NIM : 1901020015
Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai
adanya mengi, episodik, batuk, dan rasa sesak didada akibat penyumbatan saluran napas, termasuk
kedalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. Asma mempunyai tingkat fatalitas yang
rendah namun jumlah kasusnya cukup banyak ditemukan dalam masyarakat (Depkes RI, 2008).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita
asma, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambaha besar sebesar 180.000 orang setiap tahun.
Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang diseluruh dunia dan
terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik,
maka diperkirakan akan terkadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa yang akan
datang serta mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien. Di Indonesia
prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-
14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC ( Internatiola Study on Asthma and Allergy in
Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1% , sedangkan pada tahun 2003 meningkat
menjadi 5,2% (Depkes RI, 2008).
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu
aktivitas tetapi dapat aksaserbasi dari gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan
kematian (Depkes RI, 2008).
Faktor risiko asma dibagi menjadi 2 yaitu faktor dari dalam (host factor) dan faktor
lingkungan (Environmental factor). Faktor dari dalam berupa gen, obesitas,dan seks (jenis
kelamin) sedangkan faktor lingkungan meliputi alergen, infeksi, sensitisasi kerja, asam rokok,
polusi udara, dan diet (GINA, 2006).
Terapi untuk asma dapat dibedakan menjadi 2 yaitu terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi.
Terapi untuk asma dapat dilakukan atas kesadaran diri sendiri dengan atau tanpa pengawasan
dari dokter sesuai dengan kondisi fisik. Terapi non farmakolagi biasanya dilakukan pada kondisi
pasien yang merasakan gejala gejala awal pada asma yang dapat ditangani tanpa obat, sedangkan
Terapi Farmakologi digunakan pada pasien yang sudah masuk ke fase asma yang menunjukan
gejala berat serta dapat mengganggu aktivitas penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI., 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Departemen Kesehatan RI, 2007, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma, Direktorat Bina
Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.
Global Initiative for Asthma (GINA)., 2006. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention.
Lorensia, A., Ikawati, Z., Andayani, T. M., Maranatha, D., & Wahyudi, M. (2016). Analisis
Kejadian Leukositosis Pasca Terapi Aminofilin Intravena Dibandingkan dengan
Salbutamol Nebulasi pada Pasien Eksaserbasi Asma. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia,
5(3), 149-159. DOI: 10.15416/ijcp.2016.5.3.149
Lutfitati, H., Ikawati, Z., & Wiedyaningsih, C. (2015). Efek Samoing Penggunaan Terapi Oral
pada Pasien Asma. Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, 1(1).