Anda di halaman 1dari 21

A.

ABSTRAK
 Tujuan: Membahas manajemen community-acquired pneumonia (CAP)
pada orang dewasa.
 Metode: Review literatur.
 Hasil: Sekitar 4 sampai 5 juta kasus CAP didiagnosis di Amerika Serikat
setiap tahun, yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Sementara berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan pneumococcus
menjadi patogen penyebab paling umum, penelitian EPIC 2015 menemukan
bahwa hampir dua pertiga pasien dengan CAP membutuhkan rawat inap,
tidak ada patogen yang terdeteksi. Gejala dan tanda infeksi saluran
pernafasan berguna dalam membantu mendiagnosis pneumonia; namun,
mereka kurang sensitif dibandingkan gambaran rontgen dada. Tes
laboratorium digunakan dalam mendiagnosis pneumonia termasuk sputum
Gram stain dan kultur, kultur darah, antigen urin, polymerase chain
reaction, dan penanda biologis. Pada pengobatan empiris CAP, baik tipikal
maupun atipikal patogen harus menjadi sasaran. Vaksin flu serta
polisakarida pneumokokus dan konjugat vaksin harus diberikan sesuai
anjuran dari CDC untuk mengurangi risiko CAP.
 Kesimpulan: CAP merupakan penyakit umum dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Terapi sebagian besar bersifat empiris; pengujian
diagnostik dapat digunakan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan
memandu terapi spesifik patogen.
Kata kunci: community-acquired pneumonia; orang dewasa;
manajemen;vaksin.
sebelumny, tetapi dihapus dari pedoman tahun 2016 karena tidak ada bukti
yang jelas bahwa pasien didiagnosis dengan pneumonia terkait perawatan
kesehatan berisiko lebih tinggi terinfeksi patogen yang resisten terhadap berbagai
obat[2]. Pada artikel ini, kami meninjau epidemiologi, mikrobiologi, faktor
predisposisi, diagnosis, pengobatan, dan pencegahan pneumonia yang didapat dari
komunitas (CAP).
B. Definisi dan Epidemiologi
CAP diartikan sebagai infeksi paru-paru akut yang berkembang pada
pasien yang belum dirawat di rumah sakit dan belum terpapar sistem perawatan
kesehatan secara rutin[3]. Seorang pasien yang sebelumnya rawat jalan yang
didiagnosis dengan pneumonia dalam waktu 48 jam setelah dirawat juga
memenuhi kriteria CAP. Sekitar 4 sampai 5 juta kasus CAP didiagnosis di
Amerika Serikat setiap tahun [4]. Sekitar 25% dari pasien CAP membutuhkan
rawat inap, dan sekitar 5% hingga 10% pasien ini dirawat di unit perawatan
intensif (ICU) [5]. Kematian di rumah sakit cukup besar (~10% dalam
penelitian berbasis populasi) [6] dan kematian dalam 30 hari ditemukan
setinggi 23% dalam review oleh File dan Marrie [7]. CAP juga memberikan
risiko tinggi morbiditas dan mortalitas dalam jangka panjang dibandingkan
dengan populasi umum yang tidak pernah menderita CAP, terlepas dari
usianya [8].

C. Organisme Penyebab
Banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan CAP. Penyebab umum
dan penyebab yang kurang umum dijelaskan dalam Tabel 1. Sampai saat ini,
banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pneumococcus
adalah penyebab CAP yang paling umum. Namun, tim penelitian CDC terkait
Etiology of Pneumonia in the Community (EPIC), dalam penelitian prospektif,
multicenter, berbasis populasi mereka di tahun 2015 menemukan bahwa pada
sebagian besar pasien yang didiagnosis dengan CAP yang membutuhkan rawat
inap, tidak terdeteksi adanya patogen. Patogen paling umum yang mereka
deteksi adalah rhinovirus (9%), diikuti oleh virus influenza (6%) dan
pneumococcus (5%) [9]. Faktor-faktor yang dipertimbangkan berkontribusi
terhadap penurunan persentase pneumococcus pada pasien yang didiagnosis
dengan CAP adalah penggunaan vaksin pneumococcus secara luas dan tingkat
merokok yang berkurang [10,11].
Tabel 1. Penyebab Infeksius dari Sindrom yang Konsisten dengan CAP yang
memerlukan Perawatan di RS
Penyebab Umum Penyebab yang Kurang Penyebab yang Tidak
Umum Umum

Streptococcus Pseudomonas aeruginosa Mycobacterium tuberculosis


pneumoniae atau basil Pneumocystis
jirovecii gram negatif
lainnya

Haemophilus influenzae Moraxella catarrhalis Nontuberculous


mycobacteria

Staphylococcus aureus Campuran Spesies Nocardia


microaerophilic dan flora
oral anaerobik

Virus Influenza Spesies Legionella

Virus Pernapasan Mycoplasma pneumoniae


Lainnya

Chlamydophila pneumoniae

Chlamydophila psittaci

Coxiella burnetti

Histoplasma capsulatum

Spesies Coccidioides

Blastomyces dermatitidis

Spesies Cryptococcus dan


Aspergillus

D. Faktor Predisposisi
Kebanyakan orang yang didiagnosis dengan CAP memiliki satu atau lebih
faktor predisposisi [12,13] (Tabel 2). Faktor-faktor predisposisi penyebab
pneumonia ini biasanya lebih bekerja secara terpadu dibandingkan bertindak
melalui satu faktor.
Penuaan, dikombinasikan dengan faktor risiko lain, meningkatkan
kerentanan seseorang terhadap pneumonia.

