Di Susun Oleh :
Nama : NURLINDA, S.Kep
NIM : 20.04.005
STIKES PANAKKUKANG
MAKASSAR
T.A 2021
RHINITIS ALERGI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang ditandai dengan
gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala berikut : bersin, hidung
tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan tenggorokan juga dapat terlibat.
Rinitis alergi merupakan penyebab tersering dari rinitis.
Rinitis alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang
diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin, dan
gatal pada hidung dan mata. Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai
sekitar 10 – 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir.
Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi
40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup,
bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi, rinitis
alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan rinitis alergi
diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Diagnosis
rinitis alergi melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik
khususnya saluran nafas bawah.
BAB II
KONSEP DASAR MEDIS
2. Etiologi
Rinitis Alergi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran
penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi.
Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai
50 %. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh
lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi.
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama
udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur,
serbuk sari, dan lain-lain.
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang
diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
Immediate Phase Allergic Reaction, Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1
jam setelahnya Late Phase Allergic Reaction, Reaksi yang berlangsung pada dua hingga
empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24
jam.
b. Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga
tahap besar :
1. Respon Primer, terjadi eliminasi dan pemakanan antigen, reaksi non spesifik.
2. Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan system
humoral, system selular saja atau bisa membangkitkan kedua system terebut, jika
antigen berhasil dihilangkan maka berhenti pada tahap ini, jika antigen masih ada,
karena defek dari ketiga mekanisme system tersebut maka berlanjut ke respon
tersier.
3. Respon Tersier , Reaksi imunologik yang tidak menguntungkan.
c. Sedangkan klasifikasi yang lebih baru menurut guideline dari ARIA, 2001
(AllergicRhinitis and its Impact on Asthma) disdasarkan pada waktu terjadinya
gejala dan keparahannya adalah:
Rinitis Nonalergi
1. Rinitis vasomotor
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi berbagai hal :
a) Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti:
ergotamin, klorpromazin, obat antihipertensi, dan obat vasokontriktor lokal.
b) Faktor fisik, seperti iritasi asap rokok, udara dingin, kelembapan udara yang
tinggi, dan bau yang merangsang
c) Faktor endokrin, seperti : kehamilan, pubertas, dan hipotiroidisme
d) Faktor psikis, seperti : cemas dan tegang ( kapita selekta)
2. Rinitis Medikamentosa
Rinitis Medikamentosa merupakan akibat pemakaian vasokonstriktor topical
(obat tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan hal ini
disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (Drug Abuse).
3. Rinitis Atrofi
Belum jelas, beberapa hal yang dianggap sebagai penyebabnya seperti infeksi
oleh kuman spesifik, yaitu spesies Klebsiella, yang sering Klebsiella
ozanae, kemudian stafilokok, sreptokok, Pseudomonas aeruginosa, defisiensi Fe,
defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal, dan penyakit
kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi.
4. Patofisiologi
Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan antigen hewan di endapkan pada mukosa
hidung. Alergen yang larut dalam air berdifusi ke dalam epitel, dan pada individu
individu yang kecenderungan atopik secara genetik, memulai produksi imunoglobulin
lokal (Ig ) E. Pelepasan mediator sel mast yang baru, dan selanjutnya, penarikan neutrofil,
eosinofil, basofil, serta limfosit bertanggung jawab atas terjadinya reaksi awal dan reaksi
fase lambat terhadap alergen hirupan. Reaksi ini menghasilkan mukus, edema, radang,
gatal, dan vasodilatasi. Peradangan yang lambat dapat turut serta menyebabkan
hiperresponsivitas hidung terhadap rangsangan nonspesifik suatu pengaruh persiapan.
(Behrman, 2000).
5. Manifestasi Klinis
1) Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya
bersin lebih dari 6 kali).
2) Berdasarkan gejala yang menonjol, dibedakan atas golongan yang obstruksi dan
rinorea. Pemeriksaan rinoskopi anterior menunjukkan gambaran klasik berupa edema
mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, dapat pula pucat.
Permukaanya dapat licin atau berbenjol. Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid,
biasanya sedikit, namun pada golongan rinorea, sekret yang ditemukan biasanya
serosa dan dalam jumlah banyak.
3) Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi
biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau
kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4) Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
5) Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
6) Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.
7) Keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau
(sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus kental hijau, krusta hijau,
gangguan penciuman, sakit kepala, dan hidung tersumbat.
8) Pada penderita THT ditemukan ronnga hidung sangat lapang, kinka inferiordan
media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau.
7. Evaluasi Diagnosis
7.1 Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila
terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC
dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. 1
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali
gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan
hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan
oleh pasien.1Gejala klinis lainnya dapat berupa ‘popping of the ears’, berdeham, dan
batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.4
7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas
tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala ini disebut allergic shiner.1
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena
gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.
Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagaiallergic
crease.1
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding
lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 1
7.3 Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test). 1
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,
tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.1
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. 1
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi
(³Challenge Test´).1
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai
suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 1
8. Penatalaksanaan
Hindari kontak & eliminasi, Keduanya merupakan terapi paling ideal. Hindari kontak
dengan alergen penyebab, sedangkan eliminasi untuk alergen ingestan (alergi makanan).
Simptomatik : Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, dekongestan dan kortikosteroid.
a. Antihistamin
Antihistamin yang sering digunakan adalah antihistamin oral. Antihistamin oral
dibagi menjadi dua yaitu generasi pertama (nonselektif) dikenal juga sebagai
antihistamin sedatif serta generasi kedua (selektif) dikenal juga sebagai antihistamin
nonsedatif.
Efek sedative antihistamin sangat cocok digunakan untuk pasien yang mengalami
gangguan tidur karena rhinitis alergi yang dideritanya. Selain itu efek samping yang
biasa ditimbulkan oleh obat golongan antihistamin adalah efek antikolinergik seperti
mulut kering, susah buang air kecil dan konstipasi. Penggunaan obat ini perlu
diperhatikan untuk pasien yang mengalami kenaikan tekanan intraokuler,
hipertiroidisme, dan penyakit kardiovaskular.
Antihistamin sangat efektif bila digunakan 1 sampai 2 jam sebelum terpapar
allergen. Penggunaan antihistamin harus selalu diperhatikan terutama mengenai efek
sampingnya. Antihistamin generasi kedua memang memberikan efek sedative yang
sangat kecil namun secara ekonomi lebih mahal.
b. Dekongestan
Dekongestan topical dan sistemik merupakan simpatomimetik agen yang beraksi
pada reseptor adrenergic pada mukosa nasal, memproduksi vasokonstriksi. Topikal
dekongestan biasanya digunakan melalui sediaan tetes atau spray. Penggunaan
dekongestan jenis ini hanya sedikit atau sama sekali tidak diabsorbsi secara sistemik
(Dipiro, 2005). Penggunaan obat ini dalam jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan rhinitis medikamentosa (rhinitis karena penggunaan obat-obatan).
Selain itu efek samping yang dapat ditimbulkan topical dekongestan antara lain rasa
terbakar, bersin, dan kering pada mukosa hidung. Untuk itu penggunaan obat ini
memerlukan konseling bagi pasien.
Sistemik dekongestan onsetnya tidak secepat dekongestan topical. Namun
durasinya biasanya bisa lebih panjang. Agen yang biasa digunakan adalah
pseudoefedrin. Pseudoefedrin dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat
walaupun digunakan pada dosis terapinya (Dipiro, 2005). Obat ini harus hati-hati
digunakan untuk pasien-pasien tertentu seperti penderita hipertensi. Saat ini telah ada
produk kombinasi antara antihistamin dan dekongestan. Kombinasi ini rasional karena
mekanismenya berbeda.
c. Nasal Steroid
Merupakan obat pilihan untuk rhinitis tipe perennial, dan dapat digunakan untuk
rhinitis seasonal. Nasal steroid diketahui memiliki efek samping yang sedikit.
Obat yang biasa digunakan lainnya antara lain sodium kromolin, dan ipatropium
bromida.
Operatif : Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang
mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi
inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
Imunoterapi : Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang
gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.
Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi ingestan.
9. Komplikasi
Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip
hidung.
