kelamin pada kebanyakan bayi
perempuan. Jaringan selaput dara biasanya mengecil pada saat kelahiran
sampai tersisa beberapa milimeter saja, dan konfigurasinya bervariasi
secara bentuk, ukuran dan kelenturan pada masa kanak- kanak, dan
berubah sepanjang kehidupan dewasa. Selaput dara berbeda ukuran dan
bentuknya dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter
tergantung usia, tahapan perkembangan seksual Tanner, dan status
hormon.
Pada masa pubertas, estrogenisasi dari jaringan selaput dara
membuat jaringan menjadi elastis. Pada umumnya, bentuk selaput dara
adalah annular atau berbentuk cincin, dengan membran yang cukup elastis
dengan ketebalan sekitar 1 mm dengan jaringan inti ikat dan epitel
skuamosa berlapis di permukaan. Pada bagian anterior dan posterior
adalah bagian yang paling menonjol dengan memiliki lubang di tengah
yang kemudian sebagai saluran keluar untuk aliran darah menstruasi.
Penampilan selaput dara pada orang dewasa umumnya tipis dan kemudian
menebal di daerah tepi.
Selaput dara dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan bentuk dan tepi
lubangnya, yaitu:
1. Bentuk teratur dan tepi teratur utuh

Hymen dengan tipe ini dibagi menjadi tiga, yang pertama


merupakan hymen annularis dengan lubang ditengah di segmen anterior.
Selanjutnya hymen semilunaris dengan lubang berada di segmen posterior
dan berbentuk menyerupai bulan sabit. Yang terakhir adalah hymen
labiiformis dengan lubang berbentuk celah yang berjalan dari anterior ke
posterior dengan bibir selaput di kedua sisinya.
2. Bentuk teratur dan tepi tidak teratur
Pada tipe ini bentuk lubang hymen bisa annular, semilunar atau labiiformis dengan

1
tepi yang bercelah atau defek kongenital yang dangkalatau jika terdapat banyak celah
maka tergantung sifat celahnya.

3. Bentuk teratur dan tepi teratur atau tidak teratur


Hymen yang termasuk kedalam jenis ini adalah hymen yang atypical karena
tidak

2
2

adanya lubang atau lubangnya lebih dari satu dan tidak merupakan satu
kesatuan.

1.2. Pemeriksaan Anus

Pemeriksaan anus dikerjakan untuk mengetahui tanda-tanda kekerasan


seksual yang terjadi pada korban sodomi yang pemeriksaannya dilakukan
dengan cara berikut ini :
1 Posisikan pasien dalam posisi tidur miring, posisi ini untuk pasien laki-laki maupun
perempuan
2 Gunakan handscoon

3 Inspeksi pada jaringan perianal dan lakukan palpasi pada kulit disekitarnya

4 Renggangkan pantat dan lakukan inspeksi pada area anal untuk mengetahui
karakteristik kulit dan lesi serta perhatikan apakah terdapat tanda-tanda kekerasan
pada bagian ini
5 Untuk melakukan pemeriksaan pada bagian dalam anus, oleskan lubrikan pada jari
telunjuk yang telah menggunakan sarung tangan kemudian secara perlahan masukkan
kedalam lubang anus dan perhatikan apakah terdapat nyeri tekan
6 Saat mengeluarkan tangan perhatikan apakah terdapat darah atau feses yang
menempel pada sarung tangan

1.3 Pemeriksaan Derajat Luka

Luka merupakan gangguan dan kontinuitas jaringan yang disebabkan


oleh suatu energi mekanik eksterna. Terminologi cedera digunakan
3

sebagai sinonim dari kata luka, bahkan dapat memberikan maksud yang
lebih luas dan tidak hanya membahas kerusakan yang diakibatkan oleh
energi fisik tetapi juga kerusakan lain yang disebabkan oleh panas, dingin,
bahan kimiawi, listrik, dan radiasi.
Dalam mendeskripsikan luka terbuka harus mencakup jumlah, lokasi,
bentuk, ukuran, dan sifat luka. Sedangkan untuk luka tertutup tidak perlu
dicantumkan dalam pendeskripsian luka. Bentuk penulisan deskripsi luka,
jumlah, lokasi, bentuk, ukuran tidak harus selalu urut tetapi penulisannya
harus selalu ditulis pada akhir kalimat.
a. Luka Lecet (Abrasi)

Luka lecet adalah luka yang superfisial, kerusakan tubuh terbatas


hanya pada lapisan kulit epidermis. Jika abrasi terjadi lebih dalam dari
lapisan epidermis pembuluh darah dapat terkena sehingga terjadi
perdarahan. Arah dari pengelupasan dapat ditentukan dengan
pemeriksaan luka. Dua tanda yang dapat digunakan yaitu tanda yang
pertama adalah arah dimana epidermis bergulung, tanda yang kedua
adalah hubungan kedalaman pada luka yang menandakan
ketidakteraturan benda yang mengenainya

b. Luka Memar (Kontusio)

Kontusio terjadi karena tekanan yang besar dalam waktu yang


singkat. Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah
kecil dan dapat menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah kulit atau
organ dibawahnya. Kontusio adalah suatu keadaan dimana terjadi
pengumpulan darah dalam jaringan yang terjadi sewaktu orang masih
hidup, dikarenakan pecahnya pembuluh darah kapiler akibat kekerasan
benda tumpul.

Luka memar dapat diklasifikasikan sebagai luka superficial, luka


4

memar dalam (deep), luka memar berbekas (patterened/imprint).


1 Luka memar superfisial
Luka memar superfisial terjadi secara segera dan disebabkan oleh akumulasi
darah secara subkutan
2 Luka memar dalam
Luka memar dalam menandakan adanya akumulasi pendarahan lebih dalam
dari lapisan kulit subkutan. Biasanya jenis luka ini memerlukan 1 sampai
2 hari untuk dapat terlihat di permukaan kulit.
3 Luka memar berbekas
Luka memar berbekas disebabkan oleh penekanan pada tubuh biasanya objek
yang menekan tubuh meninggalkan bekas pada permukaan kulit

c. Luka Robek (Laserasi)


Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya runcing tetapi tidak
begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit dan
menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit. Tepi dari laserasi
irregular dan kasar, disekitarnya terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh
bagian yang lebih rata dari benda tersebut.

d. Luka tusuk (Incisi)


Luka tusuk terjadi akibat alat yang berujung runcing dan bermata
tajam atau tumpul yang terjadi dengan suatu tekanan tegak lurus atau
miring pada permukaan tubuh.
e. Luka bacok
Luka bacok terjadi akibat benda atau alat yang berat dengan mata
5

tajam atau agak tumpul yang dilakukan dengan suatu ayunan disertai
tenaga yang cukup besar.

f. Luka iris
Luka yang disebabkan karena alat yang digunakan tepinya tajam
dan timbulnya luka oleh karena alat ditekan pada kulit dengan kekuatan
yang realif ringan yang digeserkan sepanjang permukaan kulit.

1.4 Klasifikasi Luka


a. Luka yang tidak menimbulkan halangan untuk sementara dalam melakukan
pekerjaan sehari-hari atau luka ringan.
b. Luka yang menimbulkan halangan untuk sementara dalam melakukan pekerjaan
sehari-hari atau luka sedang.
c. Luka berat ada 7:
1) Luka yang tidak ada harapan sembuh atau menimbulkan bahaya maut (misalnya :
luka tusuk pada perut).
2) Luka yang menyababkan tidak mampu melakukan pekerjaan sehari- hari selama
seumur hidup (misalnya: pemain piano yang kehilangan jarinya, dokter bedah
tulang yang kehilangan fungsi tangannya).
3) Luka yang menyababkan kehilangan salah satu panca indra.
4) Cacat berat misalkan kaki dan tangan putus karena amputasi.
5) Mengalami kelumpuhan.
6) Wanita hamil yang mengalami keguguran.
7) Tergantungnya daya pikir lebih dari 4 minggu.
6
BAB II

TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL

2.1 Buccal Swab

Buccal swab dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Pastikan mulut dalam keadaan kosong, lebih baik sebelum melakukan sikat gigi pada
pagi hari dan sebelum makan apapun.
2. Mencuci tangan kemudian mengenakan sarung tangan dan masker

3. Pilih kapas steril, busa, atau swab stick yang sesuai

4. Dengan hati-hati hapuslah swab stick pada bagian pipi dalam dekat gigi bawah dan
atas, kemudian secara lembut gosoklah dengan memutar swab sepanjang bagian
dalam pipi selama 5-10 detik, pastikan bahwa seluruh swab-tip telah melakukan
kontak dengan pipi.
5. Setelah menghapus swab, berhati-hati untuk tidak menyentuh ujung swab dengan
gigi, bibir, atau permukaan lain.
6. Hindari tip swab bersentuhan dengan sarung tangan atau menyentuh permukaan
apapun.
7. Tempatkan swab langsung ke tabung transportasi kering atau amplop koleksi
8. Label tabung atau amplop dengan informasi identitas

9. Bubuhkan tanggal pengambilan sampel untuk verifikasi

10. Simpan swab pada amplop yang disediakan untuk segera dikirim ke laboratorium
atau transfer ke freezer sampai semua siap untuk pengujian.

2.2 Pengambilan Darah

Darah yang diperoleh dari pembuluh darah perifer merupakan spesimen darah
pilihan untuk analisis toksikologi, karena konsentrasi senyawa dalam darah dari
jantung mungkin dapat berubah setelah kematian oleh karena redistribusi darah dari
paru-paru atau hati. Darah yang dikumpulkan kemudian harus disimpan dalam
tabung berpenutup abu-abu yang mengandung NaF (sodium florida).
Darah merupakan sampel paling baik untuk tes toksikologi postmortem, dan
umumnya 20 ml, atau 2 tabung vacutainer cukup untuk dilakukan tes.

6
7

Jika pada jenazah dilakukan otopsi, pengambilan darah perifer dan sentral harus
dilakukan ketika rongga tubuh terbuka. Darah perifer merupakan spesimen pilihan
dan dapat diambil dari vena femoralis, vena iliaka, yang mudah di akses saat
pemeriksaan internal, atau dari vena subsklavia di dalam dada. Ukuran sampel dari
15-20 ml seharusnya cukup adekuat untuk pemeriksaan toksikologi. Pengambilan
darah dengan volume yang lebih besar (> 20 mL) dapat menyebabkan pergerakan
darah antar pembuluh darah dan terjadi percampuran darah dalam pembuluh darah
yang berbeda. Risiko ini lebih besar terjadi pada vena subsklavia dibandingkan vena
femoralis dan vena iliaka.
Jika tidak dilakukan otopsi, blind stick sampling tidak boleh dilakukan. Prosedur
pemotongan pembuluh darah dapat dilakukan. Bahkan tanpa otopsi, vena femoralis
dapat dengan mudah terekspos dan pengambilan sampel darah perifer dapat
dilakukan. Demikian juga jantung dapat dapat diekspos dan ventrikel kiri dapat
dengan mudah diidentifikasi sehingga pengambilan darah sentral dapat dilakukan.
Darah perifer secara umum diterima sebagai spesimen yang paling akurat untuk
pemeriksaan toksikologi, karena kurang rentan terhadap perubahan postmortem.

2.3 Vaginal Swab

Vaginal swab atau pemeriksaan apus vagina artinya mengambil sediaan seperti
lendir yang terdapat pada daerah vagina untuk diperiksa sel-sel yang terkandung di
dalamnya dengan menggunakan bantuan bawah mikroskop. Vagina swab ialah
Pemeriksaan cairan dari vagina dengan usapan, hasil usapan lalu ditambahkan cairan
fisiologis dan garam lalu ditunggu selama 4-5 menit.
Prosedur Kerja vaginal swab adalah sebagai berikut :

1. Berkomunikasilah dengan baik dengan pasien terlebih dahulu, setelah suasana mulai
kondusif, mulailah langkah-langkah pengambilan sample

2. Suruh pasien berbaring pada kursi yang telah disiapkan khusus untuk pengambilan
sample swab vagina dengan menekuk lutut hingga dekat paha
3. Bersihkan labia mayora dengan garam fisiologis

