Anda di halaman 1dari 7

Nama : Rasi Irfan Asany

NIM : 1913020030
FK-UMP

REFLEKSI KASUS

1. Rangkuman kasus
Pasien datang ke RSUD Dr. Soeselo dengan keluhan bersin-bersin terus
menerus setiap hari sejak 5 tahun yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 3-5
kali. Keluhan bertambah apabila terpapar debu dan dingin, terutama pada saat
pagi hari saat bangun tidur dan malam setelah magrib. Keluhan pasien
berkurang apabila pasien mengkonsumsi obat pereda flu. Keluhan juga
disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada hidung. Pilek
dengan cairan berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau.
terkadang sampai dengan hidung tersumbat. Pasien juga sering merasakan
gatal pada hidung, dan kemudian menggaruk hidung dengan menggunakan
punggung tangan. Keluhan pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena
pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak disertai dengan
batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran.
Riwayat penyakit dahulu dan keluarga disangkal. Pasien mengaku riwayat
alergi terhadap debu. Pada pemeriksaan THT, telinga dan tenggorok dalam
batas normal. Pada pemeriksaan fisik rinoskopi anterior didapatkan adanya
konka livid dan hipertrofi konka nasalis inferior dextra et sinistra.

2. Perasaan terhadap pengalaman


Perasaan terhadap pengambilan kasus ini merupakan pengalaman aplikasi
berdasarkan teori yang pernah didapat ketika pendidikan pre klinik di masa
kuliah. Pembelajaran berdasarkan kasus langsung yang ada di poliklinik
memberikan kesan yang sangat baik dan sangat bermanfaat untuk bekal
menjadi dokter umum nantinya, ditambah lagi kasus kasus yang ada dan harus
ditangani dokter umum adalah kasus tersering yang ada di bagian THT.
Keluhan pasien yang dikeluhkan ketika datang ke poliklinik memberikan
wawasan baru untuk pengaplikasian klinis dari teori yang ada.
Contoh kasus yang diambil adalah Rhinitis Alergi. Alasan untuk
mengambil kasus ini adalah karena rhinitis alergi merupakan penyakit
inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang sama, dan merupakan
penyakit dengan insidensi yang cukup banyak di Indonesia.
3. Evaluasi
Harapannya untuk pengambilan kasus, pemeriksaan yang dilakukan sesuai
dengan teori dilakukan semua, agar pembahasan berdasarkan teori yang ada
dapat disesuaikan dan penatalaksanaan yang didapat berdasarkan gejala atau
keparahan penyakit dapat ditentukan.
Penatalaksanaan pasien dengan Rhinitis alergi terdiri atas tatalaksana non
farmakologi dan farmakologi, antara lain sebagai berikut.

A. Terapi Non-farmakologi
Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari
alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
B. Terapi Farmakologi (Terapi Simptomatis)
Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan
simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
1. Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis
reseptor histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa
mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin.
Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai
sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
peroral.
2. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya
rinitis medikamentosa.
 Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral
efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga
bertambah.
 Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,
oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti
hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada
dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10
hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek
sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk
rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas
antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai
penyakit alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat.
Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh
pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Obat yang
sering dipakai adalah kortikosteroid topikal: beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan
triamsinolon.
4. Sodium Kromolin
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi
sel mast dan pelepasan mediator termasuk histamin dengan cara
memblokade pengangkutan kalsium yang dirangsang antigen
melewati membran sel mast. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis.
5. Preparat antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).
6. Anti-leukotrien
Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast,
akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang
menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data
mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh
dengan baik.
C. Operasi
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat
(Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
D. Imunoterapi
Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan
medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek
samping yang tidak dapat dikompromi. Imunoterapi menekan
pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG
spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi.
Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung
lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak
membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan (Mulyarjo,
2006).
4. Analisis
Pada pasien yang saya dapatkan, seharusnya untuk penegakkan diagnosis
pasti Rhinitis Alergi selain berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, juga
harus dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain Skin Prick Test untuk
memastikan alergen apakah penyebab rinitis alergi pada pasien tersebut.
Namun pada kasus ini, karena keterbatasan alat dan reagen untuk pemeriksaan
Skin Prick Test maka tidak dapat dilakukan. Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap)
beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor
genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon
terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan
juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok
oleh punggung tangan (allergic salute).Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan
mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan
sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau
polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu,
dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan
lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).

5. Kesimpulan
Dihadapkan pasien dengan usia 46 tahun dengan keluhan utama bersin-
bersin terus menerus setiap hari sejak 5 tahun yang lalu. Setiap bersin dapat
mencapai 3-5 kali. Keluhan bertambah apabila terpapar debu dan dingin,
terutama pada saat pagi hari saat bangun tidur dan malam setelah magrib.
Keluhan pasien berkurang apabila pasien mengkonsumsi obat pereda flu.
Keluhan juga disertai dengan pilek, hidung tersumbat, dan rasa gatal pada
hidung. Pilek dengan cairan berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak
berbau. terkadang sampai dengan hidung tersumbat. Pasien juga sering
merasakan gatal pada hidung, dan kemudian menggaruk hidung dengan
menggunakan punggung tangan. Keluhan pada pasien tidak mengganggu
aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak
disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi
pendengaran. Riwayat penyakit dahulu dan keluarga disangkal. Pasien
mengaku riwayat alergi terhadap debu. Pada pemeriksaan THT, telinga dan
tenggorok dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik rinoskopi anterior
didapatkan adanya konka livid dan hipertrofi konka nasalis inferior dextra et
sinistra.
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen
yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rhinitis alergi adalah kelainan
pada gejala bersin- bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantai oleh Ig E. Diagnosa Rhinitis Alergi
berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Penatalaksanaan rhinitis alergi terdiri atas nonfarmakologi dan farmakologi.
6. Daftar Pustaka

ARIA -World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact
on asthma. J allergy clinical immunology : S147-S276.

Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam :

Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy

andClinical Immunology”, Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK

UI/RSUPN-CM, Jakarta:55-65.

Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi

keenam. Jakarta: FKUI,.

Roland P, McCluggage CM., Sciinneider GW., 2005. Evaluation and

Management of Allergic Rhinitis : a Guide for Family Physicians.

Texas Acad. Fam. Physicians. 1-15 .

Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.

Edisi kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: UI

Sumarman, Iwin. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan

Pencegahan Rinitis Alergi, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung :

FK UNPAD. 1-17.

Anda mungkin juga menyukai