Otitis media. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media yang sering residif dan
terutama kita temukan pada pasien anak-anak.
Sinusitis kronik
Otitis media dan sinusitis kronik bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi
melainkan adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase.
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Identitas
Nama
jenis kelamin
umur
bangsa
b. Keluhan utama
1. Bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan hidung
gatal Riwayat peyakit dahulu
2. Pernahkan pasien menderita penyakit THT sebelumnya.
c. Riwayat keluarga
Apakah keluarga adanya yang menderita penyakit yang di alami pasien.
d. Pemeriksaan fisik :
- Inspeksi : permukaan hidung terdapat sekret mukoid
- Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi
e. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan sitologi hidung
Hitung eosinofil pada darah tepi
Uji kulit allergen penyebab
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi /adnya secret yang
mengental.
2. Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
tindakan medis
3. Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung
4. Gangguan konsep diri berhubungan dengan rhinore
C. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi /adnya secret yang
mengental.
Tujuan : Jalan nafas efektif setelah secret dikeluarkan
Kriteria :
1. Klien tidak bernafas lagi melalui mulut
2. Jalan nafas kembali normal terutama hidung
Intervensi Rasional
a. Kaji penumpukan secret yang a. Mengetahui tingkat keparahan dan
ada tindakan selanjutnya
b. Observasi tanda-tanda vital. b. Mengetahui perkembangan klien
sebelum dilakukan operasi
c. Kolaborasi dengan team c. Kerjasama untuk menghilangkan
medis obat yang dikonsumsi
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan klien 1. Menentukan tindakan selanjutnya
2. Berikan kenyamanan dan 2. Memudahkan penerimaan klien terhadap
ketentaman pada klien : informasi yang diberikan
- Temani klien
- Perlihatkan rasa empati( datang
dengan menyentuh klien )
3. Berikan penjelasan pada klien 3. Meningkatkan pemahaman klien tentang
tentang penyakit yang dideritanya penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut
perlahan, tenang seta gunakan sehingga klien lebih kooperatif
kalimat yang jelas, singkat mudah
dimengerti
4. Singkirkan stimulasi yang 4. Dengan menghilangkan stimulus yang
berlebihan misalnya : mencemaskan akan meningkatkan
- Tempatkan klien diruangan yang ketenangan klien.
lebih tenang
- Batasi kontak dengan orang lain
/klien lain yang kemungkinan
mengalami kecemasan
5. Observasi tanda-tanda vital. 5. Mengetahui perkembangan klien secara
dini.
6. Bila perlu , kolaborasi dengan tim 6. Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan
medis klien
Intervensi Rasional
a. Dorong individu untuk bertanya a. Memberikan minat dan perhatian,
mengenai masalah, penanganan, memberikan kesempatan untuk
perkembangan dan prognosis memperbaiakikesalahan konsep.
kesehatan
b. ajarkan individu menegenai b. Pendekatan secara komperhensif dapat
sumber komunitas yang membantu memenuhi kebutuhan
tersedia, jika dibutuhkan pasienuntuk memelihara tingkah laku
(misalnya : pusat kesehatan koping.
mental)
c. dorong individu untuk c. Dapat membantu meningkatkan tingkat
mengekspresikan perasaannya, kepercayaan diri, memperbaiki harga
khususnya bagaimana individu diri, mrnurunkan pikiran terus menerus
merasakan, memikirkan, atau terhadap perubahan dan meningkatkan
memandang dirinya perasaan terhadap pengendalian diri.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung.
(Dipiro, 2005).Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 )
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
Alergen Inhalan,Alergen Ingestan,Alergen Injektan,Alergen Kontaktan,
Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap
besar :
Respon Primer,Respon Sekunder,Respon Tersier
Penatalaksanaannya :
Hindari kontak & eliminasi, Keduanya merupakan terapi paling ideal. Hindari kontak
dengan alergen penyebab, sedangkan eliminasi untuk alergen ingestan (alergi
makanan). Simptomatik : Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, dekongestan dan
kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, arif dkk. 1993. Kapita Selekta Kedokteran Jilid.1 Edisi 3. jakarta : Media
Aesculapius.
Price, silvya A. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4. Jakarta :
EGC