Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

RHINITIS ALERGI

Abdur Rahman
22101088

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS dr. SOEBANDI JEMBER
2022/2023
Masukan Pembimbing TDD Pembimbing
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa :
Kasus Laporan Pendahuluan :
Ruang Praktik :
Lahan praktik :

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(……………………………….) (……...………………………….)

NIK/NIDN NIK/NIDN
1.1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang sering
ditemukan di seluruh dunia. Secara klinis rinitis alergi dapat didefinisikan sebagai
reaksi hipersensitifitas pada hidung yang diinduksi respon inflamasi yang
dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE) setelah terpapar oleh alergen. Gejala-
gejala klasik pada rinitis alergi adalah hidung gatal, bersin-bersin, rinore, dan
hidung tersumbat. Gejala lain yang juga sering terjadi adalah mata merah berair,
dan batuk, rinitis Alergi umumnya lebih sering menyerang kelompok usia anak-
anak dan dewasa khususnya dewasa muda (Passali et al., 2018).

Renitis alergi merupakan penyakit simtomatis pada hidung akibat proses


inflamasi pada mukosa hidung yang diperantarai IgE setelah terpajan alergen.
Rinitis alergi ditandai dengan bersin berulang, hidung tersumbat, hidung gatal,
dan hidung berair, gejala lain yang berhubungan dengan rinitis alergi antara lain
lelah, konsentrasi terganggu, dan produktivitas berkurang (Brozek JL 2017).

1.2. Etiologi
a. Inhalan: masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, virus,serbuk sari, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
b. Ingestan: masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang
c. Injektan: masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah
d. Kontaktan: masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik atau perhiasan
1.3. Klasifikasi
1. Berdasarkan sifat berlangsungnya:
a. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis). Hanya ada di
Negara yang memiliki 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepung sari dan spora jamur.
b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala keduanya hampir
sama, hanya tempat berlangsungnya saja yang berbeda.
2. Berdasakan waktu berlangsungnya:
a. Rhinitis intermitten: (gejala <4 hari dan lamanya <4 minggu 2)
b. Rhinitis persisten: gejala >4 hari dan berlangsungnya >4 minggu
3. Berdasarkan berat gejala berlangsungnya:
a. Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan sebagai berikut (tidur
normal, tidak menggangu aktifitas)
b. Berat – sedang (tidur terganggu, aktifitas terganggu).
1.4. Menifestasi Klinis
a. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
b. Hidung tersumbat
c. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi
biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau
kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi
sinus.
d. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
e. Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
f. Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-
ulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
debu. Sebenarnya bersin adalah mekanisme normal dari hidung untuk
membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari
lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala
rhinitis alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak. Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan
keluarnya air mata
1.5. Patofisiologis
1.6. Patway
1.7. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes kulit “prick test”, prosedurnya yaitu akan menaruh sejumlah kecil cairan
alergen tertentu ke kulit untuk melihat apakah cairan tersebut menimbulkan
reaksi pada pasien.
b. Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit
goresan, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung Eosinofil.
sekret hidung positif bila ≥25% dan eosinofil darah positif ≥400/mm3.
Bila diperlukan dapat diperiksa:
1) IgE total serum (RIST & PRIST) positif bila >200 IU
2) IgE spesifik (RAST)
3) X-foto Water, bila dicurigai adanya komplikasi sinusitis
c. Pemeriksaan nasoendoskopi
d. Pemeriksaan sitologi hidung
1.8. Diagnosa banding
a. Rhinitis lain: Rhinitis vasomotor, rhinitis nonalergi, rhinitis gustatory, rhinitis
medikamentosa, rhinitis anatomi.
b. Penyakit hidung lain: Diskinesia silier, polip hidung, sinusitis akut
1.9. Komplikasi
1. Asma alergik
2. Obstruksi nasal kronik
3. Otitis kronik dengan gangguan pendengaran
4. Anosmia (gangguan kemampuan membau)
1.10.Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untuk meringankan gejala. Farmakoterapi atau
imunoterapi (Husni et al,. 2018):
a. Terapi penghindaran (menghindari alergen)
Setiap upaya harus dilakukan untuk menghilangkan alergen yang
bekerja sebagai faktor pemicu. Tindakan sederhana dan kontrol lingkungan
sering efektif untuk mengurangi gejala.
b. Medikamentosa
1. Antihistamin
Merupakan kelompok utama obat yang diprogramkan untuk
mengatasi gejala rinitis alergik. Efek samping yang utama dari kelompok
obat ini adalah sedasi. Efek samping tambahan mencakup
keadaan gelisah, tremor, vertigo, mulut yang kering, palpitasi, anoreksia,
mual dan vomitus. Contoh kelompok kimia preparat antihistamin H1
berefek sedasi: difenildramin, hidroksizin, CTM, tripelenamina,
prometazin. Contoh kelompok kimia preparat antihistamin H1 tidak
berefek sedasi: Hismanal, Claritin, seldane.
2. Preparat adrenergic
Merupakan vasokontriksi pembuluh darah mukosa dan dapat
diberikan secara topical (nasal serta oftalmika) disamping peroral.
Pemberian topical (tetesan dan semprotan) menyebabkan efek samping
yang lebih sedikit dibandingkan peroral.
3. Natrium kromolin intranasal
Merupakan semprotan yang bekerja dengan cara menstabilkan
membrane sel mast dan menghambat pelepasan histamine serta mediator
lainnya dalam respons alergi.
4. Kortikosteroid

Merupakan indikasi untuk kasus alergi yang berat dan persisiten.


Dapat diberikan sistemik atau intranasal untuk kortikosteroid
yang diabsopsi buruk seperti beklometason atau flunisolid.

c. Imunoterapi
Merupakan indikasi hanya jika hipersensivitas Ig E terlihat pada
allergen inhalan yang spesifik yang tidak dapat dihindari oleh pasien (debu
rumah, serbuk sari). Tujuan imunoterapi mencakup: penurunan kadar
IgE dalam darah, peningkatan tingkat penghambatan antibody Ig G
dan pengurangan sensitivitas sel mediator
1.11. Pengkajian keperawatan
Pengkajian primer

1. Airway: engkajian mengenai kepatenan jalan. Kaji adanya obstruksi pada


jalan napas karena dahak, lendir pada hidung, atau yang lain.
2. Breathing: Kaji adanya dispneu, kaji pola pernapasan yang tidak teratur,
kedalaman napas, frekuensi pernapasan, ekspansi paru, pengembangan
dada.
3. Circulation: Meliputi pengkajian volume darah dan kardiac output serta
perdarahan. Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, warna kulit,
nadi, dan adanya perdarahan.
4. Disability: Yang dinilai adalah tingkat kesadran serta ukutan dan reaksi
pupil.
5. Exposure/ kontrol lingkungan: Penderita harus dibuka seluruh
pakaiannya.
6. Identitas klien
7. Clinical history

8. Keluhan utama

Klien dengan penyakit CVA biasanya mengeluhkan kelemahan


anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
serta penurunan tingkat kesadaran.
9. Riwayat penyakit sekarang

Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat


mendada pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi
nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar selain
gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang
lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dalam
hal perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat letargi, tidak
responsif, serta koma
10. Riwayat penyakit dahulu

Kaji penyakit kesehatan terdahulu Klien yang dapat berhubungan


dengan timbulnya penyakit CVA yang diderita. Ada riwayat
hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat- obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif serta kegemukan.
11. Riwayat keluarga

Kaji riwayat penyakit keluarga apakah ada keluarga yang memiliki


penyakit hipertensi, diabetes melitus atau adanya riwayat strokePola
fungsional

Pola persepsi terhadap kesehatan dan penyakit

Kaji persepsi kesehatan klien untuk mengetahui defisit pengetahuan


terhadap penyakit stroke.
Pola nutrisi – metabolisme

Identifikasi berapa kali dalam sehari pasien makan, sebelum dirawat di


rumah sakit dan saat dirawat di rumah sakit. Jenis makanan yang
dimakan beberapa hari sebelum dirawat. Hal ini untuk megidentifikasi
penyebab stroke akibat diabetes dan hipertensi
12. Pola eliminasi

Identifikasi frekuensi klien dalam berkemih dan defekasi. Hitung kira-


kira jumlah pengeluaran cairan.
13. Pola istirahat dan tidur

Identifikasi frekuensi tidur pasien sebelum dan sesudah dirawat di RS.


Tanyakan kualitas tidur pasien, kondisi yang mendukung dan
mengganggu pasien untuk tidur. Pasien stroke dapat
mengalagangguan tidur akibat dispneu
Pemeriksaan fisik dan penunjang

14. Keadaan umum

Umumnya mengalami penurunan kesadaran. Suara bicara kadang


mengalami gangguan yakni sukar dimengeri, kadang tidak bisa bicara
15. Tanda-tanda vital

Tekanan darah klien mengalami peningkatan tekanan darah atau


hipertensi, denyut nadi kuat dan cepat.
16. Pengkajian head to toe
a. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut dan kulit untuk mengidentifiksi
adanya trauma kepala. Periksa bagian leher untuk mengidentifikasi
adanya goiter, bruit pada arteri karotis. Kaji kondisi mulut dan gigi.
Penglihatan kabur.
b. Sistem integument
Kaji turgor kulit, adanya striae pada abdomen, fibroma mukosal.
c. Sistem pernafasan
Kaji frekuensi napas, pola napas tidak teratur.
d. Sistem kardiovaskuler
Pulsasi kuat, hipertensi, aritmia, gallops, murmur interskapular.
e. Sistem urinary.
f. Sistem musculoskeletal
Penyebaran lemak, kelemahan, adanya gait abnormal, nyeri,
paresis.
g. Sistem neurologi
Kaji respon sensoris dan motorik, parasthesia, letargi, mengantuk,
reflek lambat.
h. Pemeriksaan saraf pusat

a. Pemeriksaan nervus olfaktorius (N I)

Mengkaji daya penciuman, adanya kelainan rongga hidung pada


dua rongga hidung dengan menggunakan bau-bauan yang tidak
iritan dan cepat menguap.
b. Pemeriksaan optikus (N II)

Mengkaji daya pengelihatan, dan lapang pandang. Pada umumnya


pasien stroke mengalami hemianopsia.
c. Pemeriksaan nervi okularis (N III, IV, V)
a. Pemeriksaan nervus fasialis (N VII)

Mengkaji dan mengamati kesimetrisan muka pasien dengan cara


menggerakan muka. Selain itu, pengkajian fungsi pengecapan
dengan meletakan gula, garam, atau sesuatu yang pahit pada bagian
kanan dan kiri lidah.
b. Pemeriksaan nervus akustikus (N VIII)

Mengkaji fungsi pendengaran dan vestibular (keseimbagan). Dapat


dilakukan pemeriksaan weber, rinne, dan swabach untuk
memeriksa fungsi pendengaran. Pemeriksaan tes kalori (telinga kiri
dimasukan air dingin akan muncul nistagmus kanan, dan telinga
kanan dimasukan air hangat akan muncul nistagmus kanan), serta
past pointing test (menyentuh jari pemeriksa) dapat dilakukan
untuk mengkaji fungsi keseimbangan.
c. Pemeriksaan nervus glosofaringeus (N IX)

Mengkaji muskulus stylopharingeus dengan meminta pasien untuk


mengucapkan ‘AAA’ saat membuka mulut. Orang yang sehat
langit- langit mulutnya akan bergerak keatas.
d. Pemeriksaan nervus vagus (N X)

Mengkaji mulut, pita suara, dan refleks muntah pasien dengan


membuka mulut pasien. Pasien stroke pada umumnya uvula akan
miring tertarik ke sisi yang sehat, refleks muntah tak ada pada sisi
lumpuh, suara serak akibat kelumpuhan sisi pita suara dan stridor
inspiratorik.
e. Pemeriksaan nervus aksesorius (N XI)

Mengkaji muskulus sternokleidomastoideus dan trapezius. Pasien


dapat dikatakan mengalami paralisis apabila saat kepala menoleh
ke sisi sehat, m. Sternokleidomastoideus tidak menegang. Bahu
yang sakit umumnya terletak lebih rendah daripada yang sehat.
1.12. Diagnosa Keperawatann
a. Bersihkan jalan nafas tidak efektif (D.0001)
b. Gangguan pola tidur (D.0055)
c. Gangguan rasa nyaman (D.0074)

1.13. Perencanaan Terapi Komplomenter


Gejala umum dapat ditimbulkan adalah bersin, gejala pada area hidung,
beringus, hidung tersumbat, batuk, gatal, terapi pengobatan dapat memberikan
farmakologi, imunoterapi, dan oprasi jika kondisinya memberat. Perinsip
utamanya adalah dengan menghindari alergi tersebut, tetapi beberapa penderita
tidak semua memberikan respon yang baik terhadap terapi tersebut, sehingga
diperlukan modifikasi terapi dan intervensi lainnya, salah satunya yaitu
akupuntur.
Akupuntur merupakan terapi efek samping minimal dan aman dilakukan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Yin et al., 2020). Terapi akupuntur
dapat meredakan terhadap penyakit rhinitis alergi, dan penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukann oleh (Yang et al., 2020). Dimana diperoleh
hasil yang signifikan antara terapi akupuntur dapat mempengaruhi penyakit
rhinitis alergi. Adapun titik meridian pada pasien rhinitis alergi sebagai berikut:
 LU1
Letaknya: Pada bagian atas dan lateral dari sela sela iga 1 – 2 pada garis
lateral 2
 LU9
Letaknya: Satu cun diatas lien
 LI4
Letaknya: metacarpal 1 – 2 pertengahan sisi radial

 LI11
Letaknya: Pada sisi lateral dari lipatan siku
 LI20
Letaknya: Nasolabialis lateral
 ST 36
Letaknya: 3 cun dibawa tupi, lateral krista tibia
 SP6
Letaknya: 3 cun dari malleolus medialis
 YIN TANG
Letaknya: pangkal hidung
1.14. Perencanaan

SDKI SLKI SIKI

Bersihkan jalan Pemantauan respirasi


Setelah dilakukan tindakan
nafas tidak efektif keperawatan selama 3x24 jam, (I.01014)
perfusi selebral tidak efektif
b.d spasme jalan O:
teratasi.
nafas (D.0001)  Monitor pola nafas
Kriteria hasil:
 Monitor adanya
Bersihkan jalan nafas produksi sputum
 Monitor batuk
( L.01001) efektif
T:
Indikator SA ST  Atur interval
pemantauan
Produksi 2 3 respirasi sesuai
sputum kondisi pasien
Whezhing 2 3 E:
 jelaskan tujuan dan
Meconium 2 3
prosedur
KET: pemantauan
1= menurun
2= cukup menurun
3= sedang
4= cukup meningkat
5= meningkat

SDKI SLKI SIKI


Gangguan pola tidur Dukungan tidur
Setelah dilakukan tindakan
b.d hambatan keperawatan selama 3x24 jam, (I.09265)
perfusi selebral tidak efektif
lingkungan (D.0059) O:
teratasi.
 Identifikasi faktor
Kriteria hasil:
penggangu
Pola tidur
(L.05045) T:
 Modifikasi
lingkungan
Indikator SA ST  Batasi waktu tidur
Keluhan sulit 2 3 sianng
tidur E:
 jelaskan pentingnya
Keluhan tidak 2 3
tidur cukup selama
puas tidur
sakit
Istirahat tidak 2 3  anjurkan menepati
cukup kebiasaan waktu
KET: tidur

1= menurun
2= cukup menurun
3= sedang
4= cukup meningkat
5= meningkat

SDKI SLKI SIKI


Gangguan rasa Dukungan tidur
Setelah dilakukan tindakan
nyaman b.d gejala keperawatan selama 3x24 jam, (I.09265)
perfusi selebral tidak efektif
penyakit (D.0074) O:
teratasi.
 Identifikasi Teknik
Kriteria hasil:
relaksasi
status kenyamanan
(L.08064) T:
 Ciptakan
lingkungab yang
Indikator SA ST tenang dan nyaman
Keluhan sulit 2 3 E:
tidur  jelaskan pentingnya
berikan relaksasi
Gatal 2 3 intervensi
KET:
1= menurun
2= cukup menurun
3= sedang
4= cukup meningkat
5= meningkat

Daftar Pustkan

Adelien and puspa, Z., 2018 Pemeriksaan Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Pada
penderita Rhinithis Alergi . JK UNILA, Vol. 2, no.2 pp. 151- 156
Brozek JK. Allergic Rhinithis and Its Impact On Asthma (ARIA) guidelines -2017
revision.

Husni, T., Yusni, Fadhila, 2018 Perbandingan kadar Immunoglobin E serum Pada
Pasein Rhinithis Alergi Dengan Faktor Resiko Genetik. Journal Of Medical
Science , Vol 1, No.1

Jun Yang, MMa, Jun Xiong, PhDb. The effectiveness and safety of acupuncture for
allergic rhinitis (2020) 99:29 10-05

http://dx.doi.org/10.1097/MD.0000000000021225

Zihan Yin, Guoyan Geng, Guixing Xu. Acupuncture methods for allergic rhinitis:
a systematic review and bayesian meta-analysis of randomized controlled trials
(2020) 15:109

https://doi.org/10.1186/s13020-020-00389-9

Anda mungkin juga menyukai