Dokter Pendamping:
dr. Lisbeth Tambunan
Penyusun:
dr. Maria Tamara Sihotang
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan kasih-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah laporan kasus yang berjudul “Kejang
Demam Sederhana”.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan laproan kasus ini tidak terlepas dari
dukungan berbagai pihak yang senantiasa membantu dalam proses persiapan hingga akhir.
Maka pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Lisbeth
Tambunan yang telah bersedia membimbing selama proses penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna dan
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk memperbaiki kekurangan referat ini di kemudian hari. Penulis berharap
agar laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan membuka pikiran serta bermanfaat
bagi para pembaca. Akhir kata, atas perhatian yang diberikan, penulis mengucapkan terima
kasih.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan penyebab kejang tersering pada anak. Kejang demam secara
umum didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun,
serta berhubungan dengan kenaikan suhu tubuh yaitu suhu yang melebihi 38°C. Kejang ini
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.1,2 Apabila kejang demam terjadi pada usia kurang dari
6 bulan, maka harus dipikirkan penyebab lain seperti infeksi susunan saraf pusat maupun epilepsi
yang terjadi bersamaan dengan demam.2
Kejang demam memiliki prevalensi yang berbeda di tiap negara. Di Amerika Serikat,
Amerika Selatan, dan Eropa Barat prevalensi kejang demam berkisar antara 2%-5%. Prevalensi
lebih tinggi ditunjukkan oleh negara di Asia yaitu, India 5%-10% dan Jepang 8,3%-9,9%. Menurut
para ahli 2%-5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam. Kejadian paling banyak
terjadi pada usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan, dimana kejadian tertinggi terjadi pada usia 18
bulan.1 Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 2013, angka kejadian
kejang demam berkisar 2%-3%.
Kasus kejang demam termasuk dalam Standar Kompetensi Dokter dengan grade 4A, yang
berarti dokter umum harus mampu mendiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaana fisik, dan
pemeriksaan tambahan, melakukan penatalaksanaan secara mandiri, dan tuntas. Lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara
mandiri dan tuntas. Diharapkan laporan kasus ini dapat menambah informasi dan wawasan terkait
kejang demam, sehingga kompetensi yang diharapkan dapat tercapai.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An. F
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 1 tahun 4 bulan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Sei Mahakam
Pendidikan terakhir : Belum sekolah
Nervus Kranialis
• Nervus I : dalam batas normal
• Nervus II
o Asies visus : tidak diperiksa
o Lihat warna : tidak diperiksa
o Funduskopi : tidak diperiksa
• Nervus III, IV, VI
o Kedudukan bola mata : di tengah
o Ptosis : (-)
o Diplopia : (-)
o Gerak bola mata
▪ Lateral : (+)
▪ Medial : (+)
▪ Atas : (+)
▪ Bawah : (+)
• Nervus V
o Motorik
▪ Membuka mulut : (+)
▪ Menggerakkan rahang : (+)
▪ Menggigit/mengunyah : (+)
o Sensorik
▪ Raba : tidak diperiksa
▪ Nyeri : tidak diperiksa
▪ Tekan : tidak diperiksa
▪ Suhu : tidak diperiksa
• Nervus VII
o Motorik
▪ Raut wajah : (+/+)
▪ Angkat alis : tidak dilakukan
▪ Tutup mata rapat : (+/+)
▪ Kembungkan pipi : tidak dilakukan
▪ Memperlihatkan gigi : tidak dilakukan
▪ Mencucurkan bibir : tidak dilakukan
o Sensorik
▪ Rasa kecap 2/3 anterior : tidak dilakukan
• Nervus VIII
o Keseimbangan
▪ Nystagmus : tidak dilakukan
▪ Vertigo : tidak dilakukan
▪ Keseimbangan : tidak dilakukan
o Pendengaran
▪ Tinnitus : tidak dilakukan
▪ Gesekan jari : tidak dilakukan
▪ Tes rinne : tidak dilakukan
▪ Tes weber : tidak dilakukan
• Nervus IX, X
o Suara : normal
o Menelan : (+)
o Batuk : tidak dilakukan
o Arkus faring : tidak dilakukan
• Nervus XI
o Menoleh (M. Sternocleidomastoideus) : tidak dilakukan
o Angkat bahu : tidak dilakukan
o Refleks muntah : tidak dilakukan
• Nervus XII
o Gerak lidah : dalam batas normal
Refleks fisiologis
• Biceps : (++/++)
• Triceps : (++/++)
• Patella : (++/++)
Sensorik : tidak dilakukan
Otonom
• BAB : normal
• BAK : normal
• Hidrosis : normal
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi (24/8/2022)
• Hemoglobin : 11,2 g/dl
• HT : 35,1%
• Leukosit : 6.200 /uL
• Trombosit : 217.000 /uL
• Eritrosit : 5,12 juta/Ul
• MCV : 68,6 fl
• MCH : 21,9 pg
• MCHC : 31,9 g/dl
• KGD ad random : 96 mg/dL
• Hitung jenis leukosit
o Eosinofil : 0%
o Basofil : 0%
o Neutrofil Segmen : 67%
o Limfosit : 27%
o Monosit : 6%
V. RESUME
