Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI I

RHINITIS ALERGI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

SELVI ULVIANTI 2021141004


MUHAMMAD CARNEGI RYU PUTRA 2021141014
LIA DAMAYANTI 2021141024
SRI MUSLIMAH MOHAMAD 2021142004
SANDI PUTRA SULUNG 2021142013
VIRANTY DG. MAJID 2021142022

LABORATURIUM FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS SAINS, TEKNOLOGI, DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS SAHID SURAKARTA
2022
A. JUDUL PRAKTIKUM
Rhinitis Alergi.
B. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa mampu mengidentifikasi penyakit Rhinitis Alergi masalah terkait obat.
C. KASUS
1. Deskripsi

Nina, 22 tahun
2. Keluhan Utama
Nina mengalami keluhan sudah satu bulan mengalami bersin, hidung berair, dan
mata berair terutama pada siang hari tetapi gejala tidak muncul pada malam hari.
3. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada
4. Riwayat penggunaan obat
Tidak ada
5. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada
6. Riwayat sosial
Tidak ada
7. Riwayat alergi
Tidak ada

D. TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi Rhinitis Alergi
Rhinitis Alergi merupakan penyakit inflamasi yang dimediasi IgE pada
mukosa hidung, yang dipicu oleh adanya paparan alergen. Kondisi ini berdampak
signifikan pada tidur, pekerjaan, dan kinerja sekolah penderitanya. Kondisi rhinitis
alergi ini sering dikaitkan dengan kondisi dermatitis atopi, alergi makanan, dan
asma. Gejala utamanya termasuk rinorea, hidung tersumbat, dan bersin, meskipun
gejala mata juga dapat terjadi (Keith PK., 2012).
Diagnosis rhinitis alergi didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, riwayat pasien harus mencakup evaluasi
gejala seperti rinorea, hidung gatal, bersin, konjungtivitis alergi, dan hidung
tersumbat. Waktu timbulnya gejala perlu diketahui karena sangat penting dalam
menentukan alergen mana yang dicurigai sebagai penyebab timbulnya gejala.
Riwayat penyakit lain seperti asma juga harus dinilai. Secara epidemiologi, hingga
40% pasien dengan rhinitis alergi memiliki riwayat asma. Riwayat atopi dalam
keluarga juga merupakan salah satu faktor risiko kuat yang dapat mendukung
diagnosis rhinitis alergi (Small P., 2018).
b. Etiologi dan faktor risiko
Rinitis alergi merupakan penyakit multifaktorial yang meliputi interaksi antara
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik pada rinitis alergi dapat dilihat dari
hubungan fenotipik yang erat antara pilek alergi dan asma bronkial ( penyakit
diturunkan). Penyakit alergi bersifat diturunkan dalam keluarga. Jika hanya salah
satu orang tuanya menderita alergi, maka risiko anaknya terkena alergi adalah 50%.
Dan jika kedua orang tua memiliki alergi, risiko anaknya terkena alergi adalah 75 %.
Penelitian dengan imigran sebagai subyek, menunjukkan bahwa terdapat faktor
genetik yang mempengaruhi pola IgE yang diturunkan dari orang tua, khususnya
dari ibu (Adam GL., 1996)
Faktor risiko rinitis alergi dari lingkungan berupa paparan alergen.
Berdasarkan The European Community Respiratory Health Study II (ECRHS II)
menyatakan bahwa insiden rinitis alergi berkurang seiring bertambahnya jumlah
saudara, bertambahnya paparan terhadap hewan peliharaan sebelum umur 5 tahun
dan bermukim di lingkungan perkebunan. Merokok pada saat hamil dan masa anak-
anak menambah risiko rinitis alergi pada subjek atopi sehingga rinitis alergi akan
menetap sepanjang hidupnya (Bauchau V & Durham SR., 2004).
c. Patofisiologi
Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan
organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirup untuk
melindungi saluran pernafasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di hidung akan
dibersihkan oleh sistem mukosilia (Soepardi FF., DKK, 2011). Patofisiologi rinitis
alergi diawali ketika alergen pada udara masuk ke dalam mukosa hidung,
menyebabkan terbentuknya alergen imunoglobulin E spesifik (IgE). Paparan
berulang terhadap alergen akan menghasilkan presentasi alergen oleh antigen
presenting cells (APC) ke limfosit T-CD4+ yang menyebabkan pelepasan interleukin
(IL)-3, IL-4, IL-5 dan sitokin Th-2 lainnya. Sitokin-sitokin tersebut memiliki efek
proinflamasi yang melibatkan produksi IgE, sel plasma, sel mast dan eosinofil dan
berlanjut dengan terjadinya kaskade respon imun sehingga menimbulkan gejala-
gejala klinis rinitis alergi (Holgate ST & Lack G., 2005).
d. Tatalaksana Terapi
Terapi rinitis alergi meliputi usaha menghindari paparan alergen, terapi
medikamentosa, dan imunoterapi alergen, namun hingga saat ini belum ada satu pun
yang terbukti dapat menyembuhkan rinitis alergi dengan sempuma seperti halnya
penyakit infeksi. Manajemen yang tepat untuk kasus rinitis alergi, di samping
mampu menurunkan gejala, diharapkan juga mampu meningkatkan kualitas hidup
pasien yang telah terganggu oleh penyakit, karena semakin tinggi tingkat keparahan
dan frekuensi gejala rinitis alergi, semakin besar juga dampaknya terhadap
penurunan kualitas hidup (Madiadipoera, 2021).
1) Penghindaran alergen
Upaya menghindari alergen penyebab bukan sesuatu yang mudah dilaksanakan,
mengingat alergen hirup utama penyebab rinitis alergi ialah debu rumah dan
tungau debu rumah yang setiap saat ada di sekitar penderita (Madiadipoera,
2021).
2) Terapi medikamentosa
Fakta bahwa masih terdapat banyak kasus rinitis alergi yang belum mencapai
kontrol penyakit yang optimal menunjukkan adanya pathophysiological gaps
antara penyakit dengan intervensi terapi yang tersedia. Masing-masing golongan
terapi yang umumnya digunakan dalam terapi rinitis alergi bekerja di titik
tangkap yang berbeda pada early-phase atau late-phase. Antihistamine
contohnya, bekerja di reseptor histamine yang dominan keterlibatannya di early-
phase, sementara corticosteroid intranasal tidak memiliki aktivitas untuk
menghambat degranulasi sel mast, melainkan untuk menghambat jalur inflamasi
yang bertanggung jawab pada reaksi peradangan yang lebih dominan terjadi di
late-phase. Pemahaman yang tepat mengenai mekanisme aksi dari masing-
masing golongan obat ini memungkinkan pemilihan regimen terapi yang dapat
mengatasi rinitis alergi secara lebih efektif. Beberapa agen farmakologis yang
sering digunakan dalam tata laksana rinitis alergi antara lain:
 NaCl fisiologis untuk irigasi nasal
Hasil metaanalisis menyatakan bahwa laruran garam fisiologis dapat
mereduksi akumulasi sel inflamasi eosinofil, neutrofil, leukotriene D4 (LTD4
), prostaglandin D2 , IL-8, dan mediator lain yang dilepaskannya
(Madiadipoera, 2021).
 Intranasal corticosteroid
Kortikosteroid intranasal adalah pilihan terapi bagi penderita rinitis alergi
dengan gejala sedang/berat dan/atau persisten karena memiliki efek
antiinflamasi jangka panjang. Penelitian Ghafar, et al. (2020) menunjukkan
bahwa terapi dengan mometasone furoate intranasal efekif untuk
mengecilkan ukuran adenoid pada anak dengan hipertrofi adenoid dalam
jangka waktu 12 minggu (Madiadipoera, 2021).
 Antihistamine
Antihistamine yang dapat digunakan dalam tata laksana rinitis alergi
adalah antagonis reseptor H1, yang bekerja melalui inhibisi kompetitif
dengan histamine pada reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel
kelenjar mukosa, sehingga efektif menurunkan gejala rinore dan bersin yang
disebabkan oleh pelepasan dan ikatan histamine dengan reseptornya.
Antihistamine direkomendasikan untuk seluruh derajat keparahan rinitis
alergi, baik pada jenis rinitis alergi intermittent maupun persistent. Secara
umum guidelines ARIA menjelaskan karakteristik ideal yang hendaknya
dimiliki oleh suatu antihistamine oral dalam tata laksana rinitis alergi, yang
mencakup:
 Profil farmakologi: blokade reseptor H1 bersifat poten dan selektif,
memiliki aktivitas tambahan antiinflamasi, farmakokinetik obat tidak
dipengaruhi oleh makanan, obat lain, maupun protein transpor di saluran
cerna, tidak terdapat potensi interaksi dengan cytochrome P4503A
(CYP3A), tidak terdapat potensi interaksi dengan penyakit
(Madiadipoera, 2021).
 Efikasi: efektif dalam mengatasi rinitis alergi baik tipe intermittent
maupun persistent, efektif mengatasi semua gejala nasal termasuk hidung
tersumbat, memberikan perbaikan pada gejala okular, jika memiliki
klaim untuk penyakit asma maka harus terbukti memberikan perbaikan
gejala asma, penurunan kejadian eksaserbasi, dan perbaikan fungsi paru,
klaim preventif harus dapat dibuktikan melalui uji klinik yang sesuai, dan
terdapat studi efikasi pada populasi anak-anak serta lanjut usia
(Madiadipoera, 2021).
 Keamanan: tidak menyebabkan sedasi dan tidak mengganggu fungsi
kognitif maupun psikomotor, tidak memiliki efek antikolinergik, tidak
menyebabkan pertambahan berat badan, tidak memiliki efek samping
terhadap jantung, memungkinkan penggunaan pada ibu hamil dan
menyusui, terdapat studi keamanan pada populasi anak-anak serta lanjut
usia, dan melakukan analisis data postmarketing secara prospektif
(Madiadipoera, 2021).
 Farmakodinamik: memiliki onset kerja yang cepat (rapid), durasi kerja
yang panjang (memungkinkan penggunaan 1 kali sehari), tidak terdapat
kecenderungan untuk terjadi drug tolerance. Berdasarkan kriteria
tersebut, saat ini penggunaan antihistamine generasi pertama sebaiknya
dihindari selama terdapat akses yang memungkinkan terhadap
antihistamine generasi kedua. Antihistamine generasi pertama seperti
chlorpheniramine dan promethazine memiliki selektivitas terhadap
reseptor H1 yang relatif rendah serta diketahui dapat menembus blood-
brain barrier (BBB) sehingga penggunaannya berdampak pada timbulnya
kejadian efek samping seperti sedasi, efek antimuskarinik, efek
antiadrenergik, serta efek pada kanal kalsium. Antihistamine generasi
kedua seperti cetirizine, loratadine, desloratadine, fexofenadine,
rupatadine dan bilastine lebih mampu memenuhi karakteristik ideal
antihistamine menurut guidelines ARIA yang dibuktikan melalui
berbagai studi klinis. Desloratadine memiliki high level of evidence and
recommendation untuk digunakan pada intermittent allergic rhinitis
(IAR), sedangkan untuk persistent allergic rhinitis (PER), desloratadine,
levocetirizine, dan rupatadine memiliki high level of evidence and
recommendation (Madiadipoera, 2021).
 Decongestant
Decongestant merupakan jenis agen farmakologis yang dapat digunakan
dalam terapi rinitis alergi, terutama untuk menangani gejala hidung
tersumbat. Decongestantdapat diberikan melalui rute intranasal (contoh:
oxymetazoline) maupun per oral (contoh: pseudoephedrine). Decongestant
intranasal direkomendasikan untuk terapi jangka pendek rinitis alergi.
Terdapat studi yang membuktikan bahwa kombinasi decongestant intranasal
dengan intranasal corticosteroid (INCS) lebih efektif dibandingkan
monoterapi INCS dalam menangani hidung tersumbat. Decongestant oral
harus diberikan dengan hati-hati pada kelompok pasien tertentu seperti anak-
anak dan lanjut usia serta pasien dengan riwayat penyakit tertentu.
Kombinasi decongestant oral dan antihistamine dapat digunakan untuk tata
laksana seasonal allergic rhinitis (SAR) yang terjadi secara konkomitan
dengan asma ringan/sedang karena memberikan perbaikan yang signifikan
baik pada gejala rinitis alergi maupun asma (Madiadipoera, 2021).
 Cromolyn
Cromolyn merupakan obat yang bekerja dengan menstabilkan sel mast dan
menghambat pelepasan mediator yang mencetuskan IgE-mediated allergic
rhinitis. Pada sebagian kasus, terutama pada seasonal allergic rhinitis (SAR),
cromolyn dapat diberikan melalui rute intranasal sebelum kemungkinan
paparan terhadap alergen untuk meminimalisasi reaksi alergi yang terjadi
akibat paparan alergen tersebut (Madiadipoera, 2021).
 Leukotriene receptor antagonist (LTRA)
Leukotriene memegang peranan penting dalam patogenesis rinitis alergi.
Obat golongan LTRA seperti montelukast bekerja dengan menghambat
aktivitas cysteinyl leukotrienes (CysLTs) untuk mencetuskan reaksi inflamasi
di saluran napas. Sebuah metaanalisis menunjukkan bahwa montelukast lebih
efektif dalam menangani night-time symptoms pada pasien rinitis alergi
dibandingkan dengan antihistamine (Madiadipoera, 2021).
E. PENATALAKSANAAN KASUS
1. Subjektif

Nina 22 tahun
2. Objektif
mengalami bersin, hidung berair, dan mata berair selama 1 bulan terutama pada
siang hari.

3. Assessment
Pada kasus di atas Nina 22 tahun mengalami keluhan bersin, hidung berair, dan mata
berair selama 1 bulan terutama pada siang hari dan tidak muncul pada malam hari.
Pasien diberikan obat vitamin C 50 mg untuk menjaga sistem imunitas tubuh dan
mempercepat penyembuhan, diberikan cetirizine 10mg untuk mengobati bersin, dan
diberikan pseudoefedrin 60mg untuk pengobatan antihistamin pada hidung berair
dan mata berair.

4. Plan
Pengobatan Rhinitis Alergi disarankan tambahan terapi obat dalam yaitu
cetirizine 10mg untuk mempercepat penyembuhan bersin-bersin, dan diberikan
pseudoefedrin 60mg untuk pengobatan antihistamin pada hidung berair dan mata
berair.Untuk pengobatan non-farmakologi yaitu dengan dilakukan edukasi mengenai
rinitis alergi seperti perjalanan penyakit dan tujuan penatalaksaan. Penatalaksaan
medis bertujuan untuk mengurangi gejala. Pasien juga harus diberikan informasi
mengenai keuntungan dan efek samping yang mungkin terjadi untuk mencegah
ekspektasi yang salah dan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan yang diberikan. Pasien juga harus diberitahu tentang faktor-faktor yang
dapat memperburuk gejala yang dialami sehingga pasien dapat menghindari kontak
dengan faktor penyebab atau alergen penyebabnya.
F. PEMBAHASAN

G. KESIMPULAN
Pada kasus diatas dapat disimpulkan bahwa :
a) Pasien perlu diberikan obat Antihistamin yaitu Cetirizin 1x10 mg pada malam hari
Obat ini bekerja secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin pada reseptor
histamin-1. Efeknya mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan
refleks iritasi untuk bersin
b) Diberikan obat Dekongestan yaitu Pseudoefedrin 3x60 mg yang diberikan untuk
menunjang dari pengobatan antihistamin dan untuk mengobati hidung berair dan mata
berair.
c) Pasien juga harus menghindari dan mengetahui faktor-faktor yang dapat
memperburuk gejala yang dialami.

H. DAFTAR PUSTAKA

Allergy Asthma Clin Immunol. Small P, Keith PK, Kim H. Allergic rhinitis.
2018. Allergy Asthma Clin Immunol

Adams GL, Lawrence R, Boies, Hillger PH. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
Jakarta. EGC. 1996. Hal 190-195

Bauchau V, Durham SR. Prevalence and rate of diagnosis of allergic rhinitis in Europe.
ERS Journals. 2004;24:758-764.

Holgate ST, Lack G. Improving the management of atopic disease. Arch Dis Child.
2005;90:826-31. Avalaible from : http://adc.bmj.com/content/90/8/826.long (diakses
15Mei2106)

Keith PK, Desrosiers M, Laister T, Schellenberg RR, Waserman S. 2012. The


burden of allergic rhinitis (AR) in Canada: perspectives of physicians and
patients.

Madiadipoera, T., Utami, D, S. 2021. Strategi Penatalaksanaan Rinitis Alergi untuk


Mengoptimalkan Kualitas Hidup Pasien. Medicinus. Vol 34 Issue 2. Hal. 6-8.
I. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai