Anda di halaman 1dari 24

PEMERIKSAAN FISIK KEKERASAN KDRT

TERHADAP PEREMPUAN

Oleh: KELOMPOK

12

(KELAS B-14B)

NI MADE MEZHA ANINDYA PRABHASWARI (213221289)

I GEDE DWI YASA SUGIHARTA (213221290)

NI KADEK SUMALINI (213221291)

GUSTI AYU MADE DIAH DWI MEIDAYANTI (213221275)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI

ILMU KESEHATANWIRA MEDIKA BALI

2021
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puja dan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa , karena atas asung kertha
wara nugraha Hyang Widhi makalah ini disusun . Agar pembaca dapat memperluas tentang
Keperawatan Kesehatan Reproduksi yang saya sajikan berdasarkan dari berbagai sumber
buku maupun dari media internet.

Makalah ini memuat tentang “Pemeriksaan Fisik Kekerasan KDRT Terhadap


Perempuan” yang sangat berpengaruh untuk menambah wawasan mengenai ilmu
Keperawatan Kesehatan Reproduksi. Walaupun mungkin kurang sempurna tapi memiliki
detail yang cukup jelas bagi pembaca. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulis agar dapat mengerti tentang bagaimana cara saya
menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan yang
lebih luas kepada pembaca. Penulis menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sumbangsih berupa saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan
untuk penyempurnaan makalah ini.
Om Santhi , Santhi , Santhi Om

Denpasar, 4 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................................3

BAB I........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN....................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................6

1.3 Tujuan..........................................................................................................................6

BAB II......................................................................................................................................7

PEMBAHASAN.......................................................................................................................7
2.1 Definisi........................................................................................................................7

2.2 Etiologi........................................................................................................................7

2.3 Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Pemeriksaan...........................................9

2.4 Pemeriksaan Fisik......................................................................................................10

2.5 Role Play Pemeriksaan..............................................................................................13

2.6 Dampak......................................................................................................................17

2.7 Pencegahan................................................................................................................19

2.8 Tipe Kekerasan..........................................................................................................20

2.9 Peran Perawat............................................................................................................20

BAB III...................................................................................................................................22

PENUTUP..............................................................................................................................22
3.1 Simpulan....................................................................................................................22

3.2 Saran..........................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologi. Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan
diantaranya adalah muka merah dan tegang, pandangan tajam, mengatupkan rahang
dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar – mandir, bicara kasar, suara tinggi
menjerit atau berteriak, mengancam secara verbal atau fisik, melempar atau memukul
benda/orang lain, merusak barang atau benda, tidak mempunyai kemampuan
mencegah/mengontrol perilaku kekerasan (Damaiyanti, 2010)
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia.
Dalam keluarga, manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain. Oleh
karena itulah umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam lingkungan
keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna
menumbuhkembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam kenyataannya
keluarga sering kali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus penyimpangan
atau aktivitas ilegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan, yang
dilakukan oleh anggota keluarga satu terhadap anggota keluarga lainnya seperti
penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan. Situasi inilah yang lazim disebut dengan
istilah Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam
keseharian. Pada umumnya, dalam struktur kekerabatan di Indonesia kaum laki-laki
ditempatkan pada posisi dominan, yakni sebagai kepala keluarga. Dengan demikian,
bukan hal yang aneh apabila anggota keluarga lainnya menjadi sangat tergantung
kepada kaum laki-laki. Posisi laki-laki yang demikian superior sering kali
menyebabkan dirinya menjadi sangat berkuasa di tengah-tengah lingkungan keluarga.
Bahkan pada saat laki-laki melakukan berbagai penyimpangan kekerasan terhadap
anggota keluarga lainnya dimana perempuan dan juga anak menjadi korban utamanya
tidak ada seorang pun dapat menghalanginya.
Data kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat setiap tahun
secara drastis. Pada tahun 2012 lebih dari 600 kasus, tahun 2013 tercatat lebih 992
kasus. (komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan, 2013)
Selama tahun 2011 tercatat kejadian KDRT sebanyak 139.000 kasus, dan
antara Januari-Maret 2013, kasus KDRT dilaporkan sebanyak 919 kasus. (KPAI)

