Anda di halaman 1dari 74

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sinusitis merupakan proses peradangan pada mukosa atau selaput lendIr
sinus parasanal. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus
maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap
rongga sinus ini dilapisi lapisan mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
rongga hidung dan bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Pada kondisi anatomi dan fisiologis normal, sinus terisi udara. Deviasi dari
struktur anatomi normal maupun perubahan fungsi lapisan mukosa dapat
menjadi predisposisi penyakit sinus.
Sinusitis merupakan penyakit yang sangat lazim diderita di seluruh dunia,
hampir menimpa kebanyakan penduduk Asia. Penderita sinusitis bisa dilihat
dari ibu jari bagian atas yang kempot. Sinusitis dapat menyebabkan seseorang
menjadi sangat sensitif terhadap beberapa bahan, termasuk perubahan cuaca
(sejuk), pencemaran alam sekitar, dan jangkitan bakteri. Gejala yang mungkin
terjadi pada sinusitis adalah bersin-bersin terutama di waktu pagi, rambut
rontok, mata sering gatal, kaki pegal-pegal, cepat lelah dan asma. Jika kondisi
ini berkepanjangan akan meimbulkan masalah keputihan bagi perempuan, atau
ambeien (gangguan prostat) bagi laki-laki.
Menurut Lucas seperti yang di kutip Moh. Zaman, etiologi sinusitis sangat
kompleks, hanya 25% disebabkan oleh infeksi, sisanya yang 75% disebabkan
oleh alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang
menimbulkan perubahan-perubahan pada mukosa sinus. Suwasono dalam
penelitiannya pada 44 penderita sinusitis maksila kronis mendapatkan 8 di
antaranya (18,18%) memberikan tes kulit positif dan kadar IgE total yang
meninggi. Terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun dengan frekuensi
antara laki-laki dan perempuan seimbang. Hasil positif pada tes kulit yang
terbanyak adalah debu rumah (87,75%), tungau (62,50%) dan serpihan kulit
manusia (50%).

1
2

Sebagian besar kasus sinusitis kronis terjadi pada pasien dengan sinusitis
akut yang tidak respon atau tidak mendapat terapi. Peran bakteri sebagai
dalang patogenesis sinusitis kronis saat ini sebenarnya masih dipertanyakan.
Sebaiknya tidak menyepelekan pilek yang terus menerus karena bisa jadi pilek
yang tak kunjung sembuh itu bukan sekadar flu biasa.
Oleh karena faktor alergi merupakan salah satu penyebab timbulnya
sinusitis, salah satu cara untuk mengujinya adalah dengan tes kulit epidermal
berupa tes kulit cukit (Prick test, tes tusuk) di mana tes ini cepat, simpel, tidak
menyakitkan, relatif aman dan jarang menimbulkan reaksi anafilaktik. Uji
cukit (tes kulit tusuk) merupakan pemeriksaan yang paling peka untuk reaksi-
reaksi yang diperantarai oleh IgE dan dengan pemeriksaan ini alergen
penyebab dapat ditentukan.
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktik
dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan
tersering di dunia. Berdasarkan data National Health Interview Survey (2007),
rinosinusitis menjadi salah satu dari sepuluh diagnosis penyakit terbanyak di
Ameriksa Serikat. Dan untuk pertama kalinya diadakan studi epidemiologi
populasi di Eropa (2011) menggunakan kuisioner, sekitar 10.9% orang
memiliki gejala rinosinusitis kronik. Survei dari beberapa daerah di Kanada
melaporkan prevalensi rinosinusitis kronik mengenai rata-rata 5% dari
populasi umum.4,6 Depkes RI (2003) menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan dirumah sakit. Di Indonesia, pada bulan
Januari hingga Agustus 2005 tercatat data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut
sebanyak 435 pasien dan 69% (300 pasien) menderita rinosinusitis.
Di RS A. Dadi Tjokrodipo Provinsi Lampung tercatat sejak tiga bulan
terakhir untuk kasus THT sejak bulan Juni sampa Agustus 2019 berada pada
urutan ke 5 dan terdapat 20 pasien dengan Sinusitis.
Pengobatan sinusitis masih dalam perdebatan. Operasi atau obat atau
keduanya direkomendasikan sebagai pengobatan pilihan. Pengobatan polip
3

nasi meliputi obat, terutama topikal dan sistemik steroid. Banyak kepustakaan
telah menyatakan efektivitas penggunaan steroid. Tujuan pengobatan adalah
untuk mengecilkan ukuran polip, atau kalau mungkin membuangnya, sehingga
gejala hilang terutama sumbatan hidung, hiposmia, anosmia dan mengurangi
frekuensi infeksi serta memerbaiki gejala yang menyertai di saluran nafas
bawah, di samping itu juga mencegah komplikasi seperti mukokel dan gejala
pada mata. Steroid juga diindikasikan untuk persiapan operasi. Operasi
dilakukan bila pengobatan klinis dengan obat gagal (Marbun, 2018).
Pengobatan sinusitis meliputi kombinasi dari observasi, medikal, dan
operasi. Umumnya, pengobatan medikal telah diberikan di primer care
sebelum dikonsulkan ke spesialis THT. Tujuan pengobatan adalah untuk
menyingkirkan atau mengecilkan dengan signifikan ukuran polip nasi yang
mengakibakan obstruksi hidung, memerbaiki drainase sinus serta memerbaiki
penciuman dan pengecapan. Operasi pengangkatan sinusitis dicadangkan
untuk kasus yang berulang dengan pengobatan medikal. Terjadinya rekurensi
sekitar 5-10%. Teknik operasi telah terbukti berhasil membersihkan polip
nasi, dalam 20 tahun terahir dengan berkembangnya endoscopic sinus
surgery . Dengan pengertian lebih baik mengenai anatomi kompleks
osteomeatal (KOM) dan cara mukosiliari bekerja untuk membersihkan
(Marbun, 2018).
Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) saat ini merupakan hal
utama dalam pengobatan sinusitis. FESS telah digunakan dalam lebih dari dua
puluh tahun untuk penalataksaaan polip nasi, merupakan teknik yang minimal
invasif, dengan menggunakan endoskop untuk memulihkan nasociliary
clearance dari sekret, drainase, dan aerasi sinus. Endoskopi memberikan
visualisasi yang baik sehingga anatomi dapat terlihat jelas. Untuk
mendapatkan drainase sinus, perlu memelihara mukosa hidung, bila
mengalami kerusakan hebat maka harus diusahakan mengangkat yang
megalami keadaan patologik saja. Sel silia biasanya mengalami regenerasi
dalam enam bulan (Marbun, 2018).
4

Metode Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan


intervensi popular pada penyakit rhinosinusitis kronik, tetapi operasi ini tidak
menjamin menyembuhkan penyakit, terutama pada polip nasi. Rekurensi yang
tinggi setelah operasi telah dilaporkan. Tidak ada standar untuk mengevaluasi
status preoperasi dan hasil setelah operasi. Terris dan Davidson melaporkan
91% perbaikan setelah dilakukan FESS (Marbun, 2018).
Prosedur operasi merupakan salah satu bentuk terapi yang dapat
menimbulkan rasa takut, cemas sehingga stress, karena dapat mengancam
integritas tubuh, jiwa dan dapat menimbulkan rasa nyeri. Kecemasan adalah
emosi, perasaan yang timbul sebagai respon awal terhadap stress psikis dan
ancaman terhadap nilai – nilai yang berarti bagi individu (Wawan, 2017).
Setiap pasien yang akan menjalani prosedur operasi akan dilakukan
prosedur anestesi dan efek dari anastesi umum akan memberikan respon pada
sistem respirasi dimana akan terjadi respon depresi pernafasan sekunder dari
sisa anastesi inhalasi, penurunan kemampuan terhadap control kepatenan jalan
nafas dimana kemampuan memposisikan lidah secara fisiologis masih belum
optimal, sehingga cenderung menutup jalan nafas juga dan juga kemampuan
untuk melakukan batuk efektif dan muntah masih belum optimal. Kondisi ini
memberikan manifestasi adanya masalah keperawatan bersihan jalan nafas
tidak efektif (Muttaqin, 2009).
Selain masalah psikologis masalah fisik yang paling sering pada passion
operatif adalah risiko tinggi syok hipovolemik, risiko cidera, risiko infeksi,
nyeri akut, dan risiko hipotermi (Muttaqin, 2009).

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membuat laporan tugas


akhir yang berjudul “Asuhan Keperawatan Perioperatif pasien dengan
diagnosa sinusitis dengan tindakan operasi FESS (Functional Endoscopic
Sinus Surgery) terhadap Tn.A di ruang Operasi RSUD Dr. A Dadi
Tjcokrodipo Bandar Lampung tahun 2019”
5

1.2. Rumusan Masalah

Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Berdasarkan latar


belakang diatas, maka rumusan masalah dalam laporan tugas akhir ini adalah :
“Bagaimana Asuhan Keperawatan Perioperatif pasien dengan diagnosa sinusitis
dengan tindakan operasi FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery) terhadap
Tn.A di ruang Operasi RSUD Dr. A Dadi Tjcokrodipo Bandar Lampung tahun
2019”

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran tentang bagaimana asuhan keperawatan
perioperatif pasien dengan diagnosa sinusitis dengan tindakan operasi
FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery) terhadap Tn,A di ruang
Operasi RSUD Dr.A Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung tahun 2019”
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Melakukan asuhan keperawatan pre operasi dengan tindakan FESS
(Functional Endoscopy Sinus Surgery) atas indikasi Sinusitis di ruang
operasi RSUD A. Dadi Tjokrodrodipo
b. Melakukan asuhan keperawatan intra operasi dengan tindakan FESS
(Functional Endoscopy Sinus Surgery) atas indikasi Sinusitis di ruang
operasi RSUD A. Dadi Tjokrodrodipo
c. Melakukan asuhan keperawatan post operasi dengan tindakan FESS
(Functional Endoscopy Sinus Surgery) atas indikasi Sinusitis di ruang
operasi RSUD A. Dadi Tjokrodrodipo
6
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Definisi

Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau


selaput lendir sinus parsial. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan
pembentukan cairan atau kerusakan tulang dibawahnya. Sinus paranasal
adalah ronga rongga yang terdapat pada tulang – tulang di wajah. Terdiri dari
sinus frontal (di dahi), sinus etmoid (pangkal hidung), sinus maksila (pipi
kanan dan kiri), sinus sphenoid (di belakang sinus etmoid). (Efiaty, 2007)
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus
yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis
frontal, dan sinusitis sphenoid. (Endang mangunkususmo dan Nusjirwan
Rifki, 2001)
Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis
etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang. Pada anak hanya
sinus maksila dan sinus etmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan
sinus sphenoid belum.

7
8

Sinus maksila disebut juga antrum highmore, merupakan sinus yang


sering terinfeksi, oleh karen merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak
ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran secret (drenase) dari sinus
maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar sinus maksila adalah dasar
akar gigi (prosesus alveolaris) sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan
sinusitis maksila, ostirium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar
hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Menurut Soepardi, EA. 2007
1. Anatomi

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang


sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu.
Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus
maksila,sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenid kanan dan kiri. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang – tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung.
9

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa


rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan,
kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid
telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus
etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi
sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
posterosuperior rongga hidung. Sinus – sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun.
a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml,sinus kemudian berkembang
dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,yaitu 15 ml saat
dewasa.Sinus maksila berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal mkasila, dinding
medialnya ialah dinding dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus
maksila adalah 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar
gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 danM2),
kadang – kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3,bahkan akar-
akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi
geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis maksila
dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila
terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya 
tergantung dari gerak silia, lagi pula dreanase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
10

daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya


menyebabkan sinusitis.

b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak
bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-
sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai
berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya
tidak simetris, satu lebih besar dari lainya dan dipisahkan oleh sekat
yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kuran lebih 5% sinus frontalnya
tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm
dan dalamnya 2 cm. sinus fronta biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk. Taidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-
lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relative tipis dari
orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus fronta
mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrenase melalui
ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.

c. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling
bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat
merupakan focus bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk
sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya
0,5 cm dibagian anterior dan 1,5 cm dibagian posterior.
11

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang


menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral
os etmoid, yang terletak diantar konka media dan dinding dinding
medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya,
sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya
di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media
dengan dinding lateral ( lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan
terletak diposterior dari lamina basalis.
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang
sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan sinus frontal. Selo
etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang di sebut infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan
diresesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan
dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid darirongga orbita. Di
bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid.

d. Sinus Sfenoid  
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus
etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut
septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3
cm dan lebarnya 1,7 cm. volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml.
saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian lateral os
12

sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan


tampak sebagai indensitasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri
media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis
interna (sering tampak sebagai indentasi) dan disebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior didaerah pons.

2. Fisiologi
Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi
sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak
mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain :
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini
ialah karean ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive
antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam
ventilasi sinus kurang lebih 1/1000  volume sinus pada tiap kali
bernafas, sehingga di butuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara
total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators) 
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
Akan tetapi kenyataanya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara
hidung dan organ-organ yang di lindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
13

Sinus membantu keseimbanga kepala karena mengurangi berat tulang


muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya
aka memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonasi suara
Sinus ini mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonasi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat,
posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
sebagai resonator yang efektif. Lagi pula tidaj ada kolerasi antara
resonasi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mucus
Mucus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang masuk dengan udara inspirasi karena
mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.3 Etiologi
Menurut Amin dan Hardhi, 2015
Sinusitis paranasal salah satu fungsinya adalah menghasilkan lender yang
dialirkan ke dalam hidung, untuk selanjutnya dialirkan ke belakang, kea rah
tenggorokan untuk ditelan di saluran pencernaan. Semua keadaan yang
mengakibatkan tersumbatnya aliran lendir dari sinus ke rongga hidung akan
menyebabkan terjadinya sinusitis. Secara garis besar penyebab sinusitis ada 2
macam, yaitu :
a. Faktor local adalah smua kelainan pada hidung yang dapat
mnegakibatkan terjadinya sumbatan; antara lain infeksi, alergi,
kelainan anatomi, tumor, benda asing, iritasi polutan, dan gangguan
pada mukosilia (rambut halus pada selaput lendir)
14

b. Faktor sistemik adalah keadaan diluar hidung yang dapat


menyebabkan sinusitis; antara lain gangguan daya tahan tubuh
(diabetes, AIDS), penggunaan obat – obat yang dapat mengakibatkan
sumbatan hidung

1. Penyebab pada sinusitis akut adalah :

a. Infeksi virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah adanya infeksi virus pada saluran
pernafasan bagian atas (misalnya Rhinovirus, Influenza virus, dan
Parainfluenza virus).

b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam
keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh
menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi
virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan
berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi
infeksi sinus akut.
15

c. Infeksi jamur
Infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut pada penderita
gangguan sistem kekebalan, contohnya jamur Aspergillus.

d. Peradangan menahun pada saluran hidung

2. Penyebab pada Sinusitis Kronik adalah

a. Sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh

b. Alergi

c. Karies dentis ( gigi geraham atas )

d. Septum nasi yang bengkok sehingga menggagu aliran mucosa.

e. Benda asing di hidung dan sinus paranasal

f. Tumor di hidung dan sinus paranasal.

2.4 Tanda dan Gejala


Menurut Amin dan Hardhi, 2015
1. Secara umum, tanda dan gejala dari penyakit sinusitis adalah :
a. Hidung tersumbat
b. Nyeri di daerah sinus
16

c. Sakit Kepala

d. Hiposmia / anosmia

e. Hoalitosis
17

f. Post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak

2. Sinusitis maksila akut


Gejala : Demam, pusing, ingus kental di hidung, hidung tersumbat,m nyeri
tekan, ingus mengalir ke nasofaring, kental kadang-kadang berbau dan
bercampur darah.
3. Sinusitis etmoid akut
Gejala : Sekret kental di hidung dan  nasofaring, nyeri di antara dua mata,
dan pusing.
4. Sinusitis frontal akut
Gejala : Demam,sakit kepala yang hebat pada siang hari, tetapi berkurang
setelah sore hari, sekret kental dan penciuman berkurang.
5. Sinusitis sphenoid akut  
Gejala : Nyeri di bola mata, sakit kepala, dan terdapat sekret di nasofaring
6. Sinusitis Kronis
Gejala  : Flu yang sering kambuh, ingus kental dan kadang-kadang
berbau,selalu terdapat ingus di tenggorok, terdapat gejala di organ lain
misalnya rematik, nefritis, bronchitis, bronkiektasis, batuk kering, dan
sering demam.

2.5 Klasifikasi
Menurut D. Thane R. Cody dkk, 1986
Klasifikasi sinusitis berdasarkan patologi berguna dalam penatalaksanaan
pasien. Di samping menamakan sinus yang terkena, beberapa konsep seperti
lamaya infeksi sinus, harus menjadi bagian klasifikasi
a. Sinusitis Akut
Sinusitis akut merupakan suatu proses infeksi di dalam sinus yang
berlangsug dari satu hari sampai 3 minggu.
b. Sinusitis Sub Akut
18

Sinusitis sub akut merupakan infeksi sinus yang berlangsung dari 4


minggu sampai 12 minggu. Perubahan epitel di dalam sinus biasanya
reversible pada fase akut dan sub akut, biasanya perubahan tak reversible
timbul setelah 3 bulan sinusitis sub akut yang berlanjut ke fase
berikutnya / kronik.
c. Sinusitis Kronik
Fase kronik dimulai setelah 12 minggu dan berlangsung sampai waktu
yang tidak terbatas.

2.6 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus
juga mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia
tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative
di dalam ronga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula
serous. Kondisi ini biasa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Secret
menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bacterial dan
memerlukan terapi antibiotic. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada
factor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bacteri anaerob
berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus
yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi.
Klasifikasi dan mikrobiologi: Consensus international tahun 1995
membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai 8 minggu dan kronik
19

jika lebih dari 8 minggu. Sedangkan Consensus tahun 2004 membagi menjadi
akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan
dan kronik jika lebih  dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab
rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati
secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya factor predisposisi harus dicari
dan di obati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bacteri utama yang ditemukan pada
sinusitis akut adalah streptococcus pneumonia (30-50%). Hemopylus
influenzae (20-40%) dan moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M.Catarrhalis
lebih banyak di temukan (20%). Pada sinusitis kronik, factor predisposisi lebih
berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong ka rarah bakteri
negative gram dan anaerob.

2.7 WOC (Web Of Caution)

Infeksi oleh virus / bakteri Membran mukosa sinus Inflamasi

Peningkatan sekresi Hilangnya fungsi silia Edema, kemerahan,


mukus normal demam, nyeri kepala

Obstruksi hidung Bakteri dapat masuk dan Hipertermi


(Hidung tersumbat) berkembang Nyeri

Bakteri dapat tumbuh Obstruksi sinus pada


dengan baik nasal

Penyebaran bakteri
secara sistemik Iritasi sinus Kesalahan interpretasi
20

Gangguan organ Sekresi nasal yang Defisiensi pengetahuan


purulen Ansientas
sistemik

Komplikasi Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
Gangguan menelan

Intracranial Orbita, osteomielitis &


abses sub periosteal pada
tulang frontal
Meningitis akut
Abses subdural di otak

2.8 Epidemiologi
Angka kejadian sinusitis sulit diperkirakan secara tepat karena tidak ada
batasan yang jelas mengenai sinusitis. Dewasa lebih sering terserang sinusitis
dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya infeksi saluran nafas atas
pada dewasa yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Amin dan Hardhi, 2015
1. Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan Rinoskopi anterior akan didapatkan mukosa yang
edema dan hiperemis, terlihat sekret mukopus pada meatus media. Pada
sinusitis ethmoiditis kronis eksasserbasi akut dapat terlihat suatu kronisitas
misalnya terlihat hipertrofi konka, konka polipoid ataupun poliposis
hidung.
2. Rinoskopi posterior
21

Pada pemerikasaan Rinoskopi posterior, tampak sekret yang purulen di


nasofaring dan dapat turun ke tenggorokan.
3. Nyeri tekan pipi sakit
4. Transiluminasi
Dilakukan di kamar gelap memakai sumber cahaya penlight berfokus jelas
yang dimasukkan ke dalam mulut dan bibir dikatupkan. Arah sumber
cahaya menghadap ke atas. Pada sinus normal tampak gambaran terang
pada daerah glabella. Pada sinusitis ethmoidalis akan tampak kesuraman

5. X Foto sinus paranasalais : Kesuraman, Gambaran “airfluidlevel”,


Penebalan mukosa

2.10 Komplikasi
Menurut Efiaty Arsyad Soepardi, 2001
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjdi ialah :
1. Osteomielitis dan abses sub periostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frotal dan biasanya ditemukan pada
anak – anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula
oroantral.
2. Kelainan orbita
22

Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang


paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses sub periostal, abses orbita dan selanjutnya dapat
terjadi thrombosis sinus cavernosus.
3. Kelainan intracranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau sub dural, abses otak dan
thrombosis sinus cavernosus

2.11 Pencegahan
1. Makan-makanan bergizi serta konsumsi vitamin C untuk menjaga dan
memperkuat daya tahan tubuh
2. Rajin berolahraga, karena tubuh yang sehat tidak mudah terinfeksi virus
maupun bakteri
3. Hindari stres
4. Hindari merokok
5. Usahakan hidung selalu lembab meskipun udara sedang panas
6. Hindari efek buruk dari polusi udara dengan menggunakan masker
7. Bersihkan ruang tempat tinggal
8. Istirahat yang cukup
9. Hindari alergen (debu,asap,tembakau) jika diduga menderita alergi

2.12 Penatalaksanaan
Menurut Amin & Hardhi, 2015
Prinsip pengobatan ialah menghilangkan gejala membrantas infeksi,dan
menghilangkan penyebab. Pengobatan dpat dilakukan dengan cara konservatif
dan pembedahan. Pengobatan konservatif terdiri dari :
1. Istirahat yang cukup dan udara disekitarnya harus bersihdengan kelembaban
yang ideal 45-55%
23

2. Antibiotika ayang adekuat palingsedikit selama 2 minggu


3. Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri
4. Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh diberikan lebih
dari pada 5harikarena dapat terjadi Rebound congestion dan Rhinitis
redikamentosa. Selain itu pada pemberian dekongestan terlalu lama dapat
timbul rasa nyeri, rasa terbakar,dan kering karena arthofi mukosa dan
kerusakan silia
5. Antihistamin jikaada factor alergi
6. Kortikosteoid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang cukup
parah.
Pengobatan operatif dilakukan hanya jika ada gejala sakit yang kronis, otitis
media kronik, bronchitis kronis, atau ada komplikasi serta abses orbita atau
komplikasi abses intracranial. Prinsip operasi sinus ialah untuk memperbaiki
saluran sinus paranasalis yaitu dengan cara membebaskan muara sinus dari
sumbatan. Operasi dapat dilakukan dengan alat sinoskopi (1-“ESS=
fungsional endoscopic sinus surgery). Tekhnologi ballon sinuplasty
digunakan sebagai perawatan sinusitis. Tekhnologi ini, sama dengan balloon
Angioplasty untuk menggunakan kateter balon sinus yang kecil dan lentur
(fleksibel) untuk membuka sumbatan saluran sinus, memulihkan saluran
pembuangan Sinus yang normaldan fungsi-fungsinya. Ketika balon
mengembang, ia akan secaraperlahan mengubah struktur dan memperlebar
dinding-dinding dari saluran tersebut tanpa merusak jalur sinus.
24

2.13  KONSEP DASAR KEPERAWATAN


2.13.1 Pengkajian Pre Operasi
Pengkajian keperawatan polip menurut McClay JE (2007)
a.    Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.
b.    Riwayat Penyakit sekarang :
c.    Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas, nyeri.
d.    Riwayat penyakit dahulu :
1)    Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau
trauma
2)    Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
3)    Pernah menedrita sakit gigi geraham.
e.    Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga
yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
f.     Riwayat spikososial
1)    Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
2)    Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
g.    Pola fungsi kesehatan
1)    Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
-       Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping
2)    Pola nutrisi dan metabolisme :
-       biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada
hidung
3)    Pola istirahat dan tidur
-       selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering
pilek
4)    Pola Persepsi dan konsep diri
-          klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri
menurun
5)    Pola sensorik
25

-          daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek


terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
h.    Pemeriksaan fisik
1)    status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
2)    Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan
bengkak).
Data subyektif :
a)    Hidung terasa tersumbat, susah bernafas
b)    Keluhan gangguan penciuman
c)    Merasa banyak lender, keluar darah
d)    Klien merasa lesu, tidak nafsu makan
e)    Merasa pusing
Data Obyektif
a)    Demam, drainage ada : Serous, Mukppurulen, Purulen
b)    Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan sinus
yang mengalami radang ? Pucat, edema keluar dari hidung atau mukosa sinus.
c)    Kemerahan dan edema membran mukosa

d)    Pemeriksaan penunjung :Kultur organisme hidung dan tenggorokan


2.13.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang sering muncul pada pre operasi adalah :

1. Ansietas b.d Krisis Situasional


2. Nyeri akut b.d agen pencidera fisiologis
3. Defisit pengetahuan b.d kurang terpaprnya informasi (SDKI, 2018)

2.13.3 Rencana Intervensi

Menurut SDKI (2018) Intervensi keperawatan yang dilakukan


berdasarkan 3 diagnosa diatas adalah :

1. Ansietas b.d Krisis Situasional


Intervensi :
Observasi :
26

 Identifikasi saat tingkat ansietas berubah ( misal : kondisi,


waktu, stresor)
 Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
 Monitor tanda-tanda ansietas ( verbal dan non verbal)

Teraupetik :

 Ciptakan suasana teraupetik untuk menumbuhkan


kepercayaan
 Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
 Pahami situasi yang membuat ansietas
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
 Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan
 Motivasi mengidentifikasi situassi yang memicu kecemasan
 Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan
datang

Edukasi :

 Jelaskan prosedur serta sensasi yang mungkin dialami


 Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan
dan prognosis
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
 Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
 Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
 Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
 Latih tekhnik relaksasi

Kolaborasi :

 Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu


27

2. Nyeri akut b.d agen pencidera fisiologis


Intervensi :
Observasi :
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor efek samping penggunaan analgetik

Teraupetik :

 Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa


nyeri ( misal : TENS, hipnosis, akupresure, terapi musik,
biofeedback ,terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin.)
 Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri ( misal : suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan.)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri

Edukasi :

 Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri


 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan eknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
28

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian analgetik , jika perlu

3. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi

Intervensi :

Observasi :

 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi


 Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan
menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan sehat.

Teraupetik :

 Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan


 Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
 Berikan kesempatan untuk bertanya

Edukasi :

 Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan


 Ajarkan perilaku hidup dan sehat
 Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat

2.14 Intra Operasi

2.14.1 Pengkajian Fokus Keperawatan Intra Operasi


Pengkajian intraoperatif bedah THT secara ringkas mengkaji hal-hal
yang berhubungan dengan pembedahan . Diantaranya adalah validasi
identitas dan prosedur jenis pembedahan yang akan dilakukan, serta
konfirmasi kelengkapan data penunjang laboratorium dan radiologi .
(Muttaqin , 2009)
29

2.14.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosis keperawatan intraoperatif bedah THT yang lazim adalah
sebagai berikut :
1. Risiko perdarahan b.d tindakan pembedahan
2. Risiko hipotermi b.d suhu lingkungan rendah (SDKI, 2018)
2.13.3 Rencana Intervensi

Menurut SDKI (2018) Intervensi keperawatan yang dilakukan


berdasarkan diagnosa diatas adalah :

1. Risiko jatuh b.d tindakan pembedahan


Intervensi :
Observasi :
 Monitor tanda dan gejala perdarahan
 Monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan sesudah
kehilangan darah
 Monitor tanda-tanda vital ortostatik
 Monitor koagulasi

Teraupetik :

 Pertahankan bedrest selama perdarahan


 Batasi tindakan invasif, jika perlu
 Gunakan kasur pencegah dekubitus
 Hindari pengukuran suhu rektal

Edukasi :

 Jelaskan tanda dan gejala perdarahan


 Anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulasi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk mencegah
konstipasi
 Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
 Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
30

 Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan

Kolaborasi :

 Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu


 Kolaborasi pemberian produk darah , jika perlu
 Kolaborasi pemberian pelunak tinja , jika perlu

2. Risiko hipotermi perioperatif b.d suhu lingkungan rendah


Intervensi :
Observasi :
 Monitor suhu tubuh
 Identifikasi penyebab hipotermia, ( Misal : terpapar suhu
lingkungan rendah, kerusakan hipotalamus, penurunan laju
metabolisme, kekurangan lemak subkutan )
 Monitor tanda dan gejala hipotermia

Teraupetik :

 Sediakan lingkungan yang hangat ( misal : atur suhu ruangan)


 Ganti pakaian atau linen yang basah
 Lakukan penghangatan pasif (misal : selimut, menutup
kepala, pakaian tebal)
 Lakukan penghatan aktif eksternal (Misal : kompres hangat,
botol hangat, selimut hangat, metode kangguru)
 Lakukan penghangatan aktif internal ( misal : infus cairan
hangat, oksigen hangat, lavase peritoneal dengan cairan
hangat)

Edukasi :

 Anjurkan makan/minum hangat


31

2.15 Post Operasi


2.15.1 Pengkajian Fokus Keperawatan Post Operasi
Pengkajian post operasi dilakukan secara sitematis mulai dari pengkajian awal
saat menerima pasien, pengkajian status respirasi, status sirkulasi, status
neurologis dan respon nyeri, status integritas kulit dan status genitourinarius.
a. Pengkajian Awal
Pengkajian awal post operasi adalah sebagai berikut
 Diagnosis medis dan jenis pembedahan yang dilakukan
 Usia dan kondisi umum pasien, kepatenan jalan nafas, tanda-tanda
vital
 Anastesi dan medikasi lain yang digunakan
 Segala masalah yang terjadi dalam ruang operasi yang mungkin
memengaruhi peraatan pasca operasi
 Patologi yang dihadapi
 Cairan yang diberikan, kehilangan darah dan penggantian
 Segala selang, drain, kateter, atau alat pendukung lainnya
 Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau ahli anastesi yang akan
diberitahu

b. Status Respirasi
a) Kontrol pernafasan
 Obat anastesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernapasan
 Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman ventilasi
pernapasan, kesemitrisan gerakan dinding dada, bunyi nafas, dan
arna membran mukosa
b) Kepatenan jalan nafas
 Jalan nafas oral atau oral airway masih dipasang untuk
mempertahankan kepatenan jalan nafas sampai tercapai pernafasan
yang nyaman dengan kecepatan normal
32

 Salah satu khawatiran terbesar perawat adalah obstruksi jalan nafas


akibat aspirasi muntah, okumulasi sekresi, mukosa di faring, atau
bengkaknya spasme faring
c) Status Sirkulasi
 Pasien beresiko mengalami komplikasi kardiovaskuler akibat
kehilangan darah secara aktual atau resiko dari tempat
pembedahan, efek samping anastesi, ketidakseimbangan elektrolit,
dan defresi mekanisme regulasi sirkulasi normal.
 Pengkajian kecepatan denyut dan irama jantung yang teliti serta
pengkajian tekanan darah menunjukkan status kardiovaskuler
pasien.
 Perawat membandingkan TTV pra operasi dan post operasi
d) Status Neurologi
 Perawat mengkaji tingkat kesadaran pasien dengan cara memanggil
namanya dengan suara sedang
 Mengkaji respon nyeri
e) Muskuloskletal
Kaji kondisi organ pada area yang rentan mengalami cedera posisi post
operasi

2.14.2 Diagnosis Keperawatan Post Operasi


Diagnosa yang sering muncul pada post operasi adalah :
1. Nyeri akut b.d agen pencidera fisik
2. Risiko hipotermi perioperatif b.d suhu lingkungan rendah
3. Risiko Jatuh b.d efek agen farmakologis (SDKI, 2018)

2.14.3 Intervensi
Menurut SDKI (2018) Intervensi keperawatan yang dilakukan berdasarkan
diagnosa diatas adalah :
1. Nyeri akut b.d agen pencidera fisik
Intervensi :
33

Observasi :
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup

Teraupetik :

 Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri


( misal : TENS, hipnosis, akupresure, terapi musik,
biofeedback ,terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin.)
 Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri ( misal : suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan.)
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi :

 Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri


 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan eknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
34

 Kolaborasi pemberian analgetik , jika perlu

2. Risiko hipotermi perioperatif b.d suhu lingkungan rendah


Intervensi :
Observasi :
 Monitor suhu tubuh
 Identifikasi penyebab hipotermia, ( Misal : terpapar suhu
lingkungan rendah, kerusakan hipotalamus, penurunan laju
metabolisme, kekurangan lemak subkutan )
 Monitor tanda dan gejala akibat hipotermi

Teraupetik :

 Sediakan lingkungan yang hangat ( misal : atur suhu ruangan)


 Lakukan penghangatan pasif (Misal : Selimut, menutup
kepala, pakaian tebal)
 Lakukan penghatan aktif eksternal (Misal : kompres hangat,
botol hangat, selimut hangat, metode kangguru)
 Lakukan penghangatan aktif internal ( misal : infus cairan
hangat, oksigen hangat, lavase peritoneal dengan cairan
hangat)
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Tinjauan Kasus (Pengkajian)


Identitas Pasien
Nama : Tn.A
Umur : 61 Tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Suku/Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SMA
Gol.Darah :O
Alamat : Kp. Baru Panjang utara
Tanggunagn : BPJS
No.RM : 33987 - 19
Tgl Masuk Rs : 01 Oktober 2019
Diagnosa : Sinusitis

A. Riwayat Praoperatif
1. Pasien mulai dirawat tgl : 01 Oktober 2019 Diruang E-3
2. Ringkasan hasil anamnesa preoperatif :
Setelah dilakukan pengkajian tanggal 02 oktober 2019 pasien mengeluh
nyeri kepala dan tenggorokan, nyeri ini dirasakan sejak 7 hari yang lalu
disertai pilek yang sering kambuh & ingu yang kental di hidung, nyeri
dirasakan semakin bertambah jika pasien menelan makanan dan
menundukan kepala, nyeri seperti tertusuk – tusuk, skala nyeri 4. Pasien
juga merasakan cemas karna baru pertama kali melakukan operasi, pasien
tampk menanyakan tentang prosedur operasi yang dilakukan, pasien
tampak menanyakan hasil operasi yg akan dijalaninya seperti apa.

35
36

3. Hasil Pemeriksaan Fisik


a. Tanda-tanda vital :
Tanggal 02 Oktober 2019 Pukul : 08.00 WIB
Kesadaran : Composmentis GCS : 15 Orientasi : Baik
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 86 x/m
Suhu : 36,7 0C
Pernafasan : 22 x/m

b. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala Dan Leher :
 INSPEKSI
Tidak ada lesi , tidak ada pembengkakan , tidak ada jejas ,
warna sama dengan warna kulit lain.
 PALPASI
Tidak ada nyeri tekan pada mata dan, mulut, terdapat nyeri
tekan di area hidung , Tidak ada nyeri tekan pada telinga, tidak
ada distensi vena jugularis dan tidak ada pembesaran tiroid

2. Thorax ( Jantung Dan Paru ) :


 INSPEKSI
Simetris, tidak ada lesi, pergerakan dinding dada simetris kiri
dan kanan
 PALPASI
Terdapat neyri tekan, tidak ada krepitasi, tidak ada massa.
 PERKUSI
Suara perkusi sonor
 AUSKULTASI
Suara jantung S1 dan S2 reguler , tidak ada suara tambahan ,
suara nafas vesikuler.
37

3. Abdomen :
 INSPEKSI
Simetris kiri dan kanan, tidak ada lesi, tidak ada distensi
abdomen
 AUSKULTASI
Suaru bising usus 17x/m
 PALPASI
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada distensi abdomen
 PERKUSI
Suara perkusi timpani

4. Ekstremitas ( atas dan bawah)

Tidak ada lesi pada ekstremitas atas dan bawah , tidak ada
pembengkakan , tidak ada nyeri tekan, kekuatan otot

Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium

Nama Pasien : Tn. A Tgl pemeriksaan : 24


september 2019

No RM : 33987-19 Diagnosa :
Sinusitis

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN KETERANGAN


HEMATOLOGI
Hematologi rutin
Leukosit 5,39 /ul 5- 10
Eritrosit 2,92 /ul 3,09- 5,05
38

Hemaglobin 10,7 g/dl 12-16


Hematokrit 26,2 % 37-48
MCV 89,9 fl 80-92
MCH 30,5 Pg 27- 31
MCHC 34,0 g/dl 32- 36
Trombosit 508 /ul 150-450
RDW 13,5 % 12,4 -14,4
MPV 7,7 Fl 7,3- 9
HEMOSTATIS
Masa pendarahan 300 Menit 100- 600
Masa pembekuan 1300 Menit 900-1500
KIMIA KLINIK
Ureum 50,6 Mg/dl 15- 40
Kreatinin 1,41 Mg/dl 0,6- 40
IMUNOLOGI
HBsAg Non reaktif Non reaktif

Skala nyeri menurut VAS (Visual Analog Scale)

Ket :
Klien megatakan nyeri kepala dan tenggorokan nyeri dirasakan sejak 7
hari yg lalu nyeri seperti tertusuk tusuk, skala nyeri 4

c. Prosedur Khusus Sebelum Pembedahan


39

No Prosedur Ya Tdk Waktu Ket


1. Tindakan persiapan psikologis pasien 

2. Lembar informed consent 

3. Puasa 

4. Pembersihan kulit ( pencukuran rammbut) 

5. Pembersihan saluran pencernaan ( lavement/obat 


pencahar)
6. Pengosongan kandung kemih 

7. Transfusi darah 

8. Terapi cairan infus 

9. Penyimpanan perhiasan, acsesoris, kacamata, 


anggota tubuh palsu
10. Memakai baju khusu operasi 

d. Pemberian obat-obatan
a. Obat pramedikasi (diberikan sebelum hari pembedahan)
Tgl/Jam Nama Obat Jenis Obat Dosis Rute
25-09-19 Ceftriaxone Antibiotik 1 gr/12 Intravena
jam
25-09-19 Ketorolac Analgetik 30 mg/8 Intravena
jam

b. Obat pra-pembedahan ( diberikan 1-2 jam sebelum pembedahan)


Tgl/Jam Nama Obat Jenis Obat Dosis Rute
26 - 09 - Anbacim Antibiotik 1 gram Intravena
19
10.45
40

e. Pasien dikirim keruang operasi


Pasien dikirim pada tanggal 02 Oktober 2019 pukul 10.00 WIB. Pasien
datang dengan kesadaran composmentis ( GCS 15)
Keterangan : Saat tiba diruang operasi pasien tampak cemas, pasien
tampak terus menanyakan prosedur yang akan dilakukan , pasien
mengatakan ia takut untuk melakukan prosedur operasi . Pasien juga
megatakan ini adalah operasinya yang pertama .

B. Intraoperatif
a. Tanda-tanda vital
Tanggal : 02 Oktober 2019 Pukul : 10.15 WIB
TD : 130/90 mmHg
Nadi : 92 x/m
Suhu : 36,3 0C
Pernafasan : 22 x/m

b. Posisi pasien di meja operasi : Supine


c. Jenis operasi : Mayor
Nama operasi : FESS (fungsional endoscopic sinus surgery)
Area/bagian tubuh yang dibedah : Hidung sebelah kanan

d. Tenaga medis dan perawat di ruang operasi :


 Dokter anastesi : dr. Farida Sp.An
 Asisten dokter anastesi :-
 Dokter bedah : dr. Rina Hayati Sp.THT
 Asisten bedah : Ns. Elko S.Kep
 Perawat instrumentator : Ns. Dian S.Kep
 Perawat sirkuler : Ns. Tomi S.kep
41

SURGICAL PATIENT SAFETY CHECKLIST


SIGN IN TIME OUT SIGN OUT
 Identitas pasien  Setiap anggota team operasi Melakukan pengecekan :
 Prosedur memperkenalkan diri dan  Prosedur sudah di catat
 Sisi operasi sudah benar peran masing-masing.  Kelengkapan spons
 Persetujuan untuk  Tim operasi memastikan  Penghitungan instrumen
operasi telah diberikan bahwa semua orang di ruang  Pemberian lab PA pada
 Sisi yang akan di operasi operasi saling kenal. spesimen
telah ditandai  Sebelum melakukan sayatan  Kerusakan alat atau
 Ceklist keamanan pertama pada kulit : masalah lain yang perlu
anestesi telah dilengkapi  Operasi yang benar ditangani.
 Oksimeter pulse pada  Pada pasien yang benar  Tim bedah membuat
pasien berfungsi apakah  Antibiotik profiklasis telah di perancanaan post operasi
pasien memiliki alergi? berikan dalam 60 menit sebelum memindahkan
 Ya sebelumnya. pasien dari kamar
 Tidak operasi.
Apakah resiko kesulitan
jalan nafas / aspirasi ?
Tidak
Ya, telah disiapkan
peralatan
Resiko kehilangan darah
> 500ml pada orang
dewasa atau > ml/kg BB
pada anak-anak
Tidak
Ya, peralatan akses
cairan telah direncanakan

e. Pemberian obat anastesi


Dilakukan anastesi general
42

Tgl/Jam Nama Obat Dosis Rute


02 Oktober Ketamin 1x2 mg Intravena
2019
10.50
10.50 Dexamethasone 10 mg Intravena
10.50 Propofol 1x2 mg Intravena
10.50 Midozolam 1x2 mg Intravena

f. Tahap-tahap /kronologis pembedahan


Waktu/Tahap Kegiatan
1. Desinfeksi area operasi
2. Evaluasi posisi penglihatan bilateral
3. Tampon dimasukkan 1:4
4. Dilakukakn reseksi di area sinus
5. Dibilas menggunakan NaCl
6. Ditampon pada area yg berdarah
7. Tampon ditutup menggunakan kassa
8. Operasi selesai
9. Pasien dipindahkan di ruang pemulihan

g. Tindakan bantuan yang diberikan selama pembedahan


 Pemberian oksigen
 Pemberian suction
 Pemasangan intubasi
 Lain-lain : Pasien mengalami perdarahan intraopersi kurang lebih 450
cc

h. Pembedahan berlangsung selama 1,5 jam


i. Komplikasi dini setelah pembedahan ( saat pasien masih berada diruang
operasi) : Tidak terdapat komplikasi saat pembedahan
C. Post Operasi
a.Pasien dipindahkan keruang PACU/RR pukul 13.15
43

b.Keluhan saat di RR/PACU : Nyeri


c.Airway : Tidak ada masalah pada jalan nafas
d.Breathing : Pasien terpasang O2 nasal kanul 3 l/m
SPO2 : 98%
e.Sirkulasi : pasien erpasang infus RL 26 tt/m
f.Observasi Recovery Room :

ALDRETE SCORE (DEWASA)


NO KRITERIA SCORE SCORE
1. Warna Kulit
 Kemerahan/normal 2
 Pucat 1 2

 Sianosis 0
2. Aktifitas Motorik
 Gerak 4 anggota tubuh 2
 Gerak 2 anggota tubuh 1 2

 Tidak ada gerakan 0


3. Pernafasan
 Nafas dalam , batuk dan tangis 2
kuat 1 2
 Nafas dangkal da adekuat 0
 Apnea atau nafas tidak adekuat
4. Tekanan Darah
 ± 20 mmHg dari pre operasi 2
 20-50 mmHg dari pre operasi 1 2

 ± 50 mmHg dari pre operasi 0


5. Kesadaran
 Sadar penuh mudah dipanggil 2
 Bangun jika dipanggil 1 1

 Tidak ada respon 0


Jumlah 9
44

g. Keadaan Umum : Sedang


h. Tanda-tanda vital
 Nadi : 96 x/m
 Suhu : 36,0 0C
 Pernafasan : 22 x/m
 Saturasi O2 : 98 %
i. Kesadaran : Somnolen
j. Balance Cairan
Pukul Intake Jml Output Jml
(cc) (cc)
o Oral o Urine 700 cc
o Enteral o Muntah
o Parenteral 2000 o Iwl 70 cc

o ..... cc o Perdarahan 450 cc

Jumlah 2000 1.220


cc cc
Balance Cairan : 780 cc
Pengobatan : Ketorolac 30 mg Intravena

k. Survey sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas :


Normal Jika tidak normal, jelaskan
YA TIDAK
Kepala  Terdapat tampon di hidung sebelah kanan
Leher 
Dada 
Abdomen 
Genetalia  Pasien terpasang kateter , urine ±700 cc
Integumen 
Ekstremitas 

Skala nyeri menurut VAS (Visual Analog Scale)


45

3.2 Analisis Data


Data Subyektif Dan Obyektif Masalah Keperawatan Etiologi
Pre Operasi Anxietas Krisis Situasional
DS :
 Pasien mengatakan cemas
 Pasien mengatakan khawatir dengan
akibat yang akan dialaminya
 Pasien mengatakan ini adalah
operasinya yang pertama
DO :
 Pasien tampak cemas
 Pasien tampak menanyakan terus-
menerus tentang prosedur yang akan
dilakukan
 TTV :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 90 x/m
Suhu : 36,7 0C
Pernafasan : 22 x/m
Intra Operasi Resiko Hipotermi Terpapar suhu
DS : - lingkungan
DO :
 Akral dingin
 Suhu : 35.8C
 Nadi : 98x/m
 Perdarahan : 450cc
46

 Lama operasi : ±2 jam


 Klien dilakukan general anastesi
Post Operasi / di RR Resiko Jatuh Pengaruh
DS : - Anastesi.
DO :
 Pasien tampak gelisah
 Pasien masih dalam pengaruh general
anastesi.

3.3 Daftar Diagnosa Keperawatan


Tahapan Masalah Keperawatan Etiologi
Pre Operasi Anxietas Krisis Situasional
Intra Operasi Resiko Hipotermi Terpapar suhu
lingkungan
Post Operasi Resiko Jatuh Pengaruh Anastesi

3.4 Rencana Keperawatan


No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Anxietas b.d Krisis Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda ansietas
Situasional keperawatan diharapkan 2. Monitor TTV
Ansietas berkurang dengan 3. Ciptakan suasana teraupetik
KH : untuk menumbuhkan
1. Pasien tampak rileks kepercayaan
2. Pasien mengatakan 4. Temani pasien untuk
tidak cemas lagi mengurangi kecemasan
3. TTV dalam batas 5. Anjurkan pasien
normal mengungkapkan apa ang
dirasakan
6. Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
7. Ajarkan teknik relaksasi nafas
dalam
47

8. Jelaskan prosedur termasuk


sensasi yang mungkin dialami
2. Resiko Hipotermi b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda dan gejala
terpapar suhu keperawatan diharapkan hipotermi
lingkungan hipotermi tidak terjadi 2. Monitor TTV dan CRT
dengan KH : 3. Monitor suhu lingkungan
1. Suhu normal 4. Gunakan Warm blanket
2. Klien tidak 5. Kolaborasi dalam pemberian
menggigil terapi cairan

3. Resiko Jatuh b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi karakteristik


pengaruh anastesi keperawatan diharapkan lingkungan yang dapat
narkotik tidak terjadi cidera dengan meningkatkan potensi untuk
KH : jatuh
1. Tubuh klien bebas 2. Kunci roda tempat tidur atau
dari cidera. brankar selama transfer pasien
3. Ajarkan pasien bagaimana
untuk meminimalkan cidera
4. Pasang siderail tempat tidur.

3.5 Catatan Perkembangan


No Implementasi Evaluasi
1. Pre Operasi S:
1. Memonitor tanda-tanda ansietas  Pasien mengatakan cemas berkurang dan
2. Memonitor TTV sudah lebih rileks
3. Menciptakan suasana teraupetik O:
untuk menumbuhkan kepercayaan  TTV
4. Menemani pasien untuk TD : 130/80 mmHg
mengurangi kecemasan Nadi : 92 x/m
5. Menganjurkan pasien Suhu : 36,3 0C
mengungkapkan apa ang dirasakan Pernafasan : 23 x/m
6. Menggunakan pendekatan yang  Pasien tampak lebih rileks
48

tenang dan meyakinkan  Pasien mengungkapkan apa yang diraskan


7. Ajarkan teknik relaksasi nafas  Pasien sudah melakukan relaksasi nafas
dalam dalam
8. Jelaskan prosedur termasuk sensasi  Pasien sudah mengerti tentang prosedur dan
yang mungkin dialami sensasi yang mungkin dialami
A : Anxietas tidak ada
P:
1. Monitor TTV
2. Anjurkan pasien melakukanteknik distraksi
dan relaksasi
3. Anjurkan pasien untuk berdoa

2. 1. Monitor tanda dan gejala hipotermi S :-


2. Monitor TTV dan CRT O:
3. Monitor suhu lingkungan  Pasien tampak mengalami perarahan ±850
4. Gunakan Warm blanket cc
5. Kolaborasi dalam pemberian terapi  TTV
cairan TD : 120/70 mmHg
Nadi : 86 x/m
Suhu : 36,2 0C
Pernafasan : 22 x/m
 Akral hangat
 CRT 3 detik

A : Hipotermi tidak aktual


P:
1. Monitor tanda tanda hipotermi
2. Monitor suhu lingkungan
3. Kolaborasi pemberian cairan
3. 1. Identifikasi karakteristik S :
49

lingkungan yang dapat O:


meningkatkan potensi untuk jatuh  Pasien tampak gelisah
2. Kunci roda tempat tidur atau  TTV
brankar selama transfer pasien TD : 120/80 mmHg
3. Ajarkan pasien bagaimana untuk Nadi : 86 x/m
meminimalkan cidera Suhu : 36,0 0C
4. Pasang siderail tempat tidur. Pernafasan : 22 x/m
 Pasien dalam posisi supinasi
 Pasien diberi ketorolac 30 mg/IV
 Skala nyeri VAS 5
 Terpasang side rail dan roda tempat tidur
terkunci
A : Resiko Jatuh tidak aktual
P:-
BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi pembahasan laporan asuhan keperawatan perioperatif


terhadap Tn..A dengan tindakan Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)
atas indikasi sinusitis diruang operasi RSUD A Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung
yang telah dilakukan pada tanggal 02 Oktober 2019. Penulis membandingkan
antara konsep teori dengan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian
keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi keperawatan.

Pengkajian keperawatan merupakan salah satu dari komponen proses keperawatan


yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali permasalahan dari
pasien meliputi usaha pengumpulan data tentang status kesehatan seorang pasien
secara sistemis, menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan. Diagnosa
keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon individu, keluarga dan
masyarakat tentang masalah kesehatan, sebagai dasar seleksi intervensi
keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan
kewenangan perawat. Rencana keperawatan adalah bagian dari fase
pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan
tindakan keperawatan dalam usaha membantu, meringankan, memecahkan
masalah atau untuk memenuhi kebutahan klien. Implementasi keperawatan adalah
pelaksanaan keperawatan atau intervensi untuk mencapai tujuan yang sudah
spesifik. Evaluasi keperawatan adalah proses kontinyu yang penting untuk
menjamin kualitas dan ketepatan tindakan keperawatan yang dilakukan dan
keefektifan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan pasien. [ CITATION
Zai10 \l 1057 ]

50
51

4.1 Pre Operasi


4.1.1 Pengkajian
Pengkajian di ruang pra operasi perawat melakukan pengkajian ringkas
mengenai kondisi fisik pasien dan kelengkapannya yang berhubungan
dengan pembedahan. Pengkajian ringkas tersesebut berupa validasi,
kelengkapan administrasi, tingkat kecemasan, pengetahuan pembedahan,
pemeriksaan fisik terutama tanda-tanda vital, dan nyeri tekan di area
sinus.(Muttaqin, 2009)

 Saat tiba diruang operasi pasien tampak cemas, pasien tampak terus
menanyakan prosedur yang akan dilakukan , pasien mengatakan ia
takut untuk melakukan prosedur operasi . Pasien juga megatakan
ini adalah operasinya yang pertama .
 TTV Pasien saat masuk :
 TD : 130/80 mmHg
 Nadi : 90 x/m
 Suhu : 36,7 0C
 Pernafasan : 22 x/m
 Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik head to toe ditemukan data
abnormal pada bagian hidung yaitu terdapat nyeri tekan pada area
pipi , terdapat sekret kental pada hidung .
 Pasien mengatakan nyeri pada area pipi, tenggorokan dan kepala,
nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk, nyeri bertambah berat jika
pasien duduk dan bergerak dan berkurang jika pasien berbaring dan
diberi obat. Nyeri biasanya dirasakan secara terus-menerus .

Pembahasan :
 Pandangan setiap orang dalam menghadapi pembedahan berbeda,
sehingga respon pun berbeda. Setiap menghadapi pembedahan
52

selalu menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada pasien, (Stuart


and Sundeen, 2006: 196). Pada pasien pre operasi dapat mengalami
berbagai ketakutan terhadap anestesi, nyeri atau kematian, takut
tentang ketidaktahuan atau deformitas serta ancaman lain terhadap
citra tubuh dapat menyebabkan ketidaktenangan atau ansietas
(Smeltzer dan Bare, 2006: 245). Seseorang yang sangat cemas
sehingga tidak bisa berbicara dan mencoba menyesuaikan diri
dengan kecemasan sebelum operasi seringkali menjadi hambatan
pada paska operasi Keadaan pasien yang cemas akan
mempengaruhi kebutuhan tidur dan istirahat, sehingga akan
mempengaruhi tingkat pemulihan pada pasien paska operasi.
Dalam pengkajian juga didapatkan nilai tekanan darah yang mulai
meningkat , berdasarkan hasil wawancara dengan pasien biasanya
tekanan darahnya tidak pernah lebih dari 110/80- 120/80 mmHg
dan pasien juga tidak mempunyai riwayat hipertensi .
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Inayati (2017) yang
berjudul Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Peningkatan Tekanan
Darah Pada Pasien Praoperasi Elektif Diruang Bedah menyatakan
bahwa Tindakan Preoperatif adalah fase dimulai ketika keputusan
untuk menjalani operasi atau pembedahan dibuat dan berakhir ketika
pasien dipindahkan ke meja operasi . Fase preoperasi merupakan
peristiwa kompleks yang menegangkan . Kecemasan merupakan
perasaan takut yang tidak jelasdan tidak didukung oleh situasi hal ini
dapat menimbulkan berbagai respon fisiologi salah satunya adalah
peningkatan tekanan darah. Meningkatnya tekanan darah akan
mengganggu operasi karena bias menyebabkan pendarahan dan bisa
menggagalkan penatalaksanaan operasi. Ketakutan dan kecemasan
yang sangat berlebihan, akan membuat klien menjadi tidak siap secara
emosional untuk menghadapi pembedahan, dan akan menghadapi
masalah praoperatif seperti Tertundanya operasi karena tingginya
denyut nadi perifer dan mempengaruhi palpasi jantung.
53

Hal ini didukung oleh hasil penelitiannya yang menunjukan bahwa


berdasarkan analisis univariat menunjukkan bahwa 17 responden
(56,7%) yang mengalami kecemasan berat dan 13 responden (43,3%)
mengalami kecemasan ringan-sedang. Responden yang memiliki
tingkat kecemasan ringan-sedang, sebagian besar mengalami hipertensi
yaitu sebesar 61,5% dan responden yang memiliki tingkat kecemasan
berat-berat sekali sebagian besar memiliki tekanan darah hipertensi
yaitu sebesar 58,8%. Hasil uji bivariat antara Tingkat Kecemasan
dengan Tekanan Darah didapat nilai P-Value 0,023 yang berarti ada
hubungan tingkat kecemasan dengan tekanan darah. Sedangkan odd
rasio/ faktor resiko (OR) yaitu 0,893 artinya responden yang memiliki
tingkat kecemasan berat-berat sekali mempunyai kemungkinan 0,893
kali untuk terjadi Hipertensi.

Salah satu gejala pada penderita sinusitis adalah nyeri yang dapat
bersifat ringan, sedang sampai menjadi berat. Hal ini juga yang
menjadi gejala yang paling ditakuti pasien karena menjadi faktor
utama dalam mengalami penurunan kualitas hidupnya. Sebagian besar
pasien sinusitis akan mengalami gangguan perasaan nyeri dalam
perjalanan hidupnya (Hakam, 2009). Nyeri sinusitis sering dalam
praktek sehari-hari dan bersifat subyektif. Pada pasien yang pertama
kali datang berobat, sekitar 30% pasien sinusitis disertai dengan
keluhan nyeri dan hampir 70% pasien sinusitis yang menjalani
pengobatan disertai dengan keluhan nyeri dalam berbagai tingkatan
(Aru, 2007). Terapi yang diberikanpun harus bersifat individual
menurut penyebab penyakit (Woodly, 2005).

4.1.2 Diagnosa Keperawatan


54

Perawat menggolongkan karakteristik tertentu yang diperoleh selama


pengkajian untuk mengidentifikasi diagnosisi keperawatan yang tepat bagi
pasien bedah. Diagnosis menentukan arah perawatan yang akan diberikan
pada satu atau seluruh tahap pembedahan. Diagnosis keperawatan di ruang
pra operasi yang lazim adalah kecemasan dan pemenuhan informasi.
(Muttaqin,2009) .

Diagnosa yang diangkat pada pre operasi adalah kecemasan b.d krisis
situasional yang didukung dengan data subjektif : Pasien mengatakan
cemas, Pasien mengatakan khawatir dengan akibat yang akan dialaminya,
Pasien mengatakan ini adalah operasinya yang pertama . Selain data
subjektif , adapun data objektif yang mendukung yaitu : Pasien tampak
cemas , Pasien tampak menanyakan terus-menerus tentang prosedur yang
akan dilakukan dan TTV ( TD : 130/80 mmHg, Nadi: 86 x/m, Suhu: 36,7
0
C, Pernafasan : 23 x/m)

Pembahasan :
Berdasrkan SDKI (2018) Gejala dan tanda mayor untuk diagnosa
kecemasan secara subjektif adalah merasa bingung, merasa khawatir
dengan kondisi yang akan dihadapi dan sulit berkonsentrasi , sedangkan
untuk data objektifnya adalah tampak gelisah, tampak tegang, dan sulit
tidur . Selain gejala dan tanda mayor ada juga gejala dan tanda minor yang
ditandai dengan data subjektif seperti mengeluh pusing, anoreksia, palitasi,
dan merasa tidak berdaya, sedangkan data objektinya adalah frekuensi
nafas meningkat, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat,
diaforesis, tremor, muka tampak pucat, suara bergetar, kontak mata buruk,
sering berkemih, an berorientasi pada masa lalu .
Berdasarkan penjelasan diatas maka terdapat banyak kesamaan antara data
yang diperoleh dengan teori yang ada pada SDKI , sehingga dapat
ditegakkan diagnosa kecemasan berdasarkan data-data tersebut .
55

Menurut Wawan (2017), bahwa prosedur operasi merupakan salah satu


bentuk terapi medis yang dapat menimbulkan rasa takut, cemas hingga
stress, karena dapat mengancam integritas tubuh, jiwa dan dapat
menimbulkan rasa nyeri. Kecemasan adalah emosi, perasaan yang timbul
sebagai respon awal terhadap stress psikis dan ancaman terhadap nilai-
nilai yang berarti bagi individu.

Kecemasan merupakan perasaan takut yang tidak jelasdan tidak didukung


oleh situasi hal ini dapat menimbulkan berbagai respon fisiologi salah
satunya adalah peningkatan tekanan darah. Meningkatnya tekanan darah
akan mengganggu operasi karena bias menyebabkan pendarahan dan bisa
menggagalkan penatalaksanaan operasi. Ketakutan dan kecemasan yang
sangat berlebihan, akan membuat klien menjadi tidak siap secara
emosional untuk menghadapi pembedahan, dan akan menghadapi masalah
praoperatif seperti Tertundanya operasi karena tingginya denyut nadi
perifer dan mempengaruhi palpasi jantung, sehingga diagnosa kecemasan
perlu diangkat untuk dapat dilakukan intervensi secara tepat (Inayati,
2017)

4.1.3 Rencana Keperawatan

Pasien bedah perlu diikutsertakan dalam pembuatan rencana perawatan.


Dengan melibatkan pasien sejak awal, kesulitan pelaksanaan rencana
asuhan keperawatan bedah, resiko pembedahan dan komplikasi post
operasi dapat diminimalkan. (Muttaqin,2009)

Sesuai dengan literatur bahwa jika perawat sudah menegakkan diagnosa


maka rencana keperawatan dapat dirumuskan menggunakan SDKI dan
SIKI untuk menyelesaikan masalah keperawatan. Rencana keperawatan
pada pasien pre operasi mastektomi atas indikasi kanker payudara yaitu :
56

No Diagnosa Intervensi Rasional


Keperawatan
1. Ansietas b.d Krisis 1. Monitor tanda- 1. Untuk mengetahuai sejauh mana
Situasional tanda ansietas ansietas terjadi dan untuk menentukan
intervensi yang tepat .

2. Monitor TTV 2. Untuk mengtahui keadaan umum


pasien , karena TTV juga menjadi
salah satu tanda dan gejala dari
kecemasan
.
3. Karena jika kita membina hubungan
3. Ciptakan suasana
saling percaya dengan pasien , maka
teraupetik untuk
pasien akan menceritakan segala yang
menumbuhkan
dirasakan sehingga mengurangi beban
kepercayaan
dan kecemasan yang dirasakan .

4. Temani pasien
4. Pasien akan merasa lebih tenang jika
untuk mengurangi
didampingi oleh rang lain. Karena bisa
kecemasan
mengallihkan rasa cemasnya .

5. Anjurkan pasien
5. Karena jika pasien mengungkapkan
mengungkapkan
rasa cemasnya maka akan mengurangi
apa yang
beban yang diirasakannya
dirasakan

6. Dengan pendekatan yang tenang dan


meyakinkan pasien akan menjadi lebih
6. Gunakan
rileks dan memahami apa yang
pendekatan yang
disampaikan dn dijelaskan tentang
tenang dan
prsedur dan sensasi yang akan dialami
57

meyakinkan sehingga kecemasan pasien dapat


berkurang .

7. Dengan mengendalikan pernapasan,


7. Ajarkan teknik pasien jadi memusatkan pikiran pada
relaksasi nafas pernapasan yang lambat dan dalam
dalam sehingga membantu pasien
melepaskan diri dari pikiran dan
sensasi yang memicu cemas. Bernapas
dalam-dalam bisa menenangkan saraf
di otak. Inilah alasan lain mengapa
menarik napas dalam bisa menjadi
cara yang ampuh untuk mengatasi
cemas.
8. Jelaskan prosedur
termasuk sensasi
8. Pasien biasanya akan takut dengan
yang mungkin
bayangan yang akan dihadapi
dialami
sehingga menyebabkan kecemasan
oleh karena itu pasien diberikan
penjelasan tentang prsedur dan sensasi
yang akan dihadapi agar pasien
mengerti dan

Pembahasan :
58

Berdasarkan SIKI (2018) intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosa


kecemasan adalah sbb :

Intervensi :
Observasi :
 Identifikasi saat tingkat ansietas berubah ( misal : kondisi,
waktu, stresor)
 Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
 Monitor tanda-tanda ansietas ( verbal dan non verbal)

Teraupetik :

 Ciptakan suasana teraupetik untuk menumbuhkan


kepercayaan
 Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
 Pahami situasi yang membuat ansietas
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
 Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan
 Motivasi mengidentifikasi situassi yang memicu kecemasan
 Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan
datang

Edukasi :

 Jelaskan prosedur serta sensasi yang mungkin dialami


 Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan
dan prognosis
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
 Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
 Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
59

 Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat


 Latih tekhnik relaksasi

Kolaborasi :

 Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu

Berdasarkan intervensi diatas , tidak semua intervensi dilakukan


dikarenakan melihat kondisi dan adanya keterbatasan waktu , sehingga
hanya dilakukan intervensi yang memungkinkan untuk dilakukan.

Mengurangi kecemasan pasien adalah salah satu bentuk tugas untuk


mengendali- kan emosi pasien pre anestesi dan operasi, salah satu
caranya adalah dengan meng- gunakan komunikasi terapeutik terhadap
pasien, berupa penjelasan tentang prosedur tindakan agar pasien
menjadi tenang dan cemasnya berkurang. Saat ini komunikasi
terapeutik yang dilakukan oleh perawat hanya sebatas memenuhi tugas
perawat tanpa mengenali sumber kecemasan dan hanya melakukan
komunikasi sosial saja tetapi bukan melakukan komunikasi terapeutik
sebagai terapi penyembuhan (Verdiansyah, 2013).

Banyak hal atau faktor yang bisa mengatasi kecemasan pada


pasien sebelum dilakukan anestesi salah satunya dengan
menggunakan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapuetik adalah
komunikasi yang di rencanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk ke- sembuhan pasien (Purwanto, 2003).

Menurut Taylor (2002) menyatakan bahwa pembedahan adalah


kerisis dalam kehidupan yang menyebabkan kecemasan. Perawat
dapat mengurangi dan memeperbaiki kecemasan pasien dengan
tindakan keperawatan difokuskan pada komunikasi terapeutik dan
pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarganya.
Komunikasi perawat yang diarahkan pada pencapaian tujuan untuk
penyembuhan pasien merupakan salah satu karakteristik komunikasi
60

terapeutik. Kecemasan dapat dikurangi dengan tindakan keperawatan


fokus pada komunikasi terapeutik bagi pasien dan keluarganya
(Purwanto, 2003).

Hal tersebut didukung oleh jurnal Verdiansyah (2013) yang berjudul


Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum
Dilakukan Anestesi Regional didapatkan hasil Rata–rata kecemasan
pasien sebelum dilakukan anestesi regional sebelum dilakukan
tindakan komunikasi terapeutik adalah 23,17 dengan standar deviasi
3,141, sedangkan rata–rata kecemasan pasien sebelum dilakukan
anestesi regional setelah dilakukan tindakan komunikasi te- rapeutik
adalah 5,57 dengan standar deviasi 1,140. terlihat nilai Mean
mengalami penurunan setelah dilakukan tindakan komunikasi
terapeutik adalah 5,57 dengan standar deviasi 1,040. Hasil Uji Statistik
menunjukan bahwa nilai P=0,000 <10%, Artinya ada penurunan rata-
rata kecemasan pasien sebelum dilakukan anestasi regional setelah
dibandingkan dengan sebelum dilakukan tindakan komunikasi
terapeutik.

Selain komnikasi teraupetik hal yang dilakukan adalah dengan


memberikan psikoedukasi Terapi psikoedukasi ini merupakan bentuk
asuhan keperawatan yang holistik. Dalam prinsip dan pelaksanaan terapi
psikoedukasi menunjukkan kepedulian yang dapat membuat pasien
menjadi percaya, tenang dan nyaman sehingga mendekatkan hubungan
terapeutik. Terapi psikoedukasi bagi perawat masuk dalam prinsip etika
keperawatan yaitu menjaga kerahasiaan klien (confidentiality) yaitu
informasi tantang klien harus dijaga privasi klien. Dokumentasi tentang
keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca guna keperluan pengobatan dan
peningkatan kesehatan klien. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan
harus dihindari. Terapi psikoedukasi pun bisa dipadukan dengan terapi
modalitas ataupun relaksasi yang merupakan intervensi keperawatan
61

dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami


kecemasan pre operasi sinusitis.

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rizki (2019) yang
berjudul Pengaruh Psikoedukasi terhadap Kecemasan Ibu Pre Operasi
Kanker Payudara didapatkan hasil penelitian data distribusi rata rata
kecemasan sebelum dilakukan terapi psikoedukasi dengan hasil 47,93,
standar deviasi 83,29, nilai minimum 30, dan skor maksimum 61. Dimana
47,93 masuk dalam kategori kecemasan sedang (45-59). Setelah dilakukan
terapi psikoedukasi tampak adanya penurunan distribusi rata- rata, hasil
penelitian ini diperoleh data distribusi rata-rata kecemasan responden
setelah dilakukan terapi psikoedukasi dengan hasil 40,53, standar deviasi
6,334, nilai minimum 27, dan nilai maksimum 49. Secara kuantitatif
penelitian ini bermakna karena menunjukakan adanya perbedaan skor
kecemasan sebelum dan sesudah dilakukan terapi psikoedukasi. Rata rata
kecemasan berkurang menjadi 40,53 termasuk kecemasan ringan (2044).
Hasil analisis bivariat penelitian yang telah dilakukan dengan
menggunakan uji Wilcoxon Signed Ranks Testdiperoleh hasil (0,000)<α
(0,05) yang berarti H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa
melakukan psikoedukasi berpengaruh terhadap penurunan tingkat
kecemasan pasien pre operasi kanker payudara di RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung 2018.

4.1.4 Implementasi
Setelah rencana tindakan keperawatan disusun, penulis melakukan
implementasi sesuai dengan rencana tindakan keperawatan yang dibuat
berdasarkan kebutuhan Tn.A

Implementasi yang telah dilakukan pada pasien pre operasi Functional


Endoscopic Sinus Surgery atas indikasi sinusitis dengan diagnosa ansietas
b.d krisis situasional yaitu memonitor tanda-tanda ansietas, memonitor
TTV, menciptakan suasana teraupetik untuk menumbuhkan kepercayaan,
62

menemani pasien untuk mengurangi kecemasan, menganjurkan pasien


mengungkapkan apa ang dirasakan, menggunakan pendekatan yang tenang
dan meyakinkan, mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam menjelaskan
prosedur termasuk sensasi yang mungkin dialami .

Tindakan yang dilakukan sudah sesuai dengan yang direncanakan .

4.1.5 Evaluasi
Berdasarkan asuhan keperawatan perioperatif terhadap Tn.A dengan
tindakan FESS atas indikasi sinusitis telah dilakukan implementasi dan
evaluasi. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui perkembangan pasien
dan untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan layanan asuhan
keperaatan yang telah diberikan dan pada evaluasi menggunakan
komponen SOAP. Kondisi pasien setelah dilakukan implementasi dan
evaluasi yaitu Pasien mengatakan cemas berkurang dan sudah lebih rileks,
TTV ( TD : 130/80 mmHg, Nadi : 92 x/m, Suhu : 36,3 0C, Pernafasan : 23
x/m) pasien tampak lebih rileks, pasien mengungkapkan apa yang
diraskan, pasien sudah melakukan relaksasi nafas dalam, pasien sudah
mengerti tentang prosedur dan sensasi yang mungkin dialami . Rencana
tindakan yang selanjutnya yaitu Monitor TTV, anjurkan pasien
melakukanteknik distraksi dan relaksasi, anjurkan pasien untuk berdoa.

4.2 Intra Operasi


4.2.1 Pengkajian
Pengkajian intra operasi secara ringkas mengkaji hal-hal yang
berhubungan dengan pembedahan. Diantaranya adalah validasi identitas
dan prosedur jenis pembedahan yang dilakukan, serta konfirmasi
kelengkapan data penunjang laboratorium dan radiologi.(Muttaqin,2009) .

Data-data yang diperoleh saat pengkajian intra operasi adalah Tanda-tanda


vital (TD: 130/90 mmHg, Nadi: 92 x/m, Suhu: 35,3 0C, Pernafasan : 22
x/m ).Tindakan bantuan yang diberikan selama pembedahan adalah
63

pemberian oksigen, pemberian suction, pemasangan intubasi. Pasien


mengalami perdarahan kurang lebih 450 cc , akral pasien dingin , dan
pasien tampak pucat .

4.2.2 Diagnosa Keperawatan


Pasien yang dilakukan pembedahan akan melewati berbagai prosedur.
Prosedur pemberian anastesi, pengaturan posisi bedah, manajemen asepsis,
terpapar dengan suhu lingkungan yang dingin dan prosedur FESS akan
memberikan implikasi pada masalah keperawatan yang akan muncul.

Diagnosa yang diangkat pada intra operasi adalah resiko hipotermi b.d
terpapar suhu lingkungan yang didukung dengan data subjektif : pasien
tampak pucat, Pasien tampak mengalami perdarahan 450 ml, pasien
tampak terpasang infus RL 30 tt/menit , CRT : 3 detik, akral dingin TTV
( TD: 140/92 mmHg, Nadi: 102 x/m, Suhu: 35,2 0C, Pernafasan: 22 x/m)

4.2.3 Rencana Keperawatan


Tujuan utama keperawatan pada jenis pembedahan bedah THT sinusitis
adalah untuk menghilangkan mukosa inflamasi dan untuk mengembalikan
ventilasi dan drainase rongga sinus.(Kutluhan et al, 2009)

Sesuai dengan literatur bahwa jika perawat sudah menegakkan diagnosa


maka rencana keperawatan dapat dirumuskan menggunakan SDKI dan
SIKI untuk menyelesaikan masalah keperawatan. Rencana keperawatan
pada pasien intra operasi FESS atas indikasi sinusitis yaitu :

No Diagnosa Intervensi Rasional


1. Resiko Hipotermi 1. Monitor tanda dan gejala 1. Agar dapat mengkaji
b.d Terpapar suhu hipotermi sejauh mana hipotermi
lingkungan terjadi
2. Monitor TTV dan CRT 2. Untuk mengetahui
64

keadaan umum pasien

3. Monitor suhu lingkungan 3. Untuk mengetahui


suhu yang digunakan
4. Gunakan Warm blanket
4. Memberikan rasa
hangat kepada pasien
5. Kolaborasi dalam agar tidak terpapar
pemberian terapi cairan suhu ruangan secara
hangat langsung

5. Cairan hangat dapat


menghangatkan tubuh
dan memudahkan
mengembalikan suhu
tubuh

Pembahasan :

Berdasarkan SIKI (2018) intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosa resiko
hipotermi adalah sbb :

Intervensi :
Observasi :
 Monitor suhu tubuh.
 Identifikasi penyebab hipotermia (mis, terpapar suhu
lingkungan rendah, pakaian tipis , kerusakan hipotalamus dan
kekurangan lemak subkutan).
 Monitor tanda dan gejala akibat hipotermia (hipotermia
ringan : takipnea, disartria, menggigil, hipertensi, diuresis,
Hipotermia sedang : aritmia, hipotensi, apatis, reflex menurun,
Hipotermia berat : oliguria, reflex menghilang, edema paru,
asam basa abnormal)
65

Teraupetik :

 Sediakan lingkungan yang hangat ( mis, atur suhu ruangan,


incubator).
 Ganti pakaian dan atau linen yang basah.
 Lakukan penghangatan aktif eksternal (mis, kompres hangat,
botol hangat, selimut hangat, perawatan metoda kangguru).
 Lakukan oenghangatan aktif internal ( mis, infus cairan hangat,
oksigen hangat, lavase peritoneal dengan cairan hangat).

Edukasi :

 Anjurkan makan/minum hangat.

Berdasarkan intervensi diatas , tidak semua intervensi dilakukan


dikarenakan melihat kondisi pasien, keterbatasan waktu, dan adanya
prinsip steril pada ruang operasi sehingga hanya dilakukan intervensi
yang memungkinkan untuk dilakukan.

4.2.4 Implementasi
Setelah rencana tindakan keperawatan disusun, penulis melakukan
implementasi sesuai dengan rencana tindakan keperawatan yang dibuat
berdasarkan kebutuhan Tn.A
Implementasi yang telah dilakukan pada pasien intra operasi FESS atas
indikasi sinusitis dengan diagnosa resiko hipotermi b.d terpapar suhu
lingkungan yaitu memonitor tanda dan gejala hipotermi, memonitor
TTV dan CRT, memonitor suhu lingkungan, menggunakan warm
blanket, dan berkolaborasi dalam pemberian terapi cairan hangat.
Tindakan yang dilakukan sudah sesuai dengan yang direncanakan .
66

Penggunaan blanket warmer cairan intravena menjadi hangat saat aliran


tersebut masuk ke pembuluh darah, percepatan peningkatan suhu tubuh
lebih
stabil dan kondisi pasien tetap terjaga dalam keadaan hangat sehingga
diharapkan dapat terjaga suhu tubuh tetap normal, hal inilah yang menjadi
alasan digunakan blanket warmer. ( Shinta, 2017)

4.2.5 Evaluasi

Berdasarkan asuhan keperawatan perioperatif terhadap Tn.A dengan


tindakan Functionl Endoscopic Sinus Surgery (FESS) atas sinusitis telah
dilakukan implementasi dan evaluasi. Hal tersebut dilakukan untuk
mengetahui perkembangan pasien dan untuk mengetahui seberapa besar
keberhasilan layanan asuhan keperawatan yang telah diberikan dan pada
evaluasi menggunakan komponen SOAP. Kondisi pasien setelah
dilakukan implementasi dan evaluasi untuk diagnosis resiko hipotermi
yaitu Pasien masih menggigil, akral dingin TTV (TD: 130/92 mmHg, Nadi
: 104 x/m, Suhu: 36,0 0C, Pernafasan : 25 x/m), Pasien terpasang warm
blanket, Suhu ruangan sudah diatur. Dan rencana tindakan selanjutnya
yaitu Monitor TTV, beri Selimut Penghangat, monitor suhu ruangan,
pertahankan suhu ruangan tetap hangat

4.3 Post Operasi


4.3.1 Pengkajian
Pengkajian post operasi dilakukan secara sitematis mulai dari pengkajian
awal saat menerima pasien, pengkajian status respirasi, status sirkulasi,
status neurologis dan respon nyeri, status integritas kulit dan status
genitourinarius.(Muttaqin, 2009).

Data-data yang penulis temukan pada saat pengkajian post operasi yaitu
pasien belum sadar sepenuhnya, pasien tampak gelisah, pasien masih
dalam pengaruh anastesi, TTV (TD: 120/90 mmHg, Nadi: 90 x/m, Suhu:
36,0 0C, Pernafasan : 24 x/m)
67

Tindakan bedah Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) tidaklah


bebas risiko. Pasien yang dilakukan FESS, umumnya akan dilakukan
general anastesi dan setelah operasi pasien yang dilakukan general anastesi
umumnya setelah sesaat operasi akan mengalami gelisah karna masih
dalam pengaruh obat – obatan narkotik yang diberikan pada saat akan
dilakukan anastesi sehingga resiko jatuh pada saat setelah operasi akan
lebih besar (Putri, 2017).

4.3.2 Diagnosis Keperawatan

Diagnosis yang diangkat pada post operasi adalah nyeri resiko jatuh b.d
pengaruh anastesi narkotik yang didukung dengan data : pasien belum
sadar sepenuhnya, pasien tampak gelisah, pasien masih dalam pengaruh
anastesi, TTV (TD: 120/90 mmHg, Nadi: 90 x/m, Suhu: 36,0 0C,
Pernafasan : 24 x/m).

Berdasrkan SDKI (2018) Gejala dan tanda mayor untuk diagnosis resiko
jatuh secara objektifnya adalah pasien tampak gelisah, pasien belum sadar
penuh dan faktor resiko untuk resiko jatuh yaitu :
 Usia >65 tahun (pada dewasa) atau < 2tahun (pada anak)
 Riwayat jatuh
 Penurunan tingkat kesadaran
 Kondisi pasca operasi
 Efek agen farmakologis (mis, sedasi, alcohol, anestesi umum)

Berdasarkan penjelasan diatas maka terdapat banyak kesamaan antara data


yang diperoleh dengan teori yang ada pada SDKI , sehingga dapat
ditegakkan diagnosis resiko jatuh berdasarkan data-data tersebut .

Resiko jatuh merupakan suatu keadaan dimana pasien beresiko untuk jatuh
yang pada umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan dan fisiologis
68

yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu cidera (Wilkinson, 2018).


Serta didukung oleh hasil penelitian Ika Aprilia (2019), yang mengatakan
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengalami resiko untuk
jatuh diantaranya adalah erat kaitannya dengan kondisi psikologis
misalnya pada usia, terjadi perubahan pada sistem muskuloskeletal, saraf,
kardiovaskuler, respirasi, indra, integumen dan pada lingkungan

4.3.3 Rencana Keperawatan


Sesuai dengan literatur bahwa jika perawat sudah menegakkan diagnosis
maka rencana keperawatan dapat dirumuskan menggunakan SDKI dan
SIKI untuk menyelesaikan masalah keperawatan. Rencana keperawatan
pada pasien post operasi FESS atas indikasi sinusitis yaitu :

No Diagnosis Intervensi Rasional


Keperawatan
1. Resiko jatuh b.d 1. Identifikasi 1. Meminimalisir
pengaruh karakteristik lingkungan yang
anastesi lingkungan yang dapat membuat
narkotik dapat pasien jatuh atau
meningkatkan cidera
potensi untuk 2. Untuk
jatuh meminimalisir
2. Kunci roda terjadinya cidera
tempat tidur atau 3. Agar pasien tidak
brankar selama terjadi cidera dan
transfer pasien dapat
3. Ajarkan pasien meminimalisir
bagaimana untuk jatuhnya pasien
meminimalkan 4. Untuk
cidera meminimalisir
4. Pasang siderail cidera
69

tempat tidur.

Berdasarkan SIKI (2018) intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosis


resiko jatuh adalah sbb :

3. Resiko jatuh b.d pengaruh anastesi narkotik


Intervensi :
Observasi :
 Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis, kondisi fisik, fungsi
kognitif, dan riwayat perilaku)
 Monitor perubahan status keselamatan lingkungan
 Identifikasi riwayat dan indikasi penggunaan sedasi
 Monitor tingkat kesadaran
 Monitor efek samping obat – obatan

Teraupetik :

 Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan (mis, fisik, biologi, dan


kimia), jika memungkinkan.
 Gunakan perangkat pelindung (mis, pengekangan fisik, rel samping,
pintu terkunci, pagar)
 Berikan informed consent

Edukasi :

 Ajarkan individu, keluarga dan kelompok risiko tinggi bahaya


lingkungan

Berdasarkan intervensi diatas , tidak semua intervensi dilakukan


dikarenakan melihat kondisi dan adanya keterbatasan waktu , sehingga
hanya dilakukan intervensi yang memungkinkan untuk dilakukan
70

4.3.4 Implementasi
Implementasi yang telah dilakukan pada pasien post operasi FESS atas
indikasi sinusitis dengan diagnosis resiko jatuh b.d pengaruh anastesi
narkotik yaitu Mengidentifikasi karakteristik lingkungan yang dapat
meningkatkan potensi untuk jatuh, mengunci roda tempat tidur atau
brankar selama transfer pasien, mengajarkan pasien bagaimana untuk
meminimalkan cidera, memasang siderail tempat tidur.

Keselamatan Pasien (Patient Safety) merupakan sesuatu yang jauh lebih


penting dari pada sekedar efisiensi pelayanan. Perilaku perawat dengan
kemampuan perawat sangat berperan penting dalam pelaksanaan
keselamatan pasien. Perilaku yang tidak aman, lupa, kurangnya
perhatian/motivasi, kecerobohan, tidak teliti dan kemampuan yang tidak
memperdulikan dan menjaga keselamatan pasien berisiko untuk terjadinya
kesalahan dan akan mengakibatkan cedera pada pasien, berupa Near Miss
(Kejadian Nyaris Cedera/KNC) atau Adverse Event (Kejadian Tidak
Diharapkan/KTD) selanjutnya pengurangan kesalahan dapat dicapai
dengan memodifikasi perilaku. Perawat harus melibatkan kognitif, afektif
dan tindakan yang mengutamakan keselamatan pasien.(Sanjaya, 2017).
4.3.5 Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien post operasi FESS adalah
kembalinya fungsi fisiologis pada seluruh sistem secara normal, tidak
terjadi cedera, tidak terjadi komplikasi pasca bedah, dapat beristirahat,
memperoleh rasa nyaman dan hilangnya rasa cemas. (Muttaqin,2009)

Berdasarkan asuhan keperawatan perioperatif terhadap Tn.A dengan


tindakan FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery) atas indikasi
sinusitis diruang operasi RSUD A Dadi Tjcokrodipo Bandar Lampung
telah dilakukan implementasi dan evaluasi. Hal tersebut dilakukan untuk
mengetahui perkembangan pasien dan untuk mengetahui seberapa besar
keberhasilan layanan asuhan keperawatan yang telah diberikan dan pada
evaluasi menggunakan komponen SOAP. Kondisi pasien setelah
71

dilakukan implementasi dan evaluasi untuk diagnosis resiko jatuh yaitu


Pasien tampak gelisah, TTV (TD : 120/80, N : 86x/m, S : 36ºC, pernafasan
: 22x/m), pasien dalam posisi supine, pasien diberi ketorolac 30mg/IV,
terpasang siderail dan roda tempat tidur terkunci.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Dalam kasus ini pengkajian yang didapatkan saat pre operasi adalah pasien
merasa cemas karena akan menjalani prosedur operasi yang pertama , yang
ditandai dengan meningkatnya nilai TTV , saat intra operasi pasien
megalami perdarahan kurang lebih 450 ml , akral pasien dingin , dan
pasien tampak pucat , dan saat post operasi pasien tampak gelisah, pasien
belum sadar penuh, pasien masih dalam pengaruh anastesi.
2. Diagnosa yang muncul saat pre operasi adalah kecemasan b.d krisis
situasional, intraoperasi resiko hipotermi b.d terpapar suhu lingkungan ,
dan post operasi resiko jatuh b.d pengaruh anastesi narkotik
Sedangkan diagnosa yang tidak muncul sesuai teori untuk pre operasi yaitu
nyeri akut, dan kecemasan , untuk intra operasi resiko jatuh dan resiko
hipotermi, sedangkan untuk post perasi yaitu bersihan jalan nafas , dan
resiko jatuh .
3. Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa kecemasan pre operasi adalah
memonitor tanda-tanda ansietas, monitor TTV, ciptakan suasana teraupetik
untuk menumbuhkan kepercayaan, temani pasien untuk mengurangi
kecemasan, anjurkan pasien mengungkapkan apa ang dirasakan, gunakan
pendekatan yang tenang dan meyakinkan, ajarkan teknik relaksasi nafas
dalam menjelaskan prosedur termasuk sensasi yang mungkin dialami .
Untuk diagnosa intraoperasi resiko hipotermi intervensi yang dilakukan
monitor tanda dan gejala perdarahan, monitor TTV dan CRT, gunakan
ESU untuk koagulasi, kolaborasi dalam pemberian terapi cairan,kolaborasi
dalam pemberian obat pengontrol prdarahan dan untuk diagnosa post
operasi nyeri akut intervensi yang dilakukan kaji skala nyeri, monitor
TTV, beri pasien posisi nyaman,kolaborasi dalam pemberian analgetik ,

72
73

sedangkan untuk diagnose hipotermi intervensinya adalah monitor TTV,


beri Selimut Penghangat, monitor suhu ruangan, atur suhu ruangan.
4. Implementasi tindakan dilaksanakan secara observasi , monitor, edukasi
dan kolaborasi sehingga tujuan rencana tindakan tercapai dan dilaksanakan
sesuai rencana .
5. Evaluasi dari setiap diagnosa yang muncul untuk pre operasi dengan
kecemasan , masalah belum teratasi karena kecemasan pasien belum
sepenuhnya hilang , pad atahap intra operasi , resiko perdarahan tidak
terjadi karena balance cairan + 350 ml , dan pada diagniosa post operasi
untuk nyeri akut masalah belum teratasi dan untuk resiko hipotermi
masalah tidak terjadi karena suhu tubuh pasien masih 360C.

5.2 Saran
1. Bagi rumah sakit
Diharapkan rumah sakit dapat meningkatkan dan memfasilitasi kinerja
perawat dalam pemberian asuhan keperawatan secara komprehensif baik
saat pre operasi, intra operasi , maupun post operasi .
2. Bagi perawat
Diharapkan dapat melakukan prosedur asuhan keperawatan sesuai dengan
standar yang berlaku sesuai dengan tahapan pengkajian, perumusan
diagnosa keperawatan, pembuatan intervensi keperawatan , pelaksanaan
implementasi dan evaluasi baik saat pre operasi, intra operasi , maupun
post operasi .
3. Bagi Institusi Poltekkes Tanjungkarang
Diharapkan agar mempertahankan mutu pembelajaran yang bermutu
tinggi terutama dalam bidang keperawatan perioperatif, dan diharapkan
hasil laporan tugas akhir ini dapat memperkaya literatur perpustakaan.
74

Anda mungkin juga menyukai