Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KELOMPOK 15

DRUG RELATED PROBLEM PADA PASIEN ANAK DENGAN ASMA


DI INSTALASI RAWAT INAP RS CHARITAS PALEMBANG

Dosen : Ibu Dra. Nurminda, S.Si., Apt.


Mata Kuliah Farmasi Rumah Sakit

Oleh :

1. Veronica Yosadora Saragih


2. Widiya Silvianita
3. Widya Ade Syahfitri Siregar
4. Winda Wiladatika
5. Wiwiek Dwi Anggreini Sianturi

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER PROGRAM PROFESI


INSTITUT KESEHATANDELI HUSADA DELI TUA
TAHUN 2019
1. DEFENISI ASMA

Berdasarkan Pedoman Pengendalian Penyakit Asma yang diterbitkan oleh

Departemen Kesehatan RI, asma didefinisikan sebagai suatu kelainan berupa

inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan hiperaktivitas

bronkus terhadap berbagai rangsangan. Hiperaktivitas bronkus ini ditandai dengan

gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada

terutama pada malam hari dan atau dini hari. Gejala tersebut umumnya bersifat

reversibel, baik dengan atau tanpa pengobatan (Kementerian Kesehatan, 2009).

2. PATOFISIOLOGI ASMA

Asma ditandai oleh adanya peradangan dengan obstruksi saluran nafas, yang

sebagian besar bersifat episodik. Obstruksi pada asma sering dapat kembali seperti

semula baik secara spontan atau dengan pengobatan (Donohue et al., 2006). Pada

penderita asma, otot-otot polos bronkial mengalami konstraksi sebagai respon dari

adanya stimulasi baik dari alergen maupun dari iritan. (Kiley et al., 2007). Ketika

saluran nafas terpapar oleh berbagai faktor risiko, aliran udara menjadi terbatas dan

menjadi terhambat. Hal itu diakibatkan karena adanya bronkokonstriksi, sumbatan

oleh mukus, dan inflamasi yang terjadi di saluran nafas (FitzGerald et al., 2012 ).

Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel inflamasi,

mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran nafas. Sel-sel inflamasi utama yang

turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada serangan asma antara lain adalah

sel mast, limfosit, dan eosinofil. Sedangkan mediator inflamasi utama yang terlibat

dalam asma adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil (eosinofil

chemotactic factor), dan beberapa sitokin, yaitu interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13

(Ikawati, 2011). Sel-sel yang terlibat dalam inflamasi dari saluran nafas,

diantaranya :
1.) Sel mast

Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang

telah melekat pada reseptornya di permukaan sel mast. Ikatan ini memicu

serangkaian peristiwa biokimiawi di dalam sel yang kemudian menyebabkan

terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah pecahnya sel mast yang

menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi. Sel mast terdapat pada

lapisan epitelial maupun sub epitelial saluran nafas. (Ikawati, 2011).

2.) Sel limfosit

Sel limfosit terdiri dari dua tipe, yaitu limfosit T, dan limfosit B. Limfosit T

terbagi lagi menjadi dua subtipe, yaitu Th1, dan Th2 (T helper 1, dan T helper

2). Sel limfosit Th2 mampu memproduksi berbagai sitokin yang berperan

dalam reaksi inflamasi, seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13. Sitokin IL-4

dan IL-13 dapat mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi IgE, yang

kemudian akan menempel pada sel-sel inflamasi dan memicu terjadi pelepasan

berbagai mediator inflamasi (Ikawati, 2011).

3.) Eosinofil dan neutrofil

Karakteristik kelainan fisiologi pada asma ditandai dengan inflamasi eosinofil.

Peningkatan eosinofil yang aktif dan mengalami degranulasi telah ditunjukkan

dalam biopsi pada bronkus dan alveolus pada pasien asma (Donohue et al.,

2006). Meningkatnya jumlah eosinofil sering dihubungkan dengan tingkat

keparahan asma. Semakin besar peningkatan eosinofil maka semakin besar

pula tingkat keparah asma yang diderita. Sedangkan jumlah neutrofil dalam

saluran nafas dan juga sputum akan meningkat jika penyakit asma sudah

berada pada tingkat yang parah (FitzGerald et al., 2012).

