Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Assalmuallaikum Wr.Wb
Segala puji kami kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan kami kekuatan dan
kesehatan untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu, tak lupa pula salawat serta salam
kepada junjungan baginda terkasih Nabi besar Muhammad SAW.
Makalah ini disusun secara sistemtis dan tertata dengan baik yang mana isi makalah ini berkenanan
dengan Jenis-jenis Alergi beserta Obatnya. Dalam penyusunan dan penulisan makalah ini tentu mendapat
banyak kendala dan halangan, namun dengan semangat yang tinggi akhirnya makalah ini dapat terselesai
dengan baik. kami sangat berterima kasih kepada Dosen pembimbing ikhtiologi yang telah membimbing dan
mengarahkan kami dalam penyusunan makalah ini serta dengan mengajarkan kami banyak hal tentang
ikhtiologi beserta aspek pembahsannya.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberi pengetahuan yang luas bagi para pembaca tentang
system endokrin pada ikan. Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapakn demi perbaikan makalah ini kedepannya. Akhir kata kami Ucapkan
Wasalamuallaikum Wr.Wb

Makassar 19 Maret 2019

Kelompok 1
PEMBAHASAN

JENIS-JENIS ALERGI
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas atau respon pertahanan tubuh yang masuk ke dalam tubuh
yaitu melalui saluran pernafasan (alergen inhalatif/alergi hirup), alergen kontak, melalui suntikan atau
sengatan, dan alergi makanan. Alergi ini diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE
yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap
bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen.
Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi silang terhadap sel mast yang mempunyai
ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast akan teraktivasi dengan melepaskan mediator terlarut seperti
histamin untuk kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ tersebut.
Penyakit tersebut berhubungan erat dengan faktor genetik dan lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam
tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau suntikan. Kondisi
lingkungan yang semakin kompleks membuat jumlah alergen meningkat.
A. Alergi pada Saluran Pernapasan (Rinitis Alergi)
Rinitis alergi adalah penyakit saluran pernafasan yang tinggi prevalensinya, mengenai sampai 40 %
populasi di beberapa negara, dan menimbulkan dampak yang serius pada kualitas hidup. Meskipun bermacam-
macam obat dapat digunakan untuk mengobati rinitis alergi, antihistamin yang merupakan pilihan obat
pertama. Hampir seluruh pengobatan rinitis alergi hanya ditujukan untuk mengurangi gejala tetapi tidak
merubah perjalanan penyakitnya. Rinitis alergi didefinisikan sebagai suatu gangguan hidung yang disebabkan
oleh reaksi peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi paparan
alergen (reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). Gangguan hidung dapat berupa gejala gatal-gatal pada
hidung yang dapat meluas ke mata dan tenggorok, bersin-bersin, beringus, dan hidung tersumbat.
IgE kemungkinan berperan pada proses sensitisasi, interaksi antara alergen-alergen dengan IgE akan
mengaktivasi sel mast yang akan mengeluarkan histamin dan mediator-mediator alergi yang lain. Sehingga
IgE memiliki potensi sebagai target intervensi pengobatan secara farmakologis yang penting dalam
penanganan rhinitis alergi.
Rinitis alergi dapat terjadi bila didahului pembentukan IgE spesifik dalam tubuh yang dipengaruhi
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik akan menentukan apakah seseorang akan menderita penyakit
alergi atau tidak, sedang spesifisitas terhadap suatu jenis alergen ditentukan oleh faktor lingkungan meskipun
sebagian peneliti berpendapat spesifisitas tertentu juga diturunkan oleh faktor genetik. Patogenesis rinitis
alergi meliputi tahap sensitisasi, tahap efektor fase cepat, fase lambat serta tahap hiper-responsif. Diagnosis
rinitis alergi ditegakkan dengan anamnesis riwayat adanya alergi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-
pemeriksaan penunjang khusus, yaitu pemeriksaan penunjang secara invivo atau invitro. Dengan pemeriksaan
tersebut diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan lebih akurat, walaupun dalam hal ini tidak semua bentuk tes
bisa dilakukan karena pemeriksaannya mahal.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda obyektif yaitu allergic shiners adalah warna kehitaman
pada daerah infraorbita disertai dengan pembengkakan. Perubahan ini mungkin adanya statis dari vena yang
disebabkan edema dari mukosa hidung dan sinus.Sekret hidung serus atau mukoserus, konka pucat atau
keunguan (livide) dan edema, faring berlendir. Tanda lain yang sering timbul adalah munculnya garis
tranversal pada punggung hidung (allergic crease) dan karena gatal penderita rinitis alergi sering menggosok-
gosokkan hidung, dikenal istilah allergic salute biasanya timbul setelah gejala diderita lebih dari 2 tahun.
Penunjang diagnosis invivo antara lain adalah:
1. Tes kulit yaitu tes kulit epidermal (skin prick test)
2. Tes kulit intradermal (single dilution dan multiple dilution)
3. Tes provokasi; Tes provokasi hidung yaitu dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung,
kemudian respon dari target organ tersebut diobservasi.
Sedangkan untuk diagnosis invitro yaitu:
1. Usapan lendir hidung terdapat eosinofil, atau netrofil dan eosinofil. Belum ada konsensus berapa nilai
cut off yang dipakai secara internasional
2. Pemeriksaan IgE total (Paper Radioimmunosorbent Test) yaitu PRIST > 350 IU
3. Ig E spesifik RAST (Radioallergosorbent test) positif.
Klasifikasi Rinitis alergi berdasarkan periode terjadinya serangan. Pembagian rinitis menjadi tipe
musiman dan tipe sepanjang tahun tidak memadai lagi sekarang dikembangkan oleh Bousquet klasifikasi
baru sebagai berikut:
1. Rinitis alergi intermiten, apabila serangan kurang dari 4 hari dalam seminggu atau secara kumulatif
kurang dari 4 minggu dalam 1 tahun
2. Rinitis alergi persisten, apabila serangan lebih dari 4 hari dalam satu minggu atau secara kumulatif
lebih dari 4 minggu dalam 1 tahun
3. Rinitis alergi karena pekerjaan.
Klasifikasi Rinitis alergi berdasarkan berat ringannya penyakit. Bousquet membagi klasifikasi
rinitis alergi berdasarkan berat-ringannya penyakit dibedakan:
1. Ringan, apabila penyakit tersebut: tidak mengganggu pola tidur, tidak mengganggu aktivitas pekerjaan,
tidak mengganggu aktivitas penggunaan waktu luang, tidak mengganggu aktivitas sosial
2. Rinitis alergi sedang-berat, apabila penyakit tersebut telah: mengganggu pola tidur, mengganggu
aktivitas pekerjaan, mengganggu aktivitas penggunaan waktu luang, mengganggu aktivitas sosial
3. Rinitis alergi dengan komplikasi, misalnya apabila rinitis alergi disertai: sinusitis, polip hidung,
gangguan fungsi tuba auditiva dan telinga tengah.
Terapi rinitis alergi harus mempertimbangkan gejala utama, derajat, kualitas hidup, dan cost
effectiveness. Terapi rinitis alergi meliputi kontrol lingkungan, farmakoterapi, dan immunoterapi.
Farmakoterapi meliputi pemberian antihistamin, kortikosteroid, nasal dekongestan, antileukotrin,
mukolitik. Bila secara farmakoterapi mengalami kegagalan bisa dilanjutkan dengan imunoterapi dan
sebagai wacana baru adalah terapi anti Ig E antibodi yang merupakan alternatif dalam penatalaksaan pasien
dengan penyakit alergi.
1. Kontrol lingkungan yaitu
Salah satu penanganan rinitis alergi yang penting adalah menghindari alergen. Sementara ini tidak ada
keraguan bahwa menghindari alergen efektif dapat memberikan perbaikan klinis, hanya dalam prakteknya
banyak kesulitan. Misalnya pada seseorang yang alergi kucing dia tetap memelihara kucing dan
membiarkan gejala alerginya berlanjut, demikian juga seseorang yang alergi tepung sari walaupun dia
tidak masuk taman tetapi tetap terkena paparan karena tingginya kadar tepung sari di udara.
2. Farmakoterapi
a. Antihistamin
Pemberian antihistamin oral dosis tunggal merupakan first line terapi untuk kasus rinitis alergi ringan.
Gejala-gejala alergi (gatal,bersin, pilek dan hidung tersumbat) disebabkan interaksi antara mediator
dengan saraf, pembuluh darah dan kelenjar yang berada di rongga hidung. Histamin melalui
interaksinya dengan reseptor H1 mempunyai peran dalam mediator inflamasi yang terlibat dalam
proses ini. Aktivitas antihistamin disebabkan peran antagonis hiatamin pada
reseptornya.Antihistamin generasi pertama efektif menekan respon alergi tetapi kemampuannya
menembus sawar darah otak menimbulkan efek samping sentral yang dibagi dalam 3 kategori yaitu
depresif, stimulatori dan neuropsikiatri. Juga terdapat efek antikolinergik perifer seperti mata kabur,
dilatasi pupil, mulut kering dan gangguan berkemih.
Sebagian besar antihistamin generasi kedua tidak mampu menembus sawar darah otak karena
perubahan sifat lipophobisitis dan elektrostatis tetapi pada dosis tinggi terdapat efek sedasi.
Fexofenadine antihistamin generasi terbaru merupakan sediaan tanpa efek sedasi walaupun dalam
dosis tinggi direkomendasikan pemakiannya oleh Royal Air Force pada pilot karena tidak ada efek
sedasi dan gangguan psikomotor. Terfenadine dan astemizole penggunaannya terbatas karena dapat
menimbulkan aritmia jantung sehingga dengan alasan keamanan obat tersebut ditarik dari peredaran.
b. Steroid intranasal
Pemakaian steroid intranasal direkomendasikan untuk rinitis alergi sedang-berat, secara efektif dapat
mengatasi gejala-gejala elergi pada anakanak dan dewasa. Walaupun availabilitas dan dosis obat
rendah pada pemakaian steroid intranasal harus diwaspadai efek supresinya terhadap aksis HPA, dan
resiko gangguan pertumbuhan pada anak-anak.
c. Dekongestan
Dekongestan sering ditambahkan sebagai kombinasi terapi untuk menghilangkan keluhan hidung
tersumbat, pemakaian topikal lebih efektif tetapi ada resiko tachyphilaxis dan rebound phenomen jika
pemberiannya dihentikan. Sedangkan sediaan oral ada kecenderungan terjadi insomnia dan kenaikan
tekanan darah.
3. Imunoterapi
Hal ini memberikan kemungkinan kesembuhan yang permanen, tetapi memerlukan waktu terapi
jangka lama sehingga memiliki keterbatasan hanya dapat diterapkan pada pasien tertentu, pemberiannya
harus dilakukan oleh dokter spesialis dan tidak dianjurkan pada pasien multipel alergi.
Anti IgE Antibodi yaitu sebagian besar terapi yang ada sekarang hanya mengurangi gejala, tidak
mempengaruhi perjalanan penyakit, diketahuinya patofisiologi penyakit alergi membuka kesempatan
untuk mengembangkan terapi baru. Semakin besar pengetahuan mekanisme keseimbangan antara sel-sel
Th1 dan Th2 dan sitokin-sitokin yang diproduksi dikembangkan target penghambatan efek bradikinin,
substansi P, leukotrin, antibodi IgE, triptase, plateletactivating factor dan prostaglandin. IgE tampaknya
memiliki peran kunci pada reaksi alergi sehingga menjadi pusat perhatian dalam modifikasi terapi. Reaksi
inflamasi alergi pada saluran pernafasan disebabkan kegagalan kontrol respon imunologi yang dimediasi
oleh IgE. Sehingga kenaikan kadar imunoglobulin bebas dalam darah dianggap sebagai petanda penyakit
atopi. Aktifitas Biologi IgE dimediasi melalui reseptor dengan afinitas tinggi (FcåRI) dan reseptor afinitas
rendah (FcåRII atau CD23), sedangkan sel mast pada penderita atopi memiliki peningkatan jumlah
reseptor FcåRI sehingga berhubungan dengan peningkatan pengikatan IgE dan mudah terjadi degranulasi.
Mekanisme aksi: antibodi IgE akan mengikat IgE bebas dalam serum pada tempat ikatan dengan
FcåRI pada C3 domain sehingga mencegah interaksinya dengan FcåRI yang merupakan reseptor IgE
dengan afinitas tinggi. Kadar IgE bebas dalam serum menurun sampai > 90 % dari kadar dasar sebelum
terapi dalam 24 jam setelah pemberian antibodi IgE (Omalizumab). Karakteristik penting lain dari anti
IgE antibodi ini adalah sifatnya nonanafilaktik karena antibodi tersebut tidak mengaktifasi sel mast atau
basofil. Karakteristik ini terjadi karena antibodi mengikat IgE pada tempat yang sama normalnya dikenal
dengan reseptor dengan afinitas tinggi dan rendah. Gambaran pokok pada terapi anti IgE ini dengan
mengenali dan mengikat IgE dalam serum tetapi tidak pada IgG dan IgA, menghambat ikatan IgE dengan
FcåRI serta mencegah ikatan IgE dengan mast sel sehingga tidak terjadi degranulasi. Omalizumab
mengikat IgE bebas dalam serum membentuk kompleks yang menysun trimer dalam 2:1 atau 1:2
tergantung konsentrasi molekul atau membentuk cyclic hexamers antara omalizumab dengan IgE 3:3 jika
konsentrasinya hampir sama. Cyclic hexamer omalizumab-IgE tersebut kira-kira berukuran 1000 kDa
yang ukurannya hampir sama dengan IgM alami yang terjadi, bersifat mudah larut dan tidak
menimbulkan masalah dalam mekanisme clearance melalui sistem retikuloendotelial.
Salah satu faktor keamanan yang diperhatikan pada omalizumab ini apakah pemakaiannya
akan menurunkan mekanisme pertahan terhadap infeksi parasit, tetapi hasil penelitian justru
menunjukkan reduksi IgE karena pemberian anti IgE ini mengakibatkan penurunan jumlah cacing dan
jumlah telur cacing.
Pemakaian klinis pada pasien rinitis alergi: Ig E memiliki peran kunci dalam terjadinya reaksi alergi
terutama pada fase respon awal, sehingga antibodi humanized monoclonal anti-IgE (omalizumab) yang
mencegah ikatan IgE dengan reseptor pada sel mast dan basofil diteliti kegunaan klinisnya pada beberapa
penyakit alergi antara lain asma, dermatitis atopi, alergi lateks dan makanan dan rinitis alergi, Setelah
diberikan secara intravena atau subkutan omalizumab dalam plasma memiliki waktu paruh eliminasi yang
panjang (1-4 minggu) dan menurunkan kadar IgE bebas di dalam serum.
Penelitian tentang pemakaian anti IgE antibodi ( omalizumab) dilakukan terhadap 47 pasien rinitis
alergi dengan hasil skin tes positif terhadap tungau debu, diberikan omalizumab 0,015 atau 0,030 mg/
kg/IU/mL secara intravena setiap 2 minggu selama 26 minggu dan diteruskan sampai 20 minggu dengan
pengurangan dosis. Hasil penelitian menunjukkan penurunn kadar IgE serum > 98 % dibanding data dasar
pada kedua dosis dan secara signifikan pada minggu ke 26 terjadi penurunan jumlah diameter hasil skin
tes.
Penelitian lain pada kasus rinitis alergi dengan memberikan omalizumab 300 mg,150 mg dan plasebo
dimulai 2 minggu sebelum musim semi dan diteruskan sampai 12 minggu, omalizumad diberikan
subkutan setiap 3 atau 4 minggu tergantung kadar IgE serum. Penilaian dilakukan terhadap gejala nasal,
gejala mata dan jumlah obat yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan hubungan dosis dan respon
dimana kedua dosis yang lebih tinggi memberikan perbaikan gejala lebih nyata. Analisis lebih jauh
diperkirakan efikasi klinis atau perbaikan gejala berhubingan dengan kemampuan menurunkan jumlah
IgE bebas dalam serum. Dari kuesioner yang diberikan dapat dianalisa perbaikan kualitas hidup pada
kedua kelompok yang diberikan omalizumab dibanding placebo.