4. Masukkan spekulum ke lubang vagina, buka spekulum hingga terlihat serviks


5. Oleskan lidi kapas pada bagian tersebut sebanyak dua kali pengambilan

6. Kembalikan posisi spekulum pada posisi semula

7. Keluarkan perlahan
8

8. Rendam pada baskom yang berisi desinkfektan

9. Taruh lidi kapas tadi pada tabung reaksi

10. Tutup rapat dengan kapas berlemak yang terbungkus kertas perkamen

11. Bawa ke laboratorium untuk diperiksa dengan gram dan kultur.

2.4 Pengambilan Urin

Pengambilan spesimen urine dilakukan oleh penderita sendiri (kecuali dalam


keadaan yang tidak memungkinkan). Sebelum pengambilan spesimen, penderita
harus diberi penjelasan tentang tata cara pengambilan yang benar. Spesimen urine
yang ideal adalah urine pancaran tengah (midstream), di mana aliran pertama urine
dibuang dan aliran urine selanjutnya ditampung dalam wadah yang telah disediakan.
Pengumpulan urine selesai sebelum aliran urine habis.
Aliran pertama urine berfungsi untuk menyiram sel-sel dan mikroba dari luar
uretra agar tidak mencemari spesimen urine. Sebelum dan sesudah pengumpulan
urine, pasien harus mencuci tangan dengan sabun sampai bersih dan
mengeringkannya dengan handuk, kain yang bersih atau tissue. Pasien juga perlu
membersihkan daerah genital sebelum berkemih. Wanita yang sedang haid harus
memasukkan tampon yang bersih sebelum menampung spesimen.
Pasien yang tidak bisa berkemih sendiri perlu dibantu orang lain (misalnya
keluarga atau perawat). Orang-orang tersebut harus diberitahu dulu mengenai cara
pengumpulan sampel urin, mereka harus mencuci tangannya sebelum dan sesudah
pengumpulan sampel, menampung urine midstream dengan baik. Untuk pasien anak-
anak mungkin perlu dipengaruhi/dimotivasi untuk mengeluarkan urine. Pada pasien
bayi dipasang kantung penampung urine pada genitalia.

A. Cara pengumpulan urine 24 jam adalah :

1. Pada hari pengumpulan, pasien harus membuang urine pagi pertama. Catat tanggal
dan waktunya. Semua urine yang dikeluarkan pada periode selanjutnya ditampung.

2. Jika pasien ingin buang air besar, kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu
untuk menghindari kehilangan air seni dan kontaminasi feses pada sampel urin
wanita.
3. Keesokan paginya tepat 24 jam setelah waktu yang tercatat pada wadah,
pengumpulan urine dihentikan.
9

4. Spesimen urine sebaiknya didinginkan selama periode pengumpulan.

B. Cara pengambilan sampel urine clean-catch pada pasien wanita :

1. Pasien harus mencuci tangannya dengan memakai sabun lalu mengeringkannya


dengan handuk, kain yang bersih atau tissue.
2. Tanggalkan pakaian dalam, lebarkan labia dengan satu tangan

3. Bersihkan labia dan vulva menggunakan kasa steril dengan arah dari depan ke
belakang
4. Bilas dengan air bersih dan keringkan dengan kasa steril yang lain.

5. Selama proses ini berlangsung, labia harus tetap terbuka dan jari tangan jangan
menyentuh daerah yang telah dibersihkan.
6. Keluarkan urine, aliran urine yang pertama dibuang. Aliran urine selanjutnya
ditampung dalam wadah steril yang telah disediakan. Pengumpulan urine selesai
sebelum aliran urine habis. Diusahakan agar urine tidak membasahi bagian luar
wadah.
7. Wadah ditutup rapat dan segera dikirim ke laboratorium.

C. Cara pengambilan urine clean-catch pada pasien pria :

1. Pasien harus mencuci tangannya dengan memakai sabun lalu mengeringkannya


dengan handuk, kain yang bersih atau tissue.
2. Jika tidak disunat, tarik preputium ke belakang. Keluarkan urine, aliran urine yang
pertama dibuang. Aliran urine selanjutnya ditampung dalam wadah steril yang telah
disediakan. Pengumpulan urine selesai sebelum aliran urine habis. Diusahakan agar
urine tidak membasahi bagian luar wadah.
3. Wadah ditutup rapat dan segera dikirim ke laboratorium.

2.5 Pengambilan Muntahan dan Isi Lambung

1. Pengambilan sampel lambung dan isinya dilakukan dengan cara :

a. Lambung diikat pada 2 tempat :

- Yang berbatasan dengan kerongkongan

- Yang berbatasan dengan usus halus

b. Cara ini dimaksudkan untuk menghindari hancurnya butir-butir pil atau tablet yang
10

tertelan korban untuk memudahkan dilakukannya pemeriksaan


c. Sedangkan cara lain yang bisa dilakukan adalah melakukan pemeriksaan kelainan
pada lambung oleh dokter sehingga dapat diperkirakan jenis racun apa yang ditelan
oleh korban

2. Pemeriksaan usus dan isinya


Pemeriksaan usus sangat bergun terutama jika kematian korban terjadi
beberapa jam setelah ia kemasukan racun. Dari pemeriksaan dapat diperkirakan saat
kematian korban dan dapat ditemukannya tablet yang tidak dapat dihancurkan oleh
lambung (enteric coated tablet). Cara yang dapat dilakukan adalah mengikat usus
dengan jarak 60 cm yaitu pada perbatasan lambung-usus halus, usus halus, usus
halus-usus besar, dan usus besar poros usus. Ikatan ini bertujuan untuk mencegah
tercampurnya isi usus bagian oral dengan isi usus bagian anal.

2.6 Pemeriksaan Jaringan dan Sampel Tulang


1 Jaringan, organ dan tulang segar
a. Ambil tiap bagian dengan menggunakan pinset
b. Tempatkan setiap bagian dalam wadah yang berbeda dan beri label
c. Simpan dalam tempat pendingin dan kirim
2 Jaringan, organ dam tulang tidak segar
Tempatkan setiap bagian pada wadah yang berbeda dan berikan label Wadah :
a. 2 buah toples yang masing-masing berukuran 2 liter untuk hati dan usus
b. 3 buah toples yang masing-masing berukuran 1 liter untuk lambung beserta isiny,
otak dan ginjal.
c. 4 buah toples yang masing-masing berukuran 25 ml untuk darah yang terdiri dari 2
buah, urine, dan empedu.