4.) Mediator inflamasi


Banyak sitokin dan kemokin yang terlibat dalam patofisiologi asma. Dalam

dekade terakhir ini diketahui sitokin memainkan peran penting dalam respon

inflamasi asma. Sitokin IL-4, IL-5,IL-9, IL-13 yang berasal dari Th-2, lebih

spesifik terhadap peradangan alergi. Sitokin T helper tipe 2 (Th-2) memegang

peran penting dalam penyakit alergi, termasuk asma (Barnes, 2001).

Imunoglobulin E (IgE) adalah antibodi yang bertanggung jawab dalam

reaksi alergi, yang perannya sangat penting dalam patogenesis penyakit alergi

dan inflamasi yang terjadi. IgE menempel pada permukaan sel melalui reseptor

spesifik berafinitas tinggi. Sel mast mempunyai reseptor IgE yang dapat

menyebabkan inflamasi saat terpapar oleh faktor risiko. Selain sel mast,

basofil, sel dendritik, dan limfosit juga memiliki reseptor IgE (Kiley et al.,

2007).

3. DIAGNOSIS ASMA

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat

ditangani dengan semestinya. Mengi dan atau batuk kronik berulang merupakan

titik awal untuk menegakkan diagnosis (Kementerian Kesehatan, 2009). Asma

dapat didiagnosis berdasarkan pada gejala dan riwayat medis dari pasien,

diantaranya (Fitz Gerald et al., 2012 ) :

1.) Wheezing atau mengi, yaitu suara seperti bersiul dengan nada yang tinggi saat

menarik nafas,

2.) Kambuhnya mengi, sesak nafas, dada terasa sesak, dan batuk yang semakin

parah pada malam hari,

3.) Gejala yang terjadi dan diperparah saat malam hari dan pada pola musiman,

4.) Gejala yang diperburuk saat penderita melakukan olahraga, adanya paparan

alergen, infeksi,perubahan suhu, atau perubahan emosional,


5.) Adanya sejarah dalam keluarga yang menderita asma.

Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamesis berhubungan dengan apa

dan kapan terjadinya gejala-gejala asma. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan dengan

inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Sedangkan pemeriksaan penunjang,

diantaranya uji reversibilitas dan foto toraks (Kementerian Kesehatan, 2009).

Diagnosis asma dapat ditegakkan melalui gejala klinis, gambaran radiologis

paru, dan tes provokasi. Uji faal paru dilakukan untuk menentukan beratnya

sumbatan saluran nafas hingga beratnya serangan asma. Uji provokasi bronkus

dapat menentukan derajat beratnya hiperreaktivitas. Sedangkan pemeriksaan

radiologis dilakukan untuk mengetahui adanya inflamasi dan edema yang terjadi di

saluran nafas (Meiyanti, 2000).

Pemeriksaan fungsi atau faal paru dilakukan dengan alat yang bernama

spirometer. Spirometer digunakan untuk mengukur keterbatasan dari aliran udara.

Dari pemeriksaan dengan spirometer dapat ditentukan nilai volume ekspiratori

paksa dalam satu detik (FEV1), forced expiratory vital capacity (FVC), dan juga

peak expiratory flow (PEF) (FitzGerald et al., 2012 ). Jika nilai variasi PEF lebih

dari atau sama dengan 20% antara pagi dan sore hari, dapat dikatakan bahwa

pasien tersebut menderita asma. Hal lain yang mendukung diantaranya adanya

kenaikan PEF lebih dari sama dengan 15% pada pagi dan sore hari, serta adanya

penurunan FEV1 lebih dari 20% setelah pemberian bronkodilator secara inhalasi

pada uji provokasi bronkus (Meiyanti, 2000). Uji alergi juga dapat dilakukan,

seperti dengan tes tusuk kulit atau skin prick test (Kementerian Kesehatan, 2009).

4. KLASIFIKASI ASMA
Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran

klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, dan uji faal

paru). Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan

klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam

penatalaksanaannya (Kementerian Kesehatan, 2009).