Tabel 2. Faktor Predisposisi CAP


Merokok

Alkoholik

Perubahan tingkat kesadaran (contohnya, stroke, kejang), yang merupakan


predisposisi aspirasi

Kondisi imunokompromais (contohnya, infeksi HIV, penerima transplantasi,


pasien dengan kemoterapi)

Usia >65 tahun

PPOK

Infeksi Influenza

Kanker Paru

Agen penurun asam (contohnya, proton prump inhibitor dan H2 bloker)

E. Tanda dan Gejala Klinis


Gejala CAP termasuk demam, menggigil, kaku, kelelahan, anoreksia,
diaforesis, dispnea, batuk (dengan atau tanpa produksi sputum), dan nyeri
dada pleuritik. Tidak ada gejala individual atau kumpulan gejala yang benar-
benar dapat membedakan pneumonia dari penyakit pernapasan akut yang lain,
termasuk infeksi saluran pernapasan atas dan bawah. Namun, jika ada pasien
dengan kumpulan gejala demam ≥ 100ºF (37,8ºC), batuk produktif, dan
takikardia, lebih mengarah pada pneumonia [14]. Tanda-tanda vital yang
abnormal termasuk demam, hipotermia, takipnea, takikardia, dan desaturasi
oksigen. Auskultasi dada mengungkapkan suara ronkhi atau suara napas
tambahan lainnya. Pasien usia lanjut dengan pneumonia melaporkan jumlah
gejala pernapasan dan non-pernapasan yang lebih rendah secara signifikan
dibandingkan dengan pasien yang lebih muda. Sehingga dokter harus waspada
dengan fenomena ini agar tidak berujung keterlambatan diagnosis dan
pengobatan[15].

F. Evaluasi Pencitraan/Imaging
Adanya konsolidasi paru atau infiltrat pada radiografi dada diperlukan
untuk mendiagnosis CAP, dan foto thoraks harus dilakukan saat dicurigai
CAP [16]. Perlu dicatat bahwa tidak ada pola kelainan radiografi yang spesifik
untuk membedakan pneumonia infeksius dari casus pneumoni noninfeksi [17].
Ada laporan kasus dan rangkaian kasus yang memperlihatkan foto polos
dada negatif palsu yang ada pada pasien dehidrasi [18] atau dalam keadaan
neutropenik. Namun, penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa anjing
yang terinfeksi pneumococcus menunjukkan bayangan paru yang abnormal,
dapat dicuriga pneumonia, tanpa memandang status hidrasinya [19]. Juga
tidak ada bukti ilmiah yang dapat diandalkan untuk mendukung gagasan
bahwa neutropenia parah dapat menyebabkan negatif palsu radiografi karena
ketidakmampuan terjadinya reaksi inflamasi akut di paru-paru [20].
CT scan dada lebih sensitif daripada radiografi dada biasa dalam
mendeteksi pneumonia. Karena itu, CT scan dada harus dilakukan pada pasien
dengan hasil foto polos dada negatif jika masih dicurigai pneumonia [21]. CT
scan dada juga lebih sensitif dalam mendeteksi kavitasi, adenopati, penyakit
interstisial dan empiema. Juga memiliki keuntungan dalam mendefinisikan
perubahan anatomi dengan lebih baik dibandingkan foto polos [22].
Karena perbaikan kekeruhan paru pada pasien dengan CAP lebih lama
dibandingkan perbaikan klinis, pemeriksaan pencitraan dada berulang tidak
dianjurkan pada pasien yang menunjukkan perbaikan klinis. Terkadang
pembersihan infiltrasi atau konsolidasi paru bisa memakan waktu 6 minggu
atau lebih [23].
G. Evaluasi Laboratorium
Umumnya agen etiologi CAP tidak bisa ditentukan semata-mata atas dasar
tanda klinis dan gejala atau studi pencitraan. Meski uji mikrobiologi rutin
untuk pasien yang dicurigai CAP tidak perlu pada pengobatan empiris, dengan
menentukan penyebab dari pneumonia, sehingga dokter dapat memberikan
antibiotik dari regimen empiris spektrum luas menjadi terapi untuk patogen
yang spesifik. Penentuan agen etiologi tertentu penyebab pneumonia dapat
memiliki keterlibatan terhadap kesehatan masyarakat (misalnya,
Mycobacterium tuberculosis dan virus influenza) [24].