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada awal tahun 2004


menunjukkan peningkatan serius dalam jumlah kasus kekerasan berbasis gender yang
menimpa perempuan. Pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus yang dilaporkan ke
lembaga layanan tersebut. Pada tahun 2002 angka itu meningkat menjadi 5.163 kasus
dan tahun 2003 terdapat 5.934 kasus. Sedangkan tahun 2006, catatan dari Ketua
Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kamala Chandrakirana, menunjukkan
kekerasan terhadap perempuan (KTP) sepanjang tahun 2006, mencapai 22.512 kasus,
dan kasus terbanyak adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga sebanyak 16.709 kasus
atau 76%.
Oleh karena itu para aktivis dan pemerhati perempuan sangat memperjuangkan
lahirnya. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU
PKDRT).
Hal ini sangat dipahami bahwa bukan saja Konstitusi Indonesia telah secara tegas dan
jelas melindungi hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap tindakan
diskriminasi, namun kejadian-kejadian Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan
berbagai modus operandinya, mengakibatkan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT) menderita, pada umumnya mereka menjadi stress, depresi, ketakutan, trauma,
takut bertemu pelaku, cacat fisik, atau berakhir pada perceraian. Dari sisi pelaku,
apabila kasusnya terungkap dan dilaporkan, biasanya timbul rasa menyesal, malu,
dihukum, dan atau memilih dengan perceraian pula. Sehingga memerlukan pengaturan
yang memadai, termasuk perlindungan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi hak asasi
perempuan dalam rumah tangga.
Bangsa Indonesia patut merasa bersyukur, karena pada tanggal 22 September
2004 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang diharapkan dapat
dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara lain
mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan
terhadap pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga, dengan tetap menjaga keutuhan
demi keharmonisan keluarga. Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga. Secara umum Undang-Undang ini menjelaskan bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Apa
yang sesungguhnya ingin dicapai oleh undang-Undang ini adalah meminimalisir tindak
pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dan pada akhirnya adalah terwujudnya posisi
yang sama dan sederajat di antara sesama anggota keluarga. Posisi yang seimbang
antara suami dan istri, anak dengan orang tua, dan juga posisi yang setara antara
keluarga inti dengan orang-orang yang baik secara langsung

maupun tidak langsung menjadi bagian dari keluarga sementara saat itu dalam
keluarga. Seperti pembantu rumah tangga maupun sanak saudara yang kebetulan
tinggal dalam keluarga tersebut dengan tidak memberi pembatasan apakah mereka
laki-laki atau perempuan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) ?
2. Apa saja etiologi terjadinya kejadian kekerasan dalam rumah tangga ?
3. Apa saja hal yang perlu diperhatikan sebelum pemeriksaan ?
4. Apa saja pemeriksaan fisik korban kekerasan dalam rumah tangga?
5. Bagaimana role play pemeriksaan fisik korban KDRT ?
6. Apa saja dampak KDRT terhadap Anak ?
7. Apa saja pencegahan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) ?
8. Apa saja tipe kekerasan dalam KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) ?
9. Apa saja peran perawat dalam kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan KDRT
2. Untuk mengetahui etiologi terjadinya kejadian kekerasan dalam rumah tangga
3. Untuk mengetahui hal yang perlu diperhatikan sebelum pemeriksaan
4. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik korban kekerasan dalam rumah tangga
5. Untuk mengetahui role play pemeriksaan fisik korban KDRT
6. Untuk mengetahui dampak KDRT terhadap Anak
7. Untuk mengetahui pencegahan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)
8. Untuk mengetahui tipe kekerasan dalam KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)
9. Untuk mengetahui peran perawat dalam kasus KDRT (kekerasan dalam rumah
tangga).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Berdasarkan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) No. 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Kekerasan dalam Rumah
Tangga merupakan setiap perbuatan pada seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan
atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara hukum dalam lingkup rumah tangga.
Yang ditandai dengan hubungan antar anggota keluarga yang diwarnai dengan
penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu dari permasalahan sosial
yang penting sekali dimana perempuan ditempatkan dalam posisi lebih rendah
dibandingkan laki-laki. (Darmono & Diantri, 2008). Kekerasan dalam keluarga
mencakup penganiayaan fisik, emosional, dan fisik pada anak-anak, pemukulan
pasangan, pemerkosaan, dan penganiayaan lansia. (Sheila L.Videbeck.2008)

2.2 Etiologi
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejadian kekerasan
dalam rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi :

1. Faktor individual (korban/perempuan) : kepercayaan/agama, umur, status


kependudukan, urutan anak dalam keluarga, pekerjaan diluar rumah, pendidikan
rendah, riwayat kekerasan saat masih anak-anak.
2. Faktor individual (pelaku/ laki-laki) : perbedaan umur, pendidikan rendah,
pekerjaan, riwayat mengalami kekerasan saat masih anak-anak, penggunaan obat-
obatan atau alkohol , kebiasaan berjudi, gangguan mental, penyakit kronis,
mempunyai hubungan diluar nikah dengan wanita lain.
3. Faktor sosial budaya : Menurut Helse et all, (2005) budaya patrilineal yang
menempatkan peran laki-laki sebagai pengontrol kekayaan, warisan keluarga
(termasuk nama keluarga) dan pembuat keputusan dalam keluarga serta konflik
perkawinan
merupakan predictor yang kuat untuk terjadinya kekerasan. Ada budaya yang
menganggap perilaku kekerasan suami terhadap istri adalah hal yang biasa. Perilaku
kekerasan yang di lakukan oleh suami ini di maksudkan untuk mengontrol keluarga.
4. Faktor sosio ekonomi : salah satu faktor utama terjadinya tindakan kekerasan adalah
kemiskinan. Faktor lain yang berhubungan adalah pengangguran, urbanisasi,
pengisolasian, diskriminasi, gender dalam lapangan pekerjaan.
5. Faktor religi : pemahaman ajaran agama yang keliru : suami salah persepsi dalam
agama “memukul istri” adalah hal yang wajar untuk mendidik istrinya dan persepsi
seperti itu terjadilah kekerasan dalam rumah tangga
6. Lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas yang tinggi

7. Kehidupan keluarga yang kacau, tidak saling mencintai dan menghargai, serta tidak
menghargai peran wanita
8. Kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga

9. Adanya perilaku meniru yang diserap oleh anak karena terbiasa melihat kekerasan
dalam rumah tangga. Pelaku juga memiliki perilaku yang temperamen tinggi, mudah
tersinggung dan cepat marah kepada istri karena tidak patuh terhadap suami.
10. Beban pengasuhan anak : istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. ketika terjadi hal yang tidak diinginkan terjadap anak, maka
suami akan menyalahkan istri sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
11. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik : tindakan ini merupakan faktor
dominan yang dilakukan suami sebagai pelampiasan dari ketersinggungan atau
kekecewaan karena tidak dipenuhi keinginan suami. tindakan inni juga biasanya
dilakukan dengan tujuan agar istri jadi penurut. sehingga apa kata suami dapat dituruti
oleh istri
12. Frustasi : teori frustasi - agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk
mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu
pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam
tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau
memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya : belum siap kawin, suami belum
memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.
13. Pendidikan yang rendah

Bagi pasangan suami-istri yaitu karna tidak ada nya pengetahuan bagi kedua nya
dalam hal bagaimana cara mengimbangi pasangan dan mengatasi keuangan yang
dimiliki pasangan dalam menyelaraskan sifat-sifat yang tidak cocok diantara
keduanya.

14. Cemburu yang berlebihan


Jika tidak adanya rasa kepercayaan antara satu dan lain maka akan timbul rasa
cemburu dan curiga dalam kadar yang sangat berlebihan. Sifat cemburu yang terlalu
tinggi ini bisa memicu terjadi nya kekerasan dalam rumah tangga

2.3 Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Pemeriksaan


1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik
Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter
harus melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang.
Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Apabila
korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, korban jangan
diperiksa dahulu tetapi diminta untuk kembali kepada polisi dan datang bersama polisi.
Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan
pada tubuh korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Jika
dokter telah memeriksa korban yang datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas
inisiatif korban sendiri tanpa permintaan polisi, lalu beberapa waktu kemudian polisi
mengajukan permintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum, maka hasil pemeriksaan
sebelumnya tidak boleh dicantumkan dalam Visum et Repertum karena segala sesuatu
yang diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada pemintaan untuk dibuatkan
Visum et Repertum merupakan rahasia kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP
pasal 322)10. Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan
Visum et Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu
permintaan diajukan. Hasil pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk
Visum et Repertum, tetapi dalam bentuk surat keterangan.
2. Informed Consent
Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari
pihak korban, karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum tentu
korban menyetujui dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain itu, bagian yang
akan diperiksa meliputi daerah yang bersifat pribadi. Jika korban sudah dewasa dan
tidak ada gangguan jiwa, maka dia berhak memberi persetujuan, saudaranya atau pihak
keluarga tidak berhak memberikan persetujuan. Sedangkan jika korban anak kecil dan
jiwanya terganggu, maka persetujuan diberikan oleh orang tuanya atau saudara
terdekatnya, atau walinya.
Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang dan
dapat memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi jumlah
orang yang berada dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter, perawat, korban, dan
keluarga atau teman korban apabila korban menghendakinya. Pada saat memeriksa,
dokter harus didampingi oleh seorang perawat atau bidan
3. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin
Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan
cemas di kamar periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan-
tindakan yang akan dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan ke
pengadilan.Visum et Repertum diselesaikan secepat mungkin agar perkara dapat cepat
diselesaikan.