Anak laki-laki, usia 1 tahun 4 bulan datang ke IGD Kesrem dengan keluhan utama
kejang 15 menit SMRS. Kejang terjadi sebanyak 1 kali, dengan bentuk badan kaku dan
mata mendelik keatas, selama kurang dari 5 menit. Satu hari SMRS, ibu pasien
mengatakan anaknya demam. Suhu dirasakan naik turun. Pasien sempat diberikan
sanmol dan demamnya sempat turun, tetapi kemudian suhu naik kembali. Keluhan
demam diikuti dengan adanya BAB cair yang menyemprot, berisi ampas, dan tidak ada
darah. BAB cair terjadi sebanyak 3 kali. Lebih lanjut lagi, pasien juga mengalami
muntah yang berisi air dan makanan sebanyak lebih dari 5 kali. Pasien tampak gelisah
dan rewel. Ibu pasien mengatakan anaknya haus dan ingin minum terus menerus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaran pasien compos mentis, keadaan
umum tampak sakit sedang, dengan tanda-tanda vital yakni frekuensi nadi 116x/menit,
frekuensi nafas 22x/menit, suhu 38oC. Berdasarkan kurva WHO, status gizi pasien
tergolong gizi baik. Pemeriksaan fisik lainnya ditemukan dalam batas normal. Pada
pemeriksaan penunjang hematologi didapatkan hasilnya dalam batas normal.
VII. TATALAKSANA
i. IVFD Ringer Laktat 100 cc loading, kemudian 20 gtt/menit (mikro)
ii. Inj Norages 100 mg/kp
iii. Inj Diazepam 2 mg/kp kejang
iv. Paracetamol syr 4x5 ml
v. Zink syr 1x10 mg
vi. L-Bio 2x1
VIII. PROGNOSIS
• Quo ad vitam : bonam
• Quo ad functionam : bonam
• Quo ad sanationam : bonam
TINJAUAN PUSTAKA
2.3. Patofisiologi
Patofisiologi kejang demam hingga saat ini masih tidak begitu jelas. Beberapa studi
terakhir mengungkapkan bahwa bukan laju dari peningkatan suhu yang merupakan faktor
kunci terjadinya kejang demam, melainkan suhu puncak hingga terjadinya kejang.
Disregulasi antara sitokin pro inflamasi seperti IL-1 beta, IL-6, IL-8, dan ILR-1A juga
diketahui menjadi dasar dari terjadinya patofisiologi kejang demam. Sumber energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi
oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar
adalah ionik. Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui oleh ion K, ion Na,
dan elektrolit seperti Cl. Konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Dalam keadaan istirahat
potensial membran berkisar antara 30 – 100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap
sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan.
Bila sel saraf mengalami stimulasi akan mengakibatkan menurunnya potensial
membran. Penurunan potensial membran ini akan mengakibatkan permeabilitas membrane
tehadap ion Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah,
perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan
ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Bila rangsangan cukup
kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap, maka permeabilitas membran
terhadap Na+ akan meningkat secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau
potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui sinaps
dengan perantara zat kimia yang dikenal sebagai neurotransmitter. Bila perangsangan telah
selesai, maka permeabilitas membran kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan
kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na – K yang
membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.
Mekanisme terjadinya kejang dapat terjadi, pertama karena gangguan pembentukan
ATP dengan akibat berupa kegagalan pompa Na – K, misalnya pada hipoksemia, iskemia,
dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan
terjadi hipoksemia. Mekanisme kedua adalah adanya perubahan permeabilitas membrane
sel saraf yang disebabkan misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia. Mekanisme ketiga
adalah adanya perubahan keseimbangan neurotransmitter yang lebih bersifat eksitasi
dibanding inhibisi (keseimbangan antara glutamate dan GABA) sehingga menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 derajat celcius akan menyebabkan
metabolisme basal meningkat 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kejang
demam rentan terjadi pada seorang anak dibandingkan dengan orang dewasa karena
terdapat perbedaan seperti pada seorang anak yang berumur 3 tahun, sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh, sedangkan pada orang dewasa hanya 15%. Dengan
kondisi ini, kenaikan suhu tubuh tertentu dapat mengakibatkan perubahan keseimbangan
dari membran dalam waktu yang singkat dan menyebabkan terjadi difusi dari ion kalium
maupun natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik yang
kemudian meluas ke membran sel lainnya dengan bantuan neurotransmitter sehingga
akhirnya terjadi kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda-beda.
