Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

STUDI KASUS OBAT ANTIDIABETIKUM

Disusun oleh :

KELAS C
KELOMPOK 3
1. Nur Arbaisyah (051511133095)
2. Aditya Dwi L. (051511133099)
3. Rosy Dwi Nurcholida (051511133103)
4. Yuni Indah Isnayanti (051511133107)
5. Henny Utami Setiawan (051511133111)
6. Hanna Olivia Damayanti (051511133115)
7. Mita Ayu Ardita (051511133119)
8. Silda Sabila Rahma (051511133123)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2018
KASUS

Pak Hendy (60 th, TB = 155 cm, BB = 80 kg), merupakan penderita asthma kronik. Sudah
setahun ia mengidap penyakit kencing manis tipe 1. Pak Hendy ini sulit mengatur dietnya.
Kadar gula darahnya sering tidak stabil dan cenderung meninggi. Dua hari yang lalu,
merasakan sakit tenggorokan dan demam. Oleh dokter dia diberi Obat Erythromycine tablet
500 mg/ 3 kali sehari selama seminggu. Karena suatu hal, tiba-tiba asmanya kambuh dan
mengalami sesak nafas. Bila hal ini terjadi, biasanya Pak Hendy menggunakan beberapa kali
semprot Bricasma inhaler (mengandung Terbutaline Sulfate 0,25 mg/tiap semprot). Apa
saudara setuju dengan self medication ini atau tidak? Jelaskan!
1.1. TINJAUAN ASMA
Penyakit asma berasal dari kata “Ashtma” yang diambil dari bahasa Yunani yang
berarti “sukar bernapas” (Kemenkes RI). Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi
(peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangasangan yang ditandai dengan gejala episodik, berulang berupa mengi, batuk,
sesak napas, dan rasa berat di bagian dada terutama pada malam dan atau dini hari yang
umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. (Depkes RI, 2009)

Selain ditandai dengan gejala klinis seperti yang dijelaskan diatas, secara fisiologis
asma juga ditandai oleh adanya penyempitan reversibel yang luas saluran napas bronkus serta
peningkatan mencolok responsivitas bronkus terhadap rangsangan inhalan dan secara
patologis oleh peradangan limfositik eosinofilik mukosa bronkus. Penyakit ini juga ditandai
secara patologis oleh “remodeling” mukosa bronkus, disertai penebalan lamina retikularis di
bawah epitel saluran napas dan hiperlapsia sel semua unsur struktural dinding saluran napas-
pembuluh darah, otot polos, serta kelenjar sekretorik, dan sel goblet. (Katzung,2012)

Menurut Depkes RI (2009), asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat
tenang tanpa gejala mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan
sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), dalam World Health Report 2000 menyebutkan lima penyakit paru utama
merupakan 17,4% dari seluruh kematian di dunia, masing-masing terdiri dari infeksi paru
7,2%; PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) 4,8%; tuberkulosis 3,0%; kanker
paru/krakea/bronkus 2,1%; dan asma 0,3% (Kemenkes RI).

1.2. PENYEBAB ASMA


Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma yaitu sensitisasi, inflamasi
dan serangan asma. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi, hipereaktivitas bronkus, jenis
kelamin dan ras) dan lingkungan (alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernapasan /virus) apabila terpajan dengan pemicu maka akan menimbulkan sensitisasi
pada dirinya. Faktor pemicu tersebut adalah alergen dalam ruangan: tungau, debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, ragi dan pajanan asap rokok.
2. Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi, belum tentu menjadi asma. Apabila
telah terpajan dengan pemacu akan terjadi proses inflamasi pada saluran napas. Proses inflamasi
yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan
hipereaktivitas. Faktor pemacu tersebut adalah rinovirus, ozon dan pemakaian β2 agonis.
3. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila individu terpajan oleh pencetus maka
akan terjadi serangan asma (Depkes RI, 2009). Faktor pencetus asma adalah semua faktor pemicu
dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin . Secara umum
Faktor pencetus serangan asma adalah:
a) Alergen
Alergen merupakan zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan serangan
asma seperti debu rumah, tungau, spora jamur, bulu binatang, tepung sari, beberapa makanan laut
(Muttaqin, 2008). Makanan lain yang dapat menjadi faktor pencetus adalah telur, kacang, bahan
penyedap, pengawet, pewarna makanan dan susu sapi (Depkes RI, 2009).
b) Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran napas terutama disebabkan oleh virus. Diperkirakan dua pertiga pasien asma
dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan (Muttaqin, 2008). Asma
yang muncul pada saat dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti adanya sinusitis,
polip hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS),
atau dapat juga terjadi karena mendapatkan pemicu seperti debu dan bulu binatang di tempat
kerja yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas yang berulang. Ini disebut dengan
occupational asthma yaitu asma yang disebabkan karena pekerjaan (Ikawati, 2010).
c) Tekanan jiwa
Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak labil
kepribadiannya, ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Muttaqin, 2008). Ekspresi emosi
yang dimunculkan secara berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus asma (Depkes RI,
2009).
d) Olahraga/kegiatan jasmani yang berat
Serangan asma karena exercise (Exercise Induced Asthma/EIA) terjadi segera setelah olahraga
atau aktivitas fisik yang cukup berat. Lari cepat dan bersepeda merupakan dua jenis kegiatan
paling mudah menimbulkan serangan asma (Muttaqin, 2008).
e) Obat-obatan
Pasien asma biasanya sensitif atau alergi terhadap obat tertentu (Muttaqin, 2008). Obat tersebut
misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker, dan lain-lain (Depkes RI, 2009)
f) Polusi udara
Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau kendaraan, asap rokok, asap
yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal serta bau yang tajam (Muttaqin,
2008).
1.3. PATOFISIOLOGIS ASMA
2.1. TINJAUAN DIABETES

Diabetes melitus didefinisikan sebagai peningkatan glukosa darah yang berkaitan


dengan tidak ada atau kurang memadainya sekresi insulin pankreas, dengan atau tanpa
gangguan efek insulin. (Katzung,2012)
Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai
akibat dari insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang
responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2008).
Berdasarkan Perkeni tahun 2011 Diabetes Mellitus adalah penyakit gangguan
metabolisme yang bersifat kronis dengan karakteristik hiperglikemia. Berbagai komplikasi
dapat timbul akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol, misalnya neuropati, hipertensi,
jantung koroner, retinopati, nefropati, dan gangren. Diabetes Melitus tidak dapat
disembuhkan tetapi kadar gula darah dapat dikendalikan melalui diet, olah raga, dan obat-
obatan. Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronis, diperlukan pengendalian DM
yang baik (Perkeni, 2011).
Klasifikasi etiologi Diabetes mellitus menurut American Diabetes Association, 2010
adalah sebagai berikut:
a. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)
1) Autoimun
2) Idiopatik.
Pada Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin Dependent), lebih sering ternyata pada usia remaja.
Lebih dari 90% dari sel pankreas yang memproduksi insulin mengalami kerusakan secara
permanen. Oleh karena itu, insulin yang diproduksi sedikit atau tidak langsung dapat
diproduksikan. Sekitar 10% dari semua penderita diabetes melitus menderita tipe 1.
Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia dibawah 30 tahun. Para ilmuwan percaya bahwa
faktor lingkungan seperti infeksi virus atau faktor gizi dapat menyebabkan penghancuran
sel penghasil insulin di pankreas (Merck, 2008).
b. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai
defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin).
Diabetes tipe 2 ( Diabetes Non Insulin Dependent) ini tidak ada kerusakan pada
pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin, bahkan kadang-kadang insulin pada
tingkat tinggi dari normal. Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin,
sehingga tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe ini
sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi lebih umum
dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama pada diabetes tipe 2.
Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas
dapat menyebabkan sensitivitas insulin menurun, maka dari itu orang obesitas
memerlukan insulin yang berjumlah sangat besar untuk mengawali kadar gula darah
normal (Merck, 2008).
c. Diabetes tipe lain.
1) Defek genetik fungsi sel beta :
2) DNA mitokondria.
3) Defek genetik kerja insulin.
4) Penyakit eksokrin pankreas :
a) Pankreatitis.
b) Tumor/ pankreatektomi.
c) Pankreatopati fibrokalkulus.
5) Endokrinopati.
a) Akromegali.
b) Sindroma Cushing.
c) Feokromositoma.
d) Hipertiroidisme.
6) Karena obat/ zat kimia.
7) Pentamidin, asam nikotinat.
8) Glukokortikoid, hormon tiroid.
d. Diabetes mellitus Gestasional
Cara diagnosis diabetes melitus dapat dilihat dari peningkatkan kadar glukosa darahnya.
Terdapat beberapa kriteria diagnosis Diabetes Melitus berdasarkan nilai kadar gula darah,
berikut ini adalah kriteria diagnosis berdasarkan American Diabetes Association tahun
2010. Kriteria Diagnostik Diabetes melitus menurut American Diabetes Association 2010 :
1. Gejala klasik DM dengan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/ dl (11.1 mmol/L).
Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir. Gejala klasik adalah: poliuria, polidipsia dan
berat badan turun tanpa sebab.
2. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/ dl (7.0 mmol/L).Puasa adalah pasien tak
mendapat kalori sedikitnya 8 jam.
3. Kadar glukosa darah 2 jam PP ≥ 200 mg/ dl (11,1 mmol/L). Tes Toleransi Glukosa
Oral dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Apabila hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TTGO) atau Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT) tergantung dari hasil yang dipeRoleh
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl (7,8-11,0
mmol/L)
GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/L).

2.2. PENYEBAB DIABETES

Diabetes Mellitus (DM) timbul karena defisiensi sintesis dan sekresi insulin atau
resisten terhadap kerja insulin. Berdasar klasifikasinya diabetes dibedakan atas diabetes tipe 1
dan diabetes tipe 2,3, dan gestasional. Akan dibahas secara umum mengenai diabetes tipe 1
dan 2.
Diabetes tipe 1, yang bergantung pada insulin (IDDM), timbul karena defisiensi
insulin akibat pengrusakan autoimun sel beta pankreas. Penderita diabetes mellitus tipe 1
membutuhkan pemberian insulin.
Diabetes tipe 2, yang tidak bergantung pada insulin (NDDM), timbul karena
penurunan sekresi insulin atau resistensi periferal terhadap kerja insulin. Walaupun ada
penderita yang dapat mengatur kadar gula hanya dengan diet, tapi banyak juga yang
membutuhkan obat antidiabetik oral atau insulin (atau keduanya) untuk mengendalikan kadar
gula darah. Untuk penderita diabetes tipe 2 dengan berat badan berlebih, dapat dicegah
dengan menurunkan berat badan dan meningkatkan aktifitas fisik.
Pengobatan diabetes pada semua tipe nya ditujukan untuk mengurangi gejala dan
risiko komplikasi jangka panjang, oleh karena itu perlu dikendalikan secara ketat, karena
penyakit ini merupakan faktor risiko penyebab penyakit kardiovaskular. Pengawasan yang
optimal dapat mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular termasuk retinopati,
berkembangnya proteinuria pada nefropati dan mengurangi neuropati perifer.
Indikator keberhasilan jangka panjang untuk kontrol kadar gula darah yaitu kadar
glycated atau HbA1 atau fraksi spesifik (HbA1c) , dimana kadar HbA1c ideal antara 6,5%
dan 7,5% (tidak selalu bisa dicapai). Pada penggunaan insulin risiko meningkat untuk
terjadinya hipoglikemi berat dan pada penderita hipertensi dengan diabetes mellitus tipe 2
hendaknya menjaga tekanan darah untuk menurunkan mortalitas dan kerusakan penglihatan.

2.3.PATOFISIOLOGIS DIABETES
Diabetes mellitus dibagi menjadi 2 kategori utama berdasarkan sekresi insulin
endogen untuk mencegah munculnya ketoasidosis, yaitu (1) Diabetes mellitus tergantung
insulin (IDDM = insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe I, dan (2) Diabetes mellitus
tidak tergantung insulin (NIDDM = non-insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe II
(Rowland dan Bellush, 1989; Kahn, 1995).
Diabetes mellitus (DM) tipe I diperantarai oleh degenerasi sel β Langerhans pankreas
akibat infeksi virus, pemberian senyawa toksin, diabetogenik (streptozotosin, aloksan), atau
secara genetik (wolfram sindrome) yang mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau
berhenti sama sekali. Hal tersebut mengakibatkan penurunan pemasukan glukosa dalam otot
dan jaringan adiposa. Secara patofisiologi, penyakit ini terjadi lambat dan membutuhkan
waktu yang bertahun-tahun, biasanya terjadi sejak anak-anak atau awal remaja. Penurunan
berat badan merupakan ciri khas dari penderita DM I yang tidak terkontrol. Gejala yang
sering mengiringi DM I yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Peningkatan volume urin
terjadi disebabkan oleh diuresis osmotik (akibat peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemik) dan benda-benda keton dalam urin. Lebih lanjut, diuresis osmotik tersebut
akan mengakibatkan kondisi dehidrasi, kelaparan dan shock. Gejala haus dan lapar
merupakan akibat dari kehilangan cairan dan ketidakmampuan tubuh menggunakan nutrisi
(Lawrence, 1994; Karam et al., 1996).
Pada DM I, kadar glukosa darah sangat tinggi, tetapi tubuh tidak dapat
memanfaatkannya secara optimal untuk membentuk energi. Oleh karena itu, energi diperoleh
melalui peningkatan katabolisme protein dan lemak. Seiring dengan kondisi tersebut, terjadi
perangsangan lipolisis serta peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol darah. Dalam
hal ini terjadi peningkatan produksi asetil-KoA oleh hati, yang pada gilirannya diubah
menjadi asam asetoasetat dan pada akhirnya direduksi menjadi asam β- hidroksibutirat atau
mengalami dekarboksilasi menjadi aseton. Pada kondisi normal, konsentrasi benda-benda
keton relatif rendah karena insulin dapat menstimulasi sintesis asam lemak dan menghambat
lipolisis. Hanya dibutuhkan kadar insulin yang kecil untuk menghambat lipolisis (Unger dan
Foster, 1992; Lawrence, 1994).
Pada kondisi DM II, insulin masih cukup untuk mencegah terjadinya benda-benda
keton sehingga jarang dijumpai ketosis. Namun demikian, koma hiperosmolar non- ketotik
dapat terjadi. DM II tersebut cenderung tearjadi pada individu usia lanjut dan biasanya
didahului oleh keadaan sakit atau stres yang membutuhkan kadar insulin tinggi. Pada DM II,
kehadiran insulin tidak cukup untuk mencegah glukosuria. Seiring dengan itu, terjadi
kehilangan cairan dan elektrolit tubuh yang diikuti dengan dehidrasi berat. Lebih lanjut,
terjadi penurunan ekskresi glukosa dan pada akhirnya menghasilkan peningkatan osmolaritas
serum (hiperosmolaritas) dan glukosa darah (hiperglikemik) (Unger dan Foster, 1992;
Lawrence, 1994; Kahn, 1995).
Secara patofisiologi, DM tipe II disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan
respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin, dan
(2) Penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap
beban glukosa. Sebagian besar DM tipe II diawali dengan kegemukan karena kelebihan
makan. Sebagai kompensasi, sel β pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih
banyak sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi
mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation)
dengan menurunkan jumlah reseptor atau down regulation. Hal ini membawa dampak pada
penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Di
lain pihak, kondisi hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitisasi reseptor insulin
pada tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi glucose
transporter dan aktivasi glycogen synthase. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya resistensi
insulin. Dua kejadian tersebut terjadi pada permulaan proses terjadinya DM tipe II.
Secara patologis, pada permulaan DM tipe II terjadi peningkatan kadar glukosa
plasma dibanding normal, namun masih diiringi dengan sekresi insulin yang berlebihan
(hiperinsulinemia). Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi defek pada reseptor maupun
postreseptor insulin. Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan
penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah
(hiperglikemik). Seiring dengan kejadian tersebut, sel β pankreas mengalami adaptasi diri
sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya
membawa akibat pada defisiensi insulin. Sedangkan pada DM tipe II akhir telah terjadi
penurunan kadar insulin plasma akibat penurunan kemampuan sel β pankreas untuk
mensekresi insulin, dan diiringi dengan peningkatan kadar glukosa plasma dibandingkan
normal. Pada penderita DM II, pemberian obat-obat oral antidiabetes sulfonilurea masih
dapat merangsang kemampuan sel β Langerhans pankreas untuk mensekresi insulin (Unger
dan Foster, 1992; Lawrence, 1994; Kahn, 1995).
TERBUTALIN
Efek Farmakologis
Termasuk golongan Agonis Beta2 adrenergik selektif kerja pendek menghasilkan
bronkodilatasi seperti salbutamol atau terbutalin . Terbutaline memiliki efek stimulasi yang
lebih besar pada reseptor beta dari otot polos bronkial, pembuluh darah, dan uterus (reseptor
beta2) dibandingkan reseptor beta jantung (reseptor beta1). Obat ini melemaskan otot polos
dan menghambat kontraksi rahim, namun mungkin juga menyebabkan beberapa efek
kardiostimulator dan rangsangan SSP.
Mekanisme Kerja Obat
Efek farmakologis terbutalin disebabkan oleh stimulasi melalui reseptor beta-
adrenergik dari adenil siklase intraseluler, enzim yang mengkatalisis konversi adenosin
trifosfat (ATP) menjadi siklik- 3 ', 5'- adenosin monofosfat (c-AMP ). Peningkatan kadar c-
AMP dikaitkan dengan relaksasi otot polos bronkus dan penghambatan pelepasan mediator
hipersensitivitas langsung dari sel, terutama dari sel mast.
Dosis Inhaller
Inhalasi Inhalasi dosis terukur bertekanan merupakan metode pemberian yang efektif
dan nyaman untuk asma ringan sampai sedang. . Pada dosis inhalasi, terbutalin mempunyai
lama kerja 3-5 jam.
 Inhalasi aerosol: Dewasa 250-500 mcg (1-2 hirupan), untuk gejala persisten sampai 3-4
kali sehari; Dosis maksimum adalah 15 mg / hari
 Inhalasi serbuk: 500 mcg (1 inhalasi); untuk gejala persisten hingga 4 kali sehari.
 Inhalasi nebuliser: 5-10 mg 2-4 kali sehari, dosis tambahan mungkin diperlukan untuk
asma akut yang berat. Anak di bawah 3 tahun 2 mg, 3-6 tahun 3 mg, 6-8 tahun 4 mg,
lebih dari 8 tahun 5 mg, 2-4 kali sehari.
Efek Samping
 Kegugupan
 Getaran
 Sakit Kepala
 Denyut Jantung Cepat
Kontraindikasi
 Hipersensitif terhadap terbutalin / simpatomimetik amin.
 Cardiac arythmia yang berhubungan dengan takikardi.
Interaksi dengan Obat Lain
obat yang bisa menyebabkan interaksi terbutalin tercantum di bawah ini.
DEPRESI
Bila diminum dengan terbutalin, obat tertentu yang digunakan untuk mengobati depresi bisa
memperburuk efek samping terbutalin. Contoh obat ini meliputi:
antidepresan trisiklik, seperti:
 amitriptyline
 doxepin
 monoamine oxidase inhibitor (MAOIs), seperti:
 phenelzine
 selegiline
OBAT JANTUNG (BETA BLOCKER)
Terbutaline mungkin tidak bekerja dengan baik pada orang dengan asma bila dikonsumsi
dengan beta blocker. Hal ini bisa menyebabkan bronkospasme dan kesulitan bernafas.
Contoh beta blocker meliputi:
 metoprolol
 labetalol
OBAT TEKANAN DARAH (DIURETIK)
Mengambil diuretik loop atau thiazide dengan terbutalin dapat mengubah detak jantung Anda
dan mengurangi jumlah potassium dalam tubuh Anda. Contoh diuretik ini meliputi:
 furosemid
 hidroklorotiazida

Peringatan
Agonis adrenoseptor beta-2 harus digunakan dengan hati-hati pada diabetes melitus, perlu
dilakukan pemantauan kadar glukosa darah (risiko ketoasidosis terutama pada penggunaan
secara intravena). Efek beta-beta agonis pada sel beta pankreas menghasilkan peningkatan
sekresi insulin, namun mekanisme lainnya, seperti peningkatan sekresi glukagon dan efek
hati, menyebabkan peningkatan keseluruhan glukosa serum dan penurunan sensitivitas
insulin.
ERITROMISIN
Cara Kerja
Eritromisin bekerja sebagai bakteriostatik terutama terhadap bakteri Gram-positif dan
spektrum kerjnya mirip dengan penisilin-G. Aktivitas meningkat pada pH basa. Mekanisme
kerjanya inhibisi sintesis protein terjadi melalui pengikatan ke RNA ribosom 50S. Tempat
pengikatan terletak dekat dengan pusat peptifiltransferase, dan pemanjangan rantai peptida
dicegah dengan menghambat saluran keluar polipeptida. Akibatnya, peptidil-tRNA terlepas
dari ribosom. Eritromsin juga menghambat pembentukan submit ribosom 50S. Absorbsinya
tidak teratur, agak sering menimbulkan efek sampin saluran cerna, sedangkan masa-paruhnya
singkat, maka perlu ditakarkan sampai 4x sehari
Dosis
Dosis oral eritromisin basa, stearat, atau estolat adalah 0,25-0,5 g setiap 6 jam (untuk
anak, 20-40mg/kg/hari selama 7 hari). Dosis eritromisin etilsuksinat adalah 0,4-0,6 g setiap 6
jam. Dosis intravena eritromisin gluseptat atau lakbionat adalah 0,5-1,0 g setiap 6 jam untuk
dewasa dan 20-40mg/kg/hari untuk anak-anak.
Efek Samping
Mual, muntah, anoreksia, dan diare sering terjadi. Eritromisin terutama bentuk estolat
dapat menyebabkan hepatitis kolestik akut(demam, ikterus, gangguan fungsi hati). Selain itu
terjadi reaksi alergi lain yakni demam, eosinofilia, dan ruam.
Kontraindikasi
Untuk paisen yang mengalami penyakit hati.
DAFTAR PUSTAKA

Katzug, Bertram G., et all. 2014. Farmakologi Dasar dan Klinik Ed.12 Vol.2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC

Tjay, Tan Hoa., et all. 2007. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek
Sampingnya Ed 6. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Bpom. 2015. Eritriomisin (online), diambil dari


http://pionas.pom.go.id/monografi/eritromisin, diakses tanggal 19 Maret 2018

Muttaqin, 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan. Sistem
Pernafasan. Jakarta : Salemba.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Indonesia: DepKes
RI.

Anda mungkin juga menyukai