Anda di halaman 1dari 13

I.

Definisi ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut yang
menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA
mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian
saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin. 2008).
ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran
pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus,
rongga telinga tengah dan pleura. Jadi disimpulkan bahwa ISPA adalah suatu tanda dan gejala
akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang
berhubungan dengan pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Nelson. 2007).
Infeksi saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali
dengan panas disertai dengan salah satu atau jenis gejala : tegorokan sakit atau nyeri telan,
pilek, batuk kering atau berdahak. ISPA selalu menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit
terbanyak di indonesia (Kemenkes RI. 2014).
ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut mengandung dua unsur, yaitu infeksi dan
saluran pernafasan bagian atas. Pengertian infeksi adalah masukknya kuman atau
mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala
penyakit. Saluran pernafasan bagian atas adalah yang dimulai dari hidung hingga hidung,
faring ,laring, trakea, bronkus dan bronkiolus (Gunawan. 2010).
II. Manifestasi Klinis ISPA
Penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang
ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin
berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meninggal. Bila sudah
dalam kegagalan pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun
demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih
berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan
pernafasan (Nelson. 2007).
Menurut Nelson (2007) tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis
dan tanda-tanda laboratoris sebagai berikut.
1. Tanda-tanda klinis
a. Pada sistem respiratorik: tachypnea, bradycardiam, nafas tak teratur (apnea), retraksi
dinding thorak, nafas cuping hidung, cyanosis, suara nafas lemah atau hilang.
b. Pada sistem cardial: tachycardia, bradycardiam, hipertensi, hypotensi dan cardiac arest.
c. Pada sistem cerebral: gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, kejang dan
coma.
d. Pada hal umum: letih dan berkeringat banyak.
2. Tanda-tanda laboratoris
a. Hypoxemia
Hypoxemia adalah rendahnya kadar oksigen dalam jaringan tubuh.
b. Hypercapnia
Hypercapnia merupakan keadaan tekanan parsial karbon dioksida yang tidak normal
dalam darah.
c. Axydosis (metabolik atau respiratorik)
Axydosis adalah kondisi yang terjadi ketika kadar asam di dalam tubuh sangat tinggi.
Pada umumnya demam, terutama pada anak kecil. Anak yang lebih besar memiliki
demam ringan, yang muncul pada waktu sakit. Pada anak-anak 3bulan sampai 3 tahun, demam
tiba-tiba terjadi dan berkaitan dengan mudah marah, gelisah, nafsu makan menurun,dan
penurunan aktifitas. Peradangan hidung dapat menyebabkan sunmbatan saluran, sehingga
harus membuka mulut ketika bernafas. Muntah dan diare mungkin bisa muncul (Hartono dkk.
2012).
Mernurut Kusmana (2004) manifestasi klinis ISPA dapat bermacam-macam, tergantung
beberapa hal ini:
1. Usia penderita.
2. Penyakit lain yang menyertainya.
3. Ada tidaknya kelainan.
4. Mikroorganisme apa yang terjadi penyebabnya.
5. Daya tahan tubuh penderita saat terserang infeksi.
6. Bagian saluran nafas yang terserang infeksi.
7. Cara penderita mendapatkan infeksi baik di komunitas atau rumah sakit.
III. Klasifikasi Penyakit ISPA
Menurut Widoyono (2011) penyakit ISPA dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Bukan Pneumonia
Mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala
peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian
bawah ke arah dalam. Contohnya adalah common cold, faringitis, tonsilitis dan otitis.
2. Pneumonia
Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas. Diagnosis gejala ini
berdasarkan usia. Batas frekuensi nafas cepat pada anak berusia 2 bulan sampai <1 tahun
adalah 50 kali per menit dan untuk anak usia 1 sampai <5 tahun adalah 40 kali per menit.
3. Pneumonia berat
Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai sesak nafas atau
tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (chest indrawing) pada anak berusia
dua bulan sampai <5 tahun. Untuk anak berusia <2 bulan, diagnosis pneumonia berat
ditandai dengan adanya nafas cepat yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit
atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam
(severe chest indrawing).
IV. Faktor-Faktor Penyebab Penyakit ISPA
Menurut Maryunani (2010) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor individu anak,
faktor lingkungan dan faktor perilaku. Faktor individu anak meliputi: umur anak, berat badan
lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor lingkungan meliputi: pencemaran
udara dan perilaku merokok, ventilasi rumah dan kepadatan hunian. Faktor perilaku, dimana
apabila faktor perilaku merokok pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi dan balita
tidak dilakukan dengan benar maka akan menambah resiko terjadinya ISPA.
Salah satu faktor resiko terjadinya ISPA dilihat dari faktor lingkungan adalah perilaku
merokok. Perilaku merokok anggota keluarga akan berdampak kepada anggota keluarga lain
khususnya balita, dimana balita menyerap nikotin dua kali lebih banyak dibandingkan orang
dewasa dan balita juga memiliki system kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai
penyakit. Balita yang tinggal dalam rumah yang terdapat anggota keluarga yang merokok,
maka balita tersebut termasuk perokok pasif yang akan menerima semua akibat buruk dari asap
rokok (Saleh et al. 2017).
V. Prinsip Terapi Penyakit ISPA
Antibiotik yang digunakan pada pasien bronkitis adalah golongan penisilin yaitu
amoksiklav (21,42%), amoksisilin (4,28%), dan golongan sefaloporin yaitu sefiksim (7,14%),
sefadroksil (5,71%) serta golongan makrolida yaitu azitromisin dan eritromisin (2,85%).
Amoksisilin merupakan antibiotik spektrum luas yang dapat digunakan untuk bakteri Gram
positif atau negatif. Dalam mengurangi terjadinya resistensi amoksisilin, amoksisilin
dikombinasikan dengan asam klavulanat. Asam klavulanat termasuk dalam golongan inhibitor
β-laktamase, dimana enzim β-laktamase bekerja dengan mendegradasi cincin β-laktam yang
terdapat pada amoksisilin sehingga dengan penambahan asam klavulanat ini dapat
meningkatkan kerja amoksisilin. Tidak semua pasien mendapatkan terapi antibiotik, baik yang
terdiagnosis sinusitis, otitis media maupun bronkitis. Penggunaan antibiotik digunakan hanya
jika adanya keterlibatan bakteri. Sedangkan jika infeksi di akibatkan oleh virus tidak perlu
menggunakan antibiotik (Nurul, dkk. 2017).
Terapi suportif adalah terapi bukan antibiotik yang digunakan pasien ISPA yang
digunakan untuk menyembuhkan gejala yang dialami. Penggunaan terapi suportif disesuaikan
dengan kondisi atau gejala pasien. Dari hasil yang didapat menunjukan bahwa terapi suportif
yang digunakan pada pasien sinusitis, otitis media dan bronkitis adalah golongan analgetik
antipiretik, antihistamin, dekongestan, mukolitik, antitusif dan ekspektoran. Penggunaan terapi
suportif pada pasien ISPA tergantung atas gejala yng ditimbulkan. Analgetik-antipiretik
umumnya digunakan untuk mengatasi nyeri dan atau demam. Contoh analgetik antipiretik yang
paling banyak digunakan misalnya parasetamol yang efektif mengurangi demam karena
aksinya yang langsung ke pusat pangatur panas di hipotalamus yang berdampak vasodilatasi
serta pengeluaran keringat . Golongan antihistamin bekerja secara kompettif dengan histamin
terhadap reseptor histamin pada sel sehingga mencegah kerja histamin pada target. Golongan
antihistamin yang digunakan pada sediaan sirup yang mengandung beberapa zat aktif adalah
antihistamin generasi pertama yaitu klorpeniramin maleat. Golongan antihistamin generasi I
memliki efek sedasi dan kolinergik. Hasil uji klinik menunjukan bahwa antihistamin generasi
pertama menunjukkan hasil yang positif untuk mengatasi gejala flu, namun tidak terbukti
mencegah, mengobati atau mempersingkat serangan flu. Sedangkan golongan antihistamin
yang digunakan pada sediaan tunggal adalah ceterizin. Ceterizin merupakan hasil metabolit
aktif dari hydroxyzine, dengan efek sedasi, efek antikolinegrik minimal. Ceterizin secara in
vivo terbukti mempunyai efek anti inflamasi seperti hambatan aktivasi eosinofil, neutrofil,
imfosit dan khemotaksis (Nurul, dkk. 2017).
Dekongestan adalah stimulant reseptor alpha-1 adrenergik. Mekanisme kerja
dekongestan (nasal decongestant) melalui vasokonstriksi pembuluh darah hidung sehingga
mengurangi sekresi dan pembengkakan membran mukosa saluran hidung. Mekanisme ini
membantu membuka sumbatan hidung . Antitusif bekerja dengan menghambat atau menekan
batuk dengan menekan pusat batuk serta meningkatkan ambang rangsang sehingga akan
mengurangi iritasi. Antitusif yang digunakan pada kombasi sirup misalnya adalah
dektrometorfan. Dekstrometorfan adalah D-isomer dari kodein dan mekanisme farmakologik
sebagai antitusif serupa kodein, yakni bekerja menekan pusat batuk di medulla otak. Pada dosis
tinggi dapat bersifat adiktif seperti halnya narkotika, akan tetapi dekstrometorfan tidak
memiliki efek analgesik dan relatif aman jika digunakan pada dosis terapi yang
direkomendasikan. Meskipun demikian, hasil meta-analisis menunjukkan sebagai antitusif
dekstrometorfan secara klinis manfaatnya kurang . Ekspektoran diberikan untuk
mempermudah pengeluaran dahak pada batuk kering (nonproduktif) agar menjadi lebih
produktif. Ekspektoran bekerja dengan cara membasahi saluran napas sehingga mukus menjadi
lebih cair dan mudah dikeluarkan. Mukolitik mirip dengan ekspektoran. Obat ini diberikan
untuk mempermudah pengeluaran dahak, namun dengan mekanisme kerja yang berbeda.
Mukolitik memecahkan ikatan protein mukus, sehingga mukus menjadi cair dan mudah
dikeluarkan. Golongan kortikosteroid dapat dipergunakan sebagai terapi suportif yang efektif
dalam menurunkan nyeri yang diakibatkan oleh proses inflamasi pada ISPA . Namun,
penggunaan kortikosteroid pada anak-anak dapat mengahambat pertumbuhan. Mekanisme
terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat growth hormone, sehingga
penggunaan kortikosteroid pada anak dibatasi. Penggunaan golongan bronkodilator pada
pasien bronkitis digunakan pada bronkitis yang disertai dengan obtruksi peranafasan.
Golongan Bronkodilator mendilatasi bronkus dan bronkiolus yang meningkatkan aliran udara.
Golongan bronkodilator yang paling banyak digunakan adalah salbutamol. Penelitian yang
dilakukakn tahun 2011 di USA menunjukkan bahwa salbutamol memberikan respons klinis
yang lebih baik berupa perbaikan FEV1 dan skor asma (Nurul, dkk. 2017).
VI. Jenis-Jenis Obat Untuk ISPA
Jenis-jenis obat untuk penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang dibahas
disini yaitu terapi antibiotik dan terapi suportif, yang termasuk terapi suportif yaitu golongan
analgetik antipiretik, antihistamin, dekongestan, mukolitik, antitusif dan ekspektoran.
6.1 Terapi Antibiotik
Antibiotik digunakan dalam terapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Sebelum
memulai terapi dengan antibiotik harus dipastikan terlebih dahulu.
6.1.1 Amoxicilin
Efek Farmakologi : Menghambat pertumbuhan bakteri yang menyebabkan infeksi di orga
paru-paru, saluran kemih, kulit serta di bagian telinga, hidung dan
tenggorokan
Penggunaan : Dapat diberikan bersama makanan agar di absorpsi lebih baik dan
untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada ginjal
Efek Samping : Reaksi hiipersensitif, gangguan ginjal
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap penisillin, Infeksi mononukleosis
Interaksi Obat : Probenesid meningkatkan waktu paruh amoxicillin dalam plasma,
dengan Alopurinol timbul ruam kulit, kontrasepsi oral efektivitasnya
diturunkan oleh amoxicillin.
Dosis : Dewasa 250-500mg tiap 8jam. Anak 20mg/ kgBB/ hari terbagi tiap
8jam. Infeksi berat Dosis ganda. GO akut 2-3gdosis tunggal
Bentuk Sediaan : Tablet, kapsul, suntik, sirup, sirup kering.
Nama Paten : Aclam, amiclav, Ancla (MIMS. 2012)
6.1.2 Erythromisin
Efek Farmakologi : Termasuk antibiotik golongan makrolid, bekerja dengan cara
menghentikan pertumbuhan bakteri dalam tubuh
Penggunaan : Dapat diberikan bersama atau tanpa makanan. Kapsul: paling baik
diberikan pada saat perut kosong 1jam sebelum atau 2jam sesudah
makan, dapat diberkan ersama makanan untuk mengurangi rasa tidak
nyaman pada ginjal
Efek Samping : Gangguan ginjal, jarang, hepatotoksik, ototoksik
Kontra Indikasi : Hipersensitif
Interaksi Obat : Efek potensial pada karbamazepin, siklosporin, teofillin, wararin dan
alkaloid ergot
Dosis : Dewasa 1-2g/ hari dalam dosis terbagi. Anak 30-50mg/ kgBB/ hari
dalam dosis terbagi
Bentuk Sediaan : Tablet, kapsul, sirop kering
Nama Paten : Dothrocyn, Erysanbe, Narlecin (MIMS. 2012)
6.1.3 Azithromycin
Efek Farmakologi : Bekerja dengan cara menghentikan pertumbuhan dan mencegah
penyebaran bakteri agar tidak meluas ke bagian tubuh lainnya.
Penggunaan : Diberikan pada saat perut kosong 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah
makan.
Efek Samping : Diare, muntah, rasa tidak enak diperut, kembung, mual, distensi
lambung, nyeri lambung, dispepsia, iterus kolestatik, ruam kulit,
gangguan saluran kemih kelamin, sakit kepala, vertigo, somnolen,
kelelahan menyeluruh.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap eritromycin ataupun makrolit.
Interaksi Obat : Antasid yang mengandung Al dan Mg, warfarin, derifat ergot, teofilin.
Mengganggu metabolisme siklosporin. Meningkatkan kadar digoksin
dalam darah.
Dosis : Dewasa 500mg/hari. Anak 10mg/BB selama 3 hari.
Bentuk Sediaan : Kapsul
Nama Paten : Aztrin (MIMS. 2012)
6.1.4 Tetrasiklin
Efek Farmakologi : Antibiotik spektrum luas yang dapat digunakan dalam tata laksana
infeksi oleh Chlamydiacease, Mycoplasma spp, Rickettsia spp,
spirosera, berbagai bakteri patogen serta sejumblah protozoa
Penggunaan : Diberikan pada saat perut kosong 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah
makan dengan segelas air, dalam posisi tegak. Dapat doberikan bersama
makanan untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada GI.
Efek Samping : Anoreksia, mual, muntah, diare, glossitis, disfagia, enterokolitis,
lesiinflamasi, ruam makulopapular dan eritematosa, fotosensitif.
Kontra Indikasi : Riwayat Hipersensitifitas terhadap tetrasiklin. Hamil, anak dibawah 12
tahun.
Interaksi Obat : Ca, antasid yang mengandung Mg atau Al dapat mengganggu absorbsi
obat.
Dosis : Dewasa 1 kapsul 4 kali sehari
Bentuk sediaan : Kapsul
Nama Paten : Conmycin (MIMS. 2012)
6.1.5 Doxycyline
Efek Farmakologi : Menghambat sintesis protein sehingga menghambat pertumbuhan
bakteri
Penggunaan : Diberikan dengan segelas air dan tetap dalam posisi tegak sekurang
kurangnya selama setengah jam. Hindari pemberian bersama produk
susu.
Efek Samping : Gangguan GI, superinfeksi, fotosensitivitas, reaksi hipersensitivitas.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap tetrasiklin.
Interaksi Obat : Fenitoin, phenobarb, karbamazepin dapat meningkatkan metabolisme
obat. Absorbsi terganggu oleh produk susu, Ca, Al, Mg, Fe.
Dosis : Dosis dewasa dan anak 200mg 1 kali sehari atau 100mg 2 kali sehari.
Anak 4mg/hari atau 2mg 2kali sehari.
Bentuk Sediaan : Kapsul
Nama paten : Doxacin (MIMS. 2012)
6.1.6 Ciprofloxacil
Efek Farmakologi : Menghambat mekanisme kerja yang umum enzim DNA girase yang
berperan dalam pembelahan sel bakteri
Penggunaan : Dapat diberikan bersama makanan untuk mengurangi rasa tidak
nyaman pada ginjal. Jangan diberikan bersama antasida, Fe, atau prouk
susu
Efek Samping : Keluhan ginjal, sistem saluran pecernaan, muskuloskeletal, kolitis
pseudomembranosa, fotosensitivitas, gangguan pendengaran
(sementara)
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap ciprofloxacin dan derivat kuinolon lain, hamil
dan laktasi, remaja dan anak sebelum akhir masa pertumbuhan
Interaksi Obat : Antasida yang mengandung Al dan Mg, teofillin, probenesid,
klindamisin dan metronidazol
Dosis : Infeksi saluran ginjal 500mg 2x/hari, infeksi saluran kencing ringan-
sedang : 250mg 2x/hari berat : 500mg 2x/hari, infeksi saluran nafas,
tulang, sendi, kulit dan jaringan lunak 500-750mg 2x/hari, osteomielitis
akut 750mg 2x/hari
Bentuk Sediaan : Tablet, kapsul, cairan infus, tetes mata
Nama Paten : Baquinor Forte, Bufacipro, Tequinol (MIMS. 2012)

6.2 Terapi Suportif


Terapi suportif adalah terapi bukan antibiotik yang digunakan pasien ISPA yang
digunakan untuk menyembuhkan gejala yang dialami. Penggunaan terapi suportif disesuaikan
dengan kondisi atau gejala pasien.
6.2.1 Analgesik-Antipiretik
Obat ini sering digunakan untuk mengurangi gejala demam terkait infeksi pernapasan.
1. Paracetamol
Efek Farmakologi : Menghilangkan atau mengurangi nyeri baik secara sentral maupun
perifer
Penggunaan : Digunakan untuk demam ringan hingga sedang, diminum setelah
makan
Efek samping : Reaksi hematologi, erupsi kulit, mual, muntah, nekrosis tubulus ginjal,
hiperglikemia dan hipoglikemia. Dosis besar mengakibatkan kerusakan
ginjal.
Kontra Indikasi : Penyhati dan ginjal.
Interaksi Obat : Antikoagulan, antihipertensi, aminopirin, phenobarb, vasopresin.
Dosis : Dewasa 1-2 tablet 3-4 kali sehari. Anak 1⁄2 – 1 tablet 3 kali sehari.
Bentuk Sediaan : Tablet, sirup
Nama paten : Paracetamol OGB DEXA (MIMS. 2012)
6.2.2 Antihistamin
1. Chorpheniramine
Efek Farmakologi : Menghambat enzim histamin, senyawa di dalam tubuh yang memicu
terjadinya alergi
Penggunaan : Pada wanita hamil belum adanya penelitian klinis yang memadai dan
terkendali dengan baik pada ibu hamil membuat obat chlorpheniramine
untuk ibu hamil harus tetap dikonsultasikan terlebih dahulu dengan
dokter.
Efek samping : Pusing, gangguan koordinasi, mual, muntah, dan mengantuk.
Kontra indikasi : Penderita epilepsi.
Interaksi obat : Sebagai antihistamin pada penyakit alergi seperti hay fever, urtikaria,
eksim, reaksi obat.
Dosis : Dewasa : 1 tablet 3-4x sehari, 6-12 tahun: ½ tablet 3 x sehari.
Bentuk sediaan : Tablet.
Nama paten : Aditusin, aficitom, afimol, alco, allergen (ISO. 2017)
2. Cetirizine
Efek Farmakologi : Menghambat kerja senyawa histamin yang diproduksi oleh tubuh saat
terpapar oleh alergen dan menyebabkan rasa kantuk
Penggunaan : Obat ini disesuaikan dengan kondisi medis dan respons terhadap
pengobatan. Untuk obat cair, gunakan alat engukur/ sendok khusus agar
takaran yang tepat. Bisa juga konsultasi dengan dokter tentang dosis
yang sesuai dengan kondisi pribadi.
Efek samping : Sakit kepala, pusing rasa kantuk, agitasi, mulut kering, dan rasa tidak
enak pada lambung.
Kontra indikasi : Hipersensitif, wanita menyusui, penyakit ginjal berat.
Interaksi obat : Parental rhinitis, alergi rhinitis, dan urtikaria idiopatik kronis.
Dosis : 1 x sehari.
Bentuk sediaan : Kapsul, tablet, sirup.
Nama paten : Betharin, cetinal, cetrin, esculer, nichorizin, FM, rozine, rybest. (ISO.
2017)
6.2.3 Kortikosteroid
1. Dexametason
Efek Farmakologi : Mengatasi peradangan, reaksi alergi, dan penyakit autoimun.
Penggunaan : Pemberian obat anti-inflamasi atau imunosupresif
Efek samping : Penggunaan dalam jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya
sindrom cushing, gangguan gastrointestinal, osteoporosis. Sakit kepala,
gangguan siklus haid, gangguan cairan elektrolit tubuh.
Kontra indikasi : Tukak lambung dan duodenum, anastomosis simpleks pada mata,
herpes simpleks pada mata, osteoporosis, sindroma cushing, psikosis
akut, infeksi fungsi sistemik, penderita yg sensitive terhadap obat
tersebut dan komponennya.
Interaksi obat : Dexametason banyak berinteraksi dengan banyak obat fenitoin,
teofilin, rifamfin, barbiturate dan antacid mengurangi kerja
deksametason, sedangkan aspirin, NSAID dan estrogen
meningkatkannya.
Dosis : Dewasa sehari 0,5-9 mg, tunggal atau dibagi dalam 2-4 x pemberian.
Dosis anak dibagi dalam beberapa kali pemberiam insufisiensi adrenal
sehari 0,0233 mg/kgBB.
Bentuk sediaan : Tablet atau kaplet 0,5 mg atau 0,75 mg . injeksi 5 mg/5 ml
Nama paten : Dextaf, Dexamethasone, Dexaharsen (ISO. 2017)
6.2.4 Dekongestan
1. Pseudoefedrin
Efek farmakologi : Pseudoephedrine adalah zat dekongestan (simpatomimetik).
Pseudoephedrine bekerja dengan mengecilkan pembuluh darah untuk
mengurangi pembengkakan dan penyumbatan.
Penggunaan : Merangsang reseptor α- dan β-adrenergik sehingga menyebabkan
vasokonstriksi mukosa pernapasan, relaksasi otot-otot bronkial dan
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas.
Efek samping : Gejala: Mudah tersinggung, gugup, gemetaran, jantung berdebar,
kejang, retensi urin, hipertensi, gelisah, mulut kering, gelisah, susah tidur
Kontra indikasi : Hipertensi, penyakit jantung iskemik, penyakit pembuluh darah oklusif,
gangguan ginjal berat, diabetes mellitus, glaukoma sudut-tertutup,
hipertiroidisme, pembesaran prostat, phaeochromocytoma. Anak-anak
<12 tahun. Bersamaan atau dalam 14 hari penggunaan MAOI
Dosis : Hidung tersumbat Dewasa: Sebagai tab konvensional: 60 mg 4-6 setiap
jam. Maks: 240 mg setiap hari. Sebagai tab pelepasan yang
diperpanjang: 120 mg 12 jam atau 240 mg 24 jam. Anak:> 12 tahun
Sama dengan dosis orang dewasa.
Bentuk sediaan : Obat hirup, kapsul, tablet, sirup
Nama Paten : Alco, Rhinos (MIMS. 2012)
6.2.5 Bronkodilator
1. Aminofilin
Efek Farmakologi : Aminofilin merupakan golongan Xanthine bronchodilator. Aminofilin
bekerja dengan cara membuka saluran pernapasan di paru-paru,
sehingga udara dapat mengalir ke dalam paru tanpa hambatan. Kondisi
ini akan membuat pernapasan menjadi lega dan membantu meringankan
gejala batuk dan sesak napas.
Penggunaan : Digunakan dalam pengobatan sistemik penyakit saluran napas
obstruktif
Efek samping : Ruam kulit, nyeri dada, palpitasi, edema serebral, pulmoner, perifer,
hiperkalemia, asidosis, infoksikasi air, nyeri vaskuler, flebits, menggigil,
demam, rasa hangat, sakit kepala
Kontra Indikasi : Koma hepatik atau resiko koma hepatik, gangguan ginjal berat atau
azotemia, gagal jantung kongestif, asidosis berat, metabolisme elektrolit
yang abnormal, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipermagnesemia,
hiperkalsemia, penurunan jumlah pengeluaran urin, metabolisme asam
mino abnormal
Interaksi Obat : Menggunakan obat-obatan lainnya, seperti allopurinol, azithromycin,
carbamazepine, cimetidine, ciprofloxacin, clarithromycin, diuretik,
erythromycin, lithium, phenytoin, prednisone, propranolol, rifampin,
dan tetracycline.
Dosis : Dewasa dosis lazim 500ml secara infus melalui vena perifer.
Maksimal 2500 ml/hari. Kecepatan infus 500ml/120 menit, diberikan
secara lambat pada pasien lanjut usia dan yang mengalami sakit kritis
Bentuk Sediaan : Tablet dan injeksi
Nama Paten : Aminophylline, phaminov (MIMS. 2012).
6.2.6 Mukolitik
1. Asetilsistein
Efek Farmakologi : Acetylcysteine adalah obat golongan mukolitik. Obat ini bekerja
dengan cara mengencerkan dahak sekaligus membantu untuk
melancarkan saluran pernapasan.
Penggunaan : Obat golongan mukolitik yang berfungsi untuk mengencerkan dahak
yang menghalangi saluran pernapasan. Oleh karena itu, obat ini tidak
cocok diberikan untuk penderita batuk kering.
Efek samping : Mengantuk,Mual, Muntah, Sariawan, Pilek, Demam.
Kontra Indikasi : Tidak semua orang boleh menggunakan obat ini, orang yang diketahui
hipersensitif atau alergi terhadap kandungan obat ini tidak dianjurkan
menggunakannya.
Interaksi Obat : Jangan mengonsumsi acetylcysteine bersamaan dengan
antibiotik tetracycline. Pastikan ada jarak setidaknya dua jam sebelum
dan sesudah mengonsumsi acetylcysteine ini. Penggunaan antitusif atau
pereda batuk, seperti codeine, juga sebaiknya dihindari selama memakai
acetylcysteine, karena berpotensi memicu penumpukan dahak. Hindari
pula penggunaan obat nitrogliserin, karena berpotensi meningkatkan
efek melebarkan pembuluh darah dari nitrogliserin.
Dosis : Dewasa >14 tahun: 2-3x 1 kapsul sehari. Anak-anak 6-14 tahun: 2x 1
kapsul.
Bentuk Sediaan : Tablet effervescent, kapsul, sirop kering, granul, suntik
Nama Paten : Acetylcysteine, Alstein, Cecyl, Fluimucil, Hidonac, Mucylin, Nalitik,
Nytex, Pectocil, Resfar (ISO. 2017).
VII. Kesimpulan
Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan setelah membaca tentang penyakit infeksi
saluran pernafasan akut sebagai berikut ini.
1. ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran
pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti
sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
2. Gejala yang terjadi pada seseorang yang terkena penyakit ISPA adalah pada sistem
respiratorik: tachypnea, bradycardiam, nafas tak teratur (apnea), retraksi dinding
thorak, nafas cuping hidung, cyanosis, suara nafas lemah atau hilang; pada sistem
cardial: tachycardia, bradycardiam, hipertensi, hypotensi dan cardiac arest; pada sistem
cerebral: gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, kejang dan coma; dan ada
hal umum: letih dan berkeringat banyak.
3. Penyakit ISPA dapat diklasifikasikan yaitu bukan Pneumonia, peumonia, dan
pneumonia berat
4. Faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor individu anak, faktor lingkungan dan faktor
perilaku. Faktor individu anak meliputi: umur anak, berat badan lahir, status gizi,
vitamin A dan status imunisasi.
5. Terapi yang digunakan untuk penyakit ISPA yaitu terapi antibiotik dan terapi suportif.

Anda mungkin juga menyukai