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan aktivitas
neuronal, dengan mekanisme dihasilkannya sitokin yang merupakan pirogen endogen,
jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian demam dan respons inflamasi akut.
Respons terhadap demam biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang
merupakan pirogen endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif
sebagai pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan
anti-inflamasi sitokin, tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor
antagonist (IL1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini dapat terjadi melalui
sel sirkumventrikular endotelial yang akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-
2) yang selanjutnya mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh,
dan juga meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus.
Semuanya ini berpengaruh terhadap risiko kejang karena 1) Pirogen endogen, yakni
interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal (glutamatergic) dan menghambat
GABA-ergic. 2) Demam juga dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang. 3) Timbulnya dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit juga dapat
menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel. 4) Peningkatan metabolisme basal
juga membuat terjadinya timbunan asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron. 5)
Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen
dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya
disertai terjadinya apnea, peningkatan kebutuhan oksigen, dan energi untuk kontraksi otot
skeletal yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur, dan
suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor yang paling bermakna adalah
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan
permebealitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron.
Kerusakan ini juga salah satu yang menentukan kemungkinan seorang anak mengalami
epilepsi di kemudian hari.
Gambar 2.1. Alur patofisiologi kejang demam
2.4. Manifestasi Klinis2
Klasifikasi tipe kejang terdiri atas:
1. Kejang Demam Sederhana (Simplex Febrile Seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang
umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Sebagian besar kejang demam
sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan umumnya akan berhenti sendiri.
2. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)
Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit), kejang fokal atau
parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, dan berulang atau lebih dari
1 kali dalam waktu 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15
menit atau kejang berulang lebih dari 1 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak
sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu
sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2
kali atau lebih dalam 1 hari, dan di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang
terjadi pada 16% anak yang mengalami kejang demam.
2.5. Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan kriteria Livingstone yaitu kejang
demam sederhana adalah kejang yang bersifat umum, lamanya kejang berlangsung singkat
(<15 menit), usia waktu kejang demam pertama kali muncul <6 tahun, frekuensi serangan
1-4 kali dalam satu tahun, EEG normal. Sedangkan epilepsi yang dicetus oleh demam yaitu
kejang berlangsung lama atau bersifat fokal/setempat, usia penderita lebih dari 6 tahun saat
serangan kejang demam pertama, frekuensi serangan melebihi 4 kali dalam satu tahun, dan
gambaran EEG yang dibuat setelah anak tidak normal lagi adalah normal. Terdapat
modifikasi dari kriteria livingstone yaitu umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4
tahun, kejang hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit, kejang bersifat umum, kejang
timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam, pemeriksaan neurologis sebelum
dan sesudah kejang normal, pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah
suhu normal tidak menujukkan kelainan, dan frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun
tidak melebihi 4 kali. Dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, pungsi lumbal,
elektroensefalografi, dan pencitraan.6,7
2.5.1. Pemeriksaan Laboratorium2
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer,
elektrolit, dan gula darah. Jika keputusan dibuat untuk melakukan pemeriksaan
penunjang laboratorium, itu harus fokus pada penyebab demam dan bukan penyebab
kejang. Jika ditunjukkan secara klinis (misalnya, dalam riwayat atau pemeriksaan fisik
yang menunjukkan dehidrasi), tes ini harus dilakukan. Tingkat natrium yang rendah
dikaitkan dengan risiko kekambuhan demam yang lebih tinggi dalam 24 jam
berikutnya.2,3
2.5.2. Pungsi Lumbal2
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini
pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan
yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik. Indikasi pungsi
lumbal: terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal, terdapat kecurigaan adanya
infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, dipertimbangkan pada
anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan
pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
2.5.3 Elektroensefalografi (EEG)2
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali apabila
bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan
adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Jika anak
mengalami kejang demam sederhana pertama dan pada pemeriksaan neurologis tidak
ditemukan kelainan, EEG biasanya tidak perlu dilakukan sebagai bagian dari evaluasi.
2.5.4. Pencintraan2
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan
pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya
hemiparesis atau paresis nervus kranialis.