H. Pewarnaan dan Kultur Sputum Gram


Pewarnaan Sputum Gram adalah tes murah yang dapat mengidentifikasi
patogen penyebab CAP (misalnya S. pneumonia dan Haemophilus
influenzae). Spesimen berkualitas diperlukan. Sampel dahak harus
mengandung >25 neutrofil dan <10 sel epitel skuamosa/medan daya rendah
aktif pada pewarnaan Gram yang cocok pada kultur.
Sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan Gram sputum dan kultur sangat
bervariasi dalam kondisi klinis yang berbeda (misalnya, kondisi rawat jalan,
panti jompo, ICU). Meta-analisis oleh Reed terhadap pasien yang didiagnosis
dengan CAP di Amerika Serikat menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas
dari pewarnaan sputum Gram (dibandingkan dengan kultur sputum) masing-
masing berkisar dari 15% sampai 100% dan 11% sampai 100%, [24]. Dalam
kasus pneumococcus bakteremia terbukti pneumonia, kultur positif dari
sampel sputum positif kurang dari 50% saat itu [25].
Untuk pasien yang tidak dapat memberikan sampel dahak atau pasien
dengan intubasi, aspirasi hisap dalam atau bronchoalveolar lavage melalui
prosedur bronkoskopi mungkin diperlukan untuk mendapatkan sekresi paru
untuk pewarnaan Gram dan kultur. Selain kultur bakteri, sampel sputum juga
dapat dikirim untuk kultur jamur, mikobakteri serta pewarnaan tahan asam
jika dianggap perlu secara klinis.

I. Kultur Darah
Karena tingkat positif kultur darah pada pasien yang diduga menderita
pneumonia tetapi tidak terpajan agen antimikroba sangat rendah (5% -14%),
kultur darah tidak lagi direkomendasikan pada pasien yang dirawat di rumah
sakit karena CAP. Alasan lain untuk tidak merekomendasikan kultur darah
adalah kultur positif jarang menyebabkan perubahan regimen antibiotik pada
pasien tanpa penyakit yang mendasari [26]. Namun, pasien risiko tinggi,
termasuk pasien dengan CAP parah atau pasien dengan gangguan sistem
kekebalan (misalnya, pasien dengan neutropenia, asplenia atau defisiensi
komplemen) harus dilakukan kultur darah [24].
Sebuah penelitian multinasional yang dipublikasikan pada tahun 2008
meneliti 125 pasien dengan CAP bakteremia pneumococcus dibandingkan
1847 pasien dengan CAP non-bakteremia [27]. Analisis data menunjukkan
tidak ada hubungan CAP bakteremia pneumococcus dan waktu untuk
stabilitas klinis, lama tinggal di rumah sakit, semua penyebab kematian atau
kematian terkait CAP. Penulis menyimpulkan bahwa bakteremia
pneumococcus tidak meningkatkan risiko hasil yang buruk pada pasien
dengan CAP dibandingkan dengan pasien nonbakteremia, dan adanya
pneumococcus bakteremia seharusnya tidak menghalangi de-eskalasi terapi
pada pasien yang stabil secara klinis.

J. Tes Antigen Urin


Tes antigen urin dapat membantu dokter dalam penyempitan terapi
antibiotik bila hasil tes positif. Terdapat 2 tes yang disetujui U.S. Food and
Drug Administration yang tersedia untuk dokter dalam mendeteksi
pneumococcus dan antigen Legionella dalam urin. Tes untuk Legionella
pneumophila mendeteksi penyakit hanya yang disebabkan serogrup 1, yang
menyumbang 80% dari penyakit community acquired Legionnaires disease.
Sensitivitas dan spesifisitas tes antigen urin Legionella masing-masing adalah
90% dan 99%. Tes antigen urin pneumococcus sedikit kurang sensitif dan
spesifik dibandingkan tes antigen urin Legionella (sensitivitas 80% dan
spesifisitas >90%) [28,29].
Keuntungan dari tes antigen urin adalah mereka mudah dilakukan, hasil
tersedia dalam waktu kurang dari satu jam jika dilakukan di rumah, dan hasil
tidak terpengaruh oleh paparan terhadap antibiotik sebelumnya. Namun,
tesnya tidak memenuhi kriteria Amandemen Perbaikan Laboratorium Klinis
untuk izin dan harus dilakukan oleh teknisi di laboratorium.

K. Polymerase Chain Reaction


Ada beberapa tes Polymerase Chain Reaction (PCR) yang disetujui FDA
tersedia secara komersil untuk membantu dokter dalam mendiagnosis
pneumonia. Tes PCR nasopharyngeal swab untuk mendiagnosis influenza
telah menjadi standar di banyak fasilitas medis A.S. Keuntungan besar
menggunakan PCR untuk mendiagnosis influenza adalah sensitivitas dan
spesifisitasnya yang tinggi dan waktu yang cepat. PCR juga dapat digunakan
untuk mendeteksi spesies Legionella, S. pneumonia, Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydophila pneumonia dan spesies mikobakteri [24].
Salah satu keterbatasan penggunaan tes PCR pada spesimen pernapasan
adalah spesimen yang dapat terkontaminasi flora saluran napas bagian atas
atau mulut, jadi hasilnya harus diinterpretasikan dengan hati-hati, mengingat
bahwa beberapa patogen yang diisolasi mungkin merupakan kolonisasi dari
mulut atau flora saluran napas bagian atas [30].

