Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Rinitis Alergi

Preseptor :

dr. Hadjiman Yotosudarmo, Sp.THT-KL

Oleh :

Gina Fauziah 21360147


Henri Setiawan 21360149
Shelfi Aprilia Ningsih 21360105
Sofia Ayu Lestari 21360090
Vina Putri Anisya 21360094

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT


FAKULTAS KEDOKTERAAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD. JEND AHMAD YANI KOTA METRO
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, saya panjatkan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah- Nya, sehingga dapat menyelesaikan paper ini dengan baik.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. dr. Hadjiman Yotosudarmo,
Sp.THT-KL, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penyusunan paper ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
tugas ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan paper ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga ini dapat memberi manfaat bagi yang membacanya.

Metro, Desember 2021


Penulis,
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan hidung yang

disebabkan proses inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE)

akibat paparan alergen pada mukosa hidung.1,2 Gejala rinitis alergi meliputi

hidung gatal, bersin berulang, cairan hidung yang jernih dan hidung tersumbat

yang bersifat hilang timbul atau reversibel, secara spontan atau dengan

pengobatan.3 Prevalensi terjadinya asma meningkat pada pasien yang

menderita rinitis alergi. Pasien rinitis alergi memiliki faktor risiko 3 kali lebih

besar untuk berkembang menjadi asma dibandingkan dengan orang yang

sehat.4 Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak

dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis

alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli

kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi

mencapai 20%.5,6

Diagnosis awal diperoleh dari anamnesis (riwayat penyakit) yang teliti

dan pemeriksaan fisik yaitu inspeksi, pemeriksaan rinoskopi anterior dan

nasoendoskopi. Selanjutnya diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan

penunjang lainnya untuk rhinits alergi yang akan dibahas pada referat ini.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi

alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensititasi dengan alergen

yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan

ulangan, dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia

ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi

menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) adalah

kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan

tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh IgE.7

2.2 Epidemiologi

Rinitis alergi adalah salah satu penyakit alergi yang paling umum di

Amerika Serikat, mempengaruhi antara 20% dan 25% dari populasi (sekitar 40

juta orang). Rinitis alergi dapat memiliki onset pada semua usia, tetapi insidensi

onset paling tinggi pada masa remaja, dengan insiden yang menurun seiring

bertambahnya usia. Prevalensi puncaknya adalah selama dekade ketiga dan

keempat (Gambar 1).


Gambar 1. Prevalensi Rinitis Alergi Berdasarkan Usia

Biaya ekonomi rinitis alergi, baik langsung maupun tidak langsung,

cukup besar. Porsi terbesar dari biaya langsung adalah pengeluaran untuk obat

resep dan nonresep (sekitar 4 miliar dolar per tahun). Biaya tidak langsung

terbesar adalah dari alergi itu sendiri dan juga dari efek samping negatif obat

alergi (terutama antihistamin yang dijual bebas). Meskipun rinitis alergi tidak

mengancam nyawa, efek simtomatiknya cukup besar, yang mengakibatkan

penurunan kualitas hidup secara signifikan bagi banyak penderita. Sejumlah

studi kualitas hidup telah menunjukkan bahwa di hampir setiap aspek kehidupan

sehari-hari, termasuk fungsi sosial dan fisik, tingkat energi dan kelelahan, dan

kurang tidur dan kesehatan mental, pasien dengan rinitis alergi mengalami

penurunan kualitas yang signifikan. hidup dibandingkan dengan individu yang

tidak alergi. Faktanya, pasien dengan rinitis alergi telah terbukti memiliki

kualitas hidup yang lebih rendah daripada banyak penderita asma. Selain itu,

rinitis alergi dapat menyebabkan gangguan tidur, kelelahan, dan—yang sangat

penting bagi anak-anak yaitu masalah belajar 13.

2.3 Etiologi

Rhinitis Alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan

predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan


herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab alergi rinitis

tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan anak-anak.

Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain,seperti urtikaria dan

gangguan pencernaan.penyebab alergi rinitis dapat berbeda tergantung dari

klasifikasi.Alergen yang menyebabkan alergi rinitis musiman biasanya berupa

serbuk sari atau jamur.Alergi rinitis perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu

tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu dermatophagoides farinae dan

dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan

binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet

serta sprai tempat tidur,suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.

Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk tumbuhnya

jamur.berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa

faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat

atau merangsang dan perubahan cuaca.8

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

1. Allergen inhalan, yang masuknya bersama dengan udara

pernapasan,misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu

binatang serta jamur.

2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,

misalnya susu, telur, coklat,ikan,dan udang, kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya

penisilin atau sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau

jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.7


2.4 Patogenesis

Respon alergi dimediasi terutama oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Respon

ini melibatkan kelebihan produksi antibodi IgE dan disebut reaksi atopik. Selain

rinitis alergi, sebagian besar kasus asma dan dermatitis atopik dianggap

memiliki penyebab atopik. Pada pasien dengan disposisi atopik (sifat genetik),

reaksi alergi dimulai dengan sensitisasi terhadap alergen tertentu (pada rinitis

alergi, ini biasanya ditularkan melalui udara), yang menginduksi produksi

antibodi IgE. Ini terjadi melalui kaskade sel T, sel B, dan sel plasma. Pada

paparan berikutnya, antigen spesifik menempel pada dua antibodi IgE spesifik

yang melekat pada permukaan sel mast, yang lazim di submukosa saluran

pernapasan dan pencernaan, subkonjungtiva mata, dan lapisan subkutan kulit.

Akibatnya, reaksi yang dimediasi IgE ini menyebabkan degranulasi sel mast,

yang kemudian memicu respons inflamasi dengan pelepasan Prevalensi rinitis

alergi (% populasi) mediator seperti histamin, leukotrien, sitokin, prostaglandin,

dan faktor pengaktif trombosit. Ini disebut sebagaifase awal atau reaksi humerus

dan terjadi dalam waktu 10-15 menit setelah pajanan alergen; Pelepasan

histamin menyebabkan gejala bersin, rinore, gatal-gatal, permeabilitas pembuluh

darah, vasodilatasi, dan sekresi kelenjar. Pelepasan sitokin dan leukotrien

selanjutnya menyebabkan masuknya sel inflamasi (terutama eosinofil) ke daerah

yang terkena (kemotaksis). Respon inflamasi ini disebutfase akhir atau reaksi

seluler, yang dapat dimulai 4-6 jam setelah sensitisasi awal dan dapat

memperpanjang dan meningkatkan kaskade alergi selama 48 jam. Respon ini

merupakan penyebab utama gejala hidung tersumbat dan postnasal drip pada

rinitis alergi. Selain itu, mediator ini menghasilkan hiperreaksi terhadap alergen
spesifik dan iritan nonspesifik seperti asap tembakau dan asap kimia, yang

disebut sebagai efek primer 13.

2.5 Klasifikasi

a. Rinitis Alergi karena Musim

Gejala rinitis alergi musiman, seperti namanya, terjadi atau meningkat

selama musim tertentu, biasanya tergantung pada penyerbukan tanaman yang

membuat pasien alergi. Pohon menyerbuki di musim semi, rumput di akhir

musim semi dan musim panas, dan gulma di musim gugur. Selain itu, jamur

dapat menyebabkan gejala di musim gugur. Gejala khas alergi musiman

termasuk bersin, rinore berair, gatal pada hidung, mata, telinga, dan

tenggorokan, mata merah dan berair, dan hidung tersumbat. Gejala biasanya

lebih buruk di pagi hari dan diperparah oleh kondisi kering dan berangin ketika

konsentrasi serbuk sari yang lebih tinggi didistribusikan ke area yang lebih

luas13.

b. Rinitis Alergi Perenial

Gejala rinitis alergi perenial biasanya konstan, dengan sedikit variasi

musiman, meskipun dapat bervariasi dalam intensitas. Gejala khas adalah

hidung tersumbat dan tersumbat, dan postnasal drip. Rinore dan bersin lebih

jarang terjadi. Gejala mata kurang umum, kecuali dengan alergi hewan. Serbuk

sari musiman dapat menyebabkan eksaserbasi gejalagejala ini. Alergen umum

yang menyebabkan rinitis alergi abadi adalah inhalansia dalam ruangan,

terutama tungau debu, bulu binatang, spora jamur, dan kecoak (di pusat kota).

Alergen pekerjaan tertentu juga dapat menyebabkan rinitis alergi perenial; ini

biasanya tidak konstan karena bergantung pada paparan di tempat kerja. Alergen
makanan juga dapat menyebabkan rinitis alergi perenial. Selain itu, alergi

makanan sering dikaitkan dengan gejala lain, termasuk masalah pencernaan,

urtikaria, angioedema, dan bahkan anafilaksis setelah makanan tertelan. Infeksi

dan iritan nonspesifik dapat mempengaruhi rinitis alergi perenial. Pada anak-

anak dengan alergi, mungkin ada insiden yang lebih tinggi dari infeksi saluran

pernapasan, yang pada gilirannya cenderung memperburuk rinitis alergi dan

dapat menyebabkan perkembangan komplikasi, terutama rinosinusitis dan otitis

media dengan efusi. Iritasi lain seperti asap tembakau, asap kimia, dan polusi

udara juga dapat memperburuk gejala13.

c. Klasifikasi Lain

Baru-baru ini, klasifikasi lain dari rinitis alergi telah diperkenalkan.

Salah satunya terkait dengan insiden temporal dan kualitas hidup. Gejala

diklasifikasikan sebagai intermiten (durasi 4 hari/minggu atau >4 minggu) dan

berdasarkan intensitas gejala, dengan perubahan minimal atau sedang hingga

parah dalam kualitas hidup. Dalam sistem klasifikasi lain, gejala didasarkan

pada jenis gejala (misalnya, pasien yang mengalami bersin dan pilek atau

mereka yang mengalami sesak) tanpa hubungan temporal13.

2.6 Diagnosis

a. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi

dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis

saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.

Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme

fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini

terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai

akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer

dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang

disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang

timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung

tersumbat merupakan keluhan utama atau satusatunya gejala yang diutarakan

oleh pasien.

b. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, benltrama pucat

atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,

mukosa inferior tampak hipertrofi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan

bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan

gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat

obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga

tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan.

Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama

kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian

sepertiga bawah, yang disebut alleryic crease. Mulut sering terbuka dengan

lengkung langit langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan

pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak

granuler dan edema


serta dinding faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran (geographic

tongue).7

Gambar 1

Gambar 2. Nasal Endoskopi Pada Paseien Dengan Rhinitis Alergi

Respon alergi di dalam hidung menghasilkan tias gejala yaitu bersin

paroksismal, obstruksi hidung dan rhinorrae bening. Konka inferior tampak

kebiruan dan terlihan membengkak adalah patognomoni rhinitis alergi. Selaput

lender hidung pada pasien dengan rhinitis alergi sering tampak biru pucat, ungu

bahkan keputihan pucat seperti yag tampak pada konka sebelah kiri yang

bengkak juga terdapat discharge bening dan encer (Gambar 2).12

c. Pemeriksaan Penunjang

-In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan lgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali

menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu

macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau

urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi

atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih

bermakna adalah pemeriksaan lgE spesifik dengan RIST (Radio lmmuno

Sorbent test) atau ELISA (Enzyme Linked lmmuno Sorbent Assay test).

Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap

berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah

banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap)

mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN

menunjukkan adanya infeksi bakteri

- In Vivo :

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,

uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point

Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan

alergen dalam berbagai konsentrasi yang vertingkat kepekatannya. Keuntungan

SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk

desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhirakhir ini banyak dilakukan

adalah lntracutaneus Provocative Dilutional Food Test (PDFI), namun sebagai

gold standar dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi ("Challenge

Test").
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.

Karena itu pada "Challenge Test", makanan yang dicurigai diberikan pada

pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet

eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai

suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.7

- Skin test
Skin test merupakan salah satu gold standard tes alergi. Prinsip skin test

adalah dengan terjadinya reaksi antara antigen dengan sel mast yang telah

tersensitisasi di kulit mengakibatkan munculnya edema dan eritema pada kulit.

Reaksi ini berlangsung dari 2 menit-20 menit. Skin test ini disupresi oleh

antihistamin dan antidepresan. Oleh karena itu, pasien tidak boleh

mengkonsumsi antihistamin dan antidepresan dalam 72 jam sebelum skin test

dilakukan.9,10

Skin test terbagi menjadi epikutaneus dan intrakutaneus.

a. Uji epikutaneus contohnya skin prick test dan skin scratch test.Dari beberapa

jenis skin test tersebut, skin prick test direkomendasikan sebagai skin test

yang dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari.Skin test dilakukan pada

daerah volar lengan bawah. Jarak antar alergen yang diuji sekitar 2 cm untuk

skin prick test dan 5 cm untuk uji intradermal. Skin prick test dilakukan

dengan menusukkan jarum lanset yang sudah ada alergen ke barrier

epidermis. Untuk kontrol harus disediakan kontrol negatif tanpa alergen dan

kontrol positif menggunakan histamin dilusi.11

Sebelum melakukan skin scratch test, lapisan kulit superfisial ditempeli dulu

dengan tape kemudian tape ditarik sehingga lapisan korneum kulit ikut
tertarik. Kemudian alergen yang akan diuji dioleskan ke area kulit tersebut.

Skin scratch test hanya dilakukan jika jumlah alergen yang ada sedikit dan

tidak mencukupi untuk skin prick test.11

b. Uji intrakutaneus

Skin test yang paling sensitif adalah uji intrakutan. Uji intrakutan dilakukan

dengan menyuntikkan alergen pada berbagai konsentrasi dan kepekatan.

Selain diketahui alergen penyebab juga dapat menentukan derajat dan dosis

inisial untuk desensitisasi. Jika dengan skin prick test hasilnya negatif maka

selanjutnya dilakukan uji intrakutan sebab skin prick test kurang sensitif

untuk menunjukkan reaksi alergi pada kadar antigen yang rendah. 9 Setelah

20 menit observasi, dilakukan penilaian reaksi alergi yang terjadi seperti

pada tabel 3 berikut:

Gambar 3 . Interpretasi reaksi alergi pada skin test

2.7 Differential Diagnosis

Diagnosis banding rinitis alergi meliputi:

(1) rinitis infeksi (akut atau kronis)

(2) rinitis non-alergi perenial (misalnya, rinitis vasomotor)


(3) polutan dan iritan

(4) rinitis hormonal (misalnya, kehamilan atau hipotiroidisme)

(5) rinitis topikal yang diinduksi obat (rinitis medicamentosa)

(6) deformitas anatomis (misalnya, septum yang menyimpang, polip hidung,

atau concha bulosa)

(7) tumor atau benda asing.13

2.8 Penatalaksanaan

Secara umum, tiga pilihan tersedia untuk pengelolaan rinitis alergi: (1)

penghindaran dan kontrol lingkungan, (2) farmakoterapi, dan (3) imunoterapi.

a. Kontrol Lingkungan

Metode meminimalkan paparan serbuk sari adalah untuk menghindari

kegiatan di luar ruangan selama musim serbuk sari yang relevan (misalnya,

memotong rumput dan berkebun), untuk menjaga jendela rumah dan mobil

tertutup, dan menggunakan AC bila memungkinkan. Untuk mengendalikan

tungau debu, jamur, dan bulu hewan peliharaan, praktik-praktik berikut harus

digunakan; (1) mengurangi kelembapan rumah tangga hingga di bawah 50%; (2)

mencuci sprei dengan air panas; (3) singkirkan karpet dan hewan peliharaan dari

ruang tamu yang paling sering digunakan, terutama kamar tidur; (4)

membungkus bantal, kasur, dan pegas kotak dalam penutup hipoalergenik

(untuk perlindungan tungau debu); dan (5) di daerah miskin dan perkotaan,

memberantas kecoa (Tabel 1). Untuk alergen di udara (misalnya, bulu binatang),

pembersih udara dapat digunakan. 13


Tabel 1. Pengendalian Lingungan pada Rinitis Alergi13

b. Farmakoterapeutik

Tabel 2. Agen farmakologis dalam pengelolaan rinitis alergi13

⁃ Anti Histamin

Antihistamin sering digunakan sebagai terapi lini pertama; dengan

memblokir reseptor H2 dan mencegah reaksi yang diinduksi histamin,

termasuk menghambat peningkatan permeabilitas pembuluh darah, kontraksi

otot polos, peningkatan produksi lendir, dan pruritus. Antihistamin juga

menghambat respon “wheal and flare” pada kulit dan oleh karena itu

mempengaruhi tes kulit. Antihistamin efektif dalam reaksi fase awal dan

karena itu mengurangi bersin, rinore, dan gatal-gatal. Mereka memiliki

sedikit efek pada hidung tersumbat, fenomena fase akhir. Banyak yang
memiliki efek antikolinergik dan menyebabkan mulut kering. Ini termasuk

difenhidramin (misalnya, Benadryl), hidroksizin (misalnya, Atarax),

klorfeniramin, dan bromfeniramin. Antihistamin generasi kedua memiliki

aktivitas antihistamin yang sebanding dengan antihistamin generasi pertama

tetapi memiliki profil keamanan yang lebih baik dengan sedikit, jika ada,

sedasi karena memiliki sedikit afinitas terhadap reseptor H2 sentral. Obat ini

tidak memiliki aktivitas antikolinergik dan diabsorpsi dengan baik, dengan

onset kerja yang cepat dan pengurangan gejala biasanya dalam waktu 1 jam.

Antihistamin generasi kedua biasanya diberikan sekali sehari dan jarang

dikaitkan dengan toleransi obat dengan penggunaan jangka panjang. Yang

tersedia secara oral di Amerika Serikat adalah fexofenadine (misalnya,

Allegra), loratadine (misalnya, Claritin), desloratadine (misalnya, Clarinex),

dan cetirizine (misalnya, Zyrtec). Antihistamin intranasal generasi kedua,

azelastine (misalnya, Astelin), juga tersedia. 13


⁃ Kortikosteroid Intranasal

Kortikosteroid intranasal mungkin merupakan obat yang paling efektif

untuk mengontrol gejala rinitis alergi secara keseluruhan. Mereka meredakan

bersin, gatal, dan rinorea, dan juga hidung tersumbat. Efek maksimal dapat

berlangsung dari 1 hingga 2 minggu setelah permulaan penggunaannya.

Efektivitasnya tergantung pada penggunaan biasa dan saluran napas hidung

yang memadai untuk aplikasi. Mereka bertindak pada reaksi fase akhir dan

karena itu mencegah masuknya sel-sel inflamasi yang signifikan. Formulasi

yang lebih baru memiliki penyerapan sistemik minimal tanpa efek samping

sistemik, dan telah disetujui untuk digunakan pada anak-anak. Mereka tidak

memiliki efek samping sistemik berkaitan dengan penekanan aksis HPA dan

tidak mempengaruhi pertumbuhan tulang panjang pada anak-anak. Pada

dewasa muda dan anak-anak, mereka dianggap sebagai obat pilihan dalam

pengobatan rinitis alergi. Efek samping lokal, seperti kekeringan dan

epistaksis, dapat dikurangi dengan instruksi pasien yang cermat tentang

penggunaannya dan juga penggunaan salin intranasal secara bersamaan.

Kortikosteroid intranasal yang umum tersedia di Amerika Serikat termasuk

triamcinolone (misalnya, Nasacort), budesonide (misalnya, Rhinocort). 13

⁃ Kortikosteroid sistemik

Kortikosteroid sistemik mungkin diperlukan untuk gejala yang parah

dan sulit diatasi. Mereka dapat diberikan baik dengan injeksi intramuskular

atau secara oral. Dengan yang terakhir, dosis tapering biasanya diberikan

selama 3-7 hari. Kortikosteroid sistemik bekerja pada peradangan dan secara

signifikan mengurangi semua gejala rinitis alergi. Penggunaan berulang agen


ini dapat menyebabkan efek samping yang serius, seperti penekanan aksis

HPA, serta efek samping umum lainnya dari penggunaan steroid. 13

⁃ Dekongestan

Dekongestan bekerja pada reseptor -adrenergik pada mukosa hidung,

menghasilkan vasokonstriksi dan dengan demikian mengurangi kongesti

turbinate. Mereka meningkatkan patensi hidung tetapi tidak meredakan

rhinorrhea, pruritus, dan bersin. Preparat ini kebanyakan ditemukan dalam

obat flu tanpa resep dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan

masalah jantung dan hipertensi. Dekongestan intranasal (misalnya,

oxymetazoline) dapat menyebabkan hidung tersumbat kembali dan

menyebabkan ketergantungan jika digunakan lebih dari 3-4 hari (rhinitis

medicamentosa). 13

⁃ Antikolinergik intranasal

Agen ini cenderung hanya mengontrol rhinorrhea dan tidak memiliki

efek lain pada gejala alergi. Salah satu antikolinergik intranasal yang paling

umum digunakan adalah ipratropium bromida (misalnya, Atrovent). Agen ini

dapat dikombinasikan dengan obat alergi lain untuk mengontrol rinorea pada

rinitis alergi perenial. 13

⁃ Kromolin intranasal

Kromolin intranasal (misalnya, Nasalcrom) harus digunakan sebelum

timbulnya gejala agar efektif. Obat ini harus digunakan di seluruh paparan;

itu dianggap sangat aman. Dosis yang dianjurkan adalah empat kali sehari. 13
⁃ Inhibitor leukotriene

