Anda di halaman 1dari 8

TUGAS FARMAKOTERAPI TERAPAN

Dosen pengampu: apt. Kiki Damayanti, M.Farm

RHINITIS ALERGI

Disusun oleh:

Rossy Filia Syafarina (20405021149)

Choirunnisa (20405021150)

Wiwin Fauziyah (20405021151)

Ulya Dwi Yuliana (20405021152)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2021
TUGAS FARMAKOTERAPI TERAPAN
KELOMPOK 8

Kasus:
Seorang pasien (laki-laki, 22 tahun, mahasiswa) mendatangi apotek. Pasien mengeluh hidungnya
gatal, matanya gatal (terlihat merah), bersin-bersin, hidung tersumbat, dan hidung berair.
Keluhan tersebut membuat pasien tidak bisa tidur. Pasien mengatakan gejala tersebut terjadi
semenjak pasien memelihara kucing di rumah, 3 hari yang lalu. Kucing sudah dipindahkan ke
rumah bagian belakang, namun pasien masih mengeluhkan gejala tersebut. Pasien meminum
Neozep Forte tab, gejala mereda, namun kambuh kembali. Pasien juga meminum vitamin C
dosis 500 mg tablet dengan harapan mempercepat kesembuhan. Pasien pernah didiagnosa dokter
mengalami rhinitis alergi.
Pertanyaan :
1. Bagaimanakah patofisiologi rhinitis alergi?
2. Hubungkan patofisiologi rhinitis alergi, keluhan yang dialami pasien, dan terapi
rhinitis alergi!
3. Bagaimanakah tindakan apoteker sehubungan keluhan pasien di atas?

1
Jawaban Tugas

1. Patofisiologi Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam (Sin & Togias, 2011).

Gambar Patofisiologis alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh

2
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua
sel ini menjadi aktif (Sin & Togias, 2011).

Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain (Sin & Togias, 2011).

2. Hubungan patofisiologi rhinitis alergi, keluhan yang dialami pasien, dan


terapi rhinitis alergi

Alergen yang terlibat dalam rinitis alergi terdapat pada sebagian besar protein yang
berasal dari partikel di udara termasuk serbuk sari, partikel kotoran tungau debu, residu kecoa,
dan bulu binatang. Setelah menghirup partikel alergen, alergen dielusi dalam lendir hidung
dan kemudian berdifusi ke jaringan hidung. Reaksi alergi pada hidung memiliki 2 fase yaitu
fase awal dan akhir, yang keduanya berkontribusi pada presentasi klinis dari rinitis alergi.
Fase awal melibatkan aktivasi akut sel efektor alergi melalui interaksi IgE-alergen dan
menghasilkan seluruh spektrum gejala rhinitis alergi. Fase akhir ditandai dengan aktivasi sel
inflamasi dan perkembangan hiperresponsivitas hidung dengan gejala yang lebih lamban.
Gejala lamban yang timbul seperti bersin-bersin, mata merah, hidung tersumbat, rhinorea (Sin
& Togias, 2011).

3
a. Terapi Farmakologi

Sumber : Dipiro Ed 9, 2015

4
b. Terapi Non Farmakologi
Tindakan yang efektif untuk menghindari alergen bulu hewan di rumah adalah dengan
menyingkirkan hewan peliharaan dan dengan hati-hati membersihkan semua karpet, kasur,
dan furnitur berlapis kain. Namun, kebanyakan pasien tidak siap untuk melakukan ini.
Tindakan yang dapat diambil oleh pasien peka yang alergi terhadap mereka
hewan peliharaan termasuk:
 Mengurung hewan peliharaan di kamar yang tidak dilapisi karpet (selain kamar tidur)
 Penggunaan penyedot debu dengan filter HEPA
 Meningkatkan ventilasi
 Memandikan anjing dan kucing secara rutin (satu sampai dua kali seminggu);
meskipun ini mengurangi alergen yang terbawa udara, ini hanya efektif untuk waktu
yang singkat.
Meskipun tindakan ini dapat mengurangi tingkat alergen di udara, tidak ada
intervensi lingkungan spesifik yang terbukti mengurangi gejala secara signifikan (Seedat,
2013).

3. Tindakan Apoteker atas keluhan pasien


Pasien telah mengalami gejala dan telah meminum Neozep Forte tab
(Phenylpropanolamine HCL 15 mg, Paracetamol 250 mg, Salisilamide 150 mg, CTM 2 mg)
ditambah dengan vitamin C dosis 500 mg, gejala mereda, namun kambuh kembali. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pengobatan dengan obat tersebut tidak efektif. Pasien pernah
didiagnosa dokter mengalami rhinitis alergi. Apoteker menyarankan pasien untuk mengganti
obat dengan Actifed sirup kuning dan Vitamin C 500 mg.
a. Actifed Sirup Kuning
Komposisi : Per 5 mL Pseudoephedrine HCl 30 mg, Triprolidine 1.25 mg
Mekanisme kerja
 Triprolidin, turunan alkilamina, adalah antagonis reseptor histamin H1 kompetitif
yang kuat, sehingga menghambat kemampuan histamin untuk berikatan dengan
reseptornya dan memberikan efek pada sel target.

5
 Pseudoephedrine adalah agen simpatomimetik yang memiliki aksi dekongestan
pada mukosa hidung. Ini secara langsung merangsang reseptor α-adrenergik
sehingga menyebabkan vasokonstriksi mukosa pernapasan (MIMS, 2021).

Dosis : Dewasa dan Anak-anak > 12 Tahun 5mL 3 kali sehari (Pionas, 2021).

Di dalam kandungan obat tersebut terdiri dari Tripolidin HCL sebagai Antihistamin
generasi 1 yang dapat mengatasi alergi pasien. Kemudian, Pseudoefedrin HCL sebagai
dekongestan untuk mengatasi hidung tersumbat dan pilek, penggunaan obat tersebut
diharapkan mampu mengobati keluhan pasien sehingga gangguan tidur pasien juga dapat
teratasi.
b. Vitamin C
Penggunaan vitamin C tetap diperbolehkan dengan harapan mampu meningkatkan
sistem imun pasien.
Mekanisme kerja : Meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Carr & Maggini, 2017).
Dosis : 500 mg, 1 kali sehari (ISO, 2015)
Apoteker juga memberikan informasi non farmakolgi kepada pasien agar terhindar
dari pemicu timbulnya gejala rhinitis alergi.

DAFTAR PUSTAKA

Carr, A. C., & Maggini, S. (2017). Vitamin C and Immune Function. Nutrients, 9(11), 1–25.

6
Dipiro Ed 9. (2015). Pharmacoterapy A Phatophysiologic Approach. In AIAA Guidance,
Navigation, and Control Conference.

MIMS. (2021). Triprolidine Pseudoephedrine: Indication, Dosage, Side Effect, Precaution |


MIMS Indonesia. https://www.mims.com/indonesia/drug/info/triprolidine +
pseudoephedrine?mtype=generic. [Diakses Maret 2021]

Pionas. (2021a). Actifed. Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia.
http://pionas.pom.go.id/obat-baru/actifed. [Diakses Maret 2021]
Ikatan Apoteker Indonesi. (2015). ISO Infromasi Spesialite Obat Indonesia Volume 49 2015 s/d
2016. Jakarta : PT ISFI Penerbitan.

Seedat, R. (2013). Treatment of Allergic Rhinitis. American Family Physician, 26(1).

Sin, B., & Togias, A. (2011). Pathophysiology of allergic and nonallergic rhinitis. Proceedings
of the American Thoracic Society, 8(1), 106–114.

Anda mungkin juga menyukai