Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH FARMAKOTERAPI III

Farmakoterapi Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan

Disusun oleh :
Qadrina Sufy

1111102000030

Ida Ayu Purnama

1111102000036

Fitri Rachmadany

1111102000048

Khairunisa

1111102000113

Kelompok 4
Semester/Kelas : VII/B-D

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
November 2014

INFEKSI SALURAN PERNAFASAN ATAS


A.

Otitis Media
Tujuan terapi
Tujuan dari pengobatan otitis media akut adalah menurunkan tanda
dan gejala, menyembuhkan infeksi, dan mencegah terjadinya komplikasi.
Menghindari peresepan antibiotik yang tidak diperlukan adalah tujuan lain
terkait dengan masalah peningkatan resistensi S. Pneumoniae (Dipiro, et.
al., 2008).
Penatalaksanaan Umum Pengobatan
Dalam penatalaksanaan otitis media akut sering terjadi kontroversi.
Sebagai contoh, tinjauan sistematis berdasarkan penelitian menunjukkan
bahwa terapi antimikroba memberikan resolusi gejala pada sekitar 95%
pasien, di mana sekitar 80% dari pasien plasebo yang diobati juga memiliki
resolusi gejala. Berdasarkan teori bahwa banyak dari penelitian ini termasuk
anak-anak dengan otitis virus yang mengarah ke sedikitnya manfaat dari
antimikroba. Pengobatan dengan antimikroba masih dianggap sebagai
strategi manajemen yang tepat dalam pengobatan bakteri pada otitis media
akut.
Pada tahun 2004, American Academy of Pediatrics dan the American
Academy of Family Physicians mengeluarkan rekomendasi penatalaksanaan
OMA.

Petunjuk

rekomendasi

ini

ditujukan

pada

anak

usia

bulan sampai 12 tahun. Pada petunjuk ini di rekomendasikan bayi berumur


kurang dari 6 bulan mendapat antibiotika, dan pada anak usia 6-23 bulan
observasi merupakan pilihan pertama pada penyakit yang tidak berat atau
diagnosis tidak pasti, antibiotika diberikan bila diagnosis pasti atau penyakit
berat. Pada anak diatas 2 tahun mendapat antibiotika jika penyakit berat.
Jika diagnosis tidak pasti, atau penyakit tidak berat dengan diagnosis pasti
observasi dipertimbangkan sebagai pilihan terapi.

Penatalaksanaan Otitis Media Akut (OMA)


Penatalaksanaan OMA di bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang
tergantung pada stadium penyakit, yaitu :
1.

Stadium Oklusi
Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0.5% dan pemberian
antibiotik.

2.

Stadium Presupurasi
Analgetika, antibiotika (biasanya golongan ampicillin atau penisilin)
dan obat tetes hidung.

3.

Stadium Supurasi
Diberikan antibiotika dan obat-obat simptomatik. Dapat juga
dilakukan miringotomi bila membran timpani menonjol dan masih
utuh untuk mencegah perforasi.

4.

Stadium Perforasi
Diberikan H2O2 3% selama 3 - 5 hari dan diberikan antibiotika yang
adekuat.

Observasi
Spiro dkk (2006), membuktikan bahwa penanganan OMA dengan
menunggu

dan

melihat

(observasi)

secara

bermakna

menurunkan

penggunaan antibiotik pada populasi urban yang datang ke instalasi gawat


darurat. Metoda menunggu dan melihat menurunkan penggunaan antibiotik
pada 56% anak usia 6 bulan sampai 12 tahun dengan OMA.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan McCormick dkk (2005),
menunjukkan kepuasan orang tua sama antara grup yang diterapi dengan
observasi tanpa mendapat antibiotik dengan yang mendapat antibiotik pada
penanganan OMA. Dibanding dengan observasi saja, pemberian antibiotik
segera berhubungan dengan penurunan jumlah kegagalan terapi dan
memperbaiki kontrol gejala tetapi meningkatkan efek samping yang
disebabkan antibiotik dan persentase yang lebih tinggi terhadap strain

multidrug resistant S. pneumoniae di nasofaring pada hari keduabelas


kunjungan.
Indikasi untuk protokol observasi adalah tidak ada demam, tidak ada
muntah, pasien atau orang tua pasien menyetujui penundaan pemberian
antibiotik. Kontra indikasi relatif protokol observasi adalah telah mendapat
lebih dari 3 seri antibiotik dalam 1 tahun ini, pernah mendapat antibiotik
dalam 2 minggu terakhir, terdapat otorea.
Pilihan observasi ini mengacu pada penundaan pemberian antibiotik
pada anak terpilih tanpa komplikasi untuk 72 jam atau lebih, dan selama
waktu itu, penatalaksanaan terbatas pada analgetik dan simtomatis lain.
Pemberian antibiotik dimulai jika pada hari ketiga gejala menetap atau
bertambah.
Faktor-faktor kunci dalam menerapkan strategi observasi adalah
metoda untuk mengklasifikasi derajat OMA, pendidikan orang tua,
penatalaksanaan gejala OMA, akses ke sarana kesehatan, dan penggunaan
regimen antibiotik yang efektif jika diperlukan. Jika hal tersebut
diperhatikan, observasi merupakan alternatif yang dapat diterima untuk anak
dengan OMA yang tidak berat.
Metoda observasi ini masih menjadi kontroversi pada kalangan dokter
anak di AS yang secara rutin masih meresepkan antibiotik untuk OMA dan
percaya bahwa banyak orang tua mengharapkan resep tersebut. Sebagian
kecil dokter sudah menerapkan metoda observasi. Sebagian orang tua dapat
menerima penerapan terapi observasi dengan pengontrolan nyeri sebagai
terapi OMA, sehingga penggunaan antibiotik dapat diturunkan. Penggunaan
metoda observasi secara rutin untuk terapi OMA dapat menurunkan biaya
dan efek samping yang ditimbulkan oleh antibiotik dan menurunkan
resistensi kuman terhadap antibiotik yang umum digunakan.
Terapi Non Farmakologi
Asetaminofen atau obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) seperti
ibuprofen harus diberikan di awal untuk menghilangkan rasa sakit dan tidak
enak pada otitis media akut Selain dari penggunaan antibiotik. Dekongestan,

antihistamin, kortikosteroid topikal, dan ekspektoran belum terbukti efektif


untuk otitis akut media, dan efek samping yang berhubungan dengan
perawatan ini mungkin tidak disukai.
Operasi penyisipan tabung tympanostomy (tabung T) merupakan
metode yang efektif untuk pencegahan otitis media berulang. tabung kecil
ini ditempatkan melalui bagian inferior membran timpani di bawah anestesi
umum dan aerasi telinga tengah. Anak-anak dengan otitis berulang yang
memiliki lebih dari tiga episode dalam 4-6 bulan atau lebih episode (salah
satunya adalah baru-baru terjadi) dalam setahun harus dipertimbangkan
untuk penyisipan T-tube.
Terapi Farmakologi
Terapi Simptomatis
Penatalaksanaan OMA harus memasukkan penilaian adanya nyeri.
Jika terdapat nyeri, harus memberikan terapi untuk mengurangi nyeri
tersebut. Penanganan nyeri harus dilakukan terutama dalam 24 jam pertama
onset OMA tanpa memperhatikan penggunaan antibiotik. Penanganan nyeri
telinga pada OMA dapat menggunakan analgetik seperti asetaminofen,
ibuprofen, preparat topikal seperti benzokain, naturopathic agent,
homeopathic agent, analgetik narkotik dengan kodein atau analog, dan
timpanostomi atau miringotomi.
Antihistamin dapat membantu mengurangi gejala pada pasien dengan
alergi hidung. Dekongestan oral berguna untuk mengurangi sumbatan
hidung. Tetapi baik antihistamin maupun dekongestan tidak memperbaiki
penyembuhan atau meminimalisi komplikasi dari OMA, sehingga tidak
rutin direkomendasikan.
Manfaat pemberian kortikosteroid pada OMA juga masih kontroversi.
Dasar pemikiran untuk menggunakan kortikosteroid dan antihistamin adalah
obat tersebut dapat menghambat sintesis atau melawan aksi mediator
inflamasi,

sehingga

membantu

meringankan

gejala

pada

OMA.