Berdasarkan NAEPP (National Asthma Education and Prevention Program)

2007, keparahan gejala asma diklasifikasikan berdasarkan jumlah hari munculnya

gejala, jumlah malam terbangun karena munculnya gejala, nilai FEV1 dan FVC,

serta nilai variabilitas PEF. Asma dibagi menjadi persisten (ringan, sedang, berat)

dan intermitten (Kiley et al., 2007).

Tabel I. Klasifikasi asma menurut NAEPP 2007

FEV1 Variabilitas
Hari dengan gejala Malam dengan gejala
/FVC PEF
TINGKAT 4
Terus menerus Sering ≤ 60% > 30 %
Persisten berat
TINGKAT 3 60% -
Setiap hari > 1x per minggu < 30%
Persisten sedang 80%
TINGKAT 2 > 2x per minggu
> 2x per bulan ≥ 80% 20% - 30%
Persisten ringan tetapi < 1x per hari
TINGKAT 1
≤ 2x per minggu ≤ 2x per bulan ≥ 80% < 20%
Intermitten ringan

5. TATALAKSANA TERAPI ASMA

Tatalaksana pasien asma adalah manajemen dari asma itu sendiri untuk

meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup pasien. Pasien dapat hidup

normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau dengan kata

lain asmanya terkontrol. Tujuan dari terapi asma diantaranya :

1.) Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma,

2.) Mencegah eksaserbasi akut,

3.) Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin,


4.) Mengupayakan aktivitas normal pasien,

5.) Menghindari efek samping,

6.) Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara,

7.) Mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya, dan

8.) Mencegah kematian (Kementerian Kesehatan, 2009).

Pada prinsipnya pelaksanaan asma diklasifikasikan menjadi saat serangan atau

penatalaksanaan asma akut, dan penatalaksanaan asma jangka panjang.

1.) Penatalaksanaan asma akut

Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui.

Penanganan terhadap serangan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat

serangan. Jika terjadi serangan biasanya pasien diberikan obat pelega, seperti

bronkodilator (β-2 agonis aksi cepat, dan ipratropium bromida), dan

kortikosteroid sistemik) (Kementerian Kesehatan, 2009).

2.) Penatalaksanaan asma jangka panjang

Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengkontrol asma dan

mencegah terjadinya serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan

dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi

edukasi, obat asma (pengontrol, dan pelega), dan menjaga kebugaran

(Kementerian Kesehatan, 2009).


6. OBAT-OBAT ASMA
Dalam terapi farmakologis atau terapi menggunakan obat, obat asma

digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi

saluran nafas. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu

reliever dan controller (Meiyanti, 2000).

1.) Reliever

Pengobatan cepat (quick-relief medication) digunakan untuk mengatasi

serangan akut asma. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah

bronkodilator (β2 agonis aksi cepat, antikolinergik, dan metil ksantin), dan

kortikosteriod oral atau sistemik (Ikawati, 2011).

2.) Controller

Adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Dan

obat yang termasuk dalam golongan ini adalah obat antiinflamasi seperti

kortikosteriod, natrium kromoglikolat, natrium nedokromil, dan antihistamin

aksi lambat. Obat agonis β2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat juga dapat

digunakan dalam pengobatan pemeliharaan ini (Meiyanti, 2000).

Berikut adalah obat-obat asma yang biasa digunakan, diantaranya yaitu :

1.) β2 agonis adrenergik

β2 agonis adalah bronkodilator paling kuat pada pengobatan asma. β2

agonis mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler,

dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan β2

agonis merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi golongan obat

ini tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan

hiperresponsivitas bronkus (Meiyanti, 2000).

Prinsip kerja dari β2 agonis adalah dengan mengaktivasi adenilat

siklase sehingga meningkatkan kadar siklik AMP atau cAMP intrasel, dan
merelaksasi otot polos bronkus. Berdasarkan durasi kerjanya, obat

golongan β2 agonis terbagi menjadi obat aksi pendek (short acting), dan

aksi panjang (long acting). Obat-obat aksi pendek bekerja dengan cepat,

namun aksinya tidak bertahan lama. Umumnya digunakan untuk

pengobatan segera pada serangan akut. Sedangkan obat-obat aksi panjang,

umumnya aksinya bisa bertahan hingga 12 jam, tetapi onsetnya lambat,

sehingga tidak tepat untuk pengobatan serangan akut tetapi digunakan

untuk mengendalikan asma. Contoh obat β2 agonis aksi cepat adalah

salbutamol, albuterol, terbutalin, pirbuterol, levabuterol, dan fenoterol.

Untuk obat yang beraksi panjang contohnya adalah salmeterol, dan

formoterol (Ikawati, 2011).

2.) Kortikosteriod

Mekanisme kerja kortikosteroid pada asma belum diketahui dengan

pasti. Salah satu teori mengemukakan bahwa kortikosteriod dapat

membentuk makrokortin dan lipo-modulin yang bekerja menghambat

fosfolipase A2 dalam membentuk leukotrien, prostaglandin, tromboksan,

dan metabolit arakidonat lainnya. Mekanisme kerja steroid yang lain adalah

menghalangi pembentukan mediator inflamasi, pelepasannya, dan juga

respon yang timbul akibat lepasnya mediator tersebut (Yunus, 1998).

Contoh dari kortikosteriod yaitu prednisolon, hidrokortison, dan metil

prednisolon (Meiyanti, 2000).

Obat pilihan yang paling efektif dalam mengkontrol asma adalah

kortikosteriod, dengan cara pemberian yang baik secara inhalasi.

Pemberian inhalasi mempunyai berbagai manfaat karena efektivitasnya

tinggi dan efek sampingnya minimal (Yunus, 1998). Kortikosteroid inhalasi


dapat mengurangi jumlah eosinofil yang berada dalam sirkulasi, dan sel

mast yang berada di saluran nafas, serta dapat juga meningkatkan jumlah

reseptor adrenergik β2. Kortikosteroid inhalasi bersifat sangat lipofilik, dan

masuk secara cepat ke sel target di saluran nafas, dan berikatan dengan

reseptor glukokortikoid di sitosol, atau di nukleus (Ikawati, 2011).

3.) Metil ksantin

Obat golongan metil ksantin yang utama adalah teofilin, teobromin,

dan kafein, tetapi yang paling banyak digunakan dalam terapi asma adalah

teofilin (Ikawati, 2011). Teofilin adalah agen bronkodilator dengan

kekuatan ringan atau sedang. Teofilin merupakan inhibitor fosfodiestrase

non selektif, yang telah menunjukkan aktivitas antiinflamasi ringan.

Teofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai pilihan dalam terapi

pencegahan jangka panjang. Tetapi dalam penggunaannya teofilin harus

selalu dimonitoring kadarnya untuk memastikan kadarnya tidak berada

pada kadar toksik di tubuh. Jika pasien mengalami tanda dan gejala

keracunan, seperti misalnya sakit kepala berat, takikardi, mual, dan muntah,

sebaiknya teofilin dihentikan dan segera dilakukan pengambilan serum dari

pasien tersebut (Kiley et al., 2007).

4.) Antikolinergik

Antikolinergik digunakan untuk pengobatan asma, terutama digunakan

sebagai bronkodilator. Antikolinergik bekerja dengan menghambat

pelepasan asetilkolin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos

bronkus dan sekresi mukus. Asetilkolin juga memicu pelepasan dari sitokin

dan kemokin dari sel. Contoh dari antikolinergik ini adalah ipratoprium

bromida dan tiotropium bromida (Gosens et al., 2006).


5.) Leukotrien modifier

Leukonutrien modifier bekerja dengan cara mengantagonis reseptor

leukotrien (contoh montelukast, pranlukast, dan zafirlukast), atau dengan

cara sebagai inhibitor dari 5-lipooksigenase (contoh zileuton). Leukotrien

modifier mempunyai efek bronkodilator yang kecil dan bervariasi, dapat

meningkatkan fungsi paru-paru, dan mengurangi gejala seperti batuk, dan

eksaserbasi, serta inflamasi di saluran nafas. Obat ini dapat digunakan pada

pasien dewasa dengan asma persisten ringan, dan beberapa pasien dengan

asma akibat dari sensitif aspirin (FitzGerald et al., 2012).

6.) Antihistamin

Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati

asma, biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat

penyakit atopik seperti rhinitis alergi. Pemberian antihistamin selama tiga

bulan pada sebagian penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi

gejala asma (Meiyanti, 2000).

7. DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

Drug related problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan terjadi

pada pasien dalam proses terapi dengan menggunakan obat yang secara aktual maupun

potensial menghambat hasil terapi yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network

Europe, 2010; Cipolle, et al., 2004). DRP aktual adalah masalah yang terjadi berkaitan

dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien, sedangkan DRP potensial adalah

masalah yang diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang

digunakan pasien (Cipolle, et al., 2004).

DRPs dibagi menjadi beberapa kategori yang disebabkan oleh beberapa hal

yaitu sebagai berikut:


a. Obat tidak dibutuhkan dapat disebabkan oleh tidak adanya indikasi medis yang

sesuai dengan obat yang diberikan, menggunakan terapi polifarmasi yang

seharusnya bisa menggunakan terapi tunggal, kondisi yang lebih cocok

mendapat terapi non farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti

dengan obat lain, penyalahgunaan obat.

b. Membutuhkan terapi obat tambahan dapat disebabkan oleh munculnya kondisi

baru selain penyakit utama yang membutuhkan terapi, diperlukan terapi obat

yang bersifat preventif untuk mencegah risiko perkembangan keparahan kondisi,

kondisi medis yang membutuhkan kombinasi obat untuk memperoleh efek

sinergis maupun efek tambahan.

c. Obat kurang efektif disebabkan oleh kondisi medis sukar disembuhkan dengan

obat tersebut, bentuk sediaan obat tidak sesuai, kondisi medis yang tidak dapat

disembuhkan dengan obat yang diberikan, dan produk obat yang diberikan

bukan yang paling efektif untuk mengatasi indikasi penyakit.

d. Dosis kurang umumnya disebabkan karena dosis terlalu rendah untuk dapat

menimbulkan respon yang diharapkan, interval pemberian kurang untuk

menimbulkan respon yang diinginkan, durasi terapi obat terlalu pendek untuk

dapat menghasilkan respon, serta interaksi obat yang dapat mengurangi jumlah

obat yang tersedia dalam bentuk aktif.

e. Efek samping obat dapat disebabkan karena obat menimbulkan efek yang tidak

diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, interaksi obat yang

menyebabkan reaksi yang tidak diharapkan tetapi tidak ada hubungannya

dengan dosis, ada obat lain yang lebih aman ditinjau dari faktor risikonya,

regimen dosis yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, obat yang

diberikan menyebabkan alergi, dan obat yang diberikan dikontraindikasikan


karena faktor risikonya.

f. Dosis berlebih disebabkan oleh dosis obat yang diberikan terlalu tinggi, dosis

obat dinaikkan terlalu cepat, frekuensi pemberian obat terlalu pendek, durasi

terapi pengobatan terlalu panjang, serta interaksi obat yang menyebabkan

terjadinya reaksi toksisitas.

g. Ketidakpatuhan pasien umumnya disebabkan karena pasien tidak memahami

aturan pemakaian, pasien lebih suka tidak menggunakan obat, pasien lupa untuk

menggunakan obat, obat terlalu mahal bagi pasien, pasien tidak dapat menelan

obat atau menggunakan obat sendiri secara tepat, dan obat tidak tersedia bagi

pasien.
5. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Kasus Pasien Anak

Analisis DRPs dilakukan dengan menggunakan data penggunaan obat dan catatan

keperawatan pasien. Tabel berikut menyajikan gambaran DRPs yang ditemui pada pasien asma anak.

KASUS
SUBJECTIVE
Usia/Jenis Kelamin: 4 tahun 5 bulan 25 hari/ L Alergi :-
Tanggal Rawat : 10/10/2013 – 13/0/013 Riwayat Penyakit : -
Keluhan Utama : sesak napas, batuk, demam Riwayat Penggunan Obat: sebelumnya Salbutamol 3x 1 mg; Parasetamol 3x 250 mg;
Diagnosis : asthma bronchiale Cotrimoxazole 2x 480 mg; Ambroxol 3x 4 mg
Status Keluar :-
OBJECTIVE
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Vital Hasil Pemeriksaan Laboratorium
BB : 18 kg Hemoglobin: 12,5 (12-18) Eosinofil: 1 (1-3)
Kesadaran : CM Leukosit: 9,3 (4,5-15) Neutrofil: 76 (54-62)
P : 108 x/menit Hematokrit: 36 (35-50) Limfosit : 20 (25-30)
RR : 36 x/menit Trombosit: 456 (150-450) Monosit : 3 (0-9)
SaO2 :- Eritrosit : 4,6 (1,4-3,4)
Cyanosis :- Basofil : 0 (0-1)
Suara Napas : Wheezing (+); Rhonki (+)
Lainnya : -
Tanggal 10/10 11/10 12/10 13/10
Tanda Vital: T(oC)/P(x/menit)/RR(x/menit)
36/108/36 - - 36,5/100/22
Normal: 36,1-37,8/<110/<40
sesak pernapasan lemas, batuk sesak, batuk lemas, batuk berdahak, tidak
Kondisi/Keluhan Pasien dada berdahak berdahak sesak lagi
Tatalaksana Obat
Infus KAEN 1B 16 tts/mnt √ - - -
Neb. Salbutamol 2,5 mg3x 1 amp √ √ √ √
Amikasin IV 2x 125 mg √ √ √ √
Deksametason IV 3x 1 cc √ √ √ -
Aminofilin IV drip 2,4 cc + D5% 7,6 cc 3x √ - - -
Biostrum 3x 1 cth - √ √ √
ASSESSMENT
sebaiknya diberi 1-3 nebulisasi 2,5–5 mg salbutamol atau 5-10 mg terbutaline (World Health Organization, 2013; British Thoracic Society, 2012). 
pemberian Neb. Ventolin (salbutamol 2,5 mg) sudah tepat
- Antibiotik sebaiknya tidak diberikan secara rutin pada pasien asma tanpa demam. Antibiotik dapat diberikan pada pasien asma dengan demam atau adanya tanda
pneumonia (World Health Organization, 2013)  pemberian IV Amikasin sudah tepat
- Kortikosteroid efektif dalam manajemen asma karena dapat mengurangi inflamasi jalan napas. Pemberian kortikosteroid secara oral sama efektif dengan pemberian secara
intravena. Kortikosteroid intravena dapat diberikan pada pasien dengan serangan berat atau tak mampu menelan (Global Initiative for Asthma, 2014; Depkes RI, 2008).
Dosis pemberian steroid intravena adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari (IDAI, 2009).  pemberian Deksametason IV (deksametason) sudah tepat, namun dosis pemberian kurang.
Dosis yang seharusnya diterima pasien 9-18 mg/hari, sementara pasien hanya menerima 3 x 1 cc (1 cc= 1 mg) = 3 mg/hari: Dosis kurang
- Pemberian aminofilin intravena dapat diberikan pada serangan asma berat (IDAI, 2009; Depkes RI, 2008). Dosis awal aminofilin 6-8 mg/kgBB diberikan selama 20-30
menit, dosis rumatan 5mg/kg/6jam (World Health Organization, 2013; IDAI, 2009) Dosis kurang
- Biostrum merupakan suplemen untuk meningkatkan sistem imun, nafsu makan, mencegah dan mengobati defisiensi vitamin, memperkuat tulang dan gigi (MIMS, 2012).
- Kombinasi antara kortikosteroid dan salbutamol dapat menyebabkan hipokalemia (Baxter, 2010). Efek samping obat (potensial)
- Kortikosteroid dan aminofilin/teofilin keduanya dapat menyebabkan hipokalemia, yang mungkin bersifat aditif (Baxter, 2010). Efek samping obat (potensial)
- Kombinasi salbutamol dan aminofilin/teofilin dapat menyebabkan hipokalemia dan takikardi (Baxter, 2010). Efek samping obat (potensial)
PLAN/RECOMMENDATION

- Perlu dilakukan penyesuaian dosis pemberian Deksametason IV


- Perlu dilakukan pemantauan denyut nadi, kadar kalium darah, dan kadar teofilin darah
- Perlu dilakukan pengukuran saturasi oksigen dan/atau FEV1 untuk mengetahui perbaikan/perburukan fungsi saluran napas
- Beri minum air hangat untuk meredakan batuk
Penjabaran DRP Pada Kasus Pasien Anak Asma

1. Efek Samping Obat


Efek samping obat dapat disebabkan karena obat menimbulkan efek yang
tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, interaksi obat yang
menyebabkan reaksi yang tidak diharapkan tetapi tidak ada hubungannya dengan
dosis, ada obat lain yang lebih aman ditinjau dari faktor risikonya, regimen dosis
yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, obat yang diberikan menyebabkan
alergi, dan obat yang diberikan dikontraindikasikan karena faktor risikonya. Pada
penelitian ini kasus DRPs kategori efek samping obat yang disebabkan karena
adanya interaksi obat dan pemberian obat yang berisiko menyebabkan perburukan.
Pada kasus DRPs yang dievaluasi ditemui interaksi antara kortikosteroid
dan salbutamol yang bersifat potensial. Kombinasi antara kortikosteroid dan
salbutamol dapat menyebabkan hipokalemia (Baxter, 2010). Penggunaan
salbutamol tunggal dapat menyebabkan hipokalemia dan dapat meningkatkan
risiko ini karena adanya obat yang mendeplesi kalium seperti kortikosteroid.
Kombinasi kedua jenis obat ini memerlukan pemantauan khususnya dalam kadar
kalium dalam serum. Kombinasi antara β2 agonis dan kortikosteroid dalam
manajemen asma umumnya bersifat menguntungkan (Baxter, 2010).
Pada kasus ini ditemui interaksi obat pada kombinasi antara kortikosteroid
dan teofilin serta teofilin dan salbutamol yang dapat menyebabkan hipokalemia dan
takikardi (Baxter, 2010). Jenis DRPs yang ditemui adalah potensial. Hipokalemia
merupakan kondisi kadar kalium dalam serum < 3,5 mEq/L. Hipokalemia dicirikan
dengan adanya perubahan pada fungsi otot dan kardiovaskuler karena adanya
hiperpolarisasi membran dan gangguan kontraksi otot (Daly and Farrington, 2013).
Depresi pernapasan karena gangguan parah pada otot skeletal dapat terjadi karena
deplesi kalium parah (Schaefer and Wolford, 2005).
Teofilin dan kortikosteroid memainkan peranan penting dalam manajemen
asma dan penggunaannya secara bersamaan umum dilakukan dan memberikan
keuntungan. Kedua obat ini dapat menyebabkan hipokalemia yang mungkin
bersifat aditif. Pada pemakaian kedua obat ini perlu dipertimbangkan pemantauan
berdasarkan tingkat keparahan pasien dan jumlah obat yang dapat menyebabkan
deplesi kalium yang digunakan oleh pasien (Baxter, 2010).
Penggunaan secara bersamaan antara salbutamol dan teofilin merupakan
pilihan yang cukup baik dalam manajemen asma, namun terdapat potensiasi
terjadinya efek samping. Komplikasi yang paling serius yang ditimbulkan adalah
hipokalemia dan takikardia (Baxter, 2010). Pemantauan kadar kalium juga
diperlukan pada penggunaan kombinasi obat ini.
2. Dosis Kurang
Aminofilin merupakan bentuk kompleks dari teofilin yang termasuk
golongan metilsantin. Obat ini digunakan sebagai bronkodilator yang umumnya
diberikan secara parenteral pada serangan asma berat dengan dosis awal aminofilin
6-8 mg/kg BB diberikan selama 20-30 menit dan dosis rumatan 5mg/kg/6jam
(World Health Organization, 2013; Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009;
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Pemberian aminofilin dengan dosis kurang dapat menyebabkan onset obat ini akan
semakin lama sehingga efek bronkodilatasi akan lebih lama terjadi. Aminofilin
merupakan obat dengan indeks terapi sempit sehingga perlu hati-hati dalam
pemberian dosis yang tepat.
Kortikosteroid efektif digunakan dalam manajemen asma karena dapat
mengurangi inflamasi jalan napas. Pemberian kortikosteroid secara oral sama
efektif dengan pemberian secara intravena. Kortikosteroid intravena dapat
diberikan pada pasien dengan serangan berat atau tak mampu menelan dengan
dosis pemberian 0,5-1 mg/kgBB/hari (Global Initiative for Asthma, 2014; BMJ
Group, 2011; Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009; Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2008).

Anda mungkin juga menyukai