Montelukast "Singulair" adalah obat baru untuk pengobatan

rinitis alergi. Sampai saat ini, studi klinis telah menunjukkan

kemanjurannya lebih besar daripada plasebo, tetapi kurang efektif

dibandingkan antihistamin dan steroid intranasal dalam pengobatan rinitis

alergi (Tabel 3).13

Tabel 3. Pilihan Farmakoterapi untuk Rinitis Alergi13

c. Imunoterapi

Indikasi untuk imunoterapi termasuk farmakoterapi jangka panjang

untuk jangka waktu yang lama, ketidakcukupan atau intoleransi terapi obat,

dan sensitivitas alergen yang signifikan. Sebelum memulai imunoterapi,

dokter harus terlebih dahulu mengkonfirmasi atopik diagnosis dengan

menguji IgE spesifik untuk alergen penyebab (atau alergen). Kebanyakan

imunoterapi yang diberikan di Amerika Serikat saat ini adalah melalui

peningkatan bertahap dalam dosis antigen yang diberikan sampai gejala

sistemik ringan atau reaksi lokal yang besar di tempat injeksi subkutan

terjadi (terapi dosis optimal). Di beberapa pusat, imunoterapi sublingual

adalah metode pilihan. Ini lebih umum di Eropa dan cenderung mudah dan
aman untuk diberikan di rumah oleh pasien sendiri. Tidak ada tes yang

memadai yang tersedia untuk menunjukkan kepada pasien berapa lama

imunoterapi harus dilanjutkan. Oleh karena itu, respons klinis dengan

pengurangan gejala menentukan durasi pengobatan spesifik. Minimal 2-3

tahun biasanya diberikan untuk menghindari kekambuhan gejala yang cepat

pada rinitis alergi tanpa komplikasi.13


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensititasi dengan alergen yang

sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan

ulangan, dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator

kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik. Rinitis alergi

dapat memiliki onset pada semua usia, tetapi insidensi onset paling tinggi

pada masa remaja, dengan insiden yang menurun seiring bertambahnya

usia.Penyebab alergi rinitis biasanya berupa serbuk sari atau jamur.Alergi

rinitis perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua

spesies utama tungau yaitu dermatophagoides farinae dan dermatophagoides

pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang

pengerat. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin

berulang.Pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah skin test dan in vivo

untuk penatalaksanaanya yaitu hindari resiko penyebab alergi kambu dan

diberikan farmakoterapeutik seperti antihistamin,dekongestan,antikolinergik

agen.
DAFTAR PUSTAKA

1 Valentine MD, Plaut M. Allergic Rhinitis. In: The New England Journal of
Medicine. Available from URL : www.nejm.org. Article last updated 2005.
August 2008.
2 Pinto JM, Naclerio RM. Allergic Rhinitis. In: Snow JB, Ballenger JJ editors.
Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 16th Ed. New York:
BC Decker; 2003. p. 708-39.
3 WHO ARIA 2008 (upDate).
4 Stokes JR, Casale TB. Allergic Rhinitis, Asthma and Obstructive Sleep Apnea:
The Link. In: Pawankar R, Holgate ST et al editors. Allergy Frontiers: Clinical
Manifestations. New York: Springer; 2009. p. 129-40.
5 Nguyen QA. Allergic Rhinitis. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/8 34281-overview. Article last update
June 1, 2009. September 2009.
6 Cummings CW. Allergic Rhinitis. In: Cummings CW, Flint PW et al editors.
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Elsevier;
2005. p. 351-63
7 Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis alergi. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
H.118 – 22, 128 – 33.
8 Snow,J B.,Ballenger, J J.2003.Allergi Rinitis.IN:Ballenger’s
th
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Edition 9 .Spain:BC Decker;708-
731
9 Lalwani AK, editor. Current diagnosis and treatment: otolaryngology head and
neck surgery. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill; 2004.
10 Mabri RL. Allergic rhinitis. In: Cummings CW, editor. Otolaryngology head
and neck surgery. 3rd ed. New York: Mosby; 1999.p.906-9.
11 Klimek L, Schendzielorz P. Early detection of allergic disease in
otorhinolaryngology. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology. 2008;7:1-
25.
12 Hawke, Michael et all. 2002.Diagnostic Handbook of Otorhinolaryngology.
New York: Material. Hal :91-155
13 Anil K, (2007). Current Diagnosis and Treatment In Otolaryngology: head and
Surgery. C Graw-Hill Medical

Anda mungkin juga menyukai