B. Alergi pada Makanan


alergi makanan juga dikenal sebagai hipersensitivitas (terhadap) makanan yang mencakup reaksi
imunologik terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan. Alergi makanan merupakan suatu kondisi
yang disebabkan oleh reaksi IgE terhadap bahan (zat kimia) makanan dan merupakan jenis alergi yang
mengkhawatirkan. Kejadian alergi makanan dipengaruhi oleh genetik, umur, jenis kelamin, pola makan,
jenis makanan awal, jenis makanan, dan faktor lingkungan. Penyakit alergi merupakan gangguan kronik
yang umum terjadi pada anak-anak dan dewasa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Oehling et al. dalam Prawirohartono pada 400
anak umur 3-12 tahun didapatkan data bahwa 60% penderita alergi makanan adalah perempuan dan 40%
laki-laki. Pola makan (eating habits) juga memberi pengaruh terhadap reaksi tubuh, contohnya populasi
di Skandinavia sering menderita alergi terhadap ikan. Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5-
11%. Prevalensi alergi makanan yang kecil ini dapat terjadi karena masih banyak masyarakat yang tidak
melakukan tes alergi untuk memastikan apakah mereka positif alergi makanan atau tidak. Persepsi
mereka, jika setelah makan makanan tertentu (telur, kepiting, udang, dan lain-lain) mereka merasa gatal-
gatal, maka mereka menganggap bahwa mereka alergi terhadap makanan itu sehingga data yang ada tidak
cukup mewakili.
Dari 208 orang yang berkunjung ke Poli Alergi Imunologi RSCM tahun 2007 terdapat 102 orang
(49%) yang sensitif terhadap alergi terhadap makanan (Tabel 1). Diantara yang alergi terhadap makanan
tersebut, distribusi kelompok umur responden yang mengalami sensitivitas terhadap alergen makanan
terlihat berbeda (Tabel 2). Responden dengan kategori dewasa lebih banyak yang sensitif terhadap alergen
makanan, yaitu sebesar 72 orang (70,6%) dibandingkan anak-anak, yaitu 30 orang (29,4%). Hal ini dapat
terjadi karena kejadian alergi makanan dipengaruhi juga oleh faktor fisik seperti kelelahan dan aktivitas
berlebih serta faktor emosi seperti kecemasan, sedih, stres atau ketakutan.9 Faktor-faktor tersebut lebih
banyak dialami oleh orang dewasa. Tidak hanya itu, faktor hormonal juga memicu terjadinya alergi pada
orang dewasa. Selain itu, diperlukan waktu bagi sel mast untuk dapat dilapisi antibodi IgE, sehingga tes
tusuk kulit (skin prick test) hasilnya mungkin negatif pada anak di bawah usia tiga tahun, meskipun
sebenarnya ia alergi terhadap alergen tersebut.
Tabel 1. Gambaran Sensitivitas Responden terhadap Alergen Makanan di Poli Alergi
Imunologi RSCM 2007
Sensitivitas Alergen Makanan n %

Negatif 106 51

Positif 102 49

Total 208 100

Table 2. Gambaran Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Responden yang Mengalami Sensitivitas
terhadap Alergen Makanan di Poli Alergi Imunologi RSCM 2007
Variabel n %
Umur
Anak-anak 30 29,4
Dewasa 72 70,6
Jenis Kelamin
Laki-laki 49 48
Perempuan 53 52
Total 102 100

Dari Tabel 2 diketahui bahwa distribusi jenis kelamin yang mengalami sensitivitas terhadap alergen
makanan di Poli Alergi Imunologi RSCM pada tahun 2007 terlihat tidak terlalu berbeda. Berdasarkan
Tabel 2 terlihat bahwa jumlah responden laki-laki (48%) lebih sedikit yang sensitif terhadap alergen
makanan dibandingkan responden perempuan (52%). Perempuan lebih banyak terkena alergi makanan
dibanding laki-laki. Hal ini dapat terjadi karena perempuan sering mengalami gangguan keseimbangan
hormonal yang dapat memicu terjadinya alergi. Biasanya hal ini terjadi saat kehamilan dan menstruasi
sehingga banyak ibu hamil mengeluh batuk lama, gatal-gatal dan asma yang terjadi terus menerus selama
kehamilan. Demikian juga saat mentruasi seringkali seorang wanita mengeluh sakit kepala, nyeri perut
dan sebagainya.
Semua makanan dapat menimbulkan reaksi alergi, namun beberapa makanan lebih bersifat
alergenik dari makanan yang lain.
1. Golongan makanan yang paling sering menimbulkan alergi yaitu susu sapi, susu kambing, telur,
kacangkacangan, ikan laut, kacang kedele serta gandum
a. Susu sapi mengandung kurang lebih 20 macam komponen protein yang masing-masing dapat
merangsang pembentukan antibodi IgG, IgA, IgM dan IgE. Pada pasien atopi kadar IgE total dan IgE
spesifik makanan akan lebih tinggi dari anak-normal. Fraksi protein susu sapi terdiri dari protein
whey dan casein. Beberapa protein whey dapat didenaturasi dengan proses pemanasan (hidrolisis).
Terdapat dua macam susu sapi yang telah dihidrolisis yaitu yang sebagian (partiallydenaturated
cow’s milk) dan denaturasi yang lengkap (extensive denaturated cow’s milk). Terdapat reaksi silang
antara susu sapi dan susu kambing / domba. Telur ayam juga merupakan alergen yang sering
menyebabkan gejala DA pada anak. Putih telur lebih bersifat alergenik dari kuning telur dan
mempunyai 23 macam glikoprotein seperti ovalbumin, ovomukoid, dan ovo transferin18 Terdapat
reaksi silang antara putih telur dan protein telur unggas yang lain.19 Bila telah tersensitisasi dengan
alergen telur pada usia 12 bulan maka dapat diduga akan alergi terhadap alergen hirup di kemudian
hari.
b. Kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang mede dan sejenisnya dapat menyebabkan reaksi
alergi makanan. Di Amerika Serikat alergi kacang lebih sering didapat dan sering menimbulkan
reaksi anafilaksis, tetapi tidak demikian di negara Asia (Singapore, Thailand, Filipina, Cina dan
Indonesia). Protein kacang terdiri dari albumin yang larut dalam air dan globulin yang tidak larut
dalam air yang terdiri dari fraksi arachin dan conarchin.
c. Ikan laut sering menimbulkan alergi makanan dengan manifestasi di kulit dan saluran napas seperti
urtikaria, angioedema dan asma. Dengan proses pemasakan sebagian besar alergen utama dalam ikan
laut dapat dihancurkan.
d. Kacang kedele banyak dilaporkan menimbulkan alergi makanan di negara Barat, tetapi jarang
dilaporkan di Indonesia. Susu kacang kedele digunakan sebagai pengganti susu sapi pada bayi yang
alergi susu sapi. Gandum yang banyak terdapat dalam tepung dapat juga menimbulkan alergi
makanan
2. Makanan lain yang dapat menimbulkan alergi makanan adalah coklat, tomat dan bahan aditif seperti
zat penyedap (monosodium glutamate), zat pengawet (asam benzoat, salisilat, sulfit) dan zat warna
(tartrazin) dapat juga menyebabkan reaksi alergi makanan palsu.
Prevalensi alergi makanan paling tinggi pada usia tahun pertama kehidupan, yaitu sekitar 6% untuk
usia di bawah 3 tahun sedangkan untuk bayi sekitar 10-12%. Prevalensi alergi makanan terdapat pada
40% kasus DA. Anak dengan penyakit atopik akan mempunyai alergi makanan lebih tinggi dari anak
normal.
C. Alergi pada Obat
Seluruh obat memiliki risiko menimbulkan efek samping, namun hanya beberapa saja yang
menimbulkan reaksi alergi. Alergi obat sendiri dapat dimengerti sebagai reaksi simpang obat yang melibatkan
mekanisme imunologis. Meskipun demikian, tidak mudah menentukan apakah suatu reaksi simpang obat
merupakan reaksi alergi atau bukan, dan dibutuhkan suatu pendekatan diagnostik yang sistematis.
Di Inggris, dilaporkan terdapat 62.000 pasien yang dirawat inap karena alergi obat dan reaksi simpang
obat selama tahun 1996-2000.1 Sementara itu, pada tahun 2014, sebuah studi multi-senter di Polandia
melaporkan prevalensi alergi obat sebanyak 8,4 %.3Di Thailand, sebuah studi pada tahun 2008 melaporkan
bahwa obat anti-mikroba merupakan penyebab utama alergi obat yang terjadi.
Pembiayaan untuk diagnosis dan tatalakasana alergi obat juga menjadi perhatian khusus. Di salah satu
rumah sakit publik di Australia Barat, pada tahun 2008 dilaporkan sebanyak 10-20% pasien yang dirawat
memiliki alergi penisilin.5Sementara di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa alergi obat merupakan masalah
yang paling banyak ditangani oleh divisi alergi pada pasien rawat inap. Alergi obat diSpanyol dilaporkan
menjadi penyebab tersering ketiga setelah asma bronkial dan rinitis, yang menyebabkan pasien berobat ke
klinik alergi rawat jalan.5,6 Penanganan alergi obat di Turki juga dilaporkan masih belum optimal,sebab pada
tahun 2012 baru terdapat 70 spesialis alergi dan 22 pusat alergi yang mampu melakukan tes provokasi oral.
Padahal, dilaporkan 7% dari 75.627.384 penduduk Turki memiliki masalah alergi obat saat dirawat
Obat merupakan senyawa yang digunakan baik untuk mencegah maupun mengobati penyakit atau
untuk kepentingan diagnosis.Obat juga dapat digunakan pada situasi tertentu, misalnya melumpuhkan
sementara otot rangka dalam tindakan pembedahan ataupun membuat seseorang infertil.2 Sementara itu,
reaksi simpang obat (RSO) didefiniskan sebagai reaksi yang tidak diinginkan atau pun reaksi yang berbahaya
yang muncul pada dosis normal.9Alergi obat adalah reaksi simpang obat yang melibatkan mekanisme
imunologis. Dalam spesialisasi alergi imunologi, alergi obat merupakan RSO yang terjadi melalui reaksi imun
yang terjadi melalui lgE atau reaksi hipersensitivitas cepat dengan berbagai mekanisme dan presentasi klinis
Alergi obat adalah reaksi hipersensitivitas yang melibatkan mekanisme imun (IgE atau T cell-mediated atau
jarang melibatkan kompleks imun atau reaksi sitotoksik). Semua kasus reaksi hipersensitivitas obat tanpa
melalui mekanisme imun (5%-10%) atau proses imunologis tidak terbukti, maka diklasifikasikan sebagai
reaksi hipersensitivitas non-imun.
1. Mekanisme, Faktor Risiko Dan Klasifikasi Alergi Obat
Sebagian besar obat merupakan senyawa kimia dengan berat molekul yang rendah.Oleh karena itu,
obat harus terlebih dahulu berikatan secara kovalen dengan makromolekul seperti protein, membentuk
konjugat multivalen yang akan diproses dan dipresentasikan terhadap sel limfosit T oleh sistem imun. Namun,
sebagian kecil obat dengan berat molekul yang besar seperti antibodi monoklonal memiliki banyak epitop
sehingga dapat bersifat multivalen.
Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima saat ini adalah konsep hapten, konsep pro-hapten
dan konsep p-i. Obat dengan molekul yang tidak cukup besar seperti penisilin, sulfonamide,sefalosporin
pelemas otot, tiopental,antituberkolosis, sisplatin dan kuinidin perlu terlebih dahulu berikatan dengan protein
pembawa agar dapatmenginduksi respon imun spesifik yang disebut konsep hapten. Sementara konsep pro
hapten sendiri menggambarkan bahwa ada sebagian obat yang bersifat tidak reaktif dan perlu mengalami
konversi dahulu melalui proses metabolik, baik dengan enzim ataupun non-enzim untuk menjadi bentuk yang
reaktif. Contoh konsep pro hapten yaitupada alergi obat sulfametoksazole. Sedangkan, berdasarkan konsep p-
i sendiri, ditemukan bahwa sebagian obat dapat memiliki interaksi direksi farmakologik dengan reseptor sel
T atau molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) dalam bentuk ikatan reversibel selain ikatan
kovalen, yang dapat mengaktifkan sel T.
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat termasuk usia, jenis
kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus dan faktor terkait obat (frekuensi paparan, rute administrasi, berat
molekul). Alergi obat secara khas terjadi pada usia muda dan dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan laki-laki. Polimorfisme genetik dalam human leukocyte antigen (HLA) dan infeksi virus seperti
human immunodeficiency virus (HIV) dan Epstein-Barr virus (EBV), juga berkaitan dengan peningkatan
risiko terjadinya reaksi imunologis terhadap obat. Kerentanan terhadap alergi obat dipengaruhi oleh
polimorfisme genetik dalam metabolisme obat.
Selain itu, rute administrasi seperti, topikal, intramuskular, dan intravena lebih sering menyebabkan
reaksi alergi obat dibandingkan administrasi secara oral. Dosis berlebihan dalam jangka waktu yang panjang
atau frekuensi dosis dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas lebih besar daripada dosis tunggal.
Selanjutnya, obat dengan makromolekular atau obat hapten seperti penisilin, juga berhubungan dengan
kemungkinan besar penyebab reaksi hipersensitivitas
Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor risiko terebut antara lain jenis obat, berat
molekul obat, kimiawi obat, regimen pengobatan, faktor pejamu, atopi, penyakit tertentu, gangguan
metabolisme dan lingkungan. Obat seperti β-laktam, sulfonamid, obat anti-inflamasi non-steroid, trimetoprim
dan sulfametoksazol sering menimbulkan reaksi berat. Obat dengan berat molekul tinggi lebih sering
menimbulkan reaksi imun, Regimen pemberian oral, intravena, intramuskular, subkutan dan topikal secara
berurutan menyebabkan induksi alergi meningkat. Usia muda dan jenis kelamin wanita meningkatkan
kecenderungan terjadinya alergi obat.
2. Patogenesis dan Patofisiologi
a. Imun dan non-imun reaksi hipersensitivitas terhadap obat
Alergi obat merupakan reaksi yang tidak diinginkan dimana antibody dan/atau sel T aktif secara
langsung melawan obat atau salah satu metabolit.
Jumlah reaksi dengan gejala alergi sering keliru dianggap sebagai alergi obat yang sebenarnya.Patomekanisme
reaksi termasuk:
1. Sel mast non spesifik atau pelepasan histamin basofil (seperti opiat, media radiokontras, dan vankomisin),
2. Akumulasi bradikinin (angiotensin-converting enzyme inhibitors),
3. Aktivasi komplemen (protamine),
4. Perubahan metabolisme arakidonat (aspirin dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs) dan,
5. Kerja farmakologis dari substansi tertentu yang menyebabkan bronkospasme (β-bloker, sulfur dioksida).
b. Reaksi cepat hipersensitivitas obat
Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE oleh spesifik antigen limfosit B
setelah sensitisasi. Antibodi IgE berikatan dengan reseptor Fc RI afinitas tinggi pada permukaan sel mast dan
basofil, menciptakan ikatan multivalen terhadap antigen obat. Berdasarkan subsekuen paparan obat, antigen
kompleks protein hapten berikatan silang dengan IgE, menstimulasi pelepasan preformed mediators (histamin,
triptase, beberapa sitokin seperti TNF-α) dan produksi mediator-mediator baru (leukotrin, prostaglandin,
kinin, sitokin lainnya). Preformed mediators menstimulasi respon dalam beberapa menit, lalu komponen
inflamasi sitokin berlangsung setelah beberapa jam. Waktu yang dibutuhkan untuk sintesis protein dan
pengerahan sel imun.
c. Reaksi lambat hipersensitivitas obat
Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui kerja limfosit T. Kulit menjadi
target organ yang umumnya terjadi dengan obat yang responsif terhadap sel T, tetapi organ lain bisa saja
terlibat. Diklofenak, sebagaimana beberapa asam karboksil lainnya (obat anti inflamasi nonsteroid), dapat
menyebabkan cedera hati melalui sistem imun, dimana dijelaskan dengan metabolisme hepar dan modifikasi
selektif protein hepar. Penting untuk diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat menimbulkan gejala dan tanda
klinis yang berbeda pada individu yang berbeda pula, meskipun obat tersebut diadministrasikan pada dosis
dan rute administrasi yang sama. Untuk menstimulasi sel T naif, sel dendritik proses pertama antigen obat.
Antigen lalu masuk dan ditranspor ke nodus limfa regional. Untuk berkembangnya respon imun yang efektif,
sistem imun innate perlu untuk diaktifkan, menyediakan sinyal maturasi penting, sering ditujukan sebagai
sinyal bahaya dimana termasuk obat langsung atau stres terkait penyakit. Saat tiba di nodus limfa, antigen
dipresentasikan ke sel T naif. Sebagai alternatif, beberapa antigen obat bisa secara langsung menstimulasi sel
T spesifik pada patogen, kemudian menghindari pengerahan untuk sel dendritik dan sel T. Antigen spesifik
sel T bermigrasi ke target organ dan sekali lagi melakukan paparan ulang terhadap antigen, mereka diaktifkan
untuk mensekresi sitokin yang meregulasi respon dan sitotoksin (perforin, granzim, dan granulisin) yang
mengakibatkan kerusakan jaringan.
d. 2.4 Peran virus dalam patogenesis reaksi hipersensitivitas obat
Infeksi virus dapat mengakibatkan erupsi kulit dan meniru reaksi hipersensitivitas obat jika obat
(kebanyakan antibiotik) yang diminum pada waktu bersamaan.Walaupun infeksi virus dapat mencetuskan
erupsi kulit, infeksi virus bisa juga berinteraksi dengan obat, mengakibatkan erupsi ringan, misalnya pada
kasus “ampicillin rash” berkaitan dengan infeksi EBV dan reaksi berat selama drug reaction with eosinophilia
and systemic symptoms (DRESS). Virus pertama kali menunjukkan reaktivasi pada pasien DRESS yang
terinfeksi Human herpes virus (HHV)-6, tetapi semua HHV dapat terlibat. Beberapa studi menunjukkan
bahwa replikasi HHV-6 bisa menginduksi in vitro dengan amoksisilin.
3. Pemeriksaan Penunjang Umum
Pemeriksaan penunjang umum berdasarkan indikasi di antaranya adalah pemeriksaan darah perifer
lengkap dengan hitung jenis, laju endap darah, c-reactive protein, tes autoantibodi, tes imunologis khusus,
pemeriksaan rontgen dan elektrokardiografi. Jika reaksi alergi obat melibatkan ginjal, maka diperlukan
pemeriksaan urinalisis untuk mencari proteinuria, eosinofil dan casts pada urin. Adanya eosinofil pada urin
dan peningkatan kadar total IgE dapat mengarahkan kepada adanya nefritis interstitial.2,20 Jika ada
kecurigaan vaskulitis yang disebabkan alergi obat, maka perlu dilakukan pemeriksaan laju endap darah, C-
reactive protein, tes komplemen dan beberapa tes autoantibodi seperti antinuclear antibody (ANA),
antinuclear cytoplasmic antibody (c-ANCA),dan perinuclear cytoplasmic antibody (p-ANCA). Hasil tes ANA
yang positif mengarahkan kepada diagnosis dari sindrom lupus imbas obat.
4. Pemeriksaan Penunjang Khusus
Pemeriksaan penunjang yang khusus untuk alergi obat tebagi menjadi pemeriksaan in vivo dan in vitro.
Beberapa pemeriksaan penunjang khusus yang penting untuk menunjang diagnosis alergi obat adalah tes kulit
untuk reaksi hipersensitivitas cepat (lgE), tes tempel, tes provokasi atau tes dosing, radioallergosorbent test
(RAST), mengukur lgG atau lgM yang spesifik untuk obat, mengukur aktivasi komplemen, mengukur
pelepasan histamin atau mediator lain dari basofil, mengukur mediator seperti histamin, prostaglandin,
leukotrien, triptase, transformasi limfosit, uji toksisitas leukosit, evaluasi dengan bantuan komputer.
a. Tes In Vivo
Tes kulit yang menunjukkan nilai prediksi yang kuat adalah tes intradermal untuk IgE. Tes kulit hanya
dapat dipakai pada sejumlah obat seperti penisilin, insulin dan kimopapain. Pembacaan tes kulit dilakukan
setelah 15-20 menit dalam reaksi cepat dan setelah 24- 72 jam dalam reaksi lambat. Tes kulit dapat berupa tes
tusuk, tes intradermal ataupun tes tempel. Beberapa indikasi pemeriksaan tes tusuk adalah reaksi anafilaksis,
bronkospasme, konjungtivitis, rinitis dan urtikaria/ angioedema. Sedangkan tes tempel dapat digunakan
sebagai pemeriksaan garis pertama untuk beberapa kondisi seperti pada eksantema pustulosis akut sistemik,
dermatitis kontak, eritema multiforme., erupsi eksantema, fixed drug eruption, reaksi foto alergi, purpura
leukositoklasik, vaskulitis, SJS dan TEN. Dibandingkan tes intradermal, tes tusuk lebih spesifik namun kurang
sensitif. Tes intradermal dipertimbangkan untuk dikerjakan apabila setelah 20 menit hasil tes tusuk terhadap
alergen yang diduga kuat sebagai penyebab hasilnya negatif. Beberapa obat sudah terbukti menunjukkan hasil
yang spesifik yaitu antibiotik β-laktam, makrolida, aminoglikosida, rifampisin, glikopeptida, tetrasiklin,
polipeptida, imidazol, nitrufuron, trimetoprim, sulfonamid, kotrimoksasol, isoniazid, pentamidin,
streptogramin dan beberapa obat anestesi untuk relaksan otot.
Jika ada kecurigaan adanya reaksi hipersensitivitas lambat (tipe IV) terhadap obat topikal yang
diberikan, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan tes tempel. Tes tempel diketahui berguna sebagai
penunjang diagnosis untuk eritema multiform, eksantema, eksema, namun tidak untuk reaksi nonlimfositik.
Tes tempel dibaca setelah 12 jam atau 48-72 jam jika ada eritema dan vesikulasi. Pembacaan tes tempel
dilakukan berdasarkan skor dimana jika hanya makulopapular yang tidak jelas digambarkan sebagai reaksi
meragukan, jika terdapat eritema, infiltrasi atau papul dianggap sebagai lemah positif (non vesikuler), jika
terdapat vesikel dianggap positif kuat, dan jika terdapat lepuh maka diintrepretasi sebagi ekstrim positif.
b. Tes In Vitro
Beberapa kondisi dapat membuat pemeriksaan in vitro lebih dipilih dibanding pemeriksaan in vivo,
yaitu jika penderita menunjukkan demografisme, iktiosis atau ekzema sistemik, menggunakan antihistamin
kerja panjang atau antidepresan trisiklik, berisiko jika obat dihentikan, penderita menolak tes kulit atau dugaan
tinggi resiko anafilaksis dengan tes kulit terhadap alergen tertentu.
Pemeriksaan serum triptase, RAST, dan Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) digunakan
pada kondisi alergi obat melalui reaksi tipe I dengan anafilaksis. Ketika terjadi reaksi anafilaksis akibat alergi
obat, maka perlu dilakukan penulusuran secara restrospektif. Reaksi anafilaksis dapat dideteksi dengan
pemeriksaan histamin dan atau N-methylhistamin pada urin 24 jam. Pemeriksaan RAST dan ELISA dapat
mengukur IgE terhadap beberapa obat dalam sirkulasi sehingga dapat dipakai untuk identifikasi penyebab.
Pada beberapa obat seperti eritromisin, trimetoprim, sulfometoksazol, rifampisin, vankomisin dan isoniazid
dilaporkan adanya penemuan IgE yang spesifik. Hasil positif metode pengukuran IgE ini dapat digunakan
untuk mengidentifikasi adanya risiko pada penederita, namun hasil negatif tidak dapat menyingkirkan risiko
tersebut. Jika dibandingkan dengan tes tusuk, metode ini kurang sensitif.
Pada alergi obat yang melalui mekanisme hipersensitivitas tipe II, evaluasi tes auto-antibodi seperti
Coombs dan autoantibodi anti-trombosit perlu dilakukan. Pemeriksaan C3, C4, krioglobulin dan C1q-binding
perlu dikerjakan jika alergi obat dicurigai melibatkan mekanisme hipersensitivitas tipe III. Tes tempel spesifik,
tes proliferasi limfosit dan isolasi klon yang spesifik dikerjakan apabila terdapat kecurigaan hipersenitivitas
tipe IV.
Antibodi IgG dan IgM spesifik untuk obat dapat diukur dengan ELISA dan radioimmunoassay (RIA).
Tes Coombs digunakan sebagai penapis untuk tes IgG spesifik pada kondisi hemolisis yang diinduksi obat.
Pemeriksaan pelepasan histamin dan mediator lain dari basofil baru dapat dilakukan pada laboratorium
tertentu dan esai ini cukup rumit. Pemeriksaan mediator dalam serum seperti kadar histamin dan PGD2 sangat
rumit dan lama, sehingga lebih relevan memeriksakan metabolit histamin atau PGD2 pada urin. Pemeriksaan
aktivasi komplemen memiliki kelemahan, yaitu reaksi obat tidak dapat dibedakan dari reaksi lainnya.
Pemeriksaan transfomasi limfosit cukup kompleks dan sangat jarang digunakan. Pemeriksaan toksisitas
limfosit dikerjakan dengan melihat limfosit perifer penderita dan diukur persentase limfosit yang mati dengan
menggunakan indeks toksisitas metabolit obat yang dilepas. Pada pasien dengan reaksi obat di kulit yang
lambat dapat diperiksakan ambang perforin, granzim B dan TNF-α untuk mengukur derajat penyakit.
c. Biopsi
Pada kondisi didapatkan vaskulitis, purpura yang dapat teraba, plak dan ulkus, maka pemeriksaan
biopsi perlu dikerjakan. Pada pemeriksaan biopsi ini kadang diperlukan pemeriksaan imunofluoresen untuk
mencari endapan imunoglobubin dan komplemen pada vaskulitis kulit.
5. Penanganan Alergi Obat
a. Manifestasi klinis
Pada penderita reaksi hipersensitivitas obat, banyak manifestasi klinis yang dapat terlihat. Klinis yang
terlihat, dapat membantu untuk melakukan penegakkan diagnosis dan melakukan penanganan secara cepat
pada penderita. Manifestasi akut reaksi hipersensitivitas obat biasanya seperti, urtikaria, angioedema, rinitis,
konjungtivitis, bronkospasme, gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare) atau anafilaksis, dimana dapat
mengakibatkan kolapsnya kardiovaskular. Reaksi lambat hipersensitivitas obat sering mempengaruhi kulit
dengan gejala kutaneus yang bervariasi, seperti urtikaria yang lambat terjadi, erupsi makulopapular, fixed drug
eruptions (FDE), vaskulitis, penyakit blistering (Toxic Epidermal Necrosis (TEN), Steven Jonhson Syndrome
(SJS) dan FDE bula general), sindrom hipersensitivitas, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP),
dan symmetrical drug-related intertriginous and flexural exanthemas (SDRIFE). Organ internal yang bisa
terkena baik secara tunggal atau dengan gejala pada kulit dan termasuk hepatitis, gagal ginjal, pneumonitis,
anemia, neutropeni, dan trombositopeni.9 Klasifikasi alergi obat berdasarkan reaksi imun, mekanisme kerja,
manifestasi klinis dan waktu terjadinya reaksi dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Klasifikasi reaksi hipersensitivitas terhadap obat: mekanisme, manifestasi klinis, dan waktu untuk
bereaksi

Jika memungkinkan, maka pencegahan pemberian obat merupakan pilihan utama. Perlu diingat sebisa
mungkin menghindari obat yang telah diketahui menimbulkan reaksi alergi dan obat yang tidak memiliki efek
klinis yang penting. Penapisan melalui uji tusuk diperlukan terutama jika akan memberikan pengobatan anti
serum asing seperti globulin anti-timosit. Rute pemberian obat yang diketahui dapat menimbulkan reaksi
paling berat adalah rute intravena.Oleh karena itu, jika memungkinkan rute ini dihindari terutama pada pasien
dengan riwayat reaksi alergi obat yang berat. Perhatian khusus harus diberikan pada antibiotik terutama
penisilin karena sering menimbulkan reaksi anafilaksis. Ketika pernah terjadi reaksi obat, maka pasien dan
orang yang bertanggung jawab atas pasien wajib dinformasikan dan dilakukan pencatatan di rekam medik.
Pengobatan reaksi cepat pada alergi obat prinsip nya adalah pemberian epinefrin, pengehentian obat
yang diberikan, pemberian antihistamin (jika terdapat urtikaria, angioedema dan pruritus) dan pertimbangan
untuk pemberian kortikosteroid oral. Sedangkan untuk reaksi lambat, pada dasarnya sama dengan pada reaksi
alergi obat cepat kecuali pemberian epinefrin.Namun, reaksi alergi obat lambat dapat berlanjut meskipun obat
penyebab sudah dihentikan.
b. Cara-Cara Khusus
Terdapat beberapa cara khusus yang penting dalam tatalaksana alergi obat diantaranya adalah
threating through, test dosing, desensitisasi dan pramedikasi terhadap obat-obat tertentu. Dalam keadaan
ekstrim, yaitu saat obat kausal sangat diperlukan, maka pilihan yang dapat diambil adalah obat diteruskan
bersamaan pemberian anthistamin dan kortikosteroid untuk menekan alergi. Hal ini disebut treating through,
namun berisiko potensial mengakibatkan reaksi berkembang menjadi eksfoliatif atau sindrom SJS dan
memicu keterlibatan organ internal. Pada kondisi tes kulit atau RAST terhadap obat antibiotik tidak dapat
dikerjakan dan dipikirkan kemungkinan alergi rendah, tidak disertai reaksi berat dan mengancam nyawa, maka
dapat dikerjakan tes dosing atau provocative drug challenge/graded drug challenge/incremental drug
challenge. Tes ini tidak mengubah respon sistem imun. Prinsip dasar tes ini adalah pemberian obat secara hati-
hati dan bertahap, sehingga reaksi ringan yang diketahui mungkin terjadi akan segera diketahui dan dapat
dengan mudah diatasi. Tes ini dapat dipakai sebagai satu-satunya cara absolut untuk menyatakan ada tidaknya
hubungan etiologi antara obat, sehingga bila penderita menunjukkan toleransi terhadap obat yang diberikan,
berarti tidak ada alergi. Tes ini terbagi menjadi tesdosing cepat dan lambat.
Pada tes dosing, obat diberikan dengan dosis awal yang kecil, kemudian ditingkatkan serial sampai
dicapai dosis penuh. Interval waktu peningkatan dosis yaitu 24-48 jam bila dipikirkan reaksi hipersensitivitas
lambat dan 20-30 menit bila dipikirkan reaksi lgE. Pada tes dosing lambat dikerjakan bila reaksi yang diduga
terjadi adalah reaksi lambat seperti dermatitis. Pada kondisi ini jarak antara pemberian obat dijadikan 24-48
jam, prosedur biasanya selesai dalam 2 minggu. Pemeriksaan tes dosing saat ini semakin sering dikerjakan
pada penderita HIV yang akan diberikan trimetoprim/sulfamtoksazole. Saat ini sudah tersedia beberapa
protokol untuk tes dosing terhadap beberapa obat seperti sulfonamid, relaksan otot, asiklovir, zidovudine,
pentamidin dan penisilamin, ihinbitor ACE dan heparin. Selain itu, termasuk juga obat yang jarang
menimbulkan reaksi alergi seperti â-blocker dan obat-obatan yang dapat menimbulkan reaksi serupa alergi
(pseudo-alergi) seperti opiate, anestesi lokal, aspirin, dan tartazin.
Desensitisasi adalah pilihan tatalaksana pada kondisi yangsudah dipastikan terdapat alergi obat.Namun
dmeikian, tidak ada pilihan obat yang lain. Desensitisasi sendiri dapat dikerjakan pada reaksi IgE, pada reaksi
yang tidak terjadi melalui IgE, desensitisasi cepat pada anafilaksis dan desensitisasi lambat. Pada reaksi yang
melibatkan IgE, desensitisasi dikerjakan dengan tujuan memperoleh reaksi yang ringan melalui eliminasi IgE.
Terapi ini dilakukan dengan cara induksi toleransi pada renderita yang mengalami reaksi alergi (melalui IgE),
cepat dan sistemik terhadap obat yang dapat dipastikan dengan tes kulit misalnya pada penisilin.
Teknik desenstisasi menggunakan protokol yang prinsip dasarnya adalah pemberian bertahap dosis
obat yang ditingkatkansecara perlahan, mulai dari dosis subalergenik dan diteruskan sampai dosis penuh. Pada
saat dilakukan desensitisasi, jika terapi dihentikan, pada 50% penderita anafilaksis dapat terjadi kembali.
Protokol desensitisasi telah tersedia terhadap berbagai kelas obat, pada obat-obat tertentu yang mekanisme
reaksinya tidak melibatkan IgE, desensitisasi telah dapat dilakukan dengan hasil yang baik. Obat-obat tesebut
diantaranyaadalah aspirin, AINS, alopurinol, preparat emas, sulfametoksazol dan sulfasalazin. Desensitisasi
cepat pada anafilaksis dilakukan dengan pemberian dosis bertahap selama beberapa jam seperti pada penisilin.
Biasanya dimulai dengan jumlah p/1.000.000 sampai 1/100.000 dosis terapeutik. Jika pemberian melalui
intravena, dosis yang diberikan intravena dilipatgandakan setiap 15 menit dengan pemantauan penderita
secara hati-hati. Reaksi ringan, seperti urtikaria atau pruritus, biasanya dapat menghilang spontan, sehingga
pra-terapi dengan antihistamin atau steroid pada desensitisasi tidak dilakukan agar reaksi ringan dapat
diidentifikasi.
Desensitisasi lambat dilakukan dengan carapeningkatan dosis dan pemberian dengan jarak 24-48 jam,
kecuali bila pengobatan diperlukan lebih cepat. Prosedur ini memerlukan waktu 2 minggu atau lebih. Pada
penderita yang pernah menunjukan reaksi serupa anafilaksis (non-lgE), misalnya radiokontras, premedikasi
atau terapi profilaksis atau pra-terapi penting dilakukan sebelum pemberian obat. Premedikasi atau profilaksis
dengan pemberian antihistamin dan kortikosteroid saja atau dalam kombinasi dengan â-adrenergik bertujuan
menurunkan insidens dan reaksi beratmisalnya reaksi anafilaksis yang ditimbulkan zat kontras. Baik tes
dosing, desensitisasi, maupun premedikasi memiliki kebahayaan menimbulkan reaksi alergi yang fatal, reaksi
anafilaksis dan reaksi psikiatrik non-alergi. Oleh karena itu, perlu diperhatikan aspek medikolegal dan
informed consent dalam melakukan prosedur ini. Hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah obat
yang akan diberikan merupakan obat esensial yang tidak bisa digantikan obat lain, adanya ruang bagi pasien
untuk menolak setelah memahami keuntungan dan risiko tindakan, dan sarana terapi darurat yang
harusdisiapkan saat melakukan prosedur.

D. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)

1. Pengertian Dermatitis Kontak Alergi (DKA)

Dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan dermatitis yang terjadi akibat pajanan dengan bahan

alergen dari luar tubuh. Dermatits kontak alergi ialah suatu peradangan kulit yang timbul setelah kontak

dengan alergen melalui proses sensitisasi. Peradangan dan edema pada kulit diperantai olek reaksi imun tipe

IV.1

Penyebab DKA pada umumnya adalah bahan kimia yang terkandung dalam alat-alat yang dikenakan

oleh penderita (asesoris, pakaian, sepatu, kosmetika, obat-obat topikal) atau yang berhubungan dengan

pekerjaan (semen, sabun cuci, pestisida, bahan pelarut, bahan cat atau polutan yang lain). Disamping bahan

penyebab, ada faktor penunjang yang mempermudah timbulnya dermatitis kontak tersebut yaitu suhu, udara,

kelembaban, dan gesekan.

2. Gejala Klinis dan Pengobatan

Gejala klinis DKA pada umumnya gatal. Kelainan kulit bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi

dermatitisnya. Pada stadium akut didapatkan bercak eritematosa, edema, papul vesikel, bula, erosi, eksudasi.1

Pada dermatitis kontak alergi kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga
fisur, berbatas tidak tegas. Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke tempat lain,misalnya dengan cara

autosensitisasi. Berbagai lokasi kejadian dermatitis kontak alergi yaitu tangan, lengan, wajah, telinga, leher,

badan, genitalia, tungkai atas dan bawah

Untuk mendiagnosis dermatitis kontak alergi didasari dengan hasil anamnesis yang cermat dan

pemeriksaan klinis yang teliti.2 Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola

kelainan kulit sering kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.1 Pemeriksaan hendaknya dilakukan di

tempat yang cukup terang, pada seluruh permukaan kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain

karena berbagai sebab endogen. Diagnosis banding dari dermatitis kontak alergi adalah dermatitis kontak

iritan, dermatitis atopik, dermatitis numularis.

Jenis obat yang paling sering digunakan untuk pasien yang terdiagnosis Dermatitis Kontak Alergiialah

terapi obat antihitamin + kortikosteroid. Pengobatan antihistamin ditujukan untuk mengontrol rasa gatal

danatau edema, juga pada kasus-kasus sedang dan berat pada keadaan akut ataukronik. Maksud pemberian

antihistamin adalah untuk memperoleh efek sedatifnya dan kortikosteroid diberikan pada kasus yang sedang

atau berat, secara peroral,intramuskular atau intravena. Bila diberikan dalam waktu singkat maka efek

sampingnya akan minimal. Perlu perhatian khusus pada penderita ulkuspeptikum, diabetes dan hipertensi.

Efek sampingnya terutama pertambahan berat badan, gangguan gastrointestinal dan perubahan dari insomnia

hingga depresi.1,7,8 Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun. Pemberian topikal akan

menghambat reaksi aferen dan eferen daridermatitis kontak alergik.1,4,9 Untuk DKA yang akut diberikan

kortikosteroid dalam jangka waktu pendek untuk mengatasi peradangan.10 Apabila gejala mereda diganti

dengan kortikosteroid topical.


Ibu Rumah Tangga (IRT) 14 pasien (34%). Lokasi yang terseringpada penderita dermatitis kontak

alergiadalahbadan sebanyak 12 pasien (29,2%). Penyebab tersering pada penderita dermatitis kontak alergi

adalah bahan kimia sebanyak 20 pasien (48,8%). Jenis obat/terapi yang paling sering digunakan pada pasien

dermatitis kontak alergi adalah terapi obat antihitamin + kortikosteroid 25 pasien (61%).

Data mengenai DKA di Indonesia terlebih khusus di Manado masih kurang sehingga perlu diadakan

penelitian lebih lanjut dan sebaiknya berkala untuk pemantauan yang lebih baik. Kelengkapan dalam

pengisian status pasien sangat diperlukan guna menunjang pendekatan yang lengkap,akurat,dan informatif

untuk penelitian selanjutnya.

3. Urtikaria dan Angiodema

a. Pengertian Urtikaria dan Angiodema

Urtikaria adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya edema kulit superfisial setempat dengan

ukuran bervariasi sering dikelilingi oleh halo eritem yang disertai rasa gatal atau panas. Ruam urtikaria cepat

timbul dan hilang perlahan-lahan dalam 1-24 jam.1 Sedangkan angioedema adalah urtikaria yang terjadi pada

lapisan dermis bagian bawah atau subkutis, sering mengenai wajah dan membran mukosa seperti bibir, laring

dan genetalia. Pada angioedema lebih dominan rasa nyeri daripada gatal dan ruamnya hilang secara perlahan

dalam 72 jam.

Frekuensi urtikaria diperkirakan sebesar 20% dari seluruh populasi, dapat terjadi pada semua umur

namun lebih sering pada wanita dan biasanya pada usia 20-40 tahun.3 Sekitar 40% pasien urtikaria disertai

angioedema, 50% hanya dengan urtikaria sedangkan angioedema saja sebesar 10%. Ada banyak faktor

penyebab urtikaria dan angioedema seperti toleransi terhadap makanan, infeksi, obat-obatan, trauma fisik dan

penyakit sistemik, namun 70-95% penyebabnya masih belum diketahui terutama pada urtikaria kronik.3,5 Hal

ini seringkali menimbulkan masalah fisik, psikis maupun sosial dalam kehidupan penderita sehari-hari

sehingga mempengaruhi kualitas hidupnya.

Urtikaria dan angioedema merupakan penyakit yang pengobatannya menitik beratkan pada etiologinya

sehingga dalam penegakan diagnosis sangat diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang komprehensif

untuk menentukan klasifikasi serta pemeriksaan penunjang yang sesuai agar dapat memberikan edukasi dan

terapi yang tepat kepada pasien serta menghemat biaya yang harus dikeluarkan.

b. Patogenesis
Urtikaria terjadi karena adanya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi

transudasi cairan setempat yang secara klinis tampak edema lokal disertai eritema. Vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas kapiler terjadi akibat pelepasan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien,

sitokin dan kemokin yang juga mengakibatkan peningkatan regulasi endothelial adhesion molecules (ELAMs)

dan vascular adhesion molecules (VCAMs) disertai migrasi sel transendotelial dan kemotaksis.8,9 Pelepasan

mediator tersebut terjadi karena adanya degranulasi sel mast akibat rangsangan atau paparan dari alergen. Ada

beberapa agen yang dapat mengaktivasi sel mast untuk melepaskan histamin antara lain substansi P,

Vasoactive intestinal polypeptide (VIP), latex, surfaktan, dextran, morfin dan codein.

Penyebab terjadinya angioedema antara lain adalah adanya defisiensi C1 esterase inhibitor (C1INH)

yang berfungsi menghambat pembentukan kinin, aktivasi komplemen yang menghasilkan vasoactive kinin-

like peptides dan pembentukan bradikinin. Kinin adalah peptida dengan berat molekul rendah yang ikut

berperan dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel endotelial dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi

dan peningkatan permeabilitas vaskular. Angioedema yang rekuren dengan C1INH normal biasanya bersifat

idiopatik, namun bisa juga disebabkan oleh induksi obat-obatan seperti penghambat angiotensin-converting

enzyme (ACE), aspirin dan anti-inflamasi nonsteroid

c. Klasifikasi

Urtikaria/angioedema dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi ataupun klinis, namun dalam praktek

sehari-hari lebih mudah mengklasifikasikannya secara klinis daripada etiologi yang sulit untuk ditegakkan.

Klasifikasi berguna dalam menentukan pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien

urtikaria/angioedema.

Berdasarkan etiologinya urtikaria dibagi menjadi:

1) Urtikaria imunologik : urtikaria autoimun, kontak alergi dan kompleks imun.

2) Urtikaria nonimunologik: urtikaria fisik, karena obat-obatan dan kontak non alergi.

3) Urtikaria idiopatik.

Menurut European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI) tahun 2006 secara

klinis urtikaria diklasifikasikan menjadi:

1) urtikaria spontan: urtikaria akut dan urtikaria kronis.


2) Urtikaria fisik: dermografik, delayed pressure, panas, dingin, solar dan getaran. 3) Urtikaria spesifik:

kolinergik, adrenergik, kontak (alergi/non alergi) dan aquagenik.

d. Angioedema

Angioedema terjadi pada lebih dari setengah pasien urtikaria spontan dan sekitar 10-20% pasien

angioedema tanpa disertai urtikaria terjadi karena obat-obatan seperti aspirin, golongan ACE inhibitor dan

AINS. Obat-obat ini mencegah degradasi bradikinin yaitu komponen peptida yang berfungsi sebagai

vasodilator yang poten sehingga terjadi akumulasi cairan di daerah interstitium terutama pada area wajah. Ada

2 cara terbentuknya bradikinin, yaitu :

1. Melalui komponen enzim jaringan kallikrein dan substrat plasma. Kallikrein disekresi terutama oleh sel-sel

kelenjar (saliva, keringat dan eksokrin pankreas), paru, ginjal, usus halus dan otak.

2. Melalui aktivasi jalur pembekuan instrinsik. Adanya trauma akan mengaktivasi faktor Hageman (XII) yang

akan memicu pembentukan plasmin dan kalikrein. Plasmin mengaktivasi C1 melalui pembentukan C2

kinin-like peptide dan kallikrein menghasilkan bradikinin dari kininogen.

Angioedema dapat dibedakan menjadi angioedema yang disertai urtika dan tanpa urtika. Berdasarkan

penyebabnya angioedema tanpa urtika dibagi menjadi:

1) Angioedema defisiensi C1INH herediter.

2) Angioedema defisiensi C1INH dapatan.

3) Angioedema karena obat-obatan.

4) Angioedema berhubungan dengan delayed pressure.

5) Angioedema idiopatik.

Angioedema juga dapat terjadi karena defisiensi atau disfungsi C1INH. Defisiensi C1INH bisa bersifat

herediter atau dapatan. Defisiensi C1INH dapatan jarang ditemukan dan berhubungan dengan penyakit

autoimun atau limfoma. Defisiensi C1INH herediter bisa dikarenakan produksinya yang menurun

(angioedema herediter/AEH tipe I) akibat mutasi gen SERPIN1 atau fungsi inhibitornya yang terganggu

(AEH tipe II) sedangkan pada AEH tipe III terjadi mutasi gen F12 yang berfungsi mengontrol faktor

pembekuan 12. AEH tipe III sering pada wanita dan dapat dieksaserbasi oleh kehamilan dan penggunaan

kontrasepsi hormonal.
Diagnosis angioedema ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti

laboratorium darah lengkap, mast cell tryptase level yang meningkat jika berhubungan dengan reaksi alergi

akut (anafilaksis), konsentrasi plasma komplemen C4 dan jumlah serta fungsi dari C1INH.

DAFTAR PUSTAKA
Batasina T., Pandaleke H., dan suling P., 2017, Profil Dermatitis Kontak Alergi di Poliklinik RSUD. Jurnal
e-clinic. 5 (1). Hal: 13-20.

Candra, Y., Asih, S., dan Iris, R., 2011. Gambaran Sensitivitas terhadap Alergen Makanan. Makara
Kesehatan. 15(1). Hal: 45-50.

Fitria., 2013, Aspek Etiologi dan Klinis Pada Urtikaria dan Angiodema, Jurnal Kedokteran Syiah Kuala,
Vol 13 (2).

Roy A. P., dan Iris R., 2016. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Obat. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia. 3(1): 45-52.

Sireger, S. P., 2005. Peran Alergi Makanan dan Alergen Hirup pada Dermatitis Atopik. Sari Pediatri. 6(4).
Hal: 1-4.

Stephanie I. W., dan Tjok I. A. S., 2016. Reaksi Hipersensitivitas Terhadap Obat. Rsup Sanglah.

Widuri, A., 2009. Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi. Mutiara Medika. 9(1). Hal: 63-68.

Wistiani dan Harsoyo, N., 2011. Hubungan Pajanan Alergen terhadap Kejadian Alergi pada Anak. Sari
Pediatri. 13(3). Hal: 185-191.

TUGAS
MAKALAH KELOMPOK
JENIS-JENIS ALERGI

DISUSUN OLEH:
NURLIA S H411 16 016
SRI SULASTRIANI H411 16 019
NURHIKMAH H411 16 024
SITI HASMIRAWATI B. H411 16 310
FERA YUNIAR H411 16 317
AIDA AMEYLIAH ANNISA A. H411 16 502
DYAH ARINDI C. H. H411 16 504
ELVIRAH NOVRY E. H411 16 508

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................................
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................
JENIS-JENIS ALERGI ............................................................................................................................
A. Alergi pada Saluran Pernapasan (Rhinitis Alergi) .........................................................................
B. Alergi pada Makanan ........................................................................................................................
C. Alergi pada Obat................................................................................................................................
D. Dermatitis Kontak Alergi..................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................

Anda mungkin juga menyukai