2.6. Tatalaksana2
Tatalaksana kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya. Umumnya
kejang berlangsung singkat dengan rerata 4 menit dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena dengan dosis 0.2-0.5 mg/kgBB
diberikan perlahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan
dosis maksimum 10 mg.
Diagram 2.1. Alur Tatalaksana Kejang Akut dan Epilepsi pada Anak
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas
tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi.
Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau
berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu
dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori, dan elektrolit harus
diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan
pemberian antipiretik (parasetamol 10-15 mg/ kg BB, diberikan tiap 4-6 jam atau
ibuprofen 5-10 mg/kgBB, 3-4 kali sehari).
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Saat ini diazepam
merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam
mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara intravena atau
rektal karena jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam intravena
adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu
3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam
dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 12 kg dan 10
mg pada berat badan lebih dari 12 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman dan efektif
serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila setelah pemberian diazepam rektal
kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan
interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,2-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 20mg/kg IV dengan kecepatan 2 mg/kg/menit selama 20 menit. Bila
kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 4-5 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis
awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka dapat dipertimbangkan pemberian
fenobarbital 20 mg/kg IV dengan kecepatan 10-20mg/menit dan dosis maksimal 1000 mg.
Namun, bila kejang masih tetap berlanjut, pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam
apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
Tahap berikutnya jika kejang dapat teratasi, carilah dan obati penyebab dari kejang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan cairan serebrospinal untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yaitu meningitis, terutama pada pasien kejang
demam yang pertama. Pada bayi kecil sering dengan manifestasi meningitis yang tidak
jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kuang dari 6 bulan dan
dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium juga
dapat dilakukan untuk mencari penyebab.
Selain itu dapat diberi pengobatan profilaksis. Diperlukan pencegahan kejang berulang
pada kejang demam karena jika sering terjadi dapat menyebabkan kerusakan otak yang
menetap. Terdapat dua cara yaitu dengan pemberian pengobatan antikonvulsan intermiten
pada waktu demam dan antikonvulsan rumatan dengan antikonvulsan setiap harinya.
Pengobatan antikonvulsan intermiten hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan
ketentuan orang tua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada
pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorbsi dan masuk ke otak. Pemberian
antikovulsan intermiten diberikan hanya saat pasien demam. Pemberiannya berdasarkan
ada tidaknya salah 1 faktor risiko:
- Kelainan neurologis berat, misalnya serebral palsi.
- Kejang berulang ≥ 4 kali dalam setahun.
- Usia <6 bulan.
- Bila kejang terjadi pada suhu tubuh <39 derajat celcius.
- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya suhu tubuh meningkat dengan
cepat.
Obat yang dapat diberikan adalah:
- Diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali dengan dosis maksimum 7,5 mg/kali.
- Diazepam rektal 0,5 mg/kgBB/kali atau 5 mg pada BB <12 kg dan 10 mg pada
BB ≥12 kg, yang dapat diberikan sebanyak 3 kali sehari.
- Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam, dengan edukasi
pada keluarga bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan
ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Pemberian antikonvulsan rumatan hanya diberikan pada kasus selektif dan dalam
jangka pendek dengan indikasi sebagai berikut:
- Kejang fokal
- Kejang lama >15 menit
- Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang seperti
serebral palsi, hidrosefalus, hemiparesis.
Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan, bukan
merupakan indikasi pengobatan rumatan. Pada anak dengan kelainan neurologis
berat dapat diberikan profilaksis intermiten terlebih dahulu, dan jika tidak berhasil
atau orangtua khawatir, maka dapat diberikan terapi rumatan. Pilihan
antikonvulsan pada terapi rumatan adalah :
- Fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko
berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan
gangguan perilaku (iritabel, pemarah, hiperaktif, dan agresif) dan kesulitan
belajar pada 40-50% kasus.
- Obat pilihan saat ini adalah asam valproate, meskipun pada sebagian kecil kasus
terutama pada anak berusia < 2 tahun dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
- Dosis asam valproate: 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
- Dosis fenobarbital: 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1 atau 2 dosis.
- Pengobatan diberikan selama 1 tahun.