2.4 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik memiliki tujuan menilai status kesehatan korban KDRT serta
mengidentifikasi pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan guna menegakkan
diagnosa.Pemeriksaan Fisik dengan prosedur sebagai berikut :
1. Anamnesis
Anamnesis atau metode wawancara pada korban yang dilakukan dokter untuk
mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan pemeriksaan medis dan juga forensik.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan anamnesis, yaitu:
Identitas pasien, akan dilaporkan dalam Visum et repertum

Hasil anamnesis dilaporkan terpisah dari Visum et Repertum dengan judul


“keterangan yang diperoleh dari korban” karena hasil anamnesis tidak bersifat objektif
dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Terdiri dari anamnesis bersifat umum dan bersifat khusus.

1) Anamnesis umum:

 Umur

 Tempat dan tanggal lahir

 Status pernikahan
 Siklus menstruasi

 Riwayat penyakit (kongenital, herediter, pms, dll),

 Penggunaannya obat-obatan tertentu

 Riwayat hubungan seksual (pernah atau belum

 Frekuensi, hubungan seks terakhir)

 Riwayat penggunaan alat kontasepsi (misalnya kondom)

2) Anamnesis khusus:
 Urutan kejadiaan.
 Jenis penderaan.
 Oleh siapa, kapan, dimana, dengan apa, berapa kali.
 Orang yang ada disekitar.
 Waktu jeda antara kejadian dan kedatangan ke RS.
 Kesehatan sebelumnya.
 Trauma serupa waktu lampau.
 Riwayat penakit lampau.
2. Pemeriksaan pakaian
Lakukan dengan teliti, apakah terdapat :
a. Robekan baju: lama atau baru, sepanjang alur jahitan atau melintang.
b. Kancing yang terlepas: akibat tarikan atau bukan.
c. Bercak/ noda : darah, semen/air mani, lumpur, dll.
d. Kondisi pakaian: rapi, benda yang melekat, ada/tidaknya trace evidence
e. Benda/sampel segera dikirim ke laboratorium kriminologi untuk pemeriksaan
lanjut.
3. Pemeriksaan tubuh korban
Pemeriksaan Umum
Yang perlu dilakukan antara lain:
a. Deskripsi penampilan : rambut rapi/kusut, ekspresi wajah, emosi pasien,
tenang/gelisah.
b. Tanda pernah hilang kesadaran, needle marks
c. Tanda-tanda bekas kekerasan dan perlawanan pada daerah predileksi (mulut, leher,
pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam, pinggang).
d. Pemeriksaan antropometri : tinggi badan, berat badan
e. Tanda-tanda vital
1) Suhu tubuh
2) Denyut nadi
3) Pernafasan
4) Tekanan darah.
5) Pemeriksaan kepala dengan urutan inspeksi, palpasi
6) Pemeriksaan pupil : ukuran (pin point/miosis/midiriasis), refleks cahaya
7) Pemeriksaan tubuh dengan urutan inspeksi, palpasi, perkusi
8) Pemeriksaan sistem organ tubuh : jantung, paru, abdomen.
9) Pengumpulan sampel (benda asing, semen, helaian rambut, jaringan pada kuku).
10) Pemeriksaan daerah anus pada kasus sodomi, penetrasi ke anus akan
memberikan tanda khas.
11) Pemeriksaan kandungan dan kebidanan
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan oleh spesialis obstetri-ginekologis.
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan:
a) Pemeriksaan area genitalia : rambut pubis yang bertautan, semen yang
mengering/ bercak semen, lakukan swab.
b) Pada vulva, introitus vagina : tanda bekas kekerasan (hiperemi, edema,
memar, luka lecet); lakukan swab pada vestibulum.
c) Periksa jenis hymen, keutuhan hymen. Jika sudah ruptur, sudah lama atau
baru, lokasi ruptur, sampai ke insertio atau tidak; tentukan besar orificium;
ada/tidak deflorasi (tidak harus ada).
d) Pada frenulum labiorum pudenda dan commisura labiorum: utuh/tidak.
e) Lakukan pemeriksaan dengan speculum jika memungkinkan, memeriksa
vagina dan serviks, ada tidaknya infeksi.
f) Lakukan swab pada vagina
Jika pada hymen masih utuh, pengambilan sampel dilakukan sebatas
vestibulum.
4. Pemeriksaan Kesehatan Mental
Pasien/ korban dirujuk pada seorang psikolog atau psikiater untuk diperiksa
status mentalnya. Pasien mungkin menderita trauma psikis dan perubahan tingkah
laku. Perujukan dan pemeriksaan ini berkaitan dengan pelaporan dalam visum et
repertum juga untuk pengobatan.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan analisis sampel yang diperoleh dari tubuh dan pakaian;
1. analisis DNA dari semen, rambut pubis.
2. periksa ada tidaknya infeksi kuman, misalnya N. gonorrhea.
3. periksa darah korban jika indikasi diberi obat-obatan tertentu.
4. Jika rentang waktu kejadian dan pemeriksaan cukup lama, maka dapat dilakukan tes
kehamilan.
5. Selain itu dapat dilakukan juga pemeriksaan terhadap tersangka antara lain
kecocokan DNA pria dengan DNA pada tubuh korban, ada/tidaknya epitel vagina
pada penis tersangka.
6. Pencitraan radiologi
Pencitraan dapat dilakukan jika diperlukan, misalnya kemungkinan fraktur akibat
kekerasan selama kejadian atau dapat juga untuk mendeteksi kehamilan.

