Oleh :
21360122
Penguji :
Oleh:
21360122
Pembimbing :
Halaman
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Demensia........................................................................................3
2.2. Epidemiologi Demensia...............................................................................4
2.3. Etiologi Demensia........................................................................................5
2.4. Patofisiologi Demensia................................................................................5
2.5 Gejala Klinis Demensia................................................................................6
2.6. Klasifikasi Demensia...................................................................................8
2.7. Pedoman Diagnosis Demensia.....................................................................8
2.8.Penatalaksanaan Demensia...........................................................................9
2.9 Penatalaksanaan Behaviour and Psychological Syndrome of Demensia......11
3.10 Prognosis Behaviour and Psychological Syndrome of Demensia .............13
3.11 Prevensi dan Rehabilitasi Behaviour and Psychological Syndrome of De-
mensia..........................................................................................................13
BAB III PENUTUP
3.1.Kesimpulan...................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
kesehatan jasmani, kejiwaan dan sosial, dan yang menjadi tujuan pengobatan bukan
kualitas hidup seoptimal mungkin (meskipun misalnya terbatas oleh adanya kecacatan
atau disabilitas). Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat secara emosional,
psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan,
perilaku dan coping yang efektif, konsep diri yang positif serta stabilnya emosi
seseorang (Elvira & Hadisukanto, 2017). Psikiatri (psychiatry) atau Ilmu Kedokteran
Jiwa merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari segala hal yang
rehabilitasi, dan pencegahan serta juga dalam hal pembinaan dan peningkatan kesehatan
Demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit atau gangguan otak yang
biasanya bersifat kronik-progresif, dimana terdapat gangguan fungsi luhur kortikal yang
multipel (multiple higher cortical function), termasuk di dalamnya : daya ingat, daya
berbahasa, dan daya nilai (judgment). Umumnya disertai dan ada kalanya diawali
motivasi hidup (Maslim, 2013). Perubahan perilaku dan berbagai aspek psikologis pada
1
orang dengan demensia merupakan problem tersendiri bagi keluarga (Elvira &
Hadisukanto, 2017).
World Alzheimer Report memperkirakan pada tahun 2015 bahwa terdapat 46,8
juta orang hidup dengan demensia di seluruh dunia. Prevalensi demensia pada orang
berusia lanjut ≥60 tahun di Afrika Utara dan Timur Tengah berada di antara 5,75%
hingga 8,67%. Studi menunjukkan prevalensi demensia di DIY (Indonesia) lebih tinggi
(20,1%) dibandingkan dengan negara lain (Suriastini dkk, 2020). Angka untuk BPSD
yang bermakna secara klinis meningkat sampai hampir 80% untuk pasien demensia
yang berada di lingkungan perawatan. Dua penelitian berbasis populasi dari Amerika
Serikat (Lyketsos et al, 2000) dan dari Inggris (Burns et al, 1990), menunjukkan angka
prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD pada orang dengan penyakit
Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi kognitif pada demensia yang semakin memburuk
dari waktu ke waktu, BPSD cenderung berfluktuasi, dengan agitasi psikomotor yang
2
Z
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut PPDGJ III, Demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit atau
fungsi luhur kortikal yang multipel (multiple higher cortical function), termasuk di
dalamnya : daya ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap (comprehension), berhitung,
kemampuan belajar, berbahasa, dan daya nilai (judgment). Umumnya disertai dan ada
yang progresif, yang dapat disebabkan oleh penyakit organik disfus pada hemisfer
Merosotnya fungsi kognitif ini harus cukup berat sehingga mengganggu fungsi sosial
dan pekerjaan individu. Perubahan perilaku dan berbagai aspek psikologis pada orang
dengan demensia merupakan problem tersendiri bagi keluarga (Elvira & Hadisukanto,
2017).
gejala dan perilaku yang mengganggu yang secara negatif mempengaruhi perawatan
pasien dan secara signifikan meningkatkan beban pengasuh dan anggota keluarga.
BPSD juga telah digunakan sebagai istilah nonspesifik yang luas yang mencakup gejala
3
dan perilaku yang dihasilkan dari etiopatologi kompleks terkait dengan perubahan yang
termasuk gejala mood, kecemasan, gejala psikotik (misalnya, halusinasi dan delusi),
“Gejala gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi pada
World Alzheimer Report memperkirakan pada tahun 2015 bahwa terdapat 46,8
juta orang hidup dengan demensia di seluruh dunia. Prevalensi demensia pada orang
berusia lanjut ≥60 tahun di Afrika Utara dan Timur Tengah berada di antara 5,75%
hingga 8,67%. Studi menunjukkan prevalensi demensia di DIY (Indonesia) lebih tinggi
(20,1%) dibandingkan dengan negara lain (Suriastini dkk, 2020). Prevalensi demensia
pada populasi lanjut usia (>65 tahun) berkisar 3-30%. Demensia tipe Alzheimer
dilaporkan bertumbuh 2 kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun, yaitu bila prevalensi
demensia pada usia 65 tahun 3% maka menjadi 6% pada usia 70 tahun, 12% pada 75
tahun dan 24% pada usia 80 tahun. Di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan ada
1.000.000 orang dengan demensia untuk jumlah usia lanjut 20 juta orang (Elvira &
Hadisukanto, 2017).
Angka untuk BPSD yang bermakna secara klinis meningkat sampai hampir 80%
untuk pasien demensia yang berada di lingkungan perawatan. Dua penelitian berbasis
populasi dari Amerika Serikat (Lyketsos et al, 2000) dan dari Inggris (Burns et al,
5
1990), menunjukkan angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD pada
orang dengan penyakit Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi kognitif pada demensia
yang semakin memburuk dari waktu ke waktu, BPSD cenderung berfluktuasi, dengan
agitasi psikomotor yang paling persisten (Khairiah, S & HM. Margono, 2015).
fungsi eksekutif, apraksia dan agnosia (DSM IV). Etiologi demensia adalah semua
penyakit yang menyebabkan disfungsi otak, antara lain penyakit Alzheimer, penyakit
Penyebab demensia yaitu kematian sel-sel saraf atau hilangnya komunikasi antar
sel-sel yang ada di otak. Otak manusia layaknya mesin yang sangat kompleks dan rumit
sehingga banyak faktor kompleks yang mengganggu komunikasi antar sel-sel saraf satu
Perjalanan penyakit demensia yang klasik adalah awitan pada pasien berusia 50-
an atau 60-an tahun. Dengan perburukan bertahap selama 5 sampai 10 tahun yang
akhirnya berujung pada kematian. Usia saat awitan dan kecepatan perburukan bervariasi
di antara tipe demensia dan dalam kategori diagnosis individu. Sekali demensia
didiagnosis, pasien harus menjalanin pemeriksaan medis dan neurologis lengkap karena
6
10 sampai 15 persen pasien demensia memiliki kondisi yang potensial reversibel jika
Perjalanan penyakit demensia yang paling sering diawali dengan sejumlah tanda
samar yang mungkin pada awalnya diacuhkan. Meski gejala fase awal demensia
bersifat samar, gejala tersebut akan menjadi semakin mencurigakan seiring dengan
Teori tau and tangle hypothesis adalah adanya korelasi yang kuat antara
keparahan demensia dan frekuensi banyaknya kekusutan di saraf. Kekusutan ini terjadi
dari banyak protein, tetapi protein utamanya adalah protein tau. Protein tau sangat
penting untuk elongasi akson dan perbaikan akson. Tau adalah fosfoprotein sehingga
dengan enzim glikogen kinase-3 (GSK-3). Pada penderita demensia, protein yang
sangat berkurang, oleh karena itu terbentuknya kekusutan pada saraf (Wicitania, 2016).
1. Gejala awal
7
a. Kinerja mental menurun
b. Mudah lupa
2. Gejala lanjut
a. Gangguan kognitif
b. Gangguan perilaku
3. Gejala umum
a. Mudah lupa
c. Disorientasi
d. Cepat arah
e. Kurang konsentrasi
kepribadian, hendaya dalam keterampilan sosial, berkurangnya minat dan ambisi, afek
yang labil dan dangkal, agitasi, sejumlah keluhan somatis, gejala psikiatrik yang samar,
4. Hendaya intelektual
8
5. Gangguan daya nilai (judgment)
6. Gangguan psikotik
7. Hendaya berbahasa
Demensia terbagi atas 2 dimensi menurut umur dan menurut level kortikal.
Demensia menurut umur terbagi atas, demensia senilis lansia yang berumur > 65 tahun
dan demensia menurut level kortikal terbagi atas, demensia kortikal terjadi karena
subkortikal terjadi gangguan yaitu patis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak
(Khotimah, 2018)
2. Korea Huntington
3. Penyakit Parkinson
4. Lain-lain
1. Demensia Vaskular
9
1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang sampai mengganggu
A. Terapi suportif
- Berikan perawatan fisik yang baik, misalnya nutrisi yang bagus, kacamata, alat bantu
dengar, alat proteksi (untuk anak tangga, kompor, obat-obatan) dan lain-lain.
- Pertahankan pasien berada dalam lingkungan yang sudah dikenalnya dengan baik,
jika memungkinkan. Usahakan pasien dikelilingi oleh teman-teman lama nya dan
benda-benda yang biasa ada didekatnya. Tingkatkan daya pengertian dan partisipasi
anggota keluarga.
(mengingatkan nama hari, jam dsb). Diskusikan berita aktual bersama pasien.
terencana.
- Bantulah untuk memperahankan rasa percaya diri pasien. Rawatlah mereka sebagai
orang dewasa (jangan perlakukan sebagai anak kecil., jaga dignity dari pasien –
10
- Hindari suasana yang remang-remang, terpencil; juga hindari stimulasi yang
berlebihan.
B. Terapi simtomatik
- Ansietas akut, kegelisahan, agresi, agitasi: Haloperidol 0,5 mg per oral 3 kali sehari
- Ansietas non psikotik, agitasi: Diazepam 2 mg peroral dua kali sehari, venlafaxine
- Agitasi kronik: SSRI (misal Fluoxetine 10-20 mg/hari) dan atau Buspiron (15 mg
- Depresi: pertimbangkan SSRI dan antidepresan baru lainnya dahulu; dengan Trisklik
mulai perlahan-lahan dan tingkatkan sampai ada efek- misal desipramin 75-150 mg
peroral sehari.
C. Terapi khusus
- Tidak ada terapi obat khusus untuk demensia yang ditemukan bermanfaat secara
memberikan perbaikan sementara dari beberapa gejala pada pasien dengan penyakit
11
Donepezil (Aricept 5-10 mg, satu kali sehari, malam hari)
Hadisukanto (2017):
hilang
lingkungan dan sumber-sumber dukungan yang ada (fisik maupun finansial), sarana
Pemberian obat untuk gangguan perilaku pada demensia bersifat simtomati, dapat
digunakan beberapa jenis psikotropik dalam dosis kecil. Pemilihan jenis terapi harus
sesuai dengan target terapi berdasarkan hasil pengkajian yang cermat dan menyeluruh.
12
Beberapa meta-analisis studi menyelidiki perawatan farmakologis untuk BPSD
telah dilakukan untuk membantu dokter dalam menggunakan obat berbasis bukti ketika
merawat pasien dengan demensia. Bagian berikut merinci bukti terkini mengenai
(2019)
1. Antidepresan
antidepresan dan efeknya pada agitasi dan gejala psikosis yang hadir dalam
2. Antipsikotik
ketika pasien diberi resep risperidone dan olanzapine. Selain itu, penulis
3. Mood Stabilizers
presentasi BPSD.
13
Dua meta-analisis menunjukkan beberapa kemanjuran mengenai penggunaan
obat penyakit Alzheimer untuk perbaikan BPSD. Satu oleh Trinh et al. (16) melaporkan
dan hasil fungsional, dibandingkan dengan plasebo. Analisis meta lain oleh Maidment et
Prognosis demensia bervariasi tergantung pada penyakit atau kondisi medik yang
prognosis baik, namun untuk jenis penyakit degeneratif yang belum ada obatnya
(penyakit Alzheimer) maka prognosis kurang baik. DTA dapat berlangsung 10-15 tahun
dengan kemunduran yang perlahan tapi pasti menuju akhir hidup (Elvira &
Hadisukanto, 2017).
Beberapa jenis demensia yang mungkin dapat membaik adalah demensia yang
Tidak ada penelitian yang secara khusus meneliti pencegahan BPSD, meskipun
14
dengan Pendekatan Diet untuk Hipertensi Sistolik (DASH) dan pengobatan
fisik meningkatkan fungsi kognitif pada pasien dengan demensia yang ada. Meskipun
depresi dikaitkan dengan peningkatan risiko pengembangan demensia, tidak ada bukti
yang konsisten bahwa mengobatinya mengurangi risiko ini, juga belum ada bukti
berkualitas baik untuk mendukung latihan pelatihan kognitif sebagai strategi untuk
Pencegahan primer saat ini ditujukan pada edukasi agar orang selalu
bukti-bukti penelitian yang kuat. Aktivitas fisik teratur seperti berjalan kaki
pemberian obat yang dapat menahan laju perkembangan demensia. Dalam hal
ini diperlukan keteraturan dan kesinambungan obat dalam jangka waktu lama.
dengan program aktivitas dan simulasi (jangan berlebihan atau di luar batas
15
Rehabilitas kognitif dalam hal ini berarti mengawetkan (preserve) fungsi-fungsi
(aset) kognitif yang masih ada, bukan mengembalikan kepada fungsi semula.
16
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Menurut PPDGJ III, Demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit atau
fungsi luhur kortikal yang multipel (multiple higher cortical function), termasuk di
dalamnya : daya ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap (comprehension), berhitung,
kemampuan belajar, berbahasa, dan daya nilai (judgment). Umumnya disertai dan ada
Perubahan perilaku dan berbagai aspek psikologis pada orang dengan demensia
merupakan problem tersendiri bagi keluarga (Elvira & Hadisukanto, 2017). Gejala
persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan
fungsi eksekutif, apraksia dan agnosia (DSM IV). Etiologi demensia adalah semua
penyakit yang menyebabkan disfungsi otak, antara lain penyakit Alzheimer, penyakit
16
Perjalanan penyakit demensia yang klasik adalah awitan pada pasien berusia 50-
an atau 60-an tahun. Dengan perburukan bertahap selama 5 sampai 10 tahun yang
Teori tau and tangle hypothesis adalah adanya korelasi yang kuat antara
keparahan demensia dan frekuensi banyaknya kekusutan di saraf. Kekusutan ini terjadi
dari banyak protein, tetapi protein utamanya adalah protein tau. Protein tau sangat
penting untuk elongasi akson dan perbaikan akson. Tau adalah fosfoprotein sehingga
dengan enzim glikogen kinase-3 (GSK-3). Pada penderita demensia, protein yang
sangat berkurang, oleh karena itu terbentuknya kekusutan pada saraf (Wicitania, 2016).
Demensia bagi menjadi 2 yaitu Demensia yang tak dapat pulih (irreversible)
(Normal Pressure Hidrocephalus)), Demensia menetap yang diinduksi oleh zat (Elvira
18
Daftar Pustaka
Cloak N & Al Khalili Y. 2020. Gejala Perilaku Dan Psikologis Pada Demensia. StatPearls,
Treasure Island.
Elvira, S. D & Hadisukanto, G. (2017). Buku Ajar Psikiatri (3nd ed.). Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Khairiah, S & HM. Margono. 2015. Aspek Neurobiologi Gejala Perilaku dan Psikologis
Pada Demensia (Behavioral And Psychological Symptoms Of Dementia / BPSD).
UNAIR. Surabaya.
Khotimah, K. 2018. Fungsi Kognitif Lansia Demensia. Journal of Holistic and Traditional
MedicineVol 03 No 01, Agustus2018www.jhtm.or.id.
Maramis, W.F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University
Press
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diangnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan Dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: PT Nur Jaya.
Munawaroh, L.B. 2018. Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Terjadinya Demensia Pada
Lansia. Skripsi.
Sadock, B. J & Sadock , V. A. (2014). Kapla dan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis (ke dua
ed.). jakarta: EGC.
Sopyanti, Y.D, dkk. 2019. Gambaran Status Demensia dan Depresi pada Lansia Wilayah
Kerja Puskesmas Guntur Kelurahan Sukamentri Garut. Jurnal Keperawatan
Komprehensif Vol. 5 No. 1.
Suriastini, N.W dkk. 2020. Prevalence and Risk Factors of Dementia and Caregiver's
Knowledge of the Early Symptoms of Alzheimer's Disease. aging Medicine and
Healthcare.
Wicitania, N. 2016. Faktor Risiko Gizi Terhadap Kejadian Demensia Pada Lanjut Usia di
Panti Werda Elim Semarang. Skripsi.
Young, J.J. 2019. Evidence-Based Pharmacological Management and Treatment of
Behavioral and Psychological Symptoms of Dementia. The American Journal of
Psychiatry Residents’ Journal.
20