2.7 Pengambilan Sampel Gigi


Pengambilan sampel gigi dilakukan dengan cara :
1. cabut gigi yang masih utuh
2. masukkan kedalam kantong plastic dan berikan label.
11

2.8 Pengumpulan dan Pengemasan Barang Bukti


Barang bukti adalah bukti fisik yang secara umum disebutkan sebagai sejumlah
material baik dalam jumlah banyak atau sedikit yang dibuktikan melalui pemeriksaan
yang ilmiah dan analisis berkaitan tindak pidana telah terjadi.
Tujuan pemeriksaan barang bukti :
a. Menegakkan diagnosis sebab kematian
b. Mengkonfirmasi temuan makroskopis
c. Memberi gambaran histomorfologi perjalanan penyakit
d. Gambaran intravitalitas
e. Menentukan umur secara histomorphologi (infark lama/baru, umur luka, dan lain-
lain)
Tujuan pemeriksaan barang bukti secara khusus untuk mengetahui :
1) Kematian mendadak
2) Aborsi
3) Hanging-chocking-throttling (asphyxia)
4) Tenggelam
5) Trauma thermik
6) Trauma listrik
7) Luka tembak
8) Keracunan
BAB III

PEMERIKSAAN TOKSOLOGI

Pemeriksaan toksikologi merupakan pemeriksaan tambahan yang dilakukan


khususnya dalam melakukan analisis racun baik secara kualitatif maupun kuantitatif
untuk membantu penegak hukum dan kemudian menerjemahkan hasil analisis ke
dalam suatu laporan (surat, surat keterangan ahli, atau saksi ahli), sebagai bukti
dalam tindakan kriminal (forensik) di pengadilan. Pemeriksaan peristiwa keracunan
dibagi menjadi tiga, yaitu :

3.1 Pemeriksaan TKP

Pemeriksaan TKP bertujuan untuk :


a. Menentukan korban masih hidup atau sudah meninggal
b. Mengumpulkan barang bukti yang kemudian dilakukan pemeriksaan toksikologi,
dalam mengumpulkan barang bukti ada beberapa hal yang harus selalu diperhatikan
diantaranya :
1) Dokter tetap berkoordinasi dengan penyidik, terutama bila ada tim labfor
2) Dokter membantu mencari barang bukti misal racun, anak peluru, dll.
3) Segala yang ditemukan di serahkan kepada penyidik
4) Dokter yang meminjam barang bukti tersebut
5) Setelah selesai melakukan pemeriksaan, TKP ditutup selama 3 x 24 jam
6) Korban di bawa ke rumah sakit dengan disertai permohonan Visum er Repertum

3.2 Pemeriksaan Jenazah

a. Pemeriksaan Luar
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pemeriksaan luar pada kasus keracunan
diantaranya :
1) Pakaian : pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak yang disebabkan oleh
tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak warna coklat
karena asam sulfat atau kuning karena asam nitrat
2) Lebam mayat : warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna, karena
warna lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi warna darah yang tampak pada
kulit. Pada korban yang keracunan CO lebam mayat berwarna Cherry Red, korban
keracunan sianida lebam mayat berwarna merah terang dan pada korban keracunan
nitrit lebam mayat berwarna coklat kebiruan

12
13

3) Warna kulit : pada korban yang mengalami hiperpigmentasi dan keratosis pada
telapak tangan dan kaki yang diakibatkan keracunan arsen kronik. Kulit berwarna
kelabu kebiru-biruan akibat keracunan perak (Ag). Pada keracunan tembaga (Cu) dan
fosfor kulit akan berwarna kuning akibat hemolisis juga pada keracunan insektisida
hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan fungsi hati.
4) Bau : dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang dikiranya
ditelan oleh korban misaln ya : minyak tanah, karbol, alkohol
b. Pemeriksaan Dalam
1) Racun yang bersifat korosif, pada pemeriksaan lambung dapat ditemukan lambung
yang hiperemi, mengalami perlunakan, ulserasi dan perforasi.
2) Pada urin bisa ditemukan warna kehijauan pada kasus keracunan salisilat

3.3 Pemeriksaan Toksikologi

a. Pengambilan dan pengumpulan bahan


Pada saat pengambilan dan pengumpulan bahan perlu di jaga
syarat yang dikolegal dan Chain of Evidance.
1) Bahan-bahan yang diambil :
a) Stat. I : Lambung dan usus beserta isinya
b) Stat. II : Hati lebih kurang 500 gram, otak lebih kurang 500 gram, dan paru lebih
kurang 250 gram.
c) Stat. III : Ginjal (diambil sebagian kanan dan kiri), kandung kemih.
2) Bahan-bahan lain yang dapat diambil:

a) Darah sebanyak 50 – 100 ml

b) Urin sebanyak 100 ml


3) Bahan-bahan yang dapat diambil pada korban hidup :

a) Sisa makanan atau minuman

b) Obat-obatan, bahan penyebab keracunan

c) Bahan muntahan atau hasil kubahan lambung

d) Urin, darah, dan feces

4) Bahan-bahan yang dapat diambil pada kasus tertentu :

a) Korban keracunan alkohol.

Diambil darah dari vena femoralis dan urin


14

b) Korban yang tidak ditemukan darah.

Diambil jaringan otot dan sumsum tulang

c) Korban keracunan arsen kronis. Diambil rambut, kuku, dan tulang.


5) Bahan yang telah diambil kemudian diletakkan di dalam wadah yang telah
ditentukan, syarat wadah tersebut :
a) Berbahan plastik atau gelas
b) Bermulut lebar
c) Dapat ditutup rapat
d) Bersih dari zat kimia
e) Jumlah wadah minimal 3 masing-masing wadah berisi :
 Wadah I : organ trac. Gastrointestinal
 Wadah II : organ hati, empedu, otak, ginjal, dll
 Wadah III : organ trac. Urogenitalis
6) Bahan-bahan tersebut kemudian diberikan pengawet berupa alkohol 96% selain itu
bisa juga diberikan es batu, dry ice, Na flurida dan merkuri nitrat. Setelah bahan
terendam dalam pengawet tutup dengan paraffin kemudian ikat dan beri label dan
setelah itu di segel dengan cek dinas.
Dalam proses pengiriman perlu diperhatikan :
a) Sertakan contoh bahan pengawet lebih kurang 100 ml dalam botol bersih, dilabel
dan di segel
b) Dikirim segera setelah bahan di ambil
c) Diantar via kurir ataupun via paket

b. Syarat-syarat surat pengambilan dan pengumpulan bahan :

1) Surat permohonan pemeriksaan toksikologi

2) Surat tentang laporan peristiwa atau kejadian (secara singkat)

3) Surat tentang laporan otopsi

4) Berita acara pembungkusan dan penyegelan (cap segel dinas)

c. Isi label pengambilan dan pengumpulan bahan :

1) Identitas korban

2) Jenis dan jumlah bahan pemeriksaan

3) Bahan pengawet yang dipakai

4) Tempat dan saat pengambilan bahan, pembungkus dan penyegelan


15

5) Tanda tangan dan nama terang penyegel dan dokter yang melakukan otopsi
6) Cap stempel dinas dan segel dinas

d. Pengambilan dan pengumpulan bahan pada penggalian jenazah :

1) Bila mungkin bahan tersebut seperti diatas

2) Contoh tanah : bagian atas atau bawah, kiri atau kanan jenazah

3) Pembanding : contoh tanah radius 5 meter dengan kedalaman yang sama dengan
jenazah

4) Masing-masing dimasukkan dalam wadah tersendiri


BAB IV

LABORATORIUM FORENSIK

4.1 Pemeriksaan Cairan Mani

1) Sperma cair

- Hisap dengan semprit bersih (steril) atau pipet disposable

- Pindahkan dalam tabung steril

- Diberi label, simpan di pendingin

- Dapat pula sperma cair diserap dengan kapas bersih, keringkan di udara

- Beri label, dipak dan dikirim ke laboratorium

2) Bercak sperma pada benda yang dapat dipindah. Misal : celana, pakaian, sprei,
bantal, guling, dll.
- Bila bercak masih basah, keringkan di udara

- Bila perlu benda yang berbercak dipotong

- Masukan dalam kantong kertas

- Beri label, dipak dan dikirim ke laboratorium

3) Bercak sperma pada benda besar yang dapat dipotong. Misal : Karpet, tempat tidur,
kasur, atau perkakas lain
- Potong daerah bebercak dengan pisau atau gunting bersih

- Masukan tiap potongan dalam kantong kertas

- Hindari kontaminasi

- Beri label, dipak dan dikirim ke laboratorium

4) Bercak sperma pada benda yang tidak dapat dipindah dan permukaan tidak
menyerap. Misal : lantai, logam, kayu, dll
- Bercak dikerok dengan alat yang bersih

- Letakan kerokan pada kertas bersih dan lipatlah

- Masukan dalam kantong kertas

- Beri label, dipak kemudian kirim ke laboratorium

5) Barang bukti sperma pada tubuh korban kejahatan seksual

16
17

- Korban biasanya diperiksa di rumah sakit

- Barang bukti dapat ditemukan di mulut, vagina dan anus korban

- Tiap item ditempatkan pada wadah tersendiri, beri label

- Dipak dan kirim ke laboratorium

4.2 Pemeriksaan Bercak Darah

1) Sampel darah cair

a. Darah dari seseorang

 Diambil dengan semprit oleh petugas yang berpengalaman

 Siapkan 2 tabung dengan EDTA. Dapat dipakai antikoagulan lain, tetapi perlu diingat
bahwa heparin dapat mempengaruhi aktifitas enzim retriksi tertentu.
 Isi tiap tabung dengan ± 5 ml darah.

 Tiap tabung ditutup dan diberi label.

 Simpan di pendingin

b. Darah cair di TKP

 Hisap dengan semprit bersih (steril) atau pipet disposibel

 Pindahkan dalam tabung steril

 Darah beku dapat diambil dengan spatel yang bersih

 Dapat dipakai kain katun bersih untuk menyerap darah.

 Sampel darah cair diberi antikoagulan

 Diberi label, simpan di pendingin

 Dipak dan dikirim ke laboratorium

c. Darah cair dalam air atau salju, es.

 Segera mungkin diambil untuk menghindari pengenceran lanjut

 Dalam jumlah cukup di masukan dalam tempat bersih (botol)

 Hindari kontaminasi
18

 Simpan di pendingin, bila mungkin di bekukan.

 Beri label

2) Bercak darah basah

a. Di pakaian

 Pakaian dengan noda darah diletakan dalam permukaan bersih, keringkan di udara.
 Jangan letakan pada tempat tertutup, kedap udara atau tas plastik. Akan
menyebabkan bahan pemeriksaan menjadi basah dan timbul bakteri yang dapat
merusak barang bukti.
 Setelah kering masukan dalam kantong kertas (amplop)

 Beri label dan segera kirim ke laboratorium pemeriksaan DNA

b. Benda dengan bercak darah basah

 Benda kecil biarkan kering di udara, kumpulkan.

 Pada benda besar yang tidak dapat dipindahkan, maka hisap bercak tersebut dengan
kain katun bersih kemudian keringkan di udara.
 Masukan dalam kantong kertas.

 Beri label dan segeraa kirim ke laboratorium

3) Bercak darah kering


a) Pada benda yang dapat dipindahkan, misal : senjata, kain, sprei
 Kumpulkan benda tersebut
 Tiap item masukan dalam kantong kertas
 Beri label dan segera kirim ke laboratorium
b) Pada benda yang padat dengan permukaan tidak menyerap dan tidak dapat
dipindahkan, misal : lantai
 Bercak dikerok dengan alat bersih
 Masukan dalam kantong kertas
 Beri label, dipak kemudian kirim ke laboratorium
c) Bercak darah kering pada benda besar yang tidak dapat dipindahkan atau dipotong
serta tidak dapat dikerok.
 Bercak dapat dilarutkan dengan kapas bersih yang telah dibasahi dengan cairan salin
steril atau air steril yang digosokan pada area bercak.
 Kapas dikeringkan di udara
19

 Setelah kering masukan dalam kantong kertas


 Beri label, dipak dan dikirim ke laboratorium

4.3 Histopatologi Forensik


Cara Pengambilan Sampel untuk Pemeriksaan Histopatologi
1. Jaringan yang akan diambil dipotong terutama pada daerah yang dicurigai dengan
ukuran lebih 3 x 2 x 0,5 cm. Tebal jaringan sebaiknya tidak lebih dari 0,5 cm agar
bahan pengawet dapat masuk kedalam jaringan sehingga tidak mengalami
pembusukan.
2. Apabila mengirim jaringan yang utuh, seperti jantung dan uterus sebaiknya jaringan
tersebut dibelah dan diiris agak tipis, sehingga pengawet dapat meresap ke dalam
jaringan dengan merata. Agar mudah dipotong menggunakan mikrotom untuk
mendapatkan irisan jaringan yang sangat tipis (sesuai yang diharapkan).

