Olahraga : Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena aktifitas biasanya
terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat diinduksi oleh adanya
kegiatan fisik atau latihan yang disebut sebagai Exercise Induced Asthma (EIA) yang
biasanya terjadi beberapa saat setelah latihan. Misalnya : jogging, berjalan
2
Asma Ekstrinsik
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus
spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
(Medicafarma,2008)
Asma Ekstrinsik dibagi menjadi :
a. Asma ekstrinsik atopik
Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:
Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehdupan, 85%
kasus timbul sebelum usia 30 tahun
Tes kulit memberi reaksi tipe segera, tipe lambat dan ganda terhadap
alergi yang tersensitasi dapat menjadi positif
Asma Intrinsik
Intrinsik/idiopatik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang
bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi.
Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu
dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien
akan mengalami asma gabungan. (Medicafarma,2008)
Sifat dari asma intrinsik :
o Alergen pencetus sukar ditentukan
4
o Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi hasil
negatif
o Merupakan kelompok yang heterogen, respons untuk terjadi asma dicetuskan
oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda
o Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30 tahun
dan disebut juga late onset asma
o Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali
menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid.
o Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak
dapat dibuktikan dengan keterlibatan IgE
o Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan asma ekstrinsik
o Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid, misalnya
sel LE
o Riwayat keluarga jauh lebih sedikit, sekitar 12-48%
o Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin sering dijumpai
(Medicafarma,2008)
Namun klasifikasi diatas pada prakteknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua
sifat alergik dan non-alergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3
kategori, yaitu :
1) Asma ekstrinsik
2) Asma intrinsik
3) Asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik.
(sundaru dan sukamto, 2009)
Dalam GINA (Global Initiative for Asma) 2006 asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi,
derajat penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran napas. Walaupun berbagai
usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi spesifik dari sekitar pasien.
Derajat penyakit asma ditentukan berdasarkan gabungan penilaian gambaranklinis, jumlah
pengunaan antagonis - 2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi
awal pasien.
Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut :
1. Intermiten
-
Serangan singkat
5
2. Persisten ringan
-
3. Persisten sedang
-
4. Persisten berat
-
Pembagian lain derajat penyakit asma dibuat oleh Phelan dkk. (dikutip dan Konsensus
Pediatri Internatiol III tahun 1998). Klasifikasi ini membagi derajat asma menjadi 3, yaitu
sebagai berikut :
1. Asma episodik jarang
Merupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai oleh adanya episode < 1x tiap 4-6
minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala diantara episode serangan,
dan fungsi paru normal di antara serangan. Tetapi profilaksis tidak dibutuhkan pada
kelompok ini.
2. Asma episodik sering
Merupakan 20% populasi asma. Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering
dan timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah dengan pemebrian
agonis-2.Gejala terjadi kurang dari 1x/minggu dan fungsi paru diantara serangan
normal antagonis atau hampir normal. Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan.
3. Asam persisten
Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi pada
aktivitas ringan, dan diantara interval gejala dibutuhkan agonis-2 lebih dari
3x/minggu karena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi hari.
Terapi profilaksis sangat dibutuhkan.
Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia membagi asma menjadi 3 derajat penyakit.
Asma
Parameter klinis, jarang
kebutuhan
obat ringan)
dan faal paru
episodik Asma
(asma sering
sedang)
episodik Asma
persisten
(asma (asma berat)
Frekuensi serangan
< 1x/bulan
> 1x/bulan
Lama serangan
< 1 minggu
1 minggu
Intensitas serangan
Biasanya ringan
Biasanya sedang
Biasanya berat
Di antara serangan
Tanpa gejala
Gejala siang
malam
Tidak terganggu
Sering terganggu
Sangat terganggu
Pemeriksaan
fisis Normal
(tidak Mungkin terganggu
diluar serangan
ditemukan kelainan) (ditemukan
kelainan)
Obat
pengendali
Tidak perlu
Sering
Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
remisi
dan
hirupan
/
7
(anti inflamasi)
Uji faal paru
PEF/FEV1 60-80%
Hipersekresi mukus
Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet pada saluran napas penderita asma.
Penyumbatan saluran napas oleh mukus hampir selalu didapatkan pada asma yang fatal.
Hipersekresi mukus akan mengurangi gerakan silia, mempengaruhi lama inflamasi dan
menyebabkan kerusakan struktur/ fungsi epitel.
Keterbatasan aliran udara ireversibel
Penebalan dinding saluran napas adalah karakteristik remodelling yang terdapat pada
saluran napas besar maupun kecil. Gambaran ini terlihat secara patologi maupun
radiologi.
Eksaserbasi
Episode eksaserbasi merupakan gambaran yang umum pada asma. Faktor penyebab
eksaserbasi antara lain rangsangan penyebab bronkokonstriksi saja (inciter) seperti
latihan, udara dingin, kabut / asap dan rangsangan penyebab inflamasi (inducer)
seperti pajanan alergen, sensitisasi zat di tempat kerja, ozon dan infeksi saluran napas
oleh virus
Asma malam
Biopsi transbronkus pada penderita asma malam menunjukkan akumulasi eosinofil dan
makrofag pada malam hari di alveolar dan jaringan peribronkus.
9
Proses yang penitng dalam remodeling : kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan
epitel yang berlanjut, produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming
growth factors (TGF-b) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi
myofibroblas. Myofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor
pertumbuhan. Kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos
saluran respiratorik dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah
vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf.
Hipertropi dan hyperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar
submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan
berat.Secara keseluruhan, saluran respiratorik pada asma memperilihatakan perubahan
struktur saluran respiratorik yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran respiratorik.
Selama ini asma diyakini sebagai obstruksi saluran respiratorik yang bersifat
reversible. Pada sebagian besar pasien, reversibelitas yang menyeluruh dapat diamati
pada penukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi kortikosteroid.Namun
beberapa penderita asma mengalami obstruksi saluran respiratorik residual yang dapat
terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, hal ini menceerminkan adanya
10
Ringan
Sedang
Berat
ancaman
tanpa
Berat
dengan
ancaman
henti
napas
Sesak
Berjalan, bayi
menangis keras
Berbicara, bayi
menangis pendek
dan lemah serta
kesulitan
menyusui
Istirahat,bayi
tidak
mau
makan/minum
Posisi
Bisa berbaring
Duduk bertopang
lengan
Bicara
Kalimat
Penggal kalimat
Kata-kata
Kesadaran
Mungkin
irritable
Biasanya irritable
Biasanya irritable
Kebingungan
Sianosis
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Nyata
Mengi
Sedang, sering
hanya
pada
akhir ekspirasi
Nyaring
sepanjang
ekspirasi inspirasi
Sangat nyaring,
terdengar tanpa
stetoskop
sepanjang
ekspirasi
dan
inspirasi
Sulit/tidak
terdengar
Penggunaan otot
bantu respiratorik
Biasanya tidak
Biasanya
menggunakan
Ya
Gerakan paradoks
torako-abdominal
Retraksi
Dangkal,
retraksi
intercostal
Sedang, ditambah
retraksi
suprasternal,
hiperinflasi dada
Dalam, ditambah
napas
cuping
hidung
Dangkal/hilang
Frekuensi napas
Takipnea
Takipnea
Takipnea
Bradipnea
Saturasi Oksigen
>95%
90-95%
<90%
<90%
Frekuensi nadi
Normal
Takikardia
Takikardia
Bradikardia
11
Auskultasi
Hanya
mengi
pada
akhir
ekspirasi
Mengi inspirasi
dan ekspirasi
Saturasi
Karbondioksida
<45mmHg
<45mmHg
>45mmHg
PaO2
Normal,
biasanya tidka
perlu diperiksa
>60mmHg
<60mmHg
>60% ; >80%
40-60% ; 60-80%
<40% ; <60% ;
respon <2jam
Pulsus
Paradoksus
Tidak
ada,
<10mmHg
Ada, 10-20mmHg
Ada, >20mmHg
Eksim atopi
Flu berulang
Banyak kecoa
B. Pemeriksaan Fisik
12
Penyempitan dada
C. Pemeriksaan Penunjang
Peak Flow Meter / PFM alat pengukur faal paru yang sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Spirometer lebih
diutamakn dibanding PFM karena PFM kurang sensitif
Pemeriksaan IgE Skin prick test (Uji tusuk kulit) menunjukkan adanya
antibodi spesifik pada kuit untuk mencari faktor pencetus, bila uji tusuk tidak
dapat dilakukan (pada dermographism) mengunakan Radioallergosorbent test
(RAST)
13
RAST
Petanda inflamasi biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan
kadar ksida nitrit pada ekspirasin
.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
14
Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
(Medicafarma,2008)
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
(Medicafarma,2008)
15
D. Kriteria Diagnosis
Munculnya gejala pada malam hari atau pagi (lebih sering pada subuh) biasanya
sesak nafas dan batuk (baik produktif maupun tidak) khususnya pada :
Peningkatan FEV1 >15% selama atau 30 menit setelah latihan fisik (asma
exertional)
16
Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk
menegakkan diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah
anak-anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat
diperiksa tanda wheezing, sesak dan lain-lain sedang tidak timbul. Asma sulit didiagnosis
pada anak di bawah 3 tahun. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan
faal/fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Lainnya bisa melalui uji provokasi
bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan
17
NaCl hipertonis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3
cara, yaitu didapatkannya :
Variabilitas pada PFR (peakflow rate) atau FEV1 (forced expiratory volume
in 1 second) 15%
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam
satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang
pemeriksaannya berlangsung 2 minggu.
Penggunaan peakflow meter merupakan halpenting dan perlu diupayakan, karena selain
mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma. Pada anak dengan
tanda dan gejala asma yang jelas, serta respon terhadap pemberian obat asma baik sekali,
maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.
Keterangan
Infeksi
Bronkiolitis (RSV)
Pneumonia
Croup
Tuberkulosis,
Histoplasmosis
Bronkiektasis
Bronkiolitis Obliterans
Bronkitis
Kemungkinan asna
Anatomik Kongenital
Kistik Fibrosis Cincin
Vaskuler
Diskinisia Siliaris
Laringotrakeomalasia
Tumor, Limfoma
Fisula
tipe-H
Obstruksi bronchial
Trakeoesofagus
Fistula Trakeoesofagus
yang diperbaiki
Refluks Gastroesofagus
Vaskulitis,
Hipersensitivitas
Aspergilosis
Bronkopumonal
Alergika
Alveolitis
Alergika,
Pneuminitis
Hipersensitivitas
Sindrom Churgg-Strauss
Periarteritis Nodosa
Lain-lain
Aspirasi Benda Asing
Tromboemboli Paru
Batuk Psikogenik
Sarkoidosis
Displasia
Bronkopulmonal
19
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini
tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu.
Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat
profilaksis.
Obat
ini
digunakan
untuk
mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian
pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan- pelan yaitu 25% setip penurunan setelah tujuan
pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.
Obat-obat Pereda (Reliever) :
I. Bronkodilator
a. Short- acting 2 agonist :
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.
Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel
inflamasi,
jantung,
pembuluh
darah,
20
otot lurik, hepar, dan pankreas. Obat ini menstimulasi reseptor 2 adrenergik
menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos
jalan
napas
yang
menyebabkan
terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan
permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada 2 agonis
selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor 1, 2, dan a sehingga
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia,
tremor, dan hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena
durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan CNS.
2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis salbutamol oral :
0,1- 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam. Dosis tebutalin oral : 0,05 0,1
mg/kgBB/kali, setiap 6 jam. Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB),
interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam
(dosis maksimum 15 mg/jam). Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1
respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi
(inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10
menit, lama kerjanya 4 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 - 4 semprotan tiap 3 - 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada
serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan anticholinergick. Efek
bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine dan
inhibisi PDE 4 dan PDE 5.
Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral.
Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang
lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine
didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu.
Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
a. 1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
b. 6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
c. 1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam
21
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:
Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup
lama
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid
hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan
penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan
asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan.
Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol
gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di
rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan
mengurangi bronkokonstriksi
yang diinduksi latihan. Glukokortikosteroid dapat
mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan
mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor 2 agonist. Dosis yang
dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak).
Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat,
dan gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin
hasilnya lebih baik.
Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang
membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA.
Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut:
a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane
b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
c. Dapat diberikan per oral.
d. Montelukast. Hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak
mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat Montelukast ini belum ada di Indonesia;
e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan
kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF)
sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos,
serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
Montelukast Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1
kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
Zafirlukast Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari. Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada
berbagai tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek
23
25
Digunakan dengan cara yang mirip dengan turbuhaler. Perbedaan setiap kali akan menghisap
obat, rotahaler harus didiisi dulu dengan obat yang berbentuk kapsul/rotacap. Jadi rotahaler
hanya berisi satu dosis, rotahaler sangat cocok untuk anak-anak dan usia lanjut. Contoh
produk: Ventolin Rotacap
Nebulizer
Nebulizer digunakan dengan cara menghirup dengan cara menghirup larutan obat yang telah
diubah menjadi bentuk kabut. Nebulizer sangat cocok digunakan untuk anak-anak, usila dan
mereka yang sedang mengalami serangan asma parah. Dua jenis nebulizer berupa kompresor
dan ultrasonic. Tidak ada kesulitan sama sekali dalam menggunakan nebulizer, karena pasien
cukup bernapas seperti biasa dan kabut obat akan terhirup masuk ke dalam paru-paru. Satu
dosis obat akan terhirup habis tidak lebih dari 10 menit. Contoh produk yang bisa digunakan
dengan nebulizer: Bisolvon solution, Pulmicort respules, Ventolin nebulas. Anak-anak usia
kurang dari 2 tahun membutuhkan masker tambahan untuk dipasangkan ke nebulizer.Untuk
memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas untuk mengobati bronkospasme
akut, produksi mucus yang berlebihan, batuk dan sesak napas dan epiglottis Keuntungan
nebulizer terapi adalah medikasi dapat diberikan langsung pada tempat/sasaran aksinya
seperti paru-paru sehingga dosis yang diberikan rendah. Dosis yang rendah dapat
menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik. Pengiriman obat melalui nebulizer
ke paru-paru sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat daripada rute lainnya seperti:
subkutan/oral. Udara yang dihirup melalui nebulizer telah lembab, yang dapat membantu
mengeluarkan sekresi bronkus.
Pneumothorax
Keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga paru paru
kesulitan untuk mengembang.
Pneumodiastinum
Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.
Emfisema
Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal, disertai
dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.
Atelektasis
pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran udara
(bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
Bronchitis
Peradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.
Gagal nafas
26
27
Daftar Pustaka
Faisal Yunus
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia SMF Paru. RSUP
Persahahatan, Jakarta
Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi. Ed 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
http://www.asthmastuff.com/nebulizer.html. Diakses pada 27 Februari 2014
Medicafarma. (2008, Mei 7). Asma Bronkiale. Diakses 26 Februari 2014 dari Medicafarma:
http://medicafarma.blogspot.com/2008/05/asma-bronkiale.html
Price, Sylvia Anderson et al. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Jilid 1.
Edisi 6.
Rahajoe N.N, dkk. Buku Ajar Respirologi Anak edisi 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2008. p : 108-109
Sudoyo A.w, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 5. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
penyakit Dalam. 2009. p : 404
28