Anda di halaman 1dari 14

Pengenalan dan Penanganan Rhinitis Alergi

Michael Leaniel
102016115
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510, Indonesia
michael.2016fk115@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Rinitis merupakan penyakit radang hidung yang dapat dibagi dalam dua kategori umum yaitu
purulen dan non purulen. Rinitis purulen dapat berupa rinitis akut yang disebabkan oleh infeksi
virus, rinosinusitis purulen kronis, polip hidung yang terinfeksi, rinitis purulen dan rinitis alergi
musiman, rinitis alergi prenial, dan rinitis non alergi atau rinitis vasomotor.Alergi adalah suatu
manifestasi klinis sebagai reaksi imun tubuh saat terpapar dengan suatu benda asing seperti
serbuk sari, debu, bulu binatang, makanan, atau gigitan serangga. Rinitis alergi adalah suatu
inflamasi pada membran hidung yang disebabkan oleh reaksi yang diperantarai oleh IgE sebagai
reaksi terhadap alergen. Untuk menegakkan diagnosis, anamnesis sangat penting. Rinitis alergi
biasanya mulai timbul pada masa kanak-kanak dan ditandai dengan gejala obstruksi hidung,
sering bersin, gatal hidung dan rinore. Di samping itu, membuktikan adanya zat anti-IgE
spesifik, sedapat mungkin bisa kuantitatif, juga penting. Hal tersebut dapat dilakukan dengan tes
kulit dan RAST (radio allergosorbent test).

Kata kunci: Rhinitis, alergi, bersin

Abstract
Rhinitis is an inflammation of the nose that can be divided into two general categories namely
purulent and non purulent. Purulent rhinitis can be acute rhinitis caused by viral infection,
chronic purulent rhinosinusitis, infected nasal polyps, purulent rhinitis and seasonal allergic
rhinitis, prenial allergic rhinitis, and non allergic rhinitis or vasomotor rhinitis.
Allergies are a clinical manifestation as a body's immune reaction when exposed to a foreign
body such as pollen, dust, animal dander, food, or insect bites. Allergic rhinitis is an
inflammation of the nasal membrane caused by a reaction mediated by IgE as a reaction to
allergens.
To make a diagnosis, history is very important. Allergic rhinitis usually starts in childhood and
is characterized by symptoms of nasal obstruction, frequent sneezing, nasal itching and
rhinorrhea. In addition, proving the presence of specific anti-IgE substances, as far as possible
can be quantitative, is also important. This can be done with skin tests and RAST (radio
allergosorbent test).
Keywords: Rhinitis, allergies, sneezing
Pendahuluan

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE. 1

Pemeriksaan Fisik bagian hidung

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melakukan inspeksi pada permukaan anterior dan
inferior hidung. Biasanya penekanan lembut pada ujung depan hidung pasien dengan jari tangan.
Dengan cara itu maka akan memperlebar nostril (lubang hidung) dan melihat dengan bantuan
otoskop. Jika ujung hidung terasa nyeri biasanya ada infeksi lokal (furunkel). Deviasi septum
juga harus diperhatikan. 1

Tes obstruksi nasal: dengan menekan kedua cuping hidung secara bergantian kemudian
minta pasien untuk menarik napas. 1,2

Inspeksi bagian dalam hidung dengan otoskop: untuk melihat konka inferior dan media,
septum nasi, dan saluran hidung. 1

Yang harus diperhatikan pada pemeriksaan fisik ini adalah:

1. Mukosa hidung
 warnanya, apakah ada pembengkakan atau eksudat, apabila ada eksudat lihat karakternya:
jernih, mukopurulen, atau purulen. Normalnya mukosa hidung sedikit lebih merah daripada
mukosa mulut.
 pada rinitis virus: mukosa hidung tampak merah dan bengkak dengan eksudat
jernih,encer.
 pada rinitis bakteri : mukosa hidung tampak merah dan bengkak dengan eksudat
mukopurulen/purulen.
 pada rinitis alergi : mukosa bengkak, terlihat pucat, kebiruan/merah (seasonal), inflamasi
permanen mukosa (perenial).
2. Septum nasi apakah ada deviasi, inflamasi atau perforasi (pemakaian kokain/amfetamin
intranasal). Bagian anterior bawah septum nasi yang dapat dijangkau tangan merupakan
daerah yang sering menjadi sumber epistaksis.
3. Mengecek adanya polip atau ulkus. 1-3

Palpasi

Palpasi dilakukan pada sinus paranasal (frontalis, maksilaris, ethmoidalis) apakah adanya nyeri
tekan lokal yang terjadi bersama gejala lain seperti demam dan pilek yang dapat menunjukan
adanya sinusitis akut.2

Pemeriksaan penunjang

In vitro:

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE
total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun
tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri. 1

In vivo:

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang vertingkat
kepekaannya. Keuntungan SET, selain allergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui. 1
Working Diagnosis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.5
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:5
1. Rinitis Alergi musiman(Seasonal, Hay Fever, Polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:5
1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Gambar 2. Klasifikasi Rinitis Alergika menudur ARIA2


Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang menganggu.
2. Sedang atau berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.
Differential Diagnosis
1. Rinitis vasomotor

Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa hidung
yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. 4

 Etiologi

Belum diketahui, diduga akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan vasomotor


ini dipengaruhi berbagai hal:

 Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamine,
klorpromazin, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor local.
 Factor fisik, seperti iritasi asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, dan
bau yang merangsang.
 Factor endokrin, seperti kehamilan, puberitas, dan hipotiroidisme.
 Factor psikis, seperti cemas, tegang. 4

 Manifestasi klinik

Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Terdapat
rinorea yang mucus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin, dan tidak disertai
gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya. 4

Berdasarkan gejala yang menonjol, dibedakan atas golongan obstruksi dan rinorea. 4

Pemeriksaan rinoskopi anterior menunjukkan gambaran klasik berupa edema mukosa


hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, dapat pula pucat. Permukaannya dapat licin
atau berbenjol. Pada rongga hidung terdapat secret mukoid, biasanya sedikit.namun pada
golongan rinorea, secret yang ditemukan biasanya serosa dan dalam jumlah banyak. 4

2. Rhinitis akut
Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia. Sering
disebut juga sebagai selesma, common cold, flu. 1

Penyebabnya ialah beberapa jenis virus dan yang paling penting ialah rhinovirus. Virus-virus
lainnya adalah myxovirus, virus coxsackie dan virus ECHO. 1

Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan,
atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit menahun dan lain-
lain). 1

Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering dan
gatal di hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat dan ingus encer,
yang biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala. Mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Bila terjadi infeksi sekunder bakteri, ingus menjadi mukopurulen. 1

Tidak ada terapi spesifik untuk rinitis simplek, selain istirahat dan pemberian obat-obat
simtomatis, seperti analgetik, antipiretik dan obat dekongestan. 1

Antibiotik hanya diberikan bila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri. 1

Etiologi
Rinitis alergi adalah suatu kondisi klinis yang ditandai dengan peningkatan imunitas
humoral yang dimediasi oleh IgE (hipersensitivitas tipe I) dan terjadi sebagai respons terhadap
antigen lingkungan yang mengakibatkan inflamasi saluran napas atas.7 Rinitis alergi diduga
melibatkan antibodi reaginik, basofil, sel mast, dan pelepasan zat mediator seperti histamin,
prostaglandin dan leukotrien, yang pada gilirannya bekerja pada saluran hidung dan
menimbulkan manifestasi klinis. Mekanisme imunologis lain mungkin terlibat dalam
menimbulkan reaksi peradangan dalam hidung.6
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif
terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko
untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan
faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu identifikasi untuk
terpaparnya serbuk sari.8
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang,
perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.
Berdasarkan cara masuknya, alergen terbagi menjadi:
 Alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan, misalkan debu rumah, misalnya
tungau debu rumah (D. Pteronyssinus, D. Farinae, B. Tropicalis), kecoa, serpihan epitel
kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergilus
Alternia).
 Alergen ingestan yang masuk lewat makanan, misalnya susu, telur, ikan laut, udang,
kepiting, telur, kacang-kacangan dan lain-lain.
 Alergen injektan yang masuk lewat suntikan atau tusukan, misalnya penisilin, gigitan
serangga (sengatan lebah).
 Alergen kontaktan yang masuk lewat kulit, misalkan obat kosmetik atau salep.

Epidemiologi
Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di seluruh dunia,
sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat sehingga
berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan
biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini
sekitar 5,3 miliar dolar amerika pertahun.6
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis alergi atau sekitar
20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi sekitar 15% pada laki-laki dan 14%
pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik,
tipe dan potensi alergen.6
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung
perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi. Dalam hubungannya
dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak-kanak maka laki-laki lebih
tinggi daripada wanita namun pada masa dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita.
Dilihat dari segi onset rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa
muda. Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-laki terjadi
antara onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada semua umur.6

Patofisiologi

1. Sensitisasi
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses sensitisasi
terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen akan tertumpuk di mukosa
hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini menyebabkan sel Antigen
Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel tersebut. Kemudian antigen
tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatu kompleks molekul MHC
(Major Histocompability Complex) kelas II. Kompleks molekul ini akan dipresentasikan
terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC
menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9,IL10,
IL13 dan lainnya. 1
IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel B
menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan terikat dengan
sel mast dan basofil yang mana kedua sel ini merupakan sel mediator. Adanya IgE yang terikat
ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut. 1

2. Reaksi Alergi Fase Cepat


Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan
allergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin, tiptase
dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin. Mediator-mediator
tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis
arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema, berkumpulnya darah pada
kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran
hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris
(vidianus) menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. 1
3. Reaksi Alergi Fase Lambat
Reaksi alergi fase lambat terjadi setelah 4 – 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini
disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel
postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) dimana
molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofi menempel pada sel. 1
endotel.Faktor kemotaktik seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast,
limfosit,basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi
teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP),Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan
EosinophilicPeroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsif
hidung.Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung. 1

Manifestasi Klinik5-6
Rhinitia alergika secara khas digambarkan dengan gejala-gejala kongesti atau sumbatan
hidung, bersin, mata berair, dan gatal, dan postnatal drip.
Gejala alergi hidung berbeda dengan rhinitis infeksiosa. Respons alergi biasanya ditandai
oleh bersin, kongesti hidung, dan rinore yang encer dan banyak. Tidak ada demam dan secret
biasanya tidak mengental ataupun menjadi purulen seperti yang terjadi pada rhinitis infeksiosa.
Awitan gejala timbiul cepat setelah paparan allergen, dapat berupa mata atau palatum yang gatal
berair. Biasanya dapat terungkap suatu pola musiman atau kaitan dengan bulu binatang, debu,
asap atau inhalan lain. Gejala penyerta seeperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen,
atau insomnia dapat juga member kesan suatu allergen yang ditelan, serta membedakan pasien-
pasien ini dari penderita rhinitis virus. Perbedaan penting lainnya adalah rhinitis alergika umunya
berlangsung lebih lama dari rhinitis virus. Pada pasien dengan diathesis alergika, sering kali
terdapat riwayat alergi atau asma dalam keluarga. Seperti pada rhinitis virus, maka sinusitis
bakterialis akut juga dapat timbul sekunder akibat sumbatan ostia dan pengumpulan secret.
Gejala lain adalah keluar ingus(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan
oleh pasien.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata
yang terjadi karena stais vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic
shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak mengosok-gosok hidung, karena gatal. Keadaan
ini desebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut
allergic crease.

Penatalaksanaan5
Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk mencegah
kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga degranulasi sel mastosit
tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari. Namun, dalam praktek adalah sangat sulit
mencegah kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk
mengetahui pentingnya peranan penghindaran alergen.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau menetralisasi kinerja
molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis dan atau mencegah
pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan. Obat-obat yang digunakan
untuk rinitis pada umumnya diberikan intranasal atau oral.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling
sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Antihistamin diabsorbsi secara
oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat
seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase
lambat.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau topikal. Namun
pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rinitis alergi medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat
tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah
sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit.
Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas
inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk
rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.
Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya pada
penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.
c. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi subkutan masih
menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan
penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran
masa dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai
20 g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus
dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan antihistamin H1 dan
farmakoterapi
- Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.
Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik oral
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih besar dari pada
yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak direkomendasikan untuk
melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5 tahun.
d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti
pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-sama mampu menekan
reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat
berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam
sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA sehingga
tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-
inflammatory.
e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terajadi pada peningkatan populasi
limfosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme
imunopsikoneurologis.
f. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa penderita yang
sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah:5
1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.

Pencegahan

Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:

1. Pencegahan primer
Untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap alergen, tindakan pertama
adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai resiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet
restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester ketiga dan selama menyusui, dan
bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk
mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.
2. Pencegahan sekunder
Untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan pilek alergi yang sudah
tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang
dilakukan dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat
diketahui dengan uji kulit.
3. Pencegahan tersier
Untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi dengan penghindaran
alergen dan pengobatan. 7

Prognosis
Prognosis dan perjalanan alamiah dari rinitis alergika sulit dipastikan. Ada kesan klinis
bahwa gejala-gejala rinitis alergika berkurang dengan bertanbahnya usia. Seseorang yang
mendapat rinitis alergi saat anak-anak, tidak menunjukkan gejala pada dewasa. Seseorang yang
mengalami alergi setelah usia 20 tahun, akan berlanjut sampai usia 40 tahun.
Gejala rinitis alergi dapat diobati, tetapi gejala tersebut akan muncul setiap kali pasien
terpapar alergen. Meskipun alergi rinitis bukan kondisi yang serius, tetapi dapat mengganggu
kualitas kehidupan pasien dalam beraktivitas sehari-hari, tergantung pada seberapa parah gejala
yang muncul.

Kesimpulan
Rinitis alergika merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tubuh terhadap suatu allergen. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Dan dalam mendiagnosa rinitis alergika, akan
ditemukan gejala bersin-bersin, rinorea, rasa gatal pada hidung, dan terseumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E. Pentalaksanaan yang paling penting pada
rinitis alergika adalah dengan cara menghindari tubuh dari paparan alergen. Prognosis pada
umumnya ditentukan dari baik tidaknya seseorang dalam menghindari alergen. Pada umumnya
baik, dan dapat dikontrol .

Daftar pustaka

1. Soepardi EA, Iskandar HN. Buku ajar ilmu kesehatan telingan hidung teggorok kepala
leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012.hal 3, 4, 128-133, 135-37, 140.
2. Lynn SB, Peter GS. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. 8 th ed.
Jakarta: EGC; 2009.hal 142-3.
3. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan BATES. 8 th ed. Jakarta:
ECG; 2009.hal162-3.
4. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Jilid 1.
Jakarta: FKUI; 2011. Hal 99-100, 106-07
5. Sarvis KJ, Hornecker JR. Advancements in the management of allergic rhinitis. Diunduh
dari : http://www.uspharmacist.com/content/d/featured%20articles/c/1945 pada tanggal: 26
Maret 2020
6. Probst R, Grevers G, Iro H. Basis otorhinolaryngolory a step-by-step learning guide. New
York: Georg Thieme Verlag Stuttgart; 20013.hal 49-53.
7. McPhee SJ, Papadakis MA. Lange 2010 current medical diagnosis & treatment. 49 th ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2010.hal 196-7.

Anda mungkin juga menyukai