L. Penanda Biologis
Dua penanda biologis —prokalsitonin dan C-reaktif protein (CRP)—dapat
digunakan bersama dengan riwayat pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan studi pencitraan untuk membantu dalam diagnosis dan
pengobatan CAP [24]. Prokalsitonin adalah prekursor peptida dari hormon
kalsitonin yang dilepaskan oleh sel parenkim ke dalam aliran darah yang
mengakibatkan peningkatan kadar serum pada pasien dengan infeksi bakteri.
Sebaliknya, tidak ada peningkatan kadar proclacitonin yang luar biasa pada
infeksi virus atau peradangan non-infeksi. Nilai referensi prokalsitonin dalam
darah orang dewasa tanpa infeksi atau inflamasi adalah <0,15 ng/mL. Di
dalam darah, prokalsitonin memiliki waktu paruh 25 hingga 30 jam. Metode
imunoluminometri kuantitatif (Tes LUMI, Brahms PCT, Berlin, Jerman)
adalah tes pilihan yang digunakan, karena sensitivitasnya yang tinggi [31].
Meta-analisis Cochrane tahun 2012 yang melibatkan 4221 pasien dengan
infeksi saluran pernapasan akut (dengan setengah dari pasien didiagnosis
dengan CAP) dari 14 percobaan prospektif menemukan penggunaan tes
prokalsitonin untuk penggunaan antibiotik secara signifikan menurunkan
median paparan antibiotik dari 8 sampai 4 hari tanpa peningkatan kegagalan
pengobatan, angka kematian dalam kondisi klinis apa pun (misalnya, klinik
rawat jalan, ruang gawat darurat), atau lama rawat inap [32]. Sebuah
penelitian prospektif yang dilakukan di Prancis pada 100 pasien ICU
menunjukkan peningkatan prokalsitonin dari hari ke-1 sampai ke-3 memiliki
faktor prognosis yang buruk untuk CAP berat sedangkan penurunan kadar
prokalsitonin berhubungan dengan hasil yang menguntungkan [33].
CRP adalah protein fase akut yang diproduksi oleh hati. Kadar CRP dalam
darah meningkat sebagai respons terhadap infeksi atau peradangan akut.
Penggunaan CRP dalam membantu diagnosis dan memandu pengobatan CAP
lebih terbatas karena spesifisitasnya yang buruk. Sebuah penelitian prospektif
dilakukan pada 168 pasien konsekutif dengan gejala batuk menunjukkan
bahwa CRP >40 mg/L memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masing
70% dan 90% [34].

M. Pengobatan
a. Keputusan Lokasi Perawatan
Untuk pasien dengan CAP, dokter harus memutuskan apakah pasien
akan di rawat jalan atau rawat inap. pada rawat inap, apakah mereka dapat
dirawat dengan aman secara umum di bangsal medis atau harus di ICU.
Dua sistem penilaian umum yang dapat digunakan untuk membantu klinisi
dalam menentukan tingkat keparahan infeksi dan panduan keputusan
tempat perawatan adalah skor Indeks Keparahan Pneumonia atau
pneumonia severity index (PSI) dan CURB-65.
Skor PSI menggunakan 20 parameter berbeda, termasuk komorbid,
parameter laboratorium dan temuan radiografi untuk membagi pasien
menjadi 5 kelas risiko kematian [35]. Atas dasar tingkat kematian, telah
disarankan bahwa pasien risiko kelas I dan II harus dirawat sebagai pasien
rawat jalan, pasien risiko kelas III harus dirawat di unit observasi atau
dengan rawat inap singkat, dan pasien risiko kelas IV dan V harus diterapi
sebagai pasien rawat inap [35].
Metode stratifikasi risiko CURB-65 adalah berdasarkan 5 parameter
klinis: kebingungan, tingkat urea, frekuensi pernapasan, tekanan darah
sistolik dan usia ≥ 65 tahun (Tabel 3) [36]. Modifikasi pada algoritma
CURB-65 adalah CRB-65, yang tidak termasuk nitrogen urea,
membuatnya optimal untuk penentuan di klinik. Harus ditekankan bahwa
alat ini tidak memperhitungkan faktor lain yang seharusnya digunakan
dalam menentukan lokasi pengobatan, seperti rumah yang stabil,
kekhawatiran tentang kepatuhan, penyakit mental, atau kekhawatiran
tentang kepatuhan terhadap pengobatan. Dalam banyak kasus, faktor-
faktor inilah yang menghalangi pasien berisiko rendah untuk dirawat
sebagai pasien rawat jalan [37,38]. Demikian pula, sistem penilaian ini
belum divalidasi untuk pasien immunocompromised atau mereka yang
memenuhi syarat sebagai penderita pneumonia terkait perawatan
kesehatan.
Pasien dengan skor CURB-65 4 atau 5 dipertimbangkan menderita
pneumonia berat dan harus dipertimbangkan masuk ke ICU. Selain dari
skor CURB- 65, siapapun yang membutuhkan dukungan vasopressor atau
ventilasi mekanis dapat masuk ke ICU [16].
Pedoman IDSA/ATS juga merekomendasikan penggunaan dari "kriteria
minor" untuk membuat keputusan penerimaan ICU; ini termasuk frekuensi
pernapasan ≥30 napas/menit, fraksi PaO2 ≤250, infiltrat multilobar,
kebingungan, nitrogen urea darah ≥20 mg/dL. Leukopenia,
trombositopenia, hipotermia, hipotensi [16]. Faktor-faktor ini berhubungan
dengan peningkatan mortalitas karena CAP dan masuk ke ICU
diindikasikan jika ada 3 kriteria minor untuk CAP berat.
Mirip dengan CURB-65, kalkulator klinis lain yang dapat digunakan
untuk menilai tingkat keparahan CAP adalah SMARTCOP [39]. Sistem
penilaian ini menggunakan 8 kriteria tertimbang untuk memprediksi pasien
mana yang membutuhkan bantuan pernapasan intensif atau dukungan
vasopressor. SMART-COP memiliki sensitivitas dari 79% dan spesifisitas
64% dalam memprediksi perawatan ICU, sedangkan CURB-65 memiliki
sensitivitas yang dikumpulkan dari 57,2% dan spesifisitas 77,2% [40].

Tabel 3. Skor Keparahan CURB-65 untuk CAP.


Faktor Poin

Kebingungan 1

Nitrogen urea darah >19 mg/Dl 1

Laju pernapasan ≥30 naapas/menit 1

Tekanan darah sistolik <90 mmHg atau 1


tekanan darah diastolik ≤60 mmHg

Usia ≥65 tahun 1

Skor CURB-65 Risiko Mortalitas (%) Rekomendasi

0 0,6 Risiko rendah; pertimbangkan


rawat jalan

1 2,7 Risiko rendah; pertimbangkan


rawat jalan

2 6,8 Rawat inap singkat atau rawat jalan


dengan observasi ketat

3 14 Rawat inap, pertimbangkan ICU

4 atau 5 27,8 Rawat inap; pertimbangkan ICU


b. Terapi Antibiotik
Antibiotik adalah pengobatan andalan untuk CAP, mayoritas pasien
dengan CAP diobati secara empiris dengan mempertimbangkan lokasi
perawatan, kemungkinan besar patogen, dan masalah resistensi
antimikroba. Pasien dengan pneumonia yang dirawat sebagai pasien rawat
jalan biasanya merespon dengan baik pengobatan antibiotik empiris dan
patogen penyebab biasanya tidak dicari. Pasien yang dirawat di rumah
sakit untuk pengobatan CAP biasanya menerima antibiotik empiris saat
masuk. Setelah etiologi ditentukan dengan cara mikrobiologis atau
serologis, terapi antimikroba harus disesuaikan. Seperti disebutkan
sebelumnya, penelitian CDC menemukan bahwa beban etiologi virus lebih
tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya, dengan rhinovirus dan influenza
mencakup 15% kasus kemudian S. pneumoniae hanya 5% [9]. Penelitian
ini menyoroti fakta bahwa meskipun ada kemajuan dalam teknik
molekuler, pada kebanyakan pasien pneumonia tidak ada patogen yang
teridentifikasi [9]. Mengingat kekurangan patogen yang dapat dibedakan
pada sebagian besar kasus, kecuali etiologi nonbakteri ditemukan pasien
harus melanjutkan untuk diobati dengan antibiotik.
Pasien rawat jalan tanpa komorbiditas atau faktor risiko untuk S.
pneumoniae yang resistan terhadap obat (Tabel 4) bisa diobati dengan
monoterapi. Pasien yang dirawat di rumah sakit biasanya diobati dengan
terapi kombinasi intravena, meskipun pasien non ICU yang menerima
fluoroquinolone pernapasan dapat diobati secara oral.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, terapi antibiotik biasanya empiris;
baik gambaran klinis maupun radiografi cukup untuk memasukkan atau
mengecualikan etiologi infeksius. Faktor risiko epidemiologi harus
dipertimbangkan dan, dalam kasus tertentu, cakupan antimikroba diperluas
untuk memasukkan entitas tersebut; misalnya pengobatan anaerob dalam
kondisi abses paru dan antibiotik antipseudomonal untuk pasien dengan
bronkiektasis.
Perhatian dalam pengobatan CAP adalah peningkatan prevalensi
resistensi antimikroba di antara S. pneumoniae. Pedoman IDSA
melaporkan bahwa S. pneumoniae yang resistan terhadap obat lebih sering
terjadi pada orang usia <2 atau >65 tahun, penggunaan terapi ß-laktam
dalam 3 bulan sebelumnya, alkoholisme, komorbiditas medis, penyakit
atau terapi imunosupresif, dan paparan terhadap anak yang mendatangi
pusat penitipan anak [16].
S. aureus harus dipertimbangkan selama wabah influenza, dengan baik
vankomisin atau linezolid sebagai agen yang direkomendasikan dalam
kondisi methicillin resistant S. aureus (MRSA). Dalam sebuah penelitian
yang membandingkan vankomisin dengan linezolid untuk pneumonia
nosokomial, semua penyebab kematian 60 hari adalah serupa pada kedua
agen [41]. Daptomisin adalah agen lain yang digunakan untuk melawan
MRSA; namun, penggunaannya dalam pneumonia tidak diindikasikan
karena daptomisin mengikat surfaktan, sehingga tidak efektif dalam
pengobatan pneumonia [42]. Ceftaroline adalah sefalosporin baru dengan
aktivitas melawan MRSA; perannya dalam pengobatan community-
Acquired MRSA pneumonia belum sepenuhnya dijelaskan, tetapi
tampaknya menjadi agen yang berguna untuk indikasi ini [43,44].
Demikian pula, agen lain yang diketahui memiliki sifat antibakteri
melawan MRSA, seperti TMP-SMX dan doksisiklin belum diteliti untuk
indikasi ini. Klindamisin telah digunakan untuk mengobati MRSA pada
anak-anak, dan pedoman IDSA pada pengobatan MRSA mencantumkan
klindamisin sebagai alternatif [45] jika MRSA diketahui sensitif.
Ringkasan terapi antibiotik empiris yang direkomendasikan disajikan
pada Tabel 5.

c. Terapi Antibiotik untuk Patogen Tertentu


 S. pneumoniae
Pasien dengan pneumonia yang memiliki jenis pneumococcus yang
rentan terhadap penisilin dapat diobati dengan penisilin intravena (2 atau 3
juta unit setiap 4 jam) atau ceftriaxone. Setelah pasien memenuhi kriteria
stabilitas, mereka kemudian dapat dialihkan ke penisilin oral, amoksisilin,
atau klaritromisin. Mereka yang terinfeksi jenis tersebut dengan
kerentanan yang berkurang masih bisa diobati dengan penisilin tetapi pada
dosis yang lebih tinggi (4 juta unit IV setiap 4 jam) atau sefalosporin
generasi ketiga. Mereka yang pneumonia pneumococcusnya dipersulit
oleh bakteremia akan mendapat terapi ganda jika sakit berat,
membutuhkan pemantauan ICU. Mereka yang tidak sakit berat bisa diobati
dengan monoterapi [46].

 S. aureus
S. aureus lebih sering dikaitkan dengan pneumonia yang didapat di
rumah sakit tetapi juga dapat terlihat selama musim influenza dan pada
mereka dengan CAP nekrotikans parah. Kedua linezolid dan vankomisin
dapat digunakan untuk mengobati MRSA CAP. Seperti disebutkan di atas,
ceftaroline memiliki aktivitas melawan MRSA dan disetujui untuk
pengobatan CAP, tetapi tidak disetujui oleh FDA untuk pengobatan
MRSA CAP. Begitu pula dengan tigecycline disetujui untuk CAP dan
memiliki aktivitas melawan MRSA, tetapi tidak disetujui untuk MRSA
CAP. Apalagi FDA sudah memperingatkan peningkatan risiko kematian
dengan tigecycline dan memiliki peringatan kotak hitam untuk efek
tersebut [47].
 Legionella
Pengobatan legionellosis dapat dicapai dengan tetrasiklin, makrolida,
atau fluoroquinolones. Untuk pasien nonimunosupresi dengan pneumonia
ringan, salah satu antibiotik dari yang terdaftar dianggap tepat. Namun,
pasien dengan infeksi berat atau dengan imunosupresi harus diobati
dengan levofloxacin atau azitromisin selama 7 sampai 10 hari [48].
 C. pneumoniae
Seperti organisme atipikal lainnya, C. pneumoniae bisa diobati dengan
doksisiklin, makrolida, atau fluoroquinolon pernapasan. Namun, lamanya
terapi bervariasi berdasarkan rejimen yang digunakan; sedangkan
mengobati dengan doksisiklin 100 mg dua kali sehari umumnya
membutuhkan 14-21 hari, moxifloxacin 400 mg setiap hari hanya
membutuhkan 10 hari [49].

Tabel 5. Terapi Antibiotik Empiris yang Direkomendasikan


Pasien Rawat Jalan

Sebelumnya sehat Makrolida (azitromisin, klaritromisin,


atau eritromisin) ATAU doksisiklin

Risiko S. pneumoniae resisten obat, Fluoroquinolon respiratori


komorbid (penyakit jantung/paru/hati (levofloxacin, moxifloxacin)
kronis), alkoholik, malnutrisi, ATAU
imunosupresi) Β-lactam (amoksisilin dosis tinggi,
amoksisilin-klavulanat, ceftriaxone,
cefpodoxime, cefuroxime) PLUS
makrolida ATAU doksisiklin

Pasien Rawat Inap

Bangsal medis umum Fluoroquinolon respiratori


ATAU
B-lactam (ceftriaxone, cefotaxime,
ampisilin) PLUS makrolida ATAU
doksisiklin

ICU tanpa kekhawatiran akan P. B-lactam (ceftriaxone, cefotaxime,


aeruginosa ampisilin-sulbaktam) PLUS makrolida
ATAU fluoroquinolon

ICU dengan kekhawatiran akan P. B-lactam antipseudomonas (piperasilin-


aeruginosa tazobaktam, imipenem, meropenem,
ceftazidime, cefepime) PLUS
ciprofloksasin
ATAU
B-lactam antipseudomonas PLUS
aminoglikosida DAN azitromisin
ATAU
B-lactam antipseudomonas PLUS
aminoglikosida DAN ciprofloxacin

 M.pneumoniae
Seperti C. pneumoniae, lama terapi M. pneumoniae bervariasi
berdasarkan antimikroba yang digunakan. Pemberian terpendek terlihat
dengan penggunaan makrolida selama 5 hari, sedangkan 14 hari dianggap
standar untuk doksisiklin atau fluoroquinolone respiratori [50]. Perlu
dicatat bahwa ada resistensi yang semakin meningkat terhadap makrolida,
dengan resistensi diketahui 8,2% di Amerika Serikat [51].

d. Durasi Pengobatan
Sebagian besar pasien dengan CAP merespons dalam 72 jam terhadap
terapi yang tepat. Rekomendasi pedoman IDSA/ATS bahwa pasien
dirawat minimal 5 hari, dan sebelum pasien menghentikan antibiotik harus
afebrile minimal 48-72 jam dan secara klinis stabil (Tabel 6) [16].
Rekomendasi terapi minimum selama 5 hari berlaku untuk kasus rutin
CAP. Meskipun demikian, mayoritas pasien dirawat dengan waktu yang
lama, lebih dari 70% pasien dilaporkan telah menerima lebih dari 10 hari
pada CAP ringan [52]; namun, ada beberapa contoh yang membutuhkan
antibiotik yang lebih lama (misalnya, kasus yang disebabkan oleh P.
aeruginosa, S. aureus, Legionella spp; pasien dengan abses paru atau
infeksi nekrotikans, di antara lainnya) [53]. CRP telah dinyatakan sebagai
tambahan pengukuran stabilitas, khususnya memantau >50% penurunan
CRP; namun, ini hanya divalidasi untuk mereka dengan pneumonia yang
berat [54].
Pasien rawat inap tidak perlu dipantau untuk tambahan satu hari setelah
mereka mencapai stabilitas klinis (Tabel 6), mampu mempertahankan
asupan oral, dan memiliki pemikiran yang normal, asalkan penyakit
penyerta lainnya stabil dan kebutuhan sosial telah terpenuhi [16]. Pasien
keluar dari rumah sakit dengan ketidakstabilan memiliki risiko lebih tinggi
untuk dirawat kembali atau kematian [55].
e. Transisi ke Terapi Oral
Pedoman IDSA/ATS [16] merekomendasikan pasien harus dialihkan
dari IV ke antibiotik oral bila mereka membaik secara klinis, memiliki
tanda-tanda vital yang stabil, dan mampu menelan makanan/cairan dan
obat-obatan.

Tabel 6. Kriteria Stabilitas Klinis


Temperatur ≤37,8ºC

Denyut jantung ≤100 denyut/menit

Laju pernapasan ≤24 napas/menit

Tekanan darah sistolik ≥90 mmHg

Saturasi oksigen arteri ≥90%

Kemampuan untuk menjaga konsumsi secara oral

Status mental normal

f. Manajemen Non responders


Meskipun sebagian besar pasien merespons antibiotik dalam 72 jam,
kegagalan pengobatan terjadi hingga 15% dari pasien [45]. Pneumonia
yang tidak merespon umumnya terlihat dalam 2 pola: perburukan status
klinis meskipun diberi antibiotik empiris atau keterlambatan pencapaian
stabilitas klinis seperti yang didefinisikan dalam Tabel 5 setelah 72 jam
pengobatan [13]. Faktor risiko yang terkait dengan pneumonia yang tidak
merespon [56] adalah:
 Radiografi: infiltrat multilobar, efusi pleura, kavitasi
 Bakteriologis: MRSA, gram negatif, atau pneumonia Legionella
 Indeks tingkat keparahan: PSI> 90
 Farmakologis: pilihan antibiotik yang salah berdasarkan kerentanan
Pasien dengan penurunan status klinis akut akan segera dipindahkan
ke tingkat perawatan yang lebih tinggi dan mungkin membutuhkan
ventilator mekanis. Pada mereka dengan keterlambatan dalam mencapai
stabilitas klinis, pertanyaan terpusat tentang apakah antibiotik yang sama
bisa dilanjutkan sementara melakukan pemeriksaan
radiografi/mikrobiologi lebih lanjut dan/atau mengganti antibiotik.
Riwayat harus ditinjau dengan perhatian khusus untuk paparan,
riwayat perjalanan, dan data mikrobiologi serta radiografi. Dokter harus
mengingat penyebab virus menyumbang hingga 20% dari pneumonia dan
ada juga penyebab tidak menular yang dapat menyerupai infeksi piogenik
[57]. Jika kultur awal yang memadai tidak diperoleh, mereka harus
diperoleh; namun, harus dilakukan dengan hati-hati saat mengamati set
kultur baru saat menggunakan antibiotik karena mereka dapat
mengungkapkan kolonisasi yang dipilih oleh antibiotik dan bukan patogen
sejati. Jika evaluasi berulang tidak menunjukkan, kemudian evaluasi lebih
lanjut dengan CT scan dan bronkoskopi dengan lavage bronchoalveolar
dan biopsi diperlukan. CT scan dapat menunjukkan efusi pleura, obstruksi
bronkial atau pola yang menunjukkan pneumonia kriptogenik.
Bronkoskopi mungkin menghasilkan diagnosis mikrobiologis dan dengan
biopsi juga dapat mengevaluasi penyebab non-infeksi.
Seperti infeksi lainnya, jika dilakukan peningkatan antibiotik, dokter
harus berhati-hati untuk memastikan bahwa upaya yang dilakukan untuk
menjelaskan alasan tidak adanya respon. Untuk sekadar memperluas terapi
antimikroba tanpa upaya menemukan penyebab mikrobiologis atau
radiografi dapat menyebabkan pengobatan tidak tepat dan kambuhnya
infeksi. Selain pasien yang menderita pneumonia pneumococcus
bakteremia dalam ICU, tidak ada laporan yang diterbitkan menunjukkan
keunggulan antibiotik kombinasi [46].

g. Pengobatan Lainnya
Karena respon inflamasi yang terkait dengan pneumonia, beberapa
agen telah dievaluasi sebagai pengobatan tambahan pneumonia untuk
menurunkan keadaan inflamasi; yaitu, steroid, antibiotik makrolida dan
statin. Sampai saat ini, hanya penggunaan steroid (methylprednisolone 0,5
mg/kg setiap 12 jam selama 5 hari) pada mereka dengan CAP parah dan
respon antiinflamasi awal yang tinggi (CRP >150) terlihat menurunkan
kegagalan pengobatan, menurunkan risiko ARDS, mungkin mengurangi
lama rawat, durasi antibiotik intravena dan stabilitas klinis, tanpa efek
pada kematian atau efek samping yang merugikan [58,59]. Metode
tambahan lainnya belum ditemukan berdampak signifikan [16].

N. Pencegahan Pneumonia
Pencegahan pneumonia pneumokokus ada dua: pencegahan infeksi yang
disebabkan oleh S. pneumoniae dan pencegahan infeksi influenza. Karena
infeksi influenza merupakan faktor risiko infeksi bakteri, khususnya dengan S.
pneumoniae, vaksinasi influenza dapat mencegah pneumonia bakteri [60].
Dalam rekomendasi terbaru mereka, CDC terus merekomendasikan rutinitas
vaksinasi influenza untuk semua orang yang lebih tua dari 6 bulan, kecuali ada
kontraindikasi [61].
Ada 2 vaksin untuk pencegahan penyakit pneumokokus: vaksin
polisakarida pneumokokus (PPSV23) dan vaksin konjugasi (PCV13). Setelah
vaksinasi dengan PPSV23, 80% orang dewasa memiliki antibodi terhadap
setidaknya 18 dari 23 serotipe [62]. Terlepas dari respon ini, PPSV23
dilaporkan bersifat protektif melawan infeksi pneumokokus invasif; namun
tidak ada konsensus tentang PPSV23 yang mengarah ke penurunan tingkat
pneumonia [63]. Di sisi lain, vaksinasi PCV13 dikaitkan dengan pencegahan
baik penyakit invasif dan pneumonia yang didapat dari komunitas pada orang
dewasa 65 tahun atau lebih [64]. CDC merekomendasikan semua anak-anak
berusia 2 tahun ke bawah menerima PCV13, sedangkan mereka berusia 65 atau
lebih tua harus menerima PCV13 diikuti dengan dosis PPSV23 [65]. Dosis
PPSV23 harus diberikan ≥1 tahun setelah dosis PCV13 [66]. Orang berusia
<65 tahun dengan imunokompromi dan kondisi tertentu lainnya juga harus
menerima vaksinasi [67] (Tabel 7). Detail lengkap, banyak skenario, dan
waktu vaksinasi dapat ditemukan di
www.cdc.gov/vaccines/jadwal/unduhan/dewasa/jadwal-dewasa.pdf.

Tabel 7. Indikasi Pemberian Vaksin PCV13 dan PPSV23 – Orang Berusia 2-64
tahun
Kelompok Risiko Direkomendasikan Direkomendasikan
PCV-13 PPSV-23

Penyakit jantung dan paru kronis X

Penyakit hati kronis, alkoholik X

Diabetes X

Penggunaan Tembakau X

Kebocoran Cairan Serebrospinal X X

Implantasi Koklear X X

Asplenia fungsional/anatomis X X

HIV X X

Imunodefisiensi X X
kongenital/didapat

Gagal ginjal kronis, sindrom X X


nefrotik

Penyakit neoplastik/keganasan X X
hematologi

Merokok meningkatkan risiko infeksi pernapasan sebagaimana dibuktikan


oleh perokok terhitung hampir setengah dari semua pasien dengan penyakit
pneumokokus invasif [11]. Karena ini adalah faktor risiko yang dapat
dimodifikasi maka seharusnya menjadi tujuan dari pendekatan komprehensif
terhadap pencegahan dari pneumonia.

O. Ringkasan
CAP tetap menjadi penyebab utama rawat inap dan kematian di abad ke-
21. Secara tradisional, pneumokokus telah dianggap sebagai patogen utama
penyebab CAP; namun, penelitian EPIC 2015 menemukan bahwa hanya pada
5% dari pasien yang didiagnosis dengan CAP terdeteksi S. pneumoniae. Meski
ada temuan baru, masih direkomendasikan pengobatan empiris untuk target
CAP bakteri tipikal umum (pneumococcus, H. influenzae, Moraxella
catarrhalis) dan bakteri atipikal (M. pneumonia, C. pneumoniae, L.
pneumophila).
Karena mendiagnosis pneumonia melalui riwayat dan pemeriksaan
klinis kurang dari 50% sensitif, studi pencitraan dada (foto polos dada atau CT
scan dada) biasanya diperlukan untuk membuat diagnosis. Tes laboratorium,
seperti pewarnaan Gram sputum/kultur, kultur darah, tes antigen urin, tes PCR,
prokalsitonin, dan CRP adalah modalitas diagnostik tambahan yang penting
untuk membantu dalam diagnosis dan pengelolaan CAP. Namun, tidak ada satu
tes pun yang sensitif dan cukup spesifik untuk menjadi tes yang berdiri sendiri.
Mereka harus digunakan bersama dengan riwayat, pemeriksaan fisik, dan studi
pencitraan. Karena vaksinasi (PPSV23, PCV13, dan vaksin influenza) tetap
menjadi alat yang paling efektif mencegah perkembangan CAP, dokter, harus
mengupayakan tingkat vaksinasi 100% pada orang yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai