Anda di halaman 1dari 35

ANTI ALERGI

Presented by: G8

Festy Rianata Isnaeni Retno Wulandari Marsih Wijayanti

09613018 09613160 09613194

ALERGI DAN HIPERSENSITIVITAS


Manusia memiliki sistem imun yang terdiri dari sel-sel dan jaringan yang membentuk imunitas, yaitu kekebalan tubuh terhadap infeksi dan penyakit Pada beberapa kondisi, salah satu efek samping imunitas yang penting adalah timbulnya alergi atau jenis hipersensitivitas

Tipe alergi dan hipersensitivitas


1. Penyakit Tipe I (Alergi dan Anafilaksis) 2. Gangguan Tipe II (bergantung antibodi) 3. Gangguan Tipe III (penyakit kompleks imun) 4. Gangguan Tipe IV (hipersensitivitas tipe lambat)

1. Penyakit Tipe I (Alergi dan Anafilaksis)


Merupakan suatu respon jaringan yang terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit) Diakibatkan oleh antibodi IgE yang diabsorpsi pada sel mast atau basofil; ketika molekul IgE berikatan pada antigen spesifiknya (alergen), molekul akan dipicu untuk melepaskan amina vasoaktif dan mediator lain yang kemudian mempengaruhi permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos di berbagai organ

Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak) dan eritema kulit yang diikuti oleh kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus

2. Gangguan Tipe II (bergantung antibodi)


Diakibatkan oleh antibodi humoral yang berikatan pada jaringan tertentu atau antigen permukaan sel dan menyebabkan proses patologis dengan memudahkan sel mengalami fagositosis atau lisis yang diperantarai oleh komplemen Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan seperti reaksi transfusi; eritroblastosis fetalis; anemia hemolitik autoimun, agranulositosis atau pun trombositopenia; reaksi obat dan pemfigus vulgaris

3. Gangguan Tipe III (penyakit kompleks imun)


Antibodi mengikat antigen untuk membentuk kompleks antigen-antibodi yang besar dan mengendap di berbagai pembuluh darah serta mengaktivasi komplemen. Kompleks imun serta fragmen aktivasi komplemen juga menarik perhatian neutrofil, sehingga pada akhirnya komplemen diaktivasi dan terjadi pelepasan enzim neutrofilik dan molekul toksin lain (misalnya metabolit oksigen)

4. Gangguan Tipe IV (hipersensitivitas tipe lambat)


Respon imun selular dimana limfosit T spesifik sebagai antigen utama penyebab jejas sel atau jaringan Contoh : penyakit autoimun, sensitivitas kulit karena terpapar bahan kimia seperti poison ivy dan penolakan graft

ANTI ALERGI
1. Antagonis Reseptor H1 (AH1) 2. Antagonis Reseptor H2 (AH2) 3. Anti Alergi Lain

1. Antagonis Reseptor H1 (AH1)


AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacammacam otot polos Selain itu, AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih Indikasi untuk AH1 yaitu untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan

Contoh sediaan di Indonesia


a. Otede (Diphenhydramine HCl), tablet 50 mg b. Recodryl (Diphenhydramine HCl), vial 10 mg/ml c. Valdres (Diphenhydramine HCl), tablet 25 mg d. Alloris (Loratadine), tablet 10 mg e. Aerius (Desloratadine), tablet salut selaput 5 mg f. Cerini (Cetirizine HCl), tablet salut selaput 10 mg g. Cohistan (Chlorpheniramine maleate), tablet 4 mg

2. Antagonis Reseptor H2 (AH2)


Obat yang efektif dan relatif aman untuk pasien dengan hipersekresi asam lambung, misalnya untuk pasien tukak duodenum dan tukak lambung Contoh sediaan di Indonesia : a. Ranitidin 150 mg, tablet salut selaput b. Cimetidine 200 mg, tablet c. Famotidin 40 mg, tablet salut

3. Anti Alergi Lain


a. Natrium Kromolin Menghambat pelepasan histamin dari sel mast paru dan tempat-tempat tertentu yang diinduksi antigen. Penggunaannya yaitu untuk profilaksis asma bronkial dan kasus atopik tertentu Contoh sediaan di Indonesia : Intal 5 (Natrium kromolin), inhaler 5 mg

b. Nedokromil
Menghambat pelepasan mediator dari sel mast bronkus dan diindikasikan untuk mencegah serangan asma pada pasien asma bronkial ringan hingga sedang Nedokromil hanya diindikasikan untuk pasien asma yang berusia >12 tahun. Dosis dewasa dan anak >12 tahun yaitu 2-4xsehari 4 mg/hari yang diberikan secara inhalasi Contoh sediaan di Indonesia : inhaler 4 mg

c. Ketotifen
Indikasi : profilaksis asma bronkial, digunakan secara oral selama 12 bulan Efek samping : peningkatan berat badan

Contoh sediaan di Indonesia


a. Intifen (Ketotifen hydrogen fumarate), tablet 1 mg b. Nortifen (Ketotifen hydrogen fumarate), tablet 1 mg c. Pehatifen (Ketotifen hydrogen fumarate), tablet 1 mg, sirup 0,2 mg/ml (60 ml) d. Profilas (Ketotifen hydrogen fumarate), tablet 1 mg, sirup 0,2 mg/ml (60 ml) e. Scanditen (Ketotifen fumarate), tablet 1 mg, sirup 1 mg/5 ml (60 ml) f. Zaditen (Ketotifen hydrogen fumarate), tablet 1 mg, sirup 0,2 mg/ml (60 ml), tetes 1 mg/ml (10 ml)

PEMBAHASAN JURNAL

Jurnal 1 Efficacy of Desloratadine In The Treatment of Allergic Rhinitis : A Meta-Analysis of Randomized, Double-Blind, Controlled Trials
G.W. Canonica, F. Tarantini, E. Compalati, M. Penangos

Tujuan : Untuk menilai efektivitas anti histamin non sedatif, desloratadine, dalam pengobatan alergi rhinitis (AR). Metode : Empat database, yaitu MEDLINE, EMBASE, LILACS dan CINAHL) dilihat dari tahun 1966 hingga 31 mei 2006 untuk randomized placebo-controlled and double-blind dimana menyelidiki efikasi dari desloratadine pada pasien AR. Desloratadine diberikan secara oral, semua dosis dan semua jangka waktu terapi dipertimbangkan. Lima hasil dianalisis, yaitu total skor gejala, total skor gejala hidung, aliran udara melalui hidung, nasal IL-4.

Hasil : Pencarian utama memgidentifikasi 229 artikel. 57 diantaranya adalah percobaan yang relevan pada desloratadine pada AR Kesimpulan : Meta-analisis ini menegaskan pengurangan gejala alergi rhinitis (AR) dan perbaikan aliran udara pada hidung terlihat dalam studi individu yang diberi desloratadine. Perbaikan obyektif dalam aliran udara hidung, gejala total, dan total gejala hidung dilihat dengan desloratadine didukung oleh bukti

Jurnal 2 Effect of Anti-IgE Therapy In Patients With Peanut Allergy


Donald Y.M Leung, M.D., Ph.D., Hugh A. Sampson, M.D., John W. Yunginger, M.D., et all

Tujuan : Untuk mengetahui efektivitas TNX-901 sebagai terapi anti IgE pada pasien alergi kacang dengan parameter peningkatan ambang kepekaan terhadap antigen kacang. Metode : Dengan menggunakan double-blind, randomized, dose-ranging trial pada 84 pasien dengan riwayat hypersensitive terhadap kacang. Usia pasien 12-60 tahun dengan manifestasi urticarial, angioedema, gangguan saluran peranapasan bawah dan hypotension

Inklusi: total serum IgE 30-1000 IU per millimeter, kesehatan baik, berat badan 20% dari berat ideal, positive skin-prick test untuk kacang, negative skin-prick test minyak tuna. Eksklusi: pasien dalam keadaan hamil, sebelumnya terkena paparan terhadap antibody monoclonal, konsumsi Kortikosteroid sistemik, beta-blocker dan inhibitor acetylcholinesterase Dari 164 pasien yang menjalani screening, 84 orang lolos kualifikasi, dan hanya 81 orang yang menyelesaikan penelitian. Kelompok plasebo 23 pasien, 19 orang kelompok 150 mg TNX-901, 19 orang pada kelompok 300 mg, kelompok 450 dengan 21 orang

Dibagi kedalam 4 kelompok, dimana 3 kelompok diberikan TNX-901 dengan variasi dosis (150 mg, 300 mg, 450 mg) sedangkan kelompok terakhir diberikan placebo . Kelompok plasebo 23 pasien, 19 orang kelompok 150 mg TNX-901, 19 orang pada kelompok 300 mg, kelompok 450 dengan 21 orang Kemudian mereka menjalani final oral food challenge (induksi alergi) dengan tepung kacang (1 mg 2 g yang dimasukkan dalam gel kapsul)

Hasil : Dari rata-rata base-line threshold sensitivitas terhadap kacang pada masing-masing kelompok adalah 178-436 mg dimana mengalami peningkatan threshold sekitar 710 mg pada kelompok placebo, 913 mg pada kelompok 150 mg TNX-901, 1650 mg pada kelompok 300 mg TNX-901 dan 2627 mg di kelompok 450 mg TNX-901, dan TNX-901 dapat ditoleransi dengan baik Kesimpulan : IgE berperan dalam induksi reaksi hipersensitivitas kacang dan TNX-901 pada dosis 450 mg subkutan setiap empat minggu, secara signifikan meningkatkan ambang kepekaan terhadap antigen kacang. Meskipun hasil ini sangat menggembirakan, TNX-901 masih merupakan obat percobaan, dan persetujuan untuk penggunaan umum memerlukan konfirmasi dalam studi tambahan

Jurnal 3 Omega 3 and 6 Oils For Primary Prevention of Allergic Disease : Systematic Review And Meta-Analysis
C. Anandan, U. Nurmatov, A. Sheikh

Tujuan : Evaluasi efektivitas suplemen minyak omega 3 dan omega 6 sebagai pencegahan sensitivitas dan perkembangan gangguan alergi Metode : Menggunakan systematic review literatur dengan standar internasional yang telah disetujui untuk identifikasi dan penilaian double-blind RCT evidence : Cochrane (CENTRAL 1966-2008), MEDLINE (1966-2008), EMBASE (1966-2008), LILACS (1982-2008), Psyclnfo (1966-2008), AMED (1985-2008), ISI Web of Science (1966-2008) dan Google Scholar (2000-2008).

Inklusi : individu yang dinilai memiliki resiko tinggi, bahkan resiko rendah terkena eczema/atopic dermatitis, alergi rhinitis, asma dan atau gejala alergi lainnya. Eksklusi : anakanak dan orang dewasa dengan alergi yang sudah ada sebelumnya

Hasil : Dari 3129 artikel yang diidentifikasi, 10 laporan (mewakili enam unit studi) yang memenuhi kriteria inklusi. Empat studi membandingkan suplemen omega 3 dengan placebo dan dua studi membandingkan suplemen omega 6 dengan placebo. Tidak ada bukti yang jelas tentang manfaan terkait dengan penurunan resiko sensitisasi alergi atau pun profil imunologi yang menguntungkan. Kesimpulan : Bertentangan dengan bukti dari ilmu dasar dan penelitian epidemiologi, sistematic review dan meta-analisis menunjukkan bahwa suplemen minyak dengan omega 3 dan omega 6 kemungkinan tidak memberikan peran penting sebagai strategi untuk pencegahan primer untuk sensitisasi atau penyakit alergi

Jurnal 4 Can Epinephrine Inhalations be Substituted for Epinephrine Injection In Children at Risk for Systemic Anaphylaxis? F. Estelle R. Simons, M.D., Xiaochen Gu, Ph.D., Lana M. Johnston, R.N., Keith J. Simons, Ph.D. Tujuan : Untuk mengetahui kelayakan pemberian dosis epinefrin yang memadai dari metered-dose inhaler pada anakanak yang beresiko anafilaksis dengan menilai laju dan tingkat penyerapan epinefrin setelah terhirup Metode : Dengan metode prospektif, randomized, placebocontrolled, observer-blind yang dilakukan pada 19 anak dengan usia 6-14 tahun yang memiliki riwayat alergi parah dengan anafilaksis sistemik, yang menggunakan injeksi epinephrine Dengan kriteria eksklusi :obesitas, merokok, memiliki riwayat penyakit akut lain, asma, alergi rhinitis, dermatitis atopic, hipertensi, gangguan jantung, sakit kepala yang sering kambuh, kejang atau gangguan system syaraf pusat lainnya.

Pemberian epinephrine dan placebo didasarkan pada berat badan pasien. Anak-anak dengan berat 20-30 kg 10 kali hirupan selama periode 2 menit, berat 30-40 kg 15 kali hirupan selama periode 3 menit,sedangkan beratlebih dari 40 kg 20 kali hirupan selama periode4 menit Hasil : Konsentrasi rata-rata glukosa darah secara signifikan meningkat pada menit 10-30 setelah inhalasi epinephrine dibandingkan dengan pada kelompok placebo. Sedangkan jika dibandingkan dengan injeksi epinephrine, konsentrasi puncak epinephrine (Cmax) 2136 351 pg/mL pada 82 menit (Tmax), setelah injeksi intramuscular 1820214 pg/mL pada 3414 menit. Sedangkan pada inhalasi epinephrine (pada penelitian ini) Cmax 1822431 pg/mL pada Tmax 32,762 menit Kesimpulan : Perekomendasian inhalasi epinephrine harus dengan perhatian khusus pada pasien rawat jalan (out-of-hospital) pada anak dengan anafilaksis karena inhalasi epinephrine membuat anak-anak merasa kurang nyaman dan tidak menyukai rute pemberiannya, sehingga dikhawatirkan terjadi kegagalan terapi karena konsentrasi obat di dalam plasma kurang

Jurnal 5 Effects of Probiotics on Atopic Dermatitis : A Randomised Controlled Trial S. Weston, A. Halbert, P. Richmond, S.L. Prescott
Tujuan : Untuk menginvestigasi efek probiotik pada anak yang mengalami atopic dermatitis (AD) moderate atau severe. Metode :
Partisipan : Anak-anak umur 6-18 bulan sejumlah 56 orang dengan AD moderat atau severe yang telah direkrut antara bulan April hingga November 2003 dari komunitas umum dan pasien rawat jalan. Seluruh anak telah sesuai dengan kriteria AD dan memiliki skor SCORAD 25. Anak-anak yang tidak dapat mengikuti penelitian ini yaitu mereka yang pernah menggunakan probiotik sebelumnya, sedang menggunakan antibiotik atau masalah kesehatan lainnya. Protokol : Desain penelitian randomised double blind placebo controlled trial. Untuk mendetekasi penurunan 50% indeks skor SCORAD pada tingkat signifikansi 5% dengan kekuatan 80%, diperlukan 23 anak tiap grup. Penilaian : Pengelompokan dan pengacakan yang dilakukan sesuai dengan kriteria : (a) SCORAD (25-50, 50), (b) potensi kortikosteroid topikal (tidak ada, ringan atau sedang; poten atau sangat poten), dan (c) umur (6-12 bulan; 12 bulan).

Hasil :
Efek probiotik terhadap durasi dan keparahan AD : terjadi peningkatan indeks SCORAD pada kelompok probiotik yang dibandingkan dengan kelompok plasebo

Kesimpulan :
Penelitian ini memberikan bukti bahwa Lactobacillus fermentum VRI-003 PCC dapat meningkatkan durasi dan keparahan AD pada anak-anak dengan moderate atau severe AD. Sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efek pada respon imun dan keuntungan jangka panjang bagi pasien AD

Anda mungkin juga menyukai