4.4 Fotografi Forensik


Fotografi forensik (Forensic imaging/crime scene
photography) adalah suatu proses seni yang
menghasilkan bentuk reproduksi dari tempat kejadian
perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat
untuk kepentingan penyelidikan hingga pengadilan.
Fotografi forensik juga termasuk ke dalam bagian dari
upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia,
tempat-tempat dan setiap benda yang terkait suatu
kejahatan dalam bentuk foto yang dapat digunakan oleh
penyidik saat melakukan penyelidikan atau penyidikan.
Syarat fotografi forensik adalah sebagai berikut :
1. Menggunakan metode empat sudut

2. Semua barang bukti harus di foto close-up, pertama dengan tanpa skala kemudian
dengan skala, mengisi seluruh frame foto
3. Foto dari sudut pandang mata untuk mewakili tampilan normal
4. Memotret semua bukti di tempat sebelum direposisi atau dibersihkan

4.5 Tes Getah Paru


Tes getah paru dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Paru-paru diletakkan diatas meja kemudian permukaan paru-paru dibersihkan satu
kali dengan pisau posisi tegak lurus
20

2. Kemudian di iris sampai alveoli yang paling dekat dengan pleura (sub pleura) dan di
tutup
3. Objek glass ditempelkan pada alveoli dan ditutup dengan gelas penutup
4. Dilihat dibawah mikroskop akan didapatkan lumpur, pasir, telur cacing, diatome,
alga, dll.
Hasilnya :
1. Tes getah paru (+) : korban sempat atau pernah bernafas dalam air
2. Tes getah paru (-) : korban meninggal terlebih dahulu baru masuk kedalam air atau
tidak sempat bernafas dalam air, airnya jernih sama dengan air minum, spasme
laring, vagal reflex.

4.6 Pengambilan Gas CO2 dari Sumur


Cara mengambil gas CO2 dari dalam sumur :
a. Ambil beberapa botol bersih dengan kapasitas 1 liter yang telah kosong, contohnya
botol bir kemudian ikat leher dan bagian alas botol masing-masing dengan tali yang
cukup panjang
b. Isi botol dengan air sampai penuh kemudian turunkan ke dalam sumur yang
mengandung gas CO2 dengan posisi tegak (alas botol di bawah dan leher botol berada
di atas), jaga air di dalam botol agar tidak sampai tumpah
c. Setelah sampai di kedalaman pada tempat yang sesuai dengan korban ditemukan
meninggal, botol tersebut dibalik agar semua air di dalam botol tumpah. Hali ini
dilakukan dengan cara menarik tali yang mengikat alas botol dan mengulur tali yang
mengikat leher botol
d. Dengan keluarnya seluruh air dari dalam botol dan botol dalam kondisi kosong maka
botol akan vaccum sehingga gas CO2 akan masuk ke dalam botol
e. Setelah botol terisi oleh gas CO2 maka botol diangkat ke atas dengan cara botol
dibalik kembali seperti posisi semula agar gas CO2 dapat terbawa terus sampai botol
sampai di atas
f. Setelah sampai diatas botol segera ditutup rapat kemudian diberikan label dan disegel
untuk dilakukan pemeriksaan
Tes CO2 ada dua yaitu :
1. Kualitatif : dilakukan dengan pemberian larutan Ca(OH)2 yang jernih dan baru dibuat
atau larutan Ba(OH)2 pada botol yang berisi udara saat dilakukan pengambilan dari
tempat sampel. Apabila terdapat endapan putih kapur dari CaCO3 atau BaCO3 berarti
gas CO2 positif.
21

2. Kuantitatif :
- Grafimetri melakukan penimbangan terhadap endapan yang terjadi
- Volumetri dilakukan dengan menitrasi kelebihan larutan basa CaOH2 atau BaOH2
dengan konsentrasi tertentu

- Chromatografi gas (kualitatif dan kuantitatif) Hasil :


a. Keracunan gas CO2 : darah berwarna hitam
b. Keracunan gas CO dan HCN (kluwek, pete, gaplek) : cherry red

4.7 Alkali Dilution Test


Tujuan: mengetahui kadar CO dalam darah secara
semikuantitatif. Cara pemeriksaan:
1. Ambil 2 tabung reaksi.
2. Masukkan 1-2 tetes darah korban ke dalam tabung pertama dan 1-2 tetes darah
normal ke dalam tabung kedua (sebagai kontrol negatif).
3. Tambahkan 10 ml air ke dalam masing-masing tabung hingga warna merah dapat
diamati dengan jelas. Darah pada tabung yang mengandung CO akan tampak merah
jernih sedang darah kontrol berwarna merah keruh.

4. Tambahkan 5 tetes larutan NaOH 10-20% pada masing-masing tabung kemudian


dikocok. Hasil :

a. Darah kontrol akan segera berubah warnanya menjadi merah hijau kecoklatan
karena terbentuk hematin alkali.
b. Sedangkan darah yang mengandung COHb tidak berubah segera (tergantung
konsentrasi COHb) karena lebih resisten terhadap alkali.
c. COHb dengan kadar saturasi 20% akan memberi warna merah muda selama
beberapa detik kemudian menjadi coklat kehijauan setelah 1 menit.
d. Sebagai kontrol jangan digunakan darah fetus karena darah fetus juga bersifat
resisten terhadap alkali.
22

4.8 Tes Apung Paru

4.9 Emboli Udara Vena

Emboli udara vena biasanya terjadi karena vena teriris


biasanya yang teriris vena jugularis di leher sehingga
udara masuk ke dalam pembuluh darah vena kemudian
menuju ke jantung kanan menuju percabangan arteri
pulmonale kemudian menuju ke paru-paru dan
menyebabkan sesak.
Korban meninggal karena kapiler paru buntu oleh udara
23

sehingga terjadi asfiksia, dimana jumlah udara yang


dapat menyebabkan kematian antara 100-150 cc.
Otopsi yang dilakukan adalah

1. Membuka kulit dinding thorax kemudian memotong sternum pada processus


Xypoideus setinggi ICS II dibawah costa II agar vena brachialis cab vena clavicula
tidak ikut terpotong
2. Ambil dan gunting pericard dengan posisi Y terbalik kemudian isi dengan air sampai
menggenang
3. Lakukan tusukan pada atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis

4. Ditemukan adanya gelembung udara

5. Penyebab emboli udara vena :

g. Luka pada pembuluh balik leher, terutama vena jugularis

h. Abortus provocatus criminalis dengan cara penyemprotan

4.10 Emboli Udara Arteri

1. Otopsi yang dilakukan sama dengan emboli udara vena yang membedakan hanya
tusukan dilakukan pada atrium kiri, ventrikel kiri dan aorta
2. Terjadi bila ada luka tembus paru-paru yang menyebabkan emboli pada vena
pulmonalis menuju ke atrium kiri dan ventrikel kiri kemudian ke aorta
3. Korban meninggal karena udara membuntu di otak, ginjal, dan jantung sampai terjadi
asfiksia
4. Penyebab yang sering terjadi adalah :

a. Luka tusuk atau tembus di paru-paru

b. Artifisial pneumothorax

c. Pneumonectomy

4.11 Emboli Lemak

Contoh kasus yang dapat menyebabkan sesorang


terkena emboli lemak adalah: apabila terdapat seseorang
yang dipukuli terus menerus dan orang tersebut menjadi
sesak kemudian mati serta kasus sesorang yang hendak
24

dioperasi karena patah tulang paha yang berakhir


meninggal akibat sesak.

Dari kasus diatas penyebab terjadinya kematian adalah


karena adanya emboli lemak setelah dilakukan
pemeriksaan pada paru-paru, ec. Fraktur tulang panjang.
1 Lemak terpecah dan terlepas karena terkena pukulan pada kulit seluruh punggung
dan karena patahnya tulang panjang sehingga cairan lemak masuk ke dalam pembulu
darah vena yang robek dan masuk ke dalam vena cava superior kemudian masuk ke
atrium kanan dan masuk ke ventirkel kanan setelah itu masuk ke arteri pulmonale
dan membuntu di paru-paru (alveoli)
2 Korban meninggal karena kapiler buntu dan terjadi asfiksia.

3 Dilakukan tes emboli lemak dengan organ yang diambil adalah paru-paru. Jaringan
paru-paru diambil dan dikeraskan dengan uap zat asam arang cair (frozzensetion) dan
kemudian dengan mikrotom dipotong 20 mikron dan di cat dengan warna Sudan III
kemudian dikirim ke laboratorium
4 Pengiriman ke laboratorium PA atau pengawetan dilakukan dengan cara paru-paru
diberi gas CO kemudian difiksasi menggunakan dry ice agar tidak membusuk.
Jangan mengirim menggunakan alcohol atau formalin karena lemak akan larut.

4.12 Pneumothorax

Pneumothorax merupakan adanya udara dalam rongga


thorax. Otopsi yang dilakukan:
a. Membuka kulit dinding thorax dengan potongan huruf ‘I’ atau dengan potongan
huruf ‘Y’
b. Setelah costa terlihat, tarik potongan costa kemudian tarik potongan kulit hingga
membentuk kantong
c. Isikan air sampai tergenang

d. Lakukan tusukan pada paru-paru yang berada diantara ICS2

e. Ditemukan hasil positif bila hasil test tersebut ditemukan gelembung udara
f. Pada gas pembusukan ditemukan sedikit gelembung udara
25
BAB V

SURAT KEMATIAN

5.1 Guna Surat Kematian


a. Sebagai bukti bahwa seseorang meninggal dunia
b. Untuk statistic sebab kematian
c. Dalam ilmu kedokteran, dengan adanya kewajiban pengisian formulir surat kematian
oleh dokter pada setiap kasus kematian, maka pada kasus kematian yang tidak wajar
(pembunuhan) tidak terlanjur dikubur sebelum dilakukan pemeriksaan bedah mayat.

5.2 Macam – Macam Surat Kematian


1. Formulir A
Formulir ini diberikan kepada keluarga jenazah, yang merupakan ijin
pemakaman bagi penduduk asli Indonesia. Formulir A dibuat oleh dokter
dengan mengingat sumpah atau janji waktu menerima jabatan dan dibuat
berdasarkan ordonasi surat kematian yang tercantum dalam staadblad van
nederlands Indie tahun 1916.
Isi Formulir A :
a. Identitas jenazah
b. Tanggal dan tempat jenazah diperiksa
c. Indentitas dokter yang memeriksa disertai tanda tangan dokter
Saat ini Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI menerbitkan Pedoman Pengisian Formulir Keterangan
Penyebab Kematian (FKPK), yang didalamnya terdapat Surat Keterangan
Kematian yang nantinya dapat menggantikan Formulir A.
2. Formulir B
Formulir B setelah diidi dikirim ke DKK setempat. Dibuat oleh
dokter dengan mengingat sumpah waktu menerima jabatan dan dibuat
atas dasar pasal 1 ordonasi pemeriksaan kematian (Stb.1916 no. 612).
Isi Formulir B :
a. Identitas jenazah
b. Tanggal dan jam pemeriksaan kematian
c. Tempat pemeriksaan jenzah
d. Persangkaan sebab kematian

25
e. Jam dan tanggal pelaporan kematian
f. Identitas dokter pemeriksa dan tanda tangan
3. Surat Kematian karena “Penyakit Menular atau Tidak”
Formulir ini dibuat dan diberikan kepada keluarga korban, terutama bila
jenazahnya akan dikubur diluar kota atau luar negeri. Yang dimaksud penyakit
menular adalah penyakit-penyakit yang tercantum dalam :
a. UU No. 6 tahun 1962 tentang wabah.
b. UU No. 1 tahun 1962 karantina laut.
c. UU No. 2 tahun 1962 karantina udara.
Isi surat keterangan kematian karena “penyakit menular atau tidak” adalah :
a. Identitas jenazah.
b. Keterangan meninggal karena penyakit menular atau tidak karena penyakit menular
berdasarkan undang-undang no. 6 tahun 1962 tentang wabah, undang-undang no 1
tahun 1962 tentang karantina laut dan undang-undang no 2 tahun 1962 tentang
karantina udara.
c. Identitas dan tanda tangan dokter.
4. Formulir ini dipakai oleh dunia Internasional setelah disahkan oleh WHO pada tahun
1948. Formulir kematian ini hanya dibuat atau diisi pada peristiwa kematian yang ada
dalam rumah sakit saja.
a. Penyakit atau jejas yang menjadi pokok pangkal rangkaian peristiwa-peristiwa sakit
yang langsung menyebabkan kematian
5. Kutipan Akta Kematian
Setelah keluarga melaporkan kematian salah satu anggota keluarganya, berdasar
keterangan pejabat yang berwenang / instansi pelaksana Kepala RS, dokter /
paramedis, Kepala Desa / Lurah atau Kepolisian) maka pejabat pencatatan sipil pada
akta kematian dan menerbitkan Kutipan akta kematian.

26
BAB VI

VISUM ET REPERTUM

6.1 Visum et Repertum

Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk Justisi yang dibuat oleh dokter
atas sumpah, tentang segala sesuatu yang diamati (terutama yang dilihat dan
ditemukan) pada benda yang diperiksa berdasarkan pengetahuan sebaik- baiknya,
visum berarti dilihat, repertum berarti ditemukan.

Kata “visum et repertum” dapat kita jumpai didalam Staatsblad tahun 1937
no.350 :

“De visa et reperta van geneeskundigen, opgemaakt hetzy op de beroepseed,


afgelegd bij de beeisdiging der medische studie in Nederland of Indonesia, hetzij op
een bijzondere eed, als bedoeld in art.2, hebben in strafzaken bewijskracht, voorzover
zij ene verklaring inhouden omtrent hetgeen door de geneeskundigen aan het
voorwerp van onderzoek is waargenomen”.

6.2 Prosedur Permintaan Visum et Repertum

1. Korban Hidup
a. Permintaan harus secara tertulis, tidak dibenarkan secara lisan/ telepon /via pos.
b. Korban adalah barang bukti, maka permintaan Visum et Repertum harus diserahkan
sendiri oleh polisi bersama-sama korban/tersangka.
c. Tidak dibenarkan permintaan Visum et Repertum tentang sesuatu peristiwa yang
telah lampau, mengingat rahasia kedokteran (Instruksi Kapolri No.Ins/E/20/IX/75).
2. Korban Mati
a. Permintaan harus diajukan secara tertulis, tidak dibenarkan melalui telepon, lisan

27
29

b. Mayat diantar bersama-sama SPVR oleh polisi ke Bagian Ilmu Kedokteran Forensik.
c. Mayat harus diikatkan label yang memuat Identitas mayat ( KUHAP psl 133 ayat 3).

6.3 Bagian-Bagian Visum et Repertum


1. PRO JUSTISIA
Kata ini dicantumkan disudut kiri atas, dan dengan demikian
visum et repertum tidak perlu bermaterai, sesuai dengan
pasal 136 KUHAP.
2. PENDAHULUAN.
Bagian ini memuat antara lain :
a. Identitas pemohon visum et repertum.
b. Identitas dokter yang memeriksa / membuat visum et repertum.
c. Tempat dilakukannya pemeriksaan (misalnya rumah sakit X Surabaya)

d. Tanggal dan jam dilakukannya pemeriksaan.


e. Identitas korban.
f. Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, dimana korban dirawat,
waktu korban meninggal.
g. Keterangan mengenai orang yang menyerahkan / mengantar korban dokter dan waktu
saat korban diterima dirumah sakit.
3. PEMBERITAAN.
a) Identitas korban menurut pemeriksaan dokter (umur, jenis kel, TB/BB), serta keadaan
umum.
b) Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban.
c) Tindakan-tindakan / operasi yang telah dilakukan.
d) Hasil pemeriksaan tambahan. Syarat-syarat :
- Memakai bahasa Indonesia yg mudah dimengerti orang awam.
- Angka harus ditulis dengan hurup, (4 cm ditulis empat sentimeter).
30

- Tidak dibenarkan menulis diagnose luka, (luka bacok, luka tembak dll).
- Luka harus dilukiskan dengan kata-kata
- Memuat hasil pemeriksaan yang objektif (sesuai apa yang dilihat dan ditemukan).
4. KESIMPULAN.
Bagian ini berupa pendapat pribadi dari dokter yang
memeriksa, mengenai hasil pemeriksaan sesuai dgn
pengetahuan yang sebaik-baiknya. Seseorang melakukan
pengamatan dengan kelima panca indera (pengelihatan,
pendengaran, perasa, penciuman dan perabaan)/ Sifatnya
subjektif.
5. PENUTUP
Memuat kata “Demikianlah visum et repertum ini dibuat
dengan mengingat sumpah pada waktu menerima
jabatan”. Diakhiri dengan tanda tangan, nama
lengkap/NIP dokter.

6.4 Macam Visum et Repertum


1. Visum et Repertum korban hidup :
a. Visum et repertum.
b. Visum et repertum sementara
c. Visum et repertum lanjutan
2. Visum et Repertum mayat (Harus dibuat berdasarkan hasil autopsi lengkap).
31

DAFTAR PUSTAKA

Satyo, A. C. 2006. Aspek medikolegal luka pada forensic


klinik. Majalah Kedokteran
Nusantara, vol. 39, no. 4, pp. 430 -433

Vincent J. D. dan Dominick, D. 2001. Blunt Trauma


Wounds. Forensic Pathology
Second Edition, Chapter 4, pp 1 -26

Idries, A. M. 2008. Sistematik Pemeriksaan Ilmu Kedokteran


Forensik Khusus pada
korban perlukaan. Penerapan Ilmu Kedokteran

Forensik dalam proses penyidikan, Bab 7, hal 133-143.


Jakarta: Sagung Seto

Shkrum, M. J. dan Ramsay, D. A. 2007. Blunt Trauma.


Forensic Pathology of
Trauma, Chapter 8, pp. 405 -518
32

Anda mungkin juga menyukai