Anda di halaman 1dari 14

PROPOSAL

PENGARUH TERAPI STEROID INTRANASAL

PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI MAKASSAR

Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas Farmakoterapi I

Dosen Pengampu :

Eko Retnowati, S.Si, M.Si, M.Farm., Apt

DISUSUN OLEH :
WIDYA PANGESTUTI (F420185040)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
2020
BAB I

I. Latar Belakang
Rinitis alergi (RA) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat
reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai oleh adanya lg E (Gell & Comb tipe
I) ditandai dengan trias gejala yaitu bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan
disertai juga oleh gejala lain seperti gatal pada hidung, mata, tenggorok, dan
telinga. Meskipun RA bukan suatu penyakit yang mengancam jiwa namun secara
signifikan berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, penurunan
produktivitas kerja, prestasi di sekolah, gangguan dalam fungsi psikologis seperti
depresi dan social dan telah menghabiskan biaya besar untuk pengobatan karena
gejalanya yang berulang. Sehingga dalam penanganan rinitis alergi perlu
mempertimbangkan biaya pengobatan dan kualitas hidup penderita.
Hidung berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama yang terdiri
dari silia epitel torak berlapis semu (pseudostratified columnar epithelium),
kalenjar mukus dan palut lendir (mucous blanket) yang membentuk sistem
pertahanan tubuh yang disebut sistem transpor mukosiliar. Keberhasilan sistem
mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal hidung tergantung dari
transpor mukosiliar. Agar terjaga pertahanan tersebut, transpor mukosiliar harus
baik.
Gangguan mukosa hidung, inflamasi kronik dan udem dapat mengganggu
pergerakan silia dan kualitas sekret sehingga mengganggu transpor mukosiliar
(TMS) secara lokal. Bila sistem ini terganggu maka materi yang terperangkap oleh
palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit seperti
rinosinusitis.
Pada penderita RA, terjadi pelepasan mediator dan sitokin seperti histamin,
leukotrien, prostaglandin, Platelet Activating Factor (PAF) dan akumulasi sel
inflamasi, menyebabkan mukosa hidung mengalami edema dan inflamasi kronik,
yang akan menyebabkan rinore dan obstruksi nasi. Pada keadaan ini pergerakan
silia dan kualitas sekret terganggu menyebabkan transpor mukosiliar nasal
terganggu dan menimbulkan menumpukan sekret.
Penanganan rinitis alergi pada dasarnya adalah mengatasi gejala rinitis alergi
akibat Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL).
Penanganan medikamentosa dengan pemberian antihistamin dan dekongestan
belum sepenuhnya memuaskan dan sering terjadi kekambuhan karena hanya
mengatasi RAFC. Pilihan terapi medikamentosa lain yang dapat mengatasi gejala
alergi pada RAFC maupun RAFL adalah dengan steroid. Karena pemakaian jangka
panjang pada steroid oral memiliki efek yang merugikan seperti osteoporosis,
gangguan axis hipotalamus pituitary adrenal yang mengganggu perkembangan
sehingga diperlukan pengobatan yang lebih aman yaitu penggunaan steroid
intranasal.

II. Rumusan Masalah


1. Apa itu rhinitis alergi?
2. Bagaimana pengaruh steroid intranasal pada penderita rhinitis alergi?
3. Penanganan apa saja yang dilakukan pada penderita rhinitis alergi?
4. Apakah penggunaan steroid berpengaruh pada penderita?
5. Kombinasi dengan obat apa saja?

III. Tujuan dan Manfaat


Tujuan dan manfaat dibuatnya proposal ini adalah untuk mengetahui pengaruh
steroid intranasal pada penderita rhinitis alegi di Makasar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pengobatan terapi steroid intranasal dapat menurunkan RAFC dan RAFL,


menurunkan edema, inflamasi kronik dan memulihkan cedera epitel, sehingga epitel
silia dapat berfungsi kembali menjadi normal, memulihkan aliran mukosiliar hidung
,mengantarkan sekret ke nasofaring, mengembalikan fungsi drainase dan ventilasi
menjadi normal. Secara tidak langsung dapat memperbaiki gejala klinik dan
meningkatkan kualitas hidup penderita.
Penelitian Bestari melaporkan tentang penurunan TMS pada deviasi septum
karena adanya kelainan struktur dan sumbatan hidung. Penelitian Syahrizal melaporkan
adanya penurunan TMS pada rinosinusitis kronik dan mengalami perbaikan setelah
dilakukan bedah sinus endoskopi fungsional. Penelitian Prasit,dkk menyatakan adanya
penurunan TMS pada rinitis alergi musiman. Penelitian Iswadi menyatakan adanya
penurunan TMS pada penderita rinosinusitis kronik di Makassar dengan kontrol orang
normal.
Penelitian Zhu pada mukosa nasal hewan coba yang sudah teradiasi dan
mengalami cedera berat melaporkan efek steroid intranasal memperbaiki mukosa dan
bersifat radioprotektor. Penelitian Lui, dkk dan Tan, dkk pada tikus melaporkan efek
steroid intranasal dapat memulihkan kondisi inflamasi mukosa hidung pada rinitis
alergi, serta memperbaiki silia mukosa hidung yang telah rusak tanpa menyebabkan
atropi mukosa.
Dari beberapa penelitian yang diajukan sebelumnya, penelitian tentang pengaruh
steroid intranasal terhadap pasien RA yang ditinjau pada aspek kuantitatif melalui uji
sakarin terhadap pengobatan yang dilakukan dan penggunaan skor VAS dalam penilaian
klinis yang belum pernah diteliti khususnya di Makassar, menjadi terasa penting.
Pengaruh steroid intranasal terhadap transpor mukosiliar pada penderita RA
sangat bermanfaat dalam mengetahui perkembangan pengobatan. Hal ini menjadi dasar
perlunya dilakukan sehingga dapat meminimalkan biaya pengobatan dan meningkatkan
kualitas hidup penderita. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh terapi steroid
intranasal pada rinitis alergi pada aspek transpor mukosiliar, perbaikan klinis dan
kualitas hidup.
BAB III
METOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Bagian THT subdivisi alergi imunologi RS. Wahidin
Sudirohusodo Makassar diambil mulai bulan Juli 2012 sampai Desember 2012. Jenis
penelitian yang digunakan adalah clinical trial dan pre test dan post test design, studi
analitik dengan pengamatan secara longitudinal.

Populasi dan Sampel


Populasi adalah seluruh penderita rinitis alergi yang menjalani terapi steroid
intranasal di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar. Sampel penelitian ini adalah
penderita rinitis alergi sedang berat yang diambil dengan cara consecutive sampling
(non probability sampling) memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian
dan menyelesaikan penelitian sampai akhir.
Pada penelitian ini jumlah sampel sebanyak 42 orang. Pasien secara berurut
dimasukkan dalam kelompok penelitian sebanyak 22 orang dan kelompok kontrol
positif sebanyak 20 orang. Kriteria Inklusi adalah Semua penderita yang didiagnosis
rinitis alergi berusia 17 – 60 tahun dengan hasil prick test positif, bebas obat antibiotik,
antihistamin, kortikosteroid dan dekongestan minimal 7 hari, tidak pernah mendapat
imunoterapi, tidak ada gangguan pengecapan, bersedia mengikuti prosedur penelitian
dan kooperatif. Kriteria Eksklusi adalah ada septum deviasi berat, pernah mendapat
terapi steroid intranasal, rinitis Alergi ARIA WHO intermitten ringan, tumor sinonasal
dan tumor nasofaring, polip nasi, riwayat operasi hidung, dermatografism (+),
perbedaan skor VAS > 1 cm pada pemeriksaan VAS I dan II.Penelitian ini telah disetujui
oleh Komisi Etik Penelitian Biomedis pada Manusia, Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

Metode Pengumpulan Data


Semua penderita yang datang dicatat umur, jenis kelamin, riwayat alergi, riwayat
penggunaan antihistamin, keluhan penderita dicatat dalam lembar kuisioner yang telah
disiapkan. Pemeriksaan rinoskopi anterior untuk menyingkirkan adanya septum deviasi
berat, polip atau tumor kavum nasi. Lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan tes alergi. Bila
sudah terdiagnosis, penderita diperiksa tes fungsi pengecapan, bila normal dilanjutkan
pemeriksaan uji sakarin.
Penderita juga dilakukan pemeriksaan skor VAS. Prosedurnya yaitu pemeriksa
pertama melakukan pengukuran VAS dengan meminta penderita memberikan tanda
silang pada formulir skala pengukuran VAS sesuai dengan gatal hidung, rinore, bersin
dan obstruksi nasi yang dikeluhkan (VAS I). Nol artinya tidak ada keluhan , 10 artinya
keluhannya terlalu berat. Lima belas menit kemudian pemeriksa kedua melakukan
pengukuran VAS dengan prosedur yang sama dengan pemeriksa pertama (VAS II). Bila
terdapat perbedaan nilai VAS > 1 cm penderita dikeluarkan dari penelitian. Hasil
pemeriksaan dicatat dalam format penelitian yang telah tersedia.Penilaian VAS
dilakukan sebelum terapi steroid intranasal minggu pertama, kedua, ketiga kemudian 1
bulan setelah terapi. Pemantauan dilakukan pada penderita rinitis alergi dengan
memonitoring ketat setiap 3 hari.

Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh, dikelompokkan sesuai tujuan dan jenis data, lalu
dilakukan analisis univariat dan Uji t-test related dan Mann Whitney U untuk
membandingkan nilai rerata 2 kelompok yang berpasangan untuk analisis waktu
transpor mukosiliar. Perbaikan klinis dan kualitas hidup menggunakan uji
Wilcoxon.Pengolahan data dengan komputerisasi menggunakan α 0,05.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada 42 penderita rinitis alergi yang datang berobat ke
poliklinik THT RSWS dari bulan Juli – Desember 2012 sesuai kriteria inklusi dan
eksklusi, 22 orang pada kelompok terapi steroid intranasal tunggal (SI) dan 20 orang
pada kelompok terapi kombinasi steroid intranasal dengan cetirizine oral (CO) sebagai
kontrol positif.

Pada tabel 1 memperlihatkan dari 42 sampel penderita rinitis alergi waktu


transpor mukosiliar yang paling singkat adalah 8,83 menit sedangkan yang paling lama
adalah 21,68 menit. Pada table 4 terlihat rerata waktu transpor mukosiliar pada
penderita rinitis alergi sebesar 14,45 menit dengan standar deviasi 2,81 menit.

Pada tabel 2 memperlihatkan bahwa hasil terapi SI di peroleh nilai p (uji Paired
Sample Tests, signifikan p <0,05) untuk masing-masing TMS sebesar p=0,000. Hal ini
menunjukkan terapi dengan SI efektif dalam memperbaiki transport mukosiliar pada
penderita rhinitis alergi.
Tabel 3 memperlihatkan bahwa hasil terapi SI dengan cetirizine oral di peroleh
nilai p (uji Paired Sample Tests, signifikan p<0,05) untuk masing-masing TMS sebesar
p=0,000. Hal ini menunjukkan terapi dengan SI dengan cetirizine oral efektif dalam
memperbaiki transpor mukosiliar pada penderita rinitis alergi.

Pada tabel 4, untuk perbandingan berdasarkan TMS, terlihat hasil uji Mann
Whitney U pada minggu kedua setelah terapi didapatkan nilai uji p yang signifikan
(signifikansi p<0,05) pada kedua kelompok sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil terapi antara kelompok terapi dengan SI
maupun kelompok terapi SI dan CO dalam memperbaiki transpor mukosiliar dapat
dilihat pada penurunan TMS terbesar pada minggu kedua dengan penurunan nilai
median selisih terbesar yakni dari 14,33 menjadi 9,34.

Nilai uji perbedaan hasil terapi pada akhir terapi yaitu minggu keempat antara
kelompok terapi SI dengan kelompok terapi SI dan CO menunjukkan hasil uji statistik
yang tidak signifikan atau tidak bermakna perubahannya (uji signifikansi Mann Whitney
U, p>0,05). Dengan demikian tidak ada perbedaan hasil terapi antara kelompok terapi SI
dengan kelompok terapi SI dan CO dalam memperbaiki transpor mukosiliar pada akhir
terapi, walaupun secara umum terlihat penurunan gejala klinis yang lebih baik
ditunjukkan oleh hasil terapi pada kelompok terapi SI dan CO.
Tabel 5, terlihat bahwa ada penurunan skor median yang signifikan terutama
dalam 2 minggu pertama dengan nilai p<0,05. Melalui uji Wilcoxon terlihat penurunan
skor VAS yang signifikan pada semua gejala RA terutama gejala beringus encer pada
minggu pertama dan mulai berangsur menurun pada minggu kedua. Hal ini disebabkan
karena fase Lambat dari reaksi alergi yang menyebabkan sekresi mukus yang
berkepanjangan.

Pada minggu ketiga dan keempat penurunan skor VAS tidak signifikan lagi karena
gejala- gejala yang terjadi sudah membaik dan konstan sehingga tidak menunjukkan
perbedaan bermakna pada kedua kelompok dengan p=1,000. Melalui uji Wilcoxon
sebelum terapi sampai minggu keempat setelah terapi menunjukkan perbaikan klinis
yang signifikan (p<0,05) pada masing- masing kelompok walaupun secara umum
terlihat penurunan gejala masih lebih baik pada kelompok terapi SI dan CO.
BAB V

I. Kesimpulan
Selama kurun waktu kurang lebih enam bulan sejak bulan Juli sampai dengan
Desember 2012, telah dilakukan penelitian mengetahui pengaruh terapi steroid
intranasal terhadap transpor mukosiliar melalui uji sakarin serta perbaikan klinis
dan kualitas hidup melalui skor VAS pada penderita rinitis alergi di Makassar.
Terapi Steroid Intranasal efektif secara signifikan dalam perbaikan transpor
mukosiliar pada minggu kedua dan perbaikan gejala klinis, kualitas hidup di
minggu pertama setelah terapi pada penderita rinitis alergi di Makassar.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai keberhasilan
dalam pengobatan antara lain efektifitas, kemudahan dalam pemakaian obat dan
penerimaan pasien terhadap kemungkinan efek samping obat. Sehingga Kami
melakukan pemantauan pemakaian obat secara ketat dan teratur pada pasien
setiap 3 hari. Adapun kemungkinan efek samping minimal sebagaimana telah
dilakukan penelitian terhadap keamanan steroid intranasal.
Berdasarkan penelitian Iswadi terdapat gangguan transpor mukosiliar pada
penderita rinosinusitis kronik di Makassar dengan nilai waktu transpor mukosiliar
yang diperoleh mencapai rerata 16,87 menit. Pada penelitian ini didapatkan rerata
waktu transpor mukosiliar penderita rinitis alergi di Makassar adalah 14,45 menit
dengan standar deviasi 2,81. yang berarti range waktu transpor mukosiliar
penderita rinitis alergi di Makassar adalah 11,64 - 17,26 menit. Hal ini menyatakan
pada sampel penderita rinitis alergi di Makassar dapat menjadi kronis yang dapat
menyumbat ostium sinus dan menyebabkan rinosinusitis kronik bila tidak
ditangani segera dan tepat. Sehingga perlu mendapatkan pengobatan yang tepat
dan efektif.
Steroid intranasal secara lokal menekan sel-sel yang berperan dalam proses
inflamasi di mukosa hidung selain eosinofil seperti APC, makrofag, limfosit, sel
mast, basofil dan struktur sel di mukosa hidung, endotel kapiler dan sel kelenjar
pada rinitis alergi dan akhirnya dapat menurunkan RAFC dan RAFL, menurunkan
edema, inflamasi kronik dan memulihkan cedera epitel, sehingga epitel silia dapat
berfungsi kembali menjadi normal, memulihkan aliran mukosiliar hidung
,mengantarkan sekret ke nasofaring, mengembalikan fungsi drainase dan ventilasi
menjadi normal. Sehingga seperti yang terlihat pada akhir penelitian, dimana di
sini terjadi perbaikan klinis dan kualitas hidup, perbaikan transpor mukosiliar
pada kedua kelompok.
Hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa terjadi perbaikan klinis dan
kualitas hidup secara efektif pada kedua kelompok terapi, namun tidak ada
perbedaan efektifitas yang bermakna diantara keduanya. Demikian pula terjadi
perbaikan transpor mukosiliar yang signifikan pada kedua kelompok setelah terapi
dan tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok tersebut.

II. Pembahasan
Dari hasil penelitian dapat dibuat kesimpulan bahwa waktu transpor
mukosiliar rerata pada penderita rinitis alergi di Makassar adalah 14,45 menit
dengan standar deviasi 2,81 menit. Terapi Steroid Intranasal efektif secara
signifikan dalam perbaikan transpor mukosiliar pada minggu kedua dan perbaikan
gejala klinis, kualitas hidup di minggu pertama setelah terapi pada penderita rinitis
alergi di Makassar.
DAFTAR PUSTAKA

Alimah, Y,. Hubungan Jumlah Eosinofil Mukosa Hidung Dengan Gejala Rinitis Alergi
Sesuai Klasifikasi Aria WHO 2001.(2005). Karya Akhir Pendidikan Dokter Spesialis
I THT, Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
Ballenger JJ. Clinical anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. Dalam :
Ballenger JJ, Snow JB, editors. Otolaryngology head and neck surgery. 15th ed.
(2005). Baltimore, Philadelphia, Hongkong, London, Munich, Sydney, Tokyo :
William and Wilkins:p.3-18.
Bestari, J.K., Transpor Mukosiliar pada Deviasi Septum.(2011).Bagian THT-KL,
Universitas USU, Medan.
Bousquet. Visual Analog Scales Can Assess the Severity of Rhinitis Graded according to
ARIA guidelines. (2007).University Hospital and INSERM U454, Montpellier,
France.367- 72.
Bousquet. Visual Analog Scales can assess the severity of Rhinitis Graded according to
ARIA Guidelines. (2007)
Bousquet M, Bullinger M, Fayol C, Marquis P, ValentinB, Burtin B.Assesment Of Quality
Of Life Patients With Perenial Allergic Rhinitis With The French Versions Of The
SF-36 Health Status Questionaire. J Allergic Clin Immunol .94:8-182.
Demoly P. WHO Recommendation In The Treatment of Allergic Rhinitis. (2001). Dalam :
Simposium Current and Future Approach in The Treatment of Allergic Rhinitis.
Jakarta,:2-3.
Durham S.R; Mechanisms and treatment of allergic rhinitis, in Rhinology Scott-Brown’s
Otolaryngology 6th Ed, edited by Mackay I.S, Bull T.R.(2006).Butterworth
Heinemann, Oxford.1-16
Efiaty, A, Rinitis Alergi : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher, Edisi Keenam. (2010).Balai Penerbit FKUI, Jakarta.128-134
Iswadi, Perbandingan waktu transpor mukosiliar penderita rhinitis kronik dengan orang
normal di Makassar.(2006). Karya akhir, Universitas Hasanuddin. Makassar.
Lui dkk.The effect of the fluticasone propionate to the dynamic process of the nasal
mucosal remodeling in allergic rhinitis of the rats model. (2011).Department of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery, the Second Affiliated Hospital, Nanchang
University, Nanchang,China
May JR, Smith PH. Allergic Rhinitis in Pharmacotheray a Pathophysiologic Approach,
seventh edition, Chapter 98. (2008).The McGrawHill Company.p.1565-74.
Mygind N, Nielson LP, Hoffmann HJ, Shukla A, Blumberga G, Dahl R et al. Mode Of Action
Of Intranasal Corticosteroids. (2003).J Allergy Cliln Immunol 108 Suppl:16-24
Prasit dkk. A Prelimanary Study of Nasal Mucocilliary Clearance in Smokers, Sinusitis
and Allergic Rhinitis Patients.(2003).Asian Pasific Journal of Allergy and
Imunology.p.191-121.
Rolan P, Mc Cluggage CM, Sciinneider GW; Evaluation and Management of Allergic
Rhinitis : a guide for family physicians. (2004).Texas Academy of Family
Physicians.1-15.
Roos K : The pathogenesis of infective rhinosinusitis, In Rhinosinusitis : Current issues in
diagnosis and managenent, Round table series 67, Ed.(2005). Lund V & Corey J,
Royal society of medicine press ltd.
Saurabach, B., Nonallergic & Allergic Rhinitis : Current Diagnosis & Treatment in
Otolaryngology Head and Neck Surgery.(2004).McGraw Hill, Boston, 278-82
Schuhl. Nasal mucociliary clearance in perennial rhinitis. (2003).Allergologic Unit,
Dermatology Clinic, Clinical Hospital, Montevideo, Uruguay.
Soetjipto, Damayanti, Mangunkusumo,E. Buku ajar Ilmu Kesehatan THT, edisi ke-6,
(2007).FKUI.118-112.
Sumarwan I, Patofisiologi dan Prosedur Diagnostik Rinitis Alergi. Dalam : Simposium
Current and Future Approach In The Treatment Of Allergic Rhinitis.(2005).
Jakarta.: 1-2.
Sumarwan I, Strategi Rasional Pengelolaan Rinitis Alergis Perenial : Ditinjau Dari Aspek
Mediator, Sitokin dan Molekul Adhesi. Makalah Simposium Allergic and Quality Of
Life : Their Clinical Implications In 21st Century. (2003).Fakultas Kedokteran
Unpad, Bandung.:17.
Suprihati, Patofisiologi Rinitis Alergi, Simposium Nasional Perkembangan Terkini
Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi. (2006).Malang.
Syahrizal, Perbandingan Waktu Transportasi Mukosiliar hidung pada penderita
rinosinusitis kronis sebelum dan sesudah dilakukan endoskopi fungsional.(2009).
Bagian THT Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.
Tan dkk. The Effect of Intranasal Steroid on Nasal Mucosa in Rat Models of Allergic
Rhinitis.(2012). the First Affiliated Hospital of Guangxi Medical University,
Nanning,China.
Talango, Rita. Perbandingan Efektifitas Kombinasi Flutikason Furoat Intranasal dan
Loratadin Oral dengan Flutikason Furoat Intranasal Tunggal Berdasarkan Kadar
Eosinofil Mukosa Hidung Dan Gejala Klinis Penderita Rinitis Alergi.
(2010).Universitas Hasanuddin FK UNHAS, Makassar.
Virant F.S. Allergic Rhinitis, Immunology and Allergy Clinics of North America Rhinits.
Vol. 20 Number 2, edited by Lasley M.Y, W.B.(2005). Saunders Company,
Philadelphia, P.264-282
Zhu,Liu. Effects of intranasal corticosteroids on radiated nasal mucosa of guinea pig.
(2012). Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, the Second
Affiliated Hospital,NanchangUniversity,Nanchang,China.

Anda mungkin juga menyukai