2.5 Role Play Pemeriksaan

Tanggal 25 September 2021, Pukul 15.00 WITA. Perawat menerima pasien seorang
perempuan yang di antar oleh saudara laki-lakinya dan di temani petugas kepolisian, yang
kondisi lemah, penampilan berantakan, baju robek, rambut berantakan. Saudara laki-
lakinya yang didampingi oleh petugas kepolisian membawa sebuah surat keterangan untuk
permintaan pemeriksaan visum, bahwa adik kandungnya mengalami pelecehan seksual
pemerkosaan yang di lakukan oleh ayah tirinya sendiri.

Sebelum di lakukannya pemeriksaan, dokter/perawat meminta keluarga/pasien untuk


menandatangani infom konsen, surat persetujuan tindakan. Bahwa nantinya akan di
lakukannya pemeriksaan fisik pasien dari anamnesa sampai pemeriksaan fisik, genetelia
dan meperiksaan penunjang lainnya yg di butuhkan.

Perawat : “ selamat sore, saya perawat .........., boleh saya bertanya sebentar mengenai
identitas dan hal lainnya, sebelum kita melakukan pemeriksaan fisik ?”

Pasien : “boleh sus”

Perawat : “Boleh saya minta KTP nya sebentar ?

Pasien : “ Ini sus” (menyerahkan KTP)


Perawat : “ Terima kasih, bisa saya minta tanda tangan untuk formulir persetujuan tindakan
dan pemeriksaan ?” ( sembari mengembalikan KTP dan memberikan berkas-berkas yang
akan ditandatangani)

Pasien : (menandatangani berkas)

Perawat : “ baik sekarang kita mulai untuk pemeriksaan nya “

Pasien : “ baik sus”

Mengajak pasien ke ruangan pemeriksaan, untuk dilakukan anamnesa dan pemeriksaan


fisik pada pasen

Perawat : “ bisa saya ajukan pertanyaan mengenai kejadian yang adik alami ?”

Pasien : “ boleh sus”

Perawat : “ bisa sebutkan nama, umur, tanggal lahir, serta status pernikahan ?”

Pasien : “ nama saya A.N, umur 15 tahun, tanggal lahir 25 Agustus 2006, status belum
menikah

Perawat : “ baik sekarang saya bertanya mengenai siklus mentruasi adik apakah teratur dan
kapan terakhir menstruasi ?”

Pasien : “ menstruasi saya teratur sus, dan terakhir sekitar tgl 20 september kemarin “

Perawat : “apakah memiliki riwayat penyakit sebelumnya serta apakah pernah


mengkonsumsi obat-obatan tertentu ?”

Pasien “ tidak ada riwayat penyakit sus, dan tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan
tertentu”

Perawat : “ sekarang boleh saya tanya mengenai kejadian yang adik alami tadi, kalau adik
belum siap tidak masalah ?”

Pasien : “ boleh sus”

Perawat : “ bagaimana kronologis kejadiannya ?”

Pasien : “ saya sedang sendirian bersama ayah tiri saya di rumah sus, kakak saya sedang
kuliah. Lalu ibu saya sudah meninggal sejak 3 bulan yang lalu. Pada saat dulu masih
bersama ibu saya, ayah tiri saya masih baik kepada saya dan kakak saya. Tadi siang sekitar
pukul 11 saya disuruh untuk mengantarkan teh ke kamar ayah saya. Lalu ayah saya berniat
melecehkan saya dan memperkosa saya. Lalu saat itu kakak saya datang dan menghentikan
apa yang ayah saya lakukan”

Perawat : “ saya mengerti, sebelum kejadian hari ini apakah sebelumnya pernah terjadi
kejadian serupa atau kejadian lainnya ?”

Pasien : “ sebelumnya tidak pernah sus, ini pertama kalinya seperti ini, memang ayah tiri
saya terkesan galak dan keras saat berbicara, namun tidak pernah dia melakukan hal seperti
tadi siang”

Perawat : “ sebelumnya adik apakah pernah mengalami kejadian serupa diluar kejadian
dengan ayah tiri adik saat ini “

Pasien : “ Tidak pernah sus “

Perawat : “ sekitar pukul berapa adik ke kantor polisi bersama kakak ?”

Kakak pasien : “ sekitar pukul 13.30 sus, setelah dari kantor polisi, lalu polisi
mengantarkan kami ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksan / visum ?”

Perawat : “ baik pak”

setelah dilakukan tanya jawab mengenai identitas dan kronlogis kejadian, selanjutnya
dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien, dimulai dari pemeriksaan pada pakaian pasien

Perawat : “ sekarang saya akan melakukan pemeriksaan pada pakaian yang sedang adik
pakai, boleh kita ganti baju sebentar adik ?”

Pasien : “ iya sus, silahkan” (mengganti pakaian, ditemani oleh perawat)

Perawat : (memeriksa pakaian pasien, dan ditemukan robekan baru dan kancing yang lepas
pada pakaian pasien serta terdapat noda bekas air mani pada pakaian pasien)

Perawat : “ baik kita sudah selesai melakukan pemeriksaan pada pakaian adik, nantinya
pakaian ini akan di bawa oleh kepolisian untuk barang bukti. Sekarang kita lakukan
pemeriksaan fisik pada adik”

Pasien : “ iya sus “


Perawat : (Melakukan pemeriksaan fisik pada pasien, yaitu yang pertama tanda -tanda
vital : Tekanan darah 128/78 mmHg, Nadi : 88 x/mnt, Suhu : 36,7 derajat celcius, RR : 22
x/mnt)

Perawat : sekarang kita akan melakukan pemeriksaan fisik pada tubuh adik ?”

Pasien : “baik sus”

Perawat : (melakukan pemeriksaan kepala, pupil, tubuh dan sistem organ tubuh pasien,
serta melakukan pengumpulan sampel yang melekat pada tubuh pasien)

Pada pemeriksaan tubuh pasien didapatkan hasil sebagai berikut : terdapat lebam berwarna
ungu pada wajah bagian pipi, kepala normochepal, pupil isokor, tidak ada kelainan, anus
pasien tidak ada masalah dan bekas pelecehan seksual pada anus. Penampilan pasien
berantakan ekspresi wajah pasien melamun, emosi pasien tenang. Tidak tamapk tanda-
tanda pernah kehilangan kesadaaran. Terdapat tanda-tanda bekasa perlawanan pada
pergelangan tangan dengan tanda lebam pada pergelangan tangan. Pada pemeriksaan tubuh
pasien ditemukan sampel yang ada di sela -sela kuku pasien, dan sampel tersebut sudah
didambil dan dikumpulkan.

Perawat : pemeriksaan fisik sudah saya lakukan, selanjutnya akan ada pemeriksaan fisik
yang dilakukan oleh dokter spesialis kandungan, mohon kerjasamanya adik ”

Pasien : “baik sus”

Dokter SpOG : “selamat sore, saya dr....... yang akan melakukan pemeriksaan pada adik,
mohon kerjasamanya ya?”

Pasien : “ baik dok”

Dokter SpOG : (Melakukan pemeriksaan oleh dr. Spesialis obstetri dan ginekologi
mengenai pemeriksaan di area genitalia, vulva serta vagina, jenis hymen dan keutuhannya,
frenulum labiorum pudenda, pemeiksaan ada tidaknya infeksi pada vagina dan serviks
dengan melakukan swab pada vagina untuk dilakukan pemeriksaan di laboratorium)

Didapatkan hasil, terdapat bekas semen yang mengering pada area genital,terdapat tanda-
tanda kekerasan pada vagina yaitu luka lecet, hymen sudah ruptur dan kondisinya baru.
Tidak ditemukannya kondisi infeksi pada vagina maupun serviks pasien. Serta dilakukan
swab untuk dilakukan pemeriksaan di laboratorium.
Dokter : “ pemeriksaanya sudah selesai, tinggal nanti kita menunggu hasil lab, baru nanti
kita sampaikan bagaimana hasilnya”

Pasien : “ baik dok”

Perawat : “pemeriksaan fisiknya sudah selesai adik, sekarang adik akan melakukan
konseling mengenai trauma yang adik alami agar trauma adik sekarang tidak berdampak
buruk pada kesehatan mental adik nantinya”

Pasien : “ baik sus”

Perawat : “ terimakasih adik sudah mau bekerja sama dan membantu dalam proses
pemeriksaan ini, saya berdoa yang terbaik untuk adik”

Pasien : “ iya sus, saya juga berterima kasih pada suster dan dokter”

Anamnesa dan pemeriksaan fisik selesai, pasien keluar dari ruang pemeriksaan dan
melanjutkan konseling pada bagian psikolog/ psikiater. Serta menunggu hasil tes
pemeriksaan keluar untuk dijadikan bukti kepada kepolisian.

2.6 Dampak
Dampak KDRT terhadap Anak menurut Marianne James, Senior Research pada
Australian Institute of Criminology (1994) adalah :

1. Dampak terhadap Anak berusia bayi

Usia bayi seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam kaitannya dengan


kemampuan kognitif dan beradaptasi, menyatakan bahwa anak bayi yang
menyaksikan terjadinya kekerasan antara pasangan bapak dan ibu sering dicirikan
dengan anak yang memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur yang jelek, dan
teriakan yang berlebihan. Bahkan kemungkinan juga anak-anak itu menunjukkan
penderitaan yang serius. Hal ini berkonsekuensi logis terhadap kebutuhan dasarnya
yang diperoleh dari ibunya ketika mengalami gangguan yang sangat berarti. Kondisi
ini pula berdampak lanjutan bagi ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan
sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.
2. Dampak terhadap anak toddler

Dalam tahun kedua fase perkembangan, Dampak yang terjadi seperti seringnya sakit,
memiliki rasa malu yang serius, dan memiliki masalah selama dalam pengasuhan,
terutama masalah sosial, misalnya : memukul dan menggigit.

3. Dampak terhadap Anak usia pra sekolah

Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anak-anak yang


berusia TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya bahwa Anak-anak
yang memperoleh rasa distress pada usia sebelumnya. Ini dapat dijelaskan bahwa
anak-anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial dari teman sebayanya, bahkan
tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan kegiatan atau minat teman sebayanya
juga, maka mereka cenderung memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang
dewasa.
4. Dampak terhadap Anak Sekolah

Anak-anak mengalami masalah dalam kesehatan mentalnya, termasuk didalamnya


prilaku anti sosial dan depresi, anak mengalami mimpi buruk, ketakutan, nafsu makan
menurun, lamban dalam belajar, anak akan mengalami luka, cacat fisik, cacat mental,
bahkan kematian, menunjukkan perubahan perilaku dan kemampuan belajar, memiliki
gangguan belajar dan sulit berkonsentrasi, selalu curiga dengan orang lain.
5. Dampak kekerasan dalam rumah tangga pada dewasa (istri)

a. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri


menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan
tersebut
b. Kekerasa seksual mengakibatkan menurunkan atau bahkan hlangnya gairah
seks, karena istri menjadi ketakutan
c. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma,
rasa takut, marah meningkat, meledak-ledak, depresi.
d. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasnya pemenuhan kebutuhan sehari-
hari yang diperlukan istri dan anaknya.
6. Dampak kekerasan dalam rumah tangga pada lansia :

a. Merasa tidak dihargai

b. Merasa gagal mendidik anak


2.7 Pencegahan
1. Pencegahan primer : dengan cara memberikan penguatan pada individu dan keluarga
dengan membangun koping yang efektif dalam menghadapi stress dan menyelesaikan
masalah tanpa menggunakan kekerasan.
2. Pencegahan sekunder : dengan cara mengidentifikasi keluarga dengan resiko
kekerasan, penelataran, atau eksploitasi terhadap anggota keluarga, serta melakukan
deteksi dini terhadap keluarga yang mulai menggunakan kekerasan.
3. Pencegahan tersier : dilakukan dengan cara menghentikan tindak kekerasan yang
terjadi bekerja sama dengan badan hukum yang berwenang untuk menangani kasus
kekerasan.
4. Menyelenggarakan pendidikan orang tua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan
memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
5. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya
melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika
sewaktu-waktu terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
6. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
7. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat
yang ditimbulkan dari kekerasan dalam rumah tangga.
8. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang
harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku
kekerasan dalam rumah tangga.
9. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi,
dan potensinya.
10. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena kekerasan
dalam rumah tangga, tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga.
11. Perlu nya keimanan yang kuat dan aklaq yang baik juga berpegang teguh pada agama
nya masing-masing, sehingg kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi.
12. Harus ada nya komunikasi yang baik antar suami dan juga istri agar tercipta sebuah
rumah tangga yang rukun, harmonis.
13. Seorang istri mampu mengkoordinir berapa pun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan keluaga yang
minim, sehingga kekurangan enkonomi yang minim dapat teratasi.

2.8 Tipe Kekerasan


1. Secara fisik, yaitu menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut
dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya.
2. Secara psikologis, yaitu penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan,
melarang istri mengunjungi saudara atau teman-temannya, mengancam akan
dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan sebagainya.
3. Secara seksual (marital rape), yaitu kekerasan dalam bentuk pemaksaan dan
penuntutan hubungan seksual.
4. Secara ekonomi, yaitu tidak memberi nafkah istri, melarang istri bekerja, atau
membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi (Yusuf,2015)
2.9 Peran Perawat
1. Peran sebagai pendidik (educator)

Meningkatkan pengetahuan ibu dan keluarga mengenai kekerasan dalam rumah


tangga khususnya mengenai pengertian, jenis, serta dampak.
2. peran sebagai pemberi konseling (counselor)

Disini perawat maternitas dapat berperandengan fokus meningkatkan harga diri


korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban dan terutama untuk memberikan
informasi dan dukungan agar korban korban dapat mengambil langkah pengamanan.
konseling tidak hanya ditujukan untuk perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga. tetapi juga untuk pelaku. tujuannya adalah untuk mendorong pelaku untuk
mengambil tanggung jawab dalam menghentikan tindak kekerasan dan meningkatkan
kualitas hidupnya sendiri.
3. Peran sebagai pemberi pelayanan keperawatan (caregiver)

peran perawat maternitas sebagai pemberi pelayanan keperawatan adalah memberikan


asuhan keperawatan mulai dari pengkajian hingga pemberian inteervensi dan
evaluasi.perawat harus meningkatkan kepekaan dengan tidak mengabaikan tanda-
tanda bekas perlakuan kekerasan, secara cepat dan dapat mengidentifikasikan
masalah, menentukan apakah wanuta terebut membutuhkan penanganan medis
ataupun terapi khusus.
4. Peran sebagai penemu kasus dan peneliti (case finder researcher)

meningkatkan riset dan pendalaman dalam aspek prevensi, promosi dan deteksi dini.

5. Peran sebagai pembela (advokat)

berperan sebagai advokat, perawat harus senantiasa terbuka untuk suatu kerja sama
yang baik dengan lembaga penyedia layanan pendampingan dan bantuan hukum,
mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam
rumah tangga, melatih kader- kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan
korban kekerasan.
6. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi (anjurkan segera lakukan
pemeriksaan visum), Pengaduan dan visum terhadap KDRT berupa kekerasan fisik
memang sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, seketika setelah KDRT terjadi. Hal
ini agar tanda-tanda fisik bekas penganiayaan tidak keburu hilang.

7. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan


dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

8. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif (Ruang Pelayanan
Khusus).

9. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban


dengan pihak kepolisian, dinas sosial, serta lembaga sosoal yang dibutuhkan korban
Sosialisasi Undang-Undang KDRT kepada keluarga dan masyarakat
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan pada seseorang terutama
pada perempuan dalam bentuk penganiayaan fisik, emosional, seksual pada anak,
pengabaian anak dan lansia yang berakibat timbulnya kesengsaraan, kekerasan dalam
lingkup rumah tangga. Yang ditandai dengan hubungan antar anggota keluarga yang
diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan.
Kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena adanya beberapa faktor yaitu faktor
individual, sosio budaya, ekonomi, religi. Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa
kekerasan fisik, psikologi, seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan dalam
rumah tangga bisa berdampak pada korban seperti sakit fisik, cacat mental, merasa
ketakutan, menurunkan seksualitas, keterlambatan dalam belajar, merasa tidak
dihargai, depresi, dan bisa berakibat kematian.

3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka dari itu kami ingin meminta serta
kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca serta dosen pengasuh agar
makalah yang kami buat bisa menjadi sempurna dan jauh lebih baik dari sebelumnya,
semoga makalah ini dapat dijadikan suatu refrensi atau panduan bagi mahasiswa
keperawatan khususnya atau kalangan umum untuk membuat atau melanjutkan
pendidikan selanjutnya. 
DAFTAR PUSTAKA

Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan
Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.

At–Thahirah, Almira. 2006. Kekerasan Rumah Tangga Produk Kapitalisme (Kritik Atas
Persoalan KDRT). Bandung: UN

Darmono & Diantri, 2008. Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Dampaknya Terhadap
Kesehatan Jiwa. Jakarta: FK.UI

Efendy, Ferry Makhfudi.2009.Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktik


Dalam Keperawatan.Jakarta:Salemba Medika

Malikah. 2004. Eksplorasi Kinerja UU RI No 23 Tahun 2004. Tentang Penghapusan KDRT


dan Pengembangan Strategi Sosialisasi dan Edukasi. Jakarta

Sheila L.Videbeck. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:EGC

Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta:EGC

Yusuf, 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai