Oleh :
gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada
terutama pada malam hari dan atau dini hari. Gejala tersebut umumnya bersifat
2. PATOFISIOLOGI ASMA
Asma ditandai oleh adanya peradangan dengan obstruksi saluran nafas, yang
sebagian besar bersifat episodik. Obstruksi pada asma sering dapat kembali seperti
semula baik secara spontan atau dengan pengobatan (Donohue et al., 2006). Pada
penderita asma, otot-otot polos bronkial mengalami konstraksi sebagai respon dari
adanya stimulasi baik dari alergen maupun dari iritan. (Kiley et al., 2007). Ketika
saluran nafas terpapar oleh berbagai faktor risiko, aliran udara menjadi terbatas dan
oleh mukus, dan inflamasi yang terjadi di saluran nafas (FitzGerald et al., 2012 ).
mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran nafas. Sel-sel inflamasi utama yang
turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada serangan asma antara lain adalah
sel mast, limfosit, dan eosinofil. Sedangkan mediator inflamasi utama yang terlibat
chemotactic factor), dan beberapa sitokin, yaitu interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13
(Ikawati, 2011). Sel-sel yang terlibat dalam inflamasi dari saluran nafas,
diantaranya :
1.) Sel mast
Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang
telah melekat pada reseptornya di permukaan sel mast. Ikatan ini memicu
terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah pecahnya sel mast yang
Sel limfosit terdiri dari dua tipe, yaitu limfosit T, dan limfosit B. Limfosit T
terbagi lagi menjadi dua subtipe, yaitu Th1, dan Th2 (T helper 1, dan T helper
2). Sel limfosit Th2 mampu memproduksi berbagai sitokin yang berperan
dalam reaksi inflamasi, seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13. Sitokin IL-4
dan IL-13 dapat mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi IgE, yang
kemudian akan menempel pada sel-sel inflamasi dan memicu terjadi pelepasan
dalam biopsi pada bronkus dan alveolus pada pasien asma (Donohue et al.,
pula tingkat keparah asma yang diderita. Sedangkan jumlah neutrofil dalam
saluran nafas dan juga sputum akan meningkat jika penyakit asma sudah
dekade terakhir ini diketahui sitokin memainkan peran penting dalam respon
inflamasi asma. Sitokin IL-4, IL-5,IL-9, IL-13 yang berasal dari Th-2, lebih
reaksi alergi, yang perannya sangat penting dalam patogenesis penyakit alergi
dan inflamasi yang terjadi. IgE menempel pada permukaan sel melalui reseptor
spesifik berafinitas tinggi. Sel mast mempunyai reseptor IgE yang dapat
menyebabkan inflamasi saat terpapar oleh faktor risiko. Selain sel mast,
basofil, sel dendritik, dan limfosit juga memiliki reseptor IgE (Kiley et al.,
2007).
3. DIAGNOSIS ASMA
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan semestinya. Mengi dan atau batuk kronik berulang merupakan
dapat didiagnosis berdasarkan pada gejala dan riwayat medis dari pasien,
1.) Wheezing atau mengi, yaitu suara seperti bersiul dengan nada yang tinggi saat
menarik nafas,
2.) Kambuhnya mengi, sesak nafas, dada terasa sesak, dan batuk yang semakin
3.) Gejala yang terjadi dan diperparah saat malam hari dan pada pola musiman,
4.) Gejala yang diperburuk saat penderita melakukan olahraga, adanya paparan
dan kapan terjadinya gejala-gejala asma. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan dengan
paru, dan tes provokasi. Uji faal paru dilakukan untuk menentukan beratnya
sumbatan saluran nafas hingga beratnya serangan asma. Uji provokasi bronkus
radiologis dilakukan untuk mengetahui adanya inflamasi dan edema yang terjadi di
Pemeriksaan fungsi atau faal paru dilakukan dengan alat yang bernama
paksa dalam satu detik (FEV1), forced expiratory vital capacity (FVC), dan juga
peak expiratory flow (PEF) (FitzGerald et al., 2012 ). Jika nilai variasi PEF lebih
dari atau sama dengan 20% antara pagi dan sore hari, dapat dikatakan bahwa
pasien tersebut menderita asma. Hal lain yang mendukung diantaranya adanya
kenaikan PEF lebih dari sama dengan 15% pada pagi dan sore hari, serta adanya
penurunan FEV1 lebih dari 20% setelah pemberian bronkodilator secara inhalasi
pada uji provokasi bronkus (Meiyanti, 2000). Uji alergi juga dapat dilakukan,
seperti dengan tes tusuk kulit atau skin prick test (Kementerian Kesehatan, 2009).
4. KLASIFIKASI ASMA
Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, dan uji faal
paru). Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan
gejala, jumlah malam terbangun karena munculnya gejala, nilai FEV1 dan FVC,
serta nilai variabilitas PEF. Asma dibagi menjadi persisten (ringan, sedang, berat)
FEV1 Variabilitas
Hari dengan gejala Malam dengan gejala
/FVC PEF
TINGKAT 4
Terus menerus Sering ≤ 60% > 30 %
Persisten berat
TINGKAT 3 60% -
Setiap hari > 1x per minggu < 30%
Persisten sedang 80%
TINGKAT 2 > 2x per minggu
> 2x per bulan ≥ 80% 20% - 30%
Persisten ringan tetapi < 1x per hari
TINGKAT 1
≤ 2x per minggu ≤ 2x per bulan ≥ 80% < 20%
Intermitten ringan
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen dari asma itu sendiri untuk
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau dengan kata
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui.
serangan. Jika terjadi serangan biasanya pasien diberikan obat pelega, seperti
saluran nafas. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu
1.) Reliever
serangan akut asma. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah
bronkodilator (β2 agonis aksi cepat, antikolinergik, dan metil ksantin), dan
2.) Controller
Adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Dan
obat yang termasuk dalam golongan ini adalah obat antiinflamasi seperti
aksi lambat. Obat agonis β2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat juga dapat
dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan β2
agonis merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi golongan obat
siklase sehingga meningkatkan kadar siklik AMP atau cAMP intrasel, dan
merelaksasi otot polos bronkus. Berdasarkan durasi kerjanya, obat
golongan β2 agonis terbagi menjadi obat aksi pendek (short acting), dan
aksi panjang (long acting). Obat-obat aksi pendek bekerja dengan cepat,
2.) Kortikosteriod
dan metabolit arakidonat lainnya. Mekanisme kerja steroid yang lain adalah
mast yang berada di saluran nafas, serta dapat juga meningkatkan jumlah
masuk secara cepat ke sel target di saluran nafas, dan berikatan dengan
dan kafein, tetapi yang paling banyak digunakan dalam terapi asma adalah
pada kadar toksik di tubuh. Jika pasien mengalami tanda dan gejala
keracunan, seperti misalnya sakit kepala berat, takikardi, mual, dan muntah,
4.) Antikolinergik
bronkus dan sekresi mukus. Asetilkolin juga memicu pelepasan dari sitokin
dan kemokin dari sel. Contoh dari antikolinergik ini adalah ipratoprium
eksaserbasi, serta inflamasi di saluran nafas. Obat ini dapat digunakan pada
pasien dewasa dengan asma persisten ringan, dan beberapa pasien dengan
6.) Antihistamin
bulan pada sebagian penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi
Drug related problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan terjadi
pada pasien dalam proses terapi dengan menggunakan obat yang secara aktual maupun
Europe, 2010; Cipolle, et al., 2004). DRP aktual adalah masalah yang terjadi berkaitan
dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien, sedangkan DRP potensial adalah
masalah yang diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang
DRPs dibagi menjadi beberapa kategori yang disebabkan oleh beberapa hal
mendapat terapi non farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti
baru selain penyakit utama yang membutuhkan terapi, diperlukan terapi obat
c. Obat kurang efektif disebabkan oleh kondisi medis sukar disembuhkan dengan
obat tersebut, bentuk sediaan obat tidak sesuai, kondisi medis yang tidak dapat
disembuhkan dengan obat yang diberikan, dan produk obat yang diberikan
d. Dosis kurang umumnya disebabkan karena dosis terlalu rendah untuk dapat
menimbulkan respon yang diinginkan, durasi terapi obat terlalu pendek untuk
dapat menghasilkan respon, serta interaksi obat yang dapat mengurangi jumlah
e. Efek samping obat dapat disebabkan karena obat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, interaksi obat yang
dengan dosis, ada obat lain yang lebih aman ditinjau dari faktor risikonya,
regimen dosis yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, obat yang
f. Dosis berlebih disebabkan oleh dosis obat yang diberikan terlalu tinggi, dosis
obat dinaikkan terlalu cepat, frekuensi pemberian obat terlalu pendek, durasi
aturan pemakaian, pasien lebih suka tidak menggunakan obat, pasien lupa untuk
menggunakan obat, obat terlalu mahal bagi pasien, pasien tidak dapat menelan
obat atau menggunakan obat sendiri secara tepat, dan obat tidak tersedia bagi
pasien.
5. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Kasus Pasien Anak
Analisis DRPs dilakukan dengan menggunakan data penggunaan obat dan catatan
keperawatan pasien. Tabel berikut menyajikan gambaran DRPs yang ditemui pada pasien asma anak.
KASUS
SUBJECTIVE
Usia/Jenis Kelamin: 4 tahun 5 bulan 25 hari/ L Alergi :-
Tanggal Rawat : 10/10/2013 – 13/0/013 Riwayat Penyakit : -
Keluhan Utama : sesak napas, batuk, demam Riwayat Penggunan Obat: sebelumnya Salbutamol 3x 1 mg; Parasetamol 3x 250 mg;
Diagnosis : asthma bronchiale Cotrimoxazole 2x 480 mg; Ambroxol 3x 4 mg
Status Keluar :-
OBJECTIVE
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Vital Hasil Pemeriksaan Laboratorium
BB : 18 kg Hemoglobin: 12,5 (12-18) Eosinofil: 1 (1-3)
Kesadaran : CM Leukosit: 9,3 (4,5-15) Neutrofil: 76 (54-62)
P : 108 x/menit Hematokrit: 36 (35-50) Limfosit : 20 (25-30)
RR : 36 x/menit Trombosit: 456 (150-450) Monosit : 3 (0-9)
SaO2 :- Eritrosit : 4,6 (1,4-3,4)
Cyanosis :- Basofil : 0 (0-1)
Suara Napas : Wheezing (+); Rhonki (+)
Lainnya : -
Tanggal 10/10 11/10 12/10 13/10
Tanda Vital: T(oC)/P(x/menit)/RR(x/menit)
36/108/36 - - 36,5/100/22
Normal: 36,1-37,8/<110/<40
sesak pernapasan lemas, batuk sesak, batuk lemas, batuk berdahak, tidak
Kondisi/Keluhan Pasien dada berdahak berdahak sesak lagi
Tatalaksana Obat
Infus KAEN 1B 16 tts/mnt √ - - -
Neb. Salbutamol 2,5 mg3x 1 amp √ √ √ √
Amikasin IV 2x 125 mg √ √ √ √
Deksametason IV 3x 1 cc √ √ √ -
Aminofilin IV drip 2,4 cc + D5% 7,6 cc 3x √ - - -
Biostrum 3x 1 cth - √ √ √
ASSESSMENT
sebaiknya diberi 1-3 nebulisasi 2,5–5 mg salbutamol atau 5-10 mg terbutaline (World Health Organization, 2013; British Thoracic Society, 2012).
pemberian Neb. Ventolin (salbutamol 2,5 mg) sudah tepat
- Antibiotik sebaiknya tidak diberikan secara rutin pada pasien asma tanpa demam. Antibiotik dapat diberikan pada pasien asma dengan demam atau adanya tanda
pneumonia (World Health Organization, 2013) pemberian IV Amikasin sudah tepat
- Kortikosteroid efektif dalam manajemen asma karena dapat mengurangi inflamasi jalan napas. Pemberian kortikosteroid secara oral sama efektif dengan pemberian secara
intravena. Kortikosteroid intravena dapat diberikan pada pasien dengan serangan berat atau tak mampu menelan (Global Initiative for Asthma, 2014; Depkes RI, 2008).
Dosis pemberian steroid intravena adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari (IDAI, 2009). pemberian Deksametason IV (deksametason) sudah tepat, namun dosis pemberian kurang.
Dosis yang seharusnya diterima pasien 9-18 mg/hari, sementara pasien hanya menerima 3 x 1 cc (1 cc= 1 mg) = 3 mg/hari: Dosis kurang
- Pemberian aminofilin intravena dapat diberikan pada serangan asma berat (IDAI, 2009; Depkes RI, 2008). Dosis awal aminofilin 6-8 mg/kgBB diberikan selama 20-30
menit, dosis rumatan 5mg/kg/6jam (World Health Organization, 2013; IDAI, 2009) Dosis kurang
- Biostrum merupakan suplemen untuk meningkatkan sistem imun, nafsu makan, mencegah dan mengobati defisiensi vitamin, memperkuat tulang dan gigi (MIMS, 2012).
- Kombinasi antara kortikosteroid dan salbutamol dapat menyebabkan hipokalemia (Baxter, 2010). Efek samping obat (potensial)
- Kortikosteroid dan aminofilin/teofilin keduanya dapat menyebabkan hipokalemia, yang mungkin bersifat aditif (Baxter, 2010). Efek samping obat (potensial)
- Kombinasi salbutamol dan aminofilin/teofilin dapat menyebabkan hipokalemia dan takikardi (Baxter, 2010). Efek samping obat (potensial)
PLAN/RECOMMENDATION
Pemberian aminofilin dengan dosis kurang dapat menyebabkan onset obat ini akan
semakin lama sehingga efek bronkodilatasi akan lebih lama terjadi. Aminofilin
merupakan obat dengan indeks terapi sempit sehingga perlu hati-hati dalam
pemberian dosis yang tepat.
Kortikosteroid efektif digunakan dalam manajemen asma karena dapat
mengurangi inflamasi jalan napas. Pemberian kortikosteroid secara oral sama
efektif dengan pemberian secara intravena. Kortikosteroid intravena dapat
diberikan pada pasien dengan serangan berat atau tak mampu menelan dengan
dosis pemberian 0,5-1 mg/kgBB/hari (Global Initiative for Asthma, 2014; BMJ
Group, 2011; Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009; Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2008).