Anda di halaman 1dari 6

1.

Mahasiswa mampu mengetahui tatalaksana dan edukasi dari DX

TATALAKSANA ASMA
Manajemen asma pada balita terdiri dari komunikasi, informasi, dan edukasi pada anak
dan keluarganya, penghindaran faktor pencetus, dan medikamentosa. Tatalaksana
medikamentosa dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu tatalaksana saat serangan dan
tatalaksana jangka panjang (Sinatra T, 2019).
 Pemberian beta-2 agonis pada awal serangan dapat mengurangi gejala dengan
cepat. Bila perlu dapat diberikan kortikosteroid sistemik pada serangan sedang
dan berat..
 Pada tatalaksana jangka panjang, obat asma diberikan bertahap sesuai dugaan
awal.

- Jenjang 1: jika dibutuhkan inhalasi beta 2 agonis kerja singkat/short acting beta
agonist (SABA). Semua anak yang mengalami episode mengi yang muncul episodik,
baik akibat alergi maupun asma tidak terkontrol harus diberi inhalasi beta agonis
kerja singkat. Pemberian beta 2 agonis kerja singkat/SABA tiap 4-6 jam selama 1 hari
atau lebih hingga gejala menghilang. Pada terapi inisial ini, bronkodilator oral tidak
direkomendasikan karena mula kerja obat lambat dan memiliki efek samping lebih
tinggi dibandingkan SABA secara inhalasi. Pemberian kortikosteroid sistemik jangka
panjang dapat mengganggu pertumbuhan anak sehingga harus berhatihati dan bila
mungkin dihindari. Pemberian secara inhalasi menjadi pilihan utama karena
pemberian jangka panjang dengan dosis dan cara yang tepat tidak menyebabkan
gangguan pertumbuhan anak.Kortikosteroid inhalasi telah dibuktikan keuntungan dan
keamanannya selama digunakan dengan cara yang benar. Pemberian yang salah, baik
dosis maupun cara pemberian, akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan anak
dan efek samping lain seperti moon face, hipertensi, perawakan pendek, dan
sebagainya (Sinatra T, 2019).
- Jenjang 2: Terapi awal dengan obat pengendali asma dan SABA jika perlu. Beberapa
indikasi pemberian obat-obatan pengendali asma secara rutin: Pertama, pada balita
dengan gejala klinis sesuai diagnosis asma yang belum terkontrol. Kedua, episode
mengi hingga 3-4 kali dalam satu musim. Ketiga, episode jarang namun klinis berat.
Keempat, pada balita dengan diagnosis asma masih meragukan, namun terapi SABA
perlu diulang secara rutin, tiap 6-8 minggu. Terapi pengendali asma rutin harus
dipertimbangkan sesuai kondisi anak, efek samping, serta manfaat terhadap aktivitas
harian balita. Pada terapi pengendali asma ini, obat pilihan pertama yang biasa adalah
kortikosteroid dosis rendah per inhalasi rutin setiap hari dengan SABA jika muncul
serangan asma. Pilihan lain adalah leukotriene receptor antagonist (LTRA), pada
beberapa penelitian menurunkan gejala lebih baik dan penggunaan kortikosteroid oral
lebih rendah. Untuk menentukan efektivitas dan mencapai kontrol asma yang baik,
terapi obat pengendali asma rutin ini harus diberikan paling tidak 3 bulan (Sinatra T,
2019).
- Jenjang 3: Obat pengendali tambahan dan SABA bila perlu. Jika tatalaksana awal 3
bulan dengan inhalasi kortikosteroid dosis rendah gagal mengendalikan gejala, atau
eksaserbasi tetap ada, sebelum penambahan dosis atau mengganti obat pengendali
asma jenis lain perlu dilakukan evaluasi terhadap beberapa hal, yaitu:
1. Konfirmasi gejala karena asma bukan karena kondisi lain
2. Cek dan perbaiki teknik penggunaan inhaler
3. Konfirmasi dosis yang sesuai dengan yang diresepkan
4. Risiko alergen dan paparan terhadap asap tembakau

Jika faktor-faktor tersebut berhasil dikendalikan maka tatalaksana pengendali asma


dapat ditingkatkan lewat pemberian dosis menengah kortikosteroid per inhalasi, dosis
rendah diberikan dua kali lipat atau dapat diberikan tambahan LTRA pada
kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Respons terhadap terapi asma harus dinilai
setelah 3 bulan pemberian obat-obatan terpilih (Sinatra T, 2019).

- Jenjang 4: Teruskan pemberian obat pengendali asma dan rujuk ke ahli untuk
penilaian lebih lanjut. Jika pemberian dua kali lipat dosis inisial dari kortikosteroid
inhalasi gagal mengendalikan asma dengan baik, nilai kembali teknik pengggunaan
inhaler dan obat-obatan, karena hal itu merupakan masalah yang paling umum pada
kelompok usia ini. Di sisi lain lakukan penilaian dan kontrol terhadap faktor
lingkungan dan nilai kembali diagnosis asma. Anak harus dirujuk jika kontrol buruk
dan serangan sering muncul atau jika ditemukan atau diperkirakan ada efek samping
pengobatan. Terapi terbaik untuk kelompok usia ini belum dapat ditetapkan (Sinatra
T, 2019).
EDUKASI ASMA
Proses komunikasi dan edukasi sangat penting karena kerjasama keluarga dan dokter
akan menentukan keberhasilan terapi. Keluarga penderita asma harus mengetahui apa
yang terjadi pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penanganan asma rutin, dan
penanganan pertama jika terjadi serangan. Penghindaran pencetus diharapkan dapat
mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik, sehingga frekuensi dan derajat
serangan asma dapat diturunkan (Sinatra T, 2019).
PENATALAKSANAAN RHINITIS ALERGI
Tujuan dari penatalaksanaan rinitis alergi adalah meningkatkan kualitas hidup
penderita diantaranya tidak ada gangguan tidur, dapat melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa ada hambatan baik saat di sekolah, bekerja, olahraga maupun saat bersantai,
tidak ada gejala yang mengganggu dan efek samping dari obat yang diberikan tidak
ada atau minimal. Penatalaksanaan rinitis alergi adalah dengan menghindari kontak
dengan alergen penyebab dan eliminasi, medikamentosa, operasi dan imunoterapi.
Regimen yang digunakan dalam mengatasi rinitis alergi adalah kortikosteroid,
antihistamin, anti leukotrien, mast cell stabilizer, dekongestan dan antikolinergik
intranasal. Antihistamin sudah sejak lama digunakan dalam pengobatan rinitis alergi.
Antihistamin dapat mengurangi bersin, gatal pada hidung, tenggorok dan palatum
namun hanya sedikit pengaruhnya untuk mengatasi kongesti hidung. Antihistamin
terdiri dari generasi-1 dan generasi-2 (Meltzer EO, 2013).
 Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar
darah otak dan plasenta serta mempunyai efek antikolinergik. Antihistamin
generasi-1 ini diantaranya adalah difenhidramin, prometasin, siproheptadin,
klorfeniramin dan yang digunakan secara topikal seperti azelastin.
 Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik sehingga sulit menembus sawar
darah otak, bersifat selektif mengikat reseptor H-1 dan tidak mempunyai efek
antikolinergik diantaranya loratadin, desloratadin, cetirizin, levocetirizin dan
fexofenadin. Antihistamin intranasal seperti azelastin dan olopatadin memiliki
onset yang cepat dan mengurangi hidung tersumbat. Antihistamin intranasal
ini sering dikombinasikan dengan kortikosteroid intranasal pada pasien yang
tidak terkontrol dengan monoterapi.
Kortikosteroid intranasal adalah terapi lini pertama pada rinitis alergi intermiten
sedang-berat dan persisten. Efek biasanya dirasakan setelah 7-10 hari terapi.
Penggunaannya dikatakan cukup aman pada anak dan orang dewasa. Komplikasi
yang biasa terjadi adalah epistaksis dan iritasi hidung. Kortikosteroid sistemik jangka
pendek dapat diberikan pada rinitis alergi intermiten berat yang tidak terkontrol
dengan pengobatan ((Meltzer EO, 2013) (O’Neil JT, dkk, 2014))
Antileukotrien atau leukotrien receptor antagonist seperti montelukas adalah
pilihan yang tepat diberikan pada rinitis alergi yang disertai asma. Antileukotrien ini
memiliki efektivitas sama dengan antihistamin oral namun kurang efektif jika
dibandingkan dengan kortikosteroid intranasal ((Meltzer EO, 2013) (O’Neil JT, dkk,
2014).
Mast cell stabilizer bekerja dengan cara menurunkan kemampuan sel mast untuk
melepaskan mediator proinflamasi, contohnya adalah sodium kromolin dan
nedokromil yang dapat digunakan 4-8 jam sebelum terpapar dengan alergen. Mast
cell stabilizer ini kurang efektif jika dibandingkan dengan antihistamin dan
kortikosteroid intranasal ((Meltzer EO, 2013) (O’Neil JT, dkk, 2014)).
Dekongestan bekerja pada reseptor adrenergik α1 dan α2 yang memiliki efek
vasokonstriksi. Efeknya muncul setelah 5-10 menit pada penggunaan intranasal dan
30 menit pada penggunaan oral. Dekongestan digunakan pada rinitis alergi dengan
keluhan sumbatan hidung yang menonjol. Efek samping yang bisa timbul diantaranya
insomnia, cemas, tremor, palpitasi dan peningkatan tekanan darah. Penggunaan
dekongestan intranasal jangka panjang dapat menimbulkan toleransi dan fase dilatasi
berulang setelah vasokonstriksi atau disebut juga rebound dilatation ((Meltzer EO,
2013) (O’Neil JT, dkk, 2014)).
Antikolinergik intranasal seperti ipratropium bromida dapat mengontrol sekresi
hidung dengan cara menghambat fungsi saraf parasimpatis pada mukosa hidung
((Meltzer EO, 2013) (O’Neil JT, dkk, 2014)).
Terapi anti-IgE merupakan terapi yang baru dikembangkan berupa antibodi
monoklonal rekombinan yang bekerja langsung pada Fc dari IgE sehingga terjadi
penurunan IgE di sirkulasi. Berbeda dengan obat anti alergi lainnya seperti
kostikosteroid inhalasi, antihistamin dan antileukotrien yang bekerja setelah sel mast
teraktifasi dan mengalami degranulasi, Anti-IgE dapat bekerja pada tahap awal dalam
proses terjadinya alergi yaitu menghambat ikatan alergen dan IgE melekat pada sel
mast sehingga degranulasi sel mast tidak terjadi ((Meltzer EO, 2013) (O’Neil JT, dkk,
2014)).
Pada keadaan hipertrofi konka inferior yang menimbulkan sumbatan hidung,
dapat dilakukan tindakan konkotomi. Imunoterapi spesifik adalah memberikan
alergen yang sesuai dengan hasil tes kulit, dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai
dosis maksimal yang tidak menimbulkan serangan atau gejala alergi. Imunoterapi
dilakukan pada rinitis alergi yang berlangsung lama dan dengan pengobatan cara lain
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Secara klinik imunoterapi pada rinitis
alergi terbukti efektif. Metode imunoterapi yang sering digunakan adalah secara
sublingual dengan cara meneteskan ekstrak alergen kebawah lidah dan subkutan
dengan menginjeksikan alergen pada jaringan subkutan. Risiko tindakan ini adalah
reaksi anafilaksis ((Meltzer EO, 2013) (O’Neil JT, dkk, 2014)).
EDUKASI
Edukasi untuk pasien rhinitis alergi yaitu menghindari kontak dengan alergen
penyebab dan eliminasi. Meskipun pengendalian lingkungan tidak dapat dilakukan
dengan sempurna, mengurangi pencetus alergi dapat secara signifikan menurunkan
gejala. Metode meminimalkan paparan terhadap serbuk sari yaitu dengan cara
menghindari aktivitas di luar ruangan selama musim yang berhubungan dengan
serbuk sari, menjaga rumah dan jendela kendaraan tetap tertutup. Untuk mengontrol
tungau, spora jamur dan bulu binatang, dapat dilakukan dengan cara menurunkan
kelembaban rumah, mencuci seprai menggunakan air panas, menghindari penggunaan
karpet dan menjauhkan binatang peliharaan dari area yang sering digunakan terutama
kamar tidur, menutup bantal dan kasur dengan penutup hipoalergenik dan
mengeliminasi kecoa (Meltzer EO, 2013).

DAFTAR PUSTAKA

O’Neil JT, Mims JW. 2014. Allergic rhinitis. Dalam: Johnson JT,Rosen CA, penyunting. Head&
Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-5. Texas: Lippincott Williams&Wilkins, h. 460-8

Sinatra Talita Clarissa. 2019. Diagnosis dan Manajemen Jangka Panjang Asma pada Balita.
CDK Edisi Farmasi. vol. 46: 18-19.

Meltzer EO, Gross GN, Katial R, Storms WW. Allergic rhinitis substantially impacts patient
quality of life: findings from the Nasal Allergy Survey Assessing Limitations. J Fam Pract.
2013; 61(2 Suppl):S5—10

Anda mungkin juga menyukai