- Pemberhentian pengobatan rumatan untuk kejang demam tidak membutuhkan
tapering off, tetapi dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
Anak laki-laki berusia 1 tahun 4 bulan datang ke IGD RS Polri dengan keluhan
utama kejang Pasien datang dengan keluhan kejang 15 menit SMRS. Kejang terjadi
sebanyak 1 kali, dengan bentuk badan kaku dan mata mendelik keatas, selama kurang
dari 5 menit. Setelah kejang pasien tidak ada gangguan kesadaran. Pada awalnya, 1 hari
SMRS, ibu pasien mengatakan anaknya demam. Suhu dirasakan naik turun. Pasien
sempat diberikan sanmol dan demamnya sempat turun, tetapi kemudian suhu naik
kembali. Keluhan demam diikuti dengan adanya BAB cair yang berwarna kuning,
menyemprot, tidak ada lendir dan darah. BAB cair terjadi sebanyak 3 kali. Lebih lanjut
lagi, pasien juga mengalami muntah yang berisi air dan makanan sebanyak lebih dari
5 kali. Pasien tampak gelisah dan rewel. Ibu pasien mengatakan anaknya haus dan ingin
minum terus menerus. Keluhan batuk dan pilek disangkal. Ini merupakan kali pertama
pasien mengalami hal ini. Riwayat kejang sebelumnya disangkal. Riwayat kejang
demam pada keluarga disangkal. Riwayat kelahiran, imunisasi, pertumbuhan, dan
perkembangan pasien dalam batas normal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis, tampak
sakit sedang, dengan tanda-tanda vital: frekuensi nadi 116x/menit, frekuensi nafas
22x/menit, suhu 38oC. Berdasarkan kurva WHO status gizi pasien tergolong baik.
Pemeriksaan fisik lainnya ditemukan dalam batas normal. Tidak ditemukan adanya
tanda rangsang meningeal pada pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan penunjang berupa
hematologi tidak didapatkan kelainan yang bermakna.
Di dalam kasus ini, pasien dapat diklasifikasikan kedalam kejang demam. Sesuai
dengan definisi dari kejang demam sendiri berdasarkan IDAI yaitu bangkitan kejang
yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu
tubuh (suhu di atas 38 derajat celcius, dengan metode pengukuran apapun) yang tidak
disebabkan oleh proses intrakranial. Pasien sendiri berusia 11 bulan yang mana masih
sesuai dengan rentang usia terjadinya kejang demam. Kemudian kejang pasien
didahului oleh demam sebelumnya. Tipe kejangnya sendiri masuk kedalam kejang
demam sederhana karena hanya terjadi sebanyak 1 kali, tidak berulang dalam 24 jam,
dan terjadi dibawah 15 menit, yakni kurang dari 5 menit pada pasien. Etiologi dari
demamnya sendiri didapatkan karena adanya gastroenteritis akut suspek infeksi virus.
Pada alloanamnesis pun tidak ditemukan adanya riwayat kelainan neurologis bermakna
sebelum kejadian seperti tidak ada kejang sebelumnya. Pada pasien sendiri dapat
disarankan untuk dilakukan pemeriksaan kadar serum elektrolit mengingat adanya
GEA yang dialami pasien, untuk mengeksklusi kejang akibat imbalans elektrolit.
Namun, pada pasien tidak dilakukan karena keluhan mengalami perbaikan saat
dilakukan penatalaksanaan awal. Pada pemeriksaan fisik, terutama pemeriksaan
neurologis, juga menunjang karena tidak ditemukan kelainan bermakna sehingga dapat
menyingkirkan differential diagnosis lainnya seperti infeksi SSP atau pun kelainan
struktural lainnya. Hal ini menunjang ke arah kejang demam yang disebabkan oleh
proses ekstrakranial.
Terapi yang diberikan pasien apabila merujuk pada pedoman kejang demam,
tidak diperlukan pemberian obat anti kejang, karena pemberiannya tidak disarankan
untuk kejang demam sederhana, terlebih lagi kejang pada pasien sudah berhenti saat
tiba di Rumah Sakit. Pasien sendiri disarankan untuk rawat inap di RS dikarenakan
suhu pasien yang masih tinggi dan keadaan dehidrasi ringan-sedang akibat GEA yang
dialaminya. Hal ini dikhawatirkan dapat mencetuskan kejadian kejang selanjutnya.
Pencegahan terbaik yang dapat dilakukan adalah observasi terutama demam pasien.
Terapi edukasi keluarga juga penting untuk dilakukan mengingat kejang seringkali
merupakan pengalaman yang mengkhawatirkan, sehingga penanganan pertama oleh
keluarga yang takut atau panik seringkali tidak sesuai. Karena itu perlu diberikan
edukasi komprehensif, termasuk mengenai kemungkinan kejang kembali, dengan
memperhitungkan riwayat kejang demam kini, dan juga pemberian obat anti kejang
seperti diazepam rektal apabila suatu waktu terjadi kejang kembali.
DAFTAR PUSTAKA