Kortikosteroid dapat menghambat perekrutan leukosit dan monosit ke


daerah yang terkena, mengurangi permeabilitas pembuluh darah, dan

menghambat sintesis atau pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Tetapi


penelitian Chonmaitree dkk, menunjukkan tidak ada manfaat yang jelas
pemakaian kortikosteroid dan antihistamin, sendiri atau dalam kombinasi
pada pasien yang memakai antibiotik.
Terapi Antimikroba Tertunda
Sulit untuk mengidentifikasi siapa yang akan pulih atau sembuh
dengan terapi antimikroba, tetapi kemungkinan bahwa pada anak-anak
dengan otitis media viral akan Sembuh tanpa antibiotik, di mana anak-anak
dengan otitis media bakteri akan membutuhkan antimikroba. Dengan atau
tanpa pengobatan, sekitar 60% dari anak-anak dengan otitis media akut,
bebas gejala dalam waktu 24 jam. Penggunaan antibiotik mengurangi durasi
gejala (termasuk rasa sakit dan nyeri) sekitar 1 hari. Pengobatan yang
tertunda menurunkan penggunaan antibiotik sekitar 30%, menurunkan efek
samping, dan meminimalkan resistensi bakteri (Dipiro, 2008).
Pasien yang memenuhi syarat untuk terapi tertunda adalah anak-anak
usia 6 bulan sampai 2 tahun, jika gejala tidak berat. Anak-anak dalam
rentang usia ini dengan gejala berat, dan usia mereka kurang dari 6 bulan,
sebaiknya menerima terapi antibiotik. Pengobatan tertunda ini tidak
dianjurkan pada anak-anak yang memiliki gejala yang parah, pasien dengan
yang baru-baru ini menerima antimikroba, atau ketika terdapat kondisi yang
mendasari (harus menggunakan antimikroba), karena pasien ini akan
meningkatkan risiko penyakit invasif dan infeksi akibat bakteri yang
resisten. Jika terapi tertunda digunakan, penggunaan obat penghilang rasa
sakit yang tepat, seperti ibuprofen atau asetaminofen oral, sangat
disarankan. Selain itu, penting bagi orang tua menyadari gejala yang
memburuk, dan memiliki yang akses mudah untuk menindaklanjuti. Jika
tidak ada perbaikan dalam 48 sampai 72 jam, penggunaan antibiotik harus
mulai diberikan. Pada anak-anak usia 6 bulan sampai 2 tahun, beberapa
dokter merekomendasikan untuk evaluasi ulang dalam 24 jam (Dipiro,
2008).

Perbaikan gejala segera, pencegahan mastoiditis, dan meningitis


adalah alasan untuk meresepkan pengobatan antibiotik segera untuk otitis
media akut. Tingkat mastoiditis di Belanda, Norwegia, dan Denmark,
merupakan negara-negara yang menggunakan terapi tertunda, dan begitu
juga di Kanada, Amerika Serikat, Australia, dan Inggris (penggunaan
antibiotik langsung), meskipun sekitar 1.600 dari 100.000 anak diketahui
mendapatkan efek samping dari penggunaan antibiotik. Hal ini penting
untuk mengurangi peresepan antibiotik yang berlebihan dan meminimalkan
resistensi bakteri. Negara-negara di Amerika Utara saat ini menyarankan
untuk menunggu dan melihat pendekatan ini dalam situasi tertentu sebagai
sebuah alternatif alternatif (Dipiro, 2008).
Terapi Antimikroba
Otitis media akut harus dibedakan dari otitis media dengan efusi.
Antimikroba hanya diindikasikan pada efusi yang berlangsung lebih dari 3
bulan pada otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah pada otitis media
akut cenderung berlanjut setelah terapi antimikroba selesai, namun tidak
memerlukan pengobatan ulang (Dipiro, 2008).
Studi belum menunjukkan salah satu agen antimikroba yang unggul
dalam pengobatan otitis media akut tanpa komplikasi (Dipiro, 2008).
Amoksisilin adalah pilihan obat untuk otitis media akut. Amoksisilin
dosis tinggi (80-90 mg/kgBB per hari) direkomendasikan karena tidak selalu
diketahui apakah pasien beresiko untuk terinfeksi pneumococcus akibat
resistensi penisilin. Amoksisilin juga memiliki profil farmakodinamik yang
baik (waktu di atas MIC90 dalam cairan telinga tengah lebih
dari 40% dari interval pemberian dosis) pada resistensi obat terhadap S.
pneumoniae dari semua obat oral yang tersedia. Selain itu, amoksisilin
memiliki keamanan yang cukup besar, memiliki spektrum sempit, dan tidak
mahal. Konsentrasi cairan telinga tengah yang tinggi dari amoksisilin
sebagai akibat dari dosis yang lebih tinggi untuk mengatasi resistensi obat
terhadap S. pneumonia dengan peningkatan MIC. Efikasi yang sangat baik
terhadap S. pneumoniae disamping diproduksinya -laktamase oleh H.

influenzae dan M. catarrhalis, yang menjadikan amoksisilin menjadi tidak


efektif. Hal ini dikarenakan H. influenzae dan M. catarrhalis keduanya lebih
mungkin

menyebabkan

terjadinya

resolusi

infeksi

yang

spontan

dibandingkan S. pneumoniae. Pada pasien dengan penyakit sedang-berat


(otalgia parah, dan suhu > 39C [102.2F]), direkomendasikan pemberian
amoksisilin-klavulanat. Tabel 112-3 merupakan daftar rekomendasi
pengobatan untuk otitis media akut (Dipiro, 2008).

Jika terjadi kegagalan pengobatan dengan amoksisilin, obat yang


harus dipilih yang memiliki aktivitas terhadap -laktamase yang diproduksi
oleh H. influenzae dan M. catarrhalis, serta resistan terhadap obat S.
pneumoniae. Dianjurkan pemberian amoksisilin-klavulanat dosis tinggi.
Pilihan lainnya termasuk cefuroxime, cefdinir, cefpodoxime, cefprozil, dan
ceftriaxone intramuskular. Sefalosporin generasi kedua, yang stabil terhadap
-laktamas, namun mahal, memiliki peningkatan insiden efek samping, dan

dapat meningkatkan tekanan selektif untuk bakteri resisten. Selain itu,


sebagian sefalosporin tidak mencapai konsentrasi cairan telinga tengah yang
adekuat terhadap obat-resistan S. pneumoniae untuk durasi yang diinginkan
selama

interval

pemberian

dosis.

Penggunaan

trimethoprim-

sulfamethoxazole dan eritromisin-sulfisoxazole tidak dianjurkan karena


tingginya tingkat resistensi. Ceftriaxone intramuskular adalah satu-satunya
agen selain amoksisilin yang mencapai konsentrasi cairan telinga tengah di
atas MIC selama lebih dari 40% dari interval. Meskipun dosis tunggal telah
digunakan,

dosis

harian

selama

hari

direkomendasikan

untuk

mengoptimalkan hasil klinis. Ceftriaxone sebaiknya diberikan untuk infeksi


berat dan tidak responsif atau untuk pasien yang tidak bisa menerima obat
oral karena muntah, diare, atau ketidakpatuhan. Ceftriaxone merupakan obat
mahal, dan injeksi intramuskular yang menyakitkan. Obat dapat diberikan
secara intravena, tetapi rasio risiko terhadap manfaatnya bila diberikan
melalui rute intravena juga harus dipertimbangkan. Tympanocentesis juga
dapat dipertimbangkan untuk kegagalan pengobatan atau otitis media akut
persisten. Hal ini memiliki efek terapi untuk menghilangkan rasa sakit dan
nyeri

serta

dapat

digunakan

untuk

mengumpulkan

cairan

untuk

mengidentifikasi agen penyebab. Prosedur ini, tidak sering dilakukan dalam


praktik di Kanada. Klindamisin juga dapat dipertimbangkan pada kondisi ini
untuk cakupan yang didokumentasikan untuk penicillin yang telah resisten
terhadap S. pneumoniae. Pasien dengan alergi penisilin dapat diobati dengan
beberapa

antibiotik

alternatif.

Jika

reaksi

yang

timbul

bukan

hipersensitivitas tipe I, cefdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime dapat


digunakan. Jika reaksi yang timbul adalah hipersensitivtasv tipe I, antibiotik
makrolida seperti azitromisin atau klaritromisin dapat digunakan. Jika S.
pneumoniae yang didokumentasikan, klindamisin merupakan alternatif
terapi. Namun, kejadian resistensi jauh lebih tinggi dengan agen ini, dan
agen ini, hanya klindamisin direkomendasikan oleh Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC) dan American Academy of Pediatrics
Guidelines. Tabel 112-4 adalah daftar evidence based yang mendasari
manajemen pengobatan otitis media (Dipiro, 2008).

Terapi Singkat
Sebuah meta-analisis dari 32 penelitian melaporkan tidak ada
perbedaan dalam efek (tingkat kesembuhan) setelah terapi singkat (<7 hari)
dan jangka waktu yang biasa (7 hari) untuk terapi antibiotik pada anakanak. Keuntungan dari terapi jangka pendek adalah kemungkinan
peningkatan pasien akan mematuhi seluruh pengobatan, penurunan efek
samping dan biaya, dan penurunan tekanan selektif bakteri baik bagi
individu dan masyarakat. Meskipun data yang dimiliki terbatas, termasuk
ukuran sampel penelitian yang tidak cukup adekuat, kurangnya penggunaan
kriteria diagnostik standar, dan dosis subterapeutik. Pengobatan jangka
pendek pada anak-anak yang berusia kurang dari 2 tahun tidak dianjurkan.
Pada anak-anak sekurang-kurangnya berusia 6 tahun yang memiliki otitis

media akut ringan sampai sedang, pengobatan 5-7 hari dapat digunakan
(Dipiro, 2008).
Terapi Bedah
Walaupun observasi yang hati-hati dan pemberian obat merupakan
pendekatan pertama dalam terapi OMA, terapi pembedahan perlu
dipertimbangkan pada anak dengan OMA rekuren, otitis media efusi
(OME), atau komplikasi supuratif seperti mastoiditis dengan osteitis.
Beberapa terapi bedah yang digunakan untuk penatalaksanaan OMA
termasuk timpanosintesis, miringotomi, dan adenoidektomi.
Timpanosintesis adalah pengambilan cairan dari telinga tengah
dengan menggunakan jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari
prosedur ini adalah perforasi kronik membran timpani, dislokasi tulangtulang pendengaran, dan tuli sensorineural traumatik, laserasi nervus fasialis
atau korda timpani. Oleh karena itu, timpanosintesis harus dibatasi pada
anak yang menderita toksik atau demam tinggi, neonatus risiko tinggi
dengan kemungkinan OMA, anak di unit perawatan intensif, membran
timpani yang menggembung (bulging) dengan antisipasi ruptur spontan
(indikasi relatif), kemungkinan OMA dengan komplikasi supuratif akut,
OMA refrakter yang tidak respon terhadap paket kedua antibiotik.
Timpanosintesis dapat mengidentifikasi patogen pada 70-80% kasus.
Walaupun timpanosintesis dapat memperbaiki kepastian diagnostik untuk
OMA,

tap

tidak

memberikan

keuntungan

terapi

dibanding

antibiotik sendiri. Timpanosintesis merupakan prosedur yang invasif, dapat


menimbulkan nyeri, dan berpotensi menimbulkan bahaya

sebagai

penatalaksanaan rutin.
Miringotomi adalah tindakan insisi pada membran timpani untuk
drainase cairan dari telinga tengah. Pada miringotomi dilakukan
pembedahan kecil di kuadran posterior-inferior membran timpani. Untuk
tindakan ini diperlukan lampu kepala yang terang, corong telinga yang
sesuai, dan pisau khusus (miringotom) dengan ukuran kecil dan steril.
Miringotomi hanya dilakukan pada kasus-kasus terpilih dan dilakukan oleh

ahlinya. Disebabkan insisi biasanya sembuh dengan cepat (dalam 24-48


jam), prosedur ini sering diikuti dengan pemasangan tabung timpanostomi
untuk ventilasi ruang telinga tengah.
Indikasi untuk miringotomi adalah terdapatnya komplikasi supuratif,
otalgia berat, gagal dengan terapi antibiotik, pasien imunokompromis,
neonatus, dan pasien yang dirawat di unit perawatan intensif.
Evaluasi Hasil Terapi
Kegagalan pengobatan adalah kurangnya perbaikan klinis setelah 3
hari dengan tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi, termasuk rasa sakit,
demam, dan kemerahan/benjolan pada membran timpani. Evaluasi kembali
lebih awal dari gendang telinga ketika tanda dan gejala membaik dapat
menyesatkan karena efusi yang bertahan. Evaluasi segera adalah tepat jika
terjadi penurunan pendengaran akibat efusi telinga tengah yang diikuti
infeksi.
Profilaksis Antibiotik dari Infeksi Berulang
Otitis media berulang didefinisikan sebagai setidaknya tiga episode
dalam 6 bulan atau setidaknya empat episode dalam 12 bulan. Infeksi
berulang menjadi perhatian karena pasien yang berusia kurang dari 3 tahun
berada pada risiko tinggi untuk gangguan pendengaran dan berbicara dan
ketidakmampuan belajar. Data dari penelitian umumnya tidak mendukung
profilaksis. Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa profilaksis untuk
mencegah sebuah infeksi setiap kali untuk satu anak diperlakukan selama 9
bulan. Yang menjadi perhatian selanjutnya adalah resistensi antibiotik.
Pengobatan dapat ditunda sampai timbulnya gejala infeksi saluran
pernapasan atas (gejala virus), atau profilaksis antibiotik dapat terbatas
dengan durasi sampai 6 bulan selama musim dingin. Penyisipan T-tube,
adenoidectomy, dan tonsilektomi dapat bermanfaat pada anak dengan
kegagalan pengobatan berulang.

Vaksinasi
Vaksinasi terhadap influenza dan pneumococcus dapat mengurangi
risiko otitis media akut, terutama pada individu dengan episode berulang.
Imunisasi dengan vaksin influenza dikaitkan dengan sampai penurunan 36%
dalam kejadian infeksi otitis media akut. Vaksin influenza dapat diberikan
kepada orang sehat tanpa kontraindikasi, terutama orang dengan penyakit
kronis sekurang-kurangnya berusia 6 bulan.
Sebuah vaksin konjugat radang paru yang ditunjukkan pada bayi dan
anak-anak memberikan pengurangan 6% pada frekuensi otitis media akut
dan penurunan 20% dalam kebutuhan untuk penempatan T-tube. Juga,
pemberian vaksin telah menunjukkan penurunan 8% dalam kunjungan ke
rumah sakit, serta 10% menjadi 26% penurunan episode otitis media pada
anak-anak yang mengalami 3 sampai 10 infeksi per tahun. Pneumococcal
conjugate vaccine direkomendasikan untuk semua anak usia 2-23 bulan;
juga dianjurkan untuk mereka yang berusia 24-59 bulan yang berisiko tinggi
terhadap penyakit invasif. Sebelumnya anak-anak yang tidak divaksinasi
yang berusia lebih dari 1 tahun dan telah mengalami infeksi otitis media
berulang tidak mendapatkan manfaat dari vaksinasi ini.
Vaksin dapat digunakan untuk mencegah anak menderita OMA.
Secara teori, vaksin terbaik adalah yang menawarkan imunitas terhadap
semua patogen berbeda yang menyebabkan OMA. Walaupun vaksin
polisakarida mengandung jumlah serotipe yang relatif besar, preparat
poliksakarida tidak menginduksi imunitas seluler yang bertahan lama pada
anak dibawah 2 tahun. Oleh karena itu, strategi vaksin terkini untuk
mengontrol OMA adalah konjungat polisakarida peneumokokal dengan
protein nonpneumokokal imunogenik, pendekatan yang dapat memicu
respon imun yang kuat dan lama pada bayi.
Vaksin pneumokokus konjugat yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) yang dapat menginduksi respon imun lama terhadap
Pneumococcus serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F (PCV-7). Serotipe
ini dipilih berdasarkan frekuensinya yang sering ditemukan pada penyakit

pneumokokus

invasif

dan

hubungannya

dengan

organisme

yang

mutltidrugresistant.
Data dari penelitian di Amerika Serikat dari 500 pasiendengan OMA
menunjukkan bahwa 84% dari totalpneumokokus dan 95% serotipe yang
resisten antibiotik diisolasi dari aspirasi telinga tengah merupakan
kandungan dari vaksin konyugat.
Dosis primer pemberian vaksin adalah empat dosis tunggal 0,5 ml
intramuskular. Selama pemberian pada 23 juta vaksin dosis di Amerika
Serikat, reaksi lokal dan demam merupakan efek samping umum.
Rekomendasi imunisasi universal pada anak di bawah umur 2 tahun adalah
4 dosis vaksin intramuskular yang diberikan pada usia 2, 4, 6, dan terakhir
pada usia 12-15 bulan. Vaksin dini dapat diberikan bersamaan dengan
imunisasi rutin.
American Academy of Pediatrics (AAP) dan Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP) merekomendasikan penggunaan vaksin 23
valen

polisakarida

pada

anak

risiko

tinggi

untuk

memperluas

cakupan serotipe. Vaksinasi selektif pada anak usia 2-5 tahun yang tidak
punya daya tahan dianjurkan pada pasien dengan risiko tinggi menderita
penyakit invasif pneumokokus, termasuk penyakit sel sabit, HIV, dan
penyakit kronik lainnya. Vaksin pneumokokus konjugat sebaiknya
dimasukkan dalam strategi penatalaksanaan anak usia 2-5 tahun yang
menderita OMA rekuren. Anak tersebut memperoleh manfaat dari imunisasi
dengan vaksin 23-valen polisakarida ini, 8 minggu setelah menyelesaikan
paket vaksin konyugat pneumokokal.
Komplikasi
Komplikasi dari OMA dapat terjadi melalui beberapa mekanisme,
yaitu melalui erosi tulang, invasi langsung dan tromboflebitis. Komplikasi
ini dibagi menjadi komplikasi intratemporal dan intrakranial. Komplikasi
intratemporal terdiri dari mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, perforasi
pars tensa, atelektasis telinga tengah, paresis fasialis, dan gangguan
pendengaran. Komplikasi intrakranial yang dapat terjadi, yaitu meningitis,

encefalitis, hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural, empiema


subdural, dan trombosis sinus lateralis.
Komplikasi tersebut umumnya sering ditemukan sewaktu belum
adanya antibiotik, tetapi pada era antibiotik semua jenis komplikasi itu
biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari otitis media supuratif kronik
(OMSK). Penatalaksanaan OMA dengan komplikasi ini,yaitu dengan
menggunakan

antibiotik

spektrum

luas,

dan

pembedahan

seperti

mastoidektomi.

Tabel 1. Antibiotik yang direkomendasikan pada pasien yang diterapi


inisial dengan antibiotik atau yang telah gagal 48-72 jam pada terapi
inisial dengan observasi

American Academy of Pediatrics dan the American Academy of Family


Physicians (2004).

Algotitma terapi Otitis Media Akut

Kesimpulan :
1.

Pelaksanaan otitis media akut (OMA) meliputi observasi, terapi


simptomatis, antibiotik, timpanosintesis, miringotomi, dan pencegahan
dengan vaksin pneumococcus konjugat.

2.

Observasi merupakan pilihan terapi pada anak usia di atas 6 bulan pada
penyakit yang tidak berat atau diagnosis tidak pasti.

3.

Terapi simptomatis terutama untuk penanganan nyeri telinga.

4.

Penggunaan antihistamin, dekongestan, dan kortikosteroid sebagai


terapi tambahan pada OMA belum terdapat bukti yang meyakinkan.
Antibiotik diberikan pada anak di bawah usia 6 bulan, 6 bulan 2 tahun

5.

jika diagnosis pasti, dan untuk semua anak berusia lebih dari 2 tahun
degan infeksi berat.
6.

Timpanosintesis direkomendasikan pada anak bila tanda dan gejala


OMA menetap setelah 2 paket terapi antibiotik.

7.

Miringotomi hanya dilakukan pada kasus-kasus terpilih dan dilakukan


oleh ahlinya.

8.

Vaksin pneumococcus konjugat dapa diberikan untuk mencegah anak


menderita OMA.

B.

SINUSITIS
Tujuan Terapi

Mencegah kekambuhan dengan menghindari faktor pencetus


(misalnya dengan menghindari diri supaya tidak terserang pilek, atau
jika sudah terlanjur pilek sebaiknya segera berobat secara teratur,
minum obatnya sesuai anjuran dokter dan tidak sembarangan minum
antibiotik).

Membebaskan obstruksi

Mengurangi viskositas sekret

Mengeradikasi kuman.

Terapi Farmakologi

Gejala dapat sembuh sendiri dalam 48 jam, bila menetap atasi gejala,
perbaiki fungsi sinus, cegah komplikasi intrakranial, dan atasi
bakteri patogen.

Terapi utama adalah pemberian antibiotik. Untuk sinusitis tanpa


komplikasi gunakan amoksisilin atau ko-trimoksazol bila resisten
gunakan azitromisin, klaritromisin, sefuroksim, sefiksim, sefaklor,
fluorokuinolon : levoksasin, gantifloksasin.

Durasi terapi : 10-14 hari dan dapat diperpanjang s/d 30 hari.

Obat semprot vasokontriksi : fenileprin, oksimetazolin dapat


memperbaiki aliran. Tapi penggunaan tidak melebihi 72 jam agar
tidak terjadi toleransi.

Antihistamin tidak efektif untuk sinusitis.

Terapi Pokok
Terapi pokok meliputi pemberian antibiotik dengan lama terapi 10-14
hari, kecuali bila menggunakan azitromisin. Secara rinci antibiotik yang
dapat dipilih tertera pada tabel 3.1. Untuk gejala yang menetap setelah 1014 hari maka antibiotika dapat diperpanjang hingga 10-14 hari lagi. Pada
kasus yang kompleks diperlukan tindakan operasi.
Terapi Pendukung
Terapi pendukung terdiri dari pemberian analgesik dan dekongestan.
Penggunaan antihistamin dibenarkan pada sinusitis yang disebabkan oleh
alergi, namun perlu diwaspadai bahwa antihistamin akan mengentalkan
sekret. Pemakaian dekongestan topikal dapat mempermudah pengeluaran
sekret, namun perlu diwaspadai bahwa pemakaian lebih dari lima hari dapat
menyebabkan penyumbatan berulang.
Terapi Nonfarmakologi
Terapi non farmakologi sinusitis maksilaris kronis adalah dengan
terapi radikal dilakukan untuk mengangkat mukosa patologik dan membuat
drainase sinus yang terkena dengan cara operasi Caldwell-Luc. Bedah sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) dilakukan dengan cara membuka dan

membersihkan daerah

kompleks

ostiometal

yang menjadi

penyumbatan dan infeksi, sehingga sinus kembali normal.

sumber

C.

FARINGITIS
Pendahuluan
Faringitis adalah infeksi akut orofaring atau nasofaring yang
menghasilkan 1% sampai 2% dari semua kunjungan rawat jalan. Sementara
penyebab virus yang paling umum, Grup A Streptococcus hemolitik, atau
Streptococcus pyogenes, merupakan penyebab bakteri primer.
Virus (seperti rhinovirus, coronavirus, dan adenovirus) menyebabkan
sebagian besar kasus faringitis akut. Sebuah etiologi bakteri untuk faringitis
akut jauh lebih kecil kemungkinannya. Dari semua penyebab bakteri, Grup
A Streptococcus adalah yang paling umum (15% sampai 30% dari orangorang dari segala usia dengan faringitis), dan itu adalah sering terjadi
faringitis akut yang menggunakan terapi antimikroba untuk indikasinya.
Komplikasi

nonsupuratif

seperti

demam

akut

rematik,

glomerulonefritis akut, dan arthritis reaktif dapat terjadi sebagai akibat dari
faringitis dengan Grup A Streptococcus.
Presentasi Klinis
a.

Umum
Sakit tenggorokan onset mendadak yang sebagian besar diri terbatas.
Demam dan gejala konstitusional menyelesaikan dalam waktu sekitar
3-5 hari. Tanda-tanda dan gejala klinis yang sama untuk penyebab virus
serta bakteri penyebab non-Streptococcal.

b. Tanda dan gejala


-

Sakit tenggorokan

Nyeri pada menelan

Demam

Sakit kepala, mual, muntah, dan nyeri perut (terutama anak-anak)

Eritema atau radang amandel dan faring dengan atau tanpa eksudat
tambal sulam

Membesarnya kelenjar getah bening

Uvula merah bengkak, petechiae pada langit-langit lunak, dan ruam


scarlatiniform

Beberapa gejala yang tidak sugestif dari Grup A Streptococcus


adalah batuk, konjungtivitis, coryza, dan diare
Pedoman dari Infectious Disease Society of America, American

Academy of Pediatrics, dan American Heart Association menunjukkan


bahwa tes untuk Grup A Streptococcus dilakukan pada semua pasien
dengan tanda dan gejala. Hanya mereka dengan hasil positif untuk Grup
A Streptococcus memerlukan pengobatan antibiotik.
Pengobatan
Tujuan dari pengobatan faringitis adalah memperbaiki tanda-tanda
dan gejala klinis, meminimalkan efek samping obat, mencegah penularan
untuk menutup kontak, dan mencegah demam rematik akut dan komplikasi
supuratif seperti abses peritonsillar, limfadenitis serviks, dan mastoiditis.
Terapi farmakologi
1.

Terapi antibiotika ditujukan untuk faringitis yang disebabkan oleh


Streptococcus Grup A.
Antibiotika pada terapi Faringitis oleh karena Streptococcus Grup A

Lini
Pertama

Anak : 2-3 x 250 mg

Penisilin VK
Penisilin
pasien
dapat

Dewasa : 2-3 x 500 mg

(untuk

yang

tidak

menyelesaikan

1 x 1,2 juta U im

10 hari

1 dosis

terapi oral selama 10


hari
Amoksisilin
(klavulanat) 3 x 500
mg
Lini

Eritromisin

(untuk

Anak : 3x 250 mg
Dewasa : 3 x 500 mg
Anak : 4 x 250 mg

10 hari

10 hari

Kedua

pasien alergi penisilin)

Dewasa : 4x 500 mg

Azitromisin

1 x 500mg, kemudian

atau

klaritromisin

1x250mg selama

5 hari

4 hari berikutnya
Cefalosorin generasi 1
atau 2

Bervariasi sesuai agen

10 hari

Levofloksasin (hindari
untuk anak maupun
wanita hamil)

Pada pasien yang alergi terhadap penisilin, makrolida seperti


eritromisin atau sefalosporin generasi pertama dapat digunakan,
klindamisin (oral : anak 20 30 mg, dewasa 600 mg) ataupun
amoksisilin-klavulanat (oral : anak 40 mg, dewasa 3 x 500 mg). Jika
pasien tidak dapat menggunakan obat-obatan oral, intramuskular
penisilin benzatin G dapat digunakan.
2.

Terapi non-Streptococcus
Terapi faringitis non-Streptococcus meliputi terapi suportif
dengan menggunakan parasetamol atau ibuprofen, disertai kumur
menggunakan larutan garam hangat. Nyeri sering menjadi alasan utama
pasien untuk mengunjungi dokter, penekanan pada analgesik seperti
asetaminofen dan obat antiinflamasi nonsteroid membantu dalam
menghilangkan rasa sakit. Namun, asetaminofen adalah pilihan yang
dianjurkan atau lebih baik lebih baik karena ada beberapa obat
antiinflamasi nonsteroid dapat meningkatkan risiko untuk kerusakan
usus atau gejala keracunan.

3.

Terapi pendukung
-

Analgesik

Antipiretik

Kumur dengan larutan garam

Pelega tenggorokan atau tablet hisap untuk nyeri tenggorokan.

Terapi Non Farmakologi


-

Istirahat di tempat tidur sampai demam hilang

Diet makanan lunak

Banyak minum

Kompres leher dengan es bisa digunakan meredakan rasa sakit

Evaluasi Hasil Terapi


Sebagian besar kasus faringitis terbatas; Namun, terapi antimikroba
akan mempercepat resolusi bila diberikan lebih awal untuk kasus terbukti
disebabkan oleh grup A Streptococcus. Gejala umumnya menyelesaikan 3
sampai 4 hari bahkan tanpa terapi.

FARMAKOTERAPI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN BAWAH


A.

Asma
Tujuan Pengobatan Asma
Asma kronik :
1.

Mempertahankan tingkat aktivitas normal termasuk latihan fisik

2.

Mempertahankan fungsi paru-paru

3.

Mencegah gejala kronis dan yang mengganggu (batuk, kesulitan


bernafas malam hari)

4.

Mencegah memburuknya asma secara berulang dan meminimalisasi


kebutuhan masuk ICU

5.

Menyediakan farmakoterapi optimum dengan tidak atau sedikit efek


samping

6.

Memenuhi keinginan pelayanan terhadap pasien

Asma akut :
1.

Perbaikan hipoksemia

2.

Pembalikan cepat penutupan jalan udara

3.

Pengurangan kecendrungan penutupan aliran udara yang parah


timbul kembali

Terapi Non Farmakologi


1.

Edukasi pasien dan pengajaran keterampilan manajemen diri harus


menjadi landasan program pengobatan. Program manajemen diri
meningkatkan kepatuhan terhadap rejimen pengobatan, keterampilan
manajemen diri, dan penggunaan layanan kesehatan.

2.

Menghindari pemicu alergi yang dapat meyebabkan asma (debu,


hewan berbulu), mengurangi penggunaan obat-obatan.

3.

Pola hidup sehat (Menghentikan merokok, menghindari kegemukan,


kegiatan fisikmisalnya senam)

4.

Pemberian oksigen

5.

Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anakanak

6.

Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan


mengontrol asma

Terapi Farmakologi
1.

Agonis 2
Agonis bekerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol)
digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka
panjang terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan
ini juga dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi
oleh latihan fisik.

2.

Kortikosteroid
Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang
memerlukan

kortikosteoid

sistemik,

pasien

yang

mendapatkan

keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan asma


dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8 tahun, yaitu :
Beklometason, Budesonid, Flutikason, Flunisolid, Mometason

3.

Metilxhantin
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan
bronkospasme reversibel yang berkaitan dengan bronkitis kronik dan
emfisema, yaitu :

Aminofilin dapat diberikan melalui intravena lambat atau diberikan


dalam bentuk infus (biasanya dalam 100-200 mL) dekstrosa 5%
atau injeksi Na Cl 0,9%. Kecepatan pemberian jangan melebihi 25
mg/mL.

Teofilin, dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian


dosis berdasarkan respon klinik dan perkembangan pada fungsi
paru-paru.

4.

Antikolinergik

Ipratropium Bromida. Digunakan dalam bentuk tunggal atau


kombinasi dengan bronkodilator lain (terutama beta adrenergik)
sebagai bronkodilator dalam pengobatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan

penyakit paru-paru obstruktif kronik,

termasuk bronkhitis kronik dan emfisema. 2 inhalasi (36 mcg)


empat kali sehari. Pasien boleh menggunakan dosis tambahan
tetapi tidak boleh melebihi 12 inhalasi dalam sehari.

Tiotropium Bromida. Tiotropium digunakan sebagai perawatan


bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru obstruksi
kronis termasuk bronkitis kronis dan emfisema. Cara penggunaan
kapsul dihirup, satu kali sehari dengan alat inhalasi Handihaler.

5.

Kromolin Natrium dan Nedokromil

Kromolin Natrium. Asma bronchiale (inhalasi, larutan dan


aerosol) : sebagai pengobatan profilaksis pada asma bronkial.
Kromolin diberikan teratur, harian pada pasien dengan gejala
berulang yang memerlukan pengobatan secara reguler. Larutan
nebulizer : dosis awal 20 mg diinhalasi 4 kali sehari dengan

interval yang teratur. Efektivitas terapi tergantung pada keteraturan


penggunaan obat.

Nedokromil Natrium. Digunakan sebagai terapi pemeliharaan


untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma
ringan sampai sedang. Dosis dan cara penggunaan : 2 inhalasi,
empat kali sehari dengan interval yang teratur untuk mencapai
dosis 14 mg/hari.

Alogaritma Asma Akut di rumah


Perkiraan keparahan PEF < 50 %
Catatan tanda dan gejala : tingkat batuk, kesulitan bernafas, sesak
dada, terengah-engah dengan bertambah beratnya keparahan

Penanganan awal:
Agonis 2 pendek : hirup sampai 3 kali penanganan
dengan intervensi 3 menit atau penanganan sekali
dengan nebuliser

Respon baik, PEF > 80 %


Keparahan ringan tidak
terengah engah atau nafas
pendek respon terhadap
agonis 2 bertahan hingga 4
jam.
Angois 2 dilanjutkan setiap
3-4 jam selama 24-48 jam.
Untuk
pasien
dengan
kortikosteroid inhaler dosis
digandakan untuk 7 sampai
10 hari

Kontak klinis untuk


instruksi lebih lanjut

Respon sedang, PEF 50 %

Respon buruk PEF < 50 %

Nafas terengah engah pendek


presisten

Nafas terengah-engah atau


nafas pendek yang sangat
terlihat

- Tambah
oral

kortikosteroid

- Lanjutkan agonis

- Tambah
oral

kortikosteroid

- Ulangi
angois
secepatnya
Kontak klinis segera untuk
instruksi

- Jika penderita parah dan


tidak responsif

Bawa ke bagian gawat


darurat

Alogaritma Terapi di Rumah Sakit

Evaluasi Hasil Terapi


Asma Kronik

Kontrol asma bertujuan untuk mengurangi atau penurunan risiko.


Tindak lanjut sangat penting (pada interval 1 sampai 6 bulan,
tergantung pada kontrol).

Penilaian kontrol meliputi gejala, terbangun malam hari, gangguan


aktivitas normal, fungsi paru, kualitas hidup, eksaserbasi, kepatuhan,
efek samping terkait pengobatan, dan kepuasan dengan perawatan.
Kategori terkontrol dengan baik, tidak terkontrol dengan baik, dan
sangat tidak terkontrol dianjurkan. Kuesioner divalidasi dapat
diberikan secara teratur, seperti Assessment Questionnaire Terapi
Asma, Asma Kontrol Kuesioner, dan Asma Tes Kendali.

Tes spirometri direkomendasikan pada penilaian awal, setelah


pengobatan dimulai, lalu setiap 1 sampai 2 tahun. Pemantauan
puncak dianjurkan dalam sedang sampai asma persisten berat.

Pasien juga harus ditanya tentang toleransi latihan.

Semua pasien pada obat inhalasi harus menggunakan teknik inhalasi


mereka dievaluasi bulanan awalnya dan kemudian setiap 3 sampai 6
bulan.

Setelah memulai terapi antiinflamasi atau peningkatan dosis,


sebagian besar pasien harus mulai mengalami penurunan gejala
dalam 1 sampai 2 minggu dan mencapai perbaikan gejala maksimum
dalam waktu 4 sampai 8 minggu. Peningkatan FEV1 dasar atau PEF
harus mengikuti kerangka waktu yang sama.

Asma Akut

Pasien yang beresiko untuk eksaserbasi akut harus memantau arus


puncak di pagi hari di rumah.

Fungsi paru-paru, baik spirometri atau puncak arus, harus dipantau 5


sampai 10 menit setelah setiap pengobatan.

Saturasi oksigen dapat dengan mudah dipantau terus menerus


dengan pulse oximetry. Untuk anak-anak dan orang dewasa,

oksimetri pulsa, auskultasi paru-paru, dan observasi untuk retraksi


supraklavikula berguna.

Kebanyakan pasien merespon dengan jam pertama awal inhalasi agonis. Pasien tidak mencapai tanggapan awal harus dipantau setiap
0,5-1 jam

B.

Bronkitis
BRONKITIS AKUT
Tujuan Terapi
Membuat pasien nyaman dan pada kasus berat untuk mengobati dehidrasi
dan gangguan respirasi.
Pendekatan Umum
Terapi Farmakologi
Terapi simptomatis dan suportif. Antipiretik tunggal seringkali
cukup. Istirahat dan analgesik-antipiretik lemah sering dapat
mengatasi keluhan lemah dan demam. aspirin atau parasetamol (650
mg untuk dewasa dan/atau 10-15 mg/kgBB/dosis pada anak dengan
dosis harian maksimum dewasa 4 g dan anak-anak 60 mg/kg).
Atau gunakan ibuprofen 200-800 mg pada dewasa, anak 10 mg/kg
bb/dosis. Dosis maksimum dewasa 3,2 g dan 40 mg/kg/dosis pada
anak. Berikan setiap 4-6 jam.
Pasien dianjurkan untuk minum cairan untuk mencegah dehidrasi
dan kemungkinan penurunan sekresi respirasi dan kekentalan mukus.
pada anak pemberian aspirin harus dihindari karena adanya
hubungan antara penggunaan aspirin dengan munculnya sindroma
Reye. Parasetamol lebih dianjurkan.
Terapi embun dan/atau penggunaan uap dapat mengencerkan sekret.
Batuk ringan yang menetap yang mengganggu dapat diterapi dengan
dekstromethorphan. Terapi batuk yang lebih berat mungkin
membutuhkan kodein atau obat yang sejenis.

Penggunaan rutin antibiotik tidak dianjurkan, tetapi pada pasien


dengan demam menetap dan gejala pernafasan lebih dari 4-6 hari,
kemungkinan adanya infeksi bakteri harus dicurigai.
Bila mungkin terapi antibiotik ditujukan terhadap patogen yang
diantisipasi (misalnya Streptococcus pneumonia dan Haemophilus
influenzae) dan/atau bakteri yang dominan tummbuh pada kultur
kerongkongan.
M. pneumoniae bila dicurigai atau positif aglutinin dingin (titer
1:32) atau dipastikan oleh kultur/serologi. Terapi dengan eritromisin
atau analognya (klaritromisin atau azitromisin). Fluorokuinolon juga
menunjukkan aktivitas terhadap pathogen tersebut (misalnya
gatifloksasin atau levofloksasin dosis tinggi) dan dapat digunakan
pada orang dewasa.
Selama epidemik yang melibatkan virus untuk meminimkan gejalagejala terkait bila diberikan di awal penyakit.
BRONKITIS KRONIS
Tujuan Terapi
Mengurangi keparahan gejala dan menghilangkan kekambuhan akut
dan mencapai perpanjangan interval yang bebas infeksi.
Pendekatan Umum
Prinsip umum
Harus dinilai riwayat pekerjaan atau lingkungan untuk menetapkan
paparan yang mengganggu, gas mengiritasi seperti asap rokok.
Awali dengan harus menurunkan paparan terhadap iritan bronkus.
Pelembaban udara inspirasi dapat mengencerkan sekret yang kental
sehingga produksi sputum menjadi lebih efektif. Penggunaan aerosol
mukolitik (asetilsistein, deoksiribonuklease) nilainya masih belum
jelas.
Drainase postural mungkin membantu pengeluaran sputum.
Terapi Farmakologi
Pada eksaserbasi akut pemberian bronkodilator oral atau aerosol
seperti albuterol aerosol.

Untuk pasien yang secara konsisten tetap menunjukkan keterbatasan


dalam masuknya udara pernafasan, perubahan terapi bronkodilator
harus dipertimbangkan.
Penggunaan

antibiotik

masih

diperdebatkan,

walau

penting.

Pemilihan antibiotik sesuai dengan patogen, resiko interaksi rendah,


dan tidak menuimbulkan masalah kepatuhan.
Pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan resistensi patogen
terhadap penisilin, yaitu H. influenzae 30-40%, M. pneumoniae
penghasil B laktamase 95% dan s. pneumoniae 30%. Ampisilin
sering dipertimbangkan sebagai pilihan untuk bronkitis kronik
eksaserbasi akut, tetapi regimen dosis dan resisten terhadap
betalaktamase membatasi keamanan dan cost-effectiveness.
Bila mikoplasma terlibat dalam infeksi, penggunaan makrolid masih
diragukan. Azitromisin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan untuk
kasus mikoplasma.
Fluorokinolon antibiotik alternatif yang efektif untuk dewasa
terutama bila pathogen adalah gram negatif atau untuk pasien yang
parah. Beberapa S. pneumonii resisten terhadap fluorokinolon yang
generasi awal, sehinga dibutuhkan generasi yang lebih baru seperti
gatifloksasin.
Pada pasien yang mempunyai riwayat kekambuhan oleh karena
faktor pencetus kejadian tertentu seperti musim dingin, percobaan
profilaksis antibiotik mungkin bermanfaat. Bila tidak ada perbaikan
secara klinik, selama periode yang sesuai misalnya 2-3 bulan/tahun
untuk 2-3 tahun, terapi profilaksis dapat dihentikan.
Antibiotik yang umum digunakan dengan durasi 10-14 hari.
Antibiotik yang

Dosis lazim

dianjurkan

dewasa (g)

Ampisilin

0,25-0,5

Dosis/hari

Amoksisilin

0,5

Cefprozil

0,5

Cefuroksim

0,5

Ciprofloksasin

0,5-0,75

Gatifloksasin

0,4

Levofloksasin

0,5-0,75

Doksisiklin

0,1

Minosiklin

0,1

Tetrasiklin HCl

0,5

Amoksisilin-As.

0,5

160/800 mg

Klavulanat
Ko-trimoksazol

Obat Pengganti
Azitromisin

0,25-0,5

Eritromisin

0,5

0,25-0,5

Sefiksim

0,4

Sefaleksin

0,5

0,25-0,5

Klaritromisin

Sefaklor

C.

Pneumonia
Tujuan Terapi
Eradikasi patogen dan penyembuhan klinis.
Menurunkan morbiditas.
Pendekatan Umum
Tetapkan fungsi pernafasan, tanda-tanda sakit sistemik: dehidrasi,
sepsis kolaps.
Terapi suportif: oksigen, cairan pengganti bronkodilator, fisioterapi
dada, nutrisi, pengendalian demam.
Antibiotik empirik dengan antibiotik spektrum lebar. Bila kultur
diketahui, sempitkan spektrum. Antibiotik aerosol belum terbukti.
Pencegahan dengan vaksin terhadap S. pneumonia dan H. influenzae.

Evaluasi Terapi
Melakukan penilaian terhadap waktu hilangnya batuk, produksi sputum,
adanya gejala. Kemajuan dalam 2 hari pertama, dan lengkap hilang 5-7 hari.
Nk : SDP, ronsen, gas darah.

CONTOH KASUS
FINDING

ASSESMENT

Keluhan :

Bakteri penyebab :

Ibu Monalisa (49 tahun) datang ke RS dengan keluhan

Streptococcus

sudah hampir satu minggu ini hidung kanan yang Haemophilus

pnemoniae

(30-40%),

influnzae

(20-30%),

terasa berbau dan panas disertai sakit kepala yang Moxarella catarrhalis (12-20%) , lain2
cukup hebat. Sakit kepala yang dirasakan terutama seperti

Streptococcus

pyogenes,

dari sisi temporal lalu menjalar ke seluruh kepala, Staphylococcus aureus, bakteri anaerob.
sakit memberat jika menunduk. Ibu Monalisa juga

Tidak

merasakan seperti ada cairan yang mengalir dari


hidung bagian belakang sampai ke tenggorokan.

ada

riwayat

obat

yang

diberikan

Standar terapi yang diberikan pada

Sekarang gejala dirasakan bertambah dimana sekret

sinusitis dentogen yaitu diutamakan

keluar dari hidung kental berwarna kekuningan

antibiotik karena adanya infeksi

sampai hijau.

pada gigi geraham akibat bakteri

Riwayat lain :

yang mengakibatkan kelainan pada

dua hari yang lalu Ibu Monalisa mencabut gigi

gigi dan menimbulkan sinusitis tipe

geraham kanan atas dan geraham kiri bawah

dentogen.

Anamnesa

Pemeriksaan

Antibiotik utama yang digunakan

Laboratorium

yaitu

- Rasa nyeri di daerah - IgE spesifik (+)


wajah (-)
- Demam (-)
- Bersin bersin (-)
- Batuk

digunakan

- Jumlah eosinofil total

klaritromisin, sefuroksin, sefiksim,


sefaklor,

kali/menit

dari - Suhu tubuh 37,5 C

hidung ( - )
- Tekanan
160/100

fluorokuinolon

diperpanjang s/d 30 hari.


Obat semprot vasokonstriktor :
fenileprin,

oksimetazolin

memperbaiki
darah

Durasi terapi yang 1014 hari dapat

hidung

azitromisin,

levofloksasin, gantifloksasin.

- Rasa Berat / tekanan - Edema pd mukosa

- Perdarahan

atau

- IgE total (+)

(+) jika ada - Frekuensi nadi < 100

pada dada (+)

amoksisilin

kotrimoksazol bila resisten dapat

meningkat

factor pencetus

aliran.

dapat
Tapi

penggunaan tidak melebihi 72 jam


agar tidak terjadi toleransi

Antihistamin tidak efektif untuk


sinusitis.

RECOMMENDATION

MONITORING
-

Terapi Non Farmakologi


- Tidak minum es, air dingin dan makanan yang

Kondisi pasien setelah mengonsumsi


obat

pseudoefedrin

yang

telah

pedas atau panas karena dapat memicu keluarnya

diberikan terhadap tekanan darah

secret berlebih, air dingin dapat berpengaruh

pasien apabila semakin tinggi maka

terhadap infeksi gigi.

dihentikan.

- Istirahat yang cukup apabila terjadi sakit kepala yang hebat .

Pengamatan gejala efek samping yang


mungkin terjadi, misal : gangguan

Terapi Farmakologi

saluran cerna akibat amoksisilin.

- Amoksisilin (amoksisilin trihidrat setara dengan -

Pemeriksaan

amoksisilin anhidrat 250 mg/kapsul).

gejala

yang

dialami

pasien apakah semakin berkurang atau

- Dosis : 250- 500 mg tiap 8 jam atau 3x1 kapsul

bertambah setelah mengonsumsi obat

- Indikasi : infeksi saluran pernafasan, H.influenzae,

yang diberikan.

streptococcus, S. pneumonia,

- ESO : gangguan saluran cerna, seperti mual


muntah dan diare. reaksi hipersensitivitas,

Dilakukan pemeriksaan laboratorium ,


dilihat

perubahan

yang

terjadi.

Seperti IgE yang spesifik dan total

- Amoksisilin ini digunakan untuk mengobati infeksi

apakah masih tetap memberikan hasil

akibat bakteri akibat gigi geraham kanan atas yang

(+), jumlah eosinofil total, frekuensi

dicabut dan mengakibatkan sinusitis dentogen.

nadi.

Untuk

mengurangi

volume

mukosa

dan

mengurangi penyumbatan hidung dapat digunakan:

Decolgen fx (asetaminofen 250 mg,


pseudoefedrin HCL 30mg, klorfeniramin
maleat 2 mg).

Dosis : 3x1 tab

Indikasi : meringankan gejala flu seperti


demam, sakit kepala hidung tersumbat

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics and American Academy of Family Physicians.


Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. Clinical Practice
Guideline. Pediatrics 2004; 113(5): 1451-1465.
American Academy of Pediatrics. Comminttee On Infectious Diseases. Policy
Statement : Recommendations for The Prefention of Pneumococcal
Infections, Including The Use of Pneumococcal Conjugate Vaccine,
Pneumococcal Polysaccharide Vaccine, And Antibiotic Prophylaxis.
Pediatrics 2000; 106 (2 Pt 1) : 362-6.
Anonim. 2009. Applied Therapeutics : The Clinical Use of Drugs, 9th Edition.
Philadelphia : Wolters Kluwer Health.
Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : Medica
Aesculpalus, FKUI.
Bluestone CD. Definition, Terminology, and Classification. In : Rosenfeld RM,
Bluestone CD, eds. Evidence-Based Otitis Media. 2nd Edition. Ontario: BC
Decker Inc; 2003. p. 120-135.
Dipiro, Joseph T. 2005. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach,6th
Edition. New York : McGraw Hill Medical.
Dipiro, Joseph T. 2008. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, 7th
Edition. New York : McGraw Hill Medical.
Finkelstein JA, Stille CJ, Rifas-Shiman SL, Goldman D. Watchful Waiting for
Acute Otitis Media : Are Parents And Physicians Ready? pediatrics
2005;115:1466-73.
Hoberman A., Paradise JL, Rockette HE, Shaikh N, Wald ER, Kearney DH, et. al.
Treatment of Acute Otitis Media In Children Under 2 Years of Age. N.
England J. Med. 2011; 364(2): 105-115.

Hunt CE, Lesko SM, Vezina RM, McCoy R, Corwin MJ, Mandell F., et. al. Infant
Sleep Position and Associated Healh Outcomes. Arch Pediatr Adolesc Med.
2003; 157: 469-74.
Munilson, Jacky, dkk. Penatalaksanaan Otitis Media Akut. Bagian Telinga
Hidung dan Tenggorokan Bedah Kepala Leher (THT-KL). Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas, Padang.
Ozkan Metin. Upper Respiratory Infection.e-medicine.
Pichichero ME. First Line Treatment of Acute Otitis Media. In : Alper CM,
Bluestone CD, Caselbrant ML, Dohar JE, Mandel EM, editors. Advanced
Therapy of Otitis Media. Hamilton : BC Decker Inc; 2004. p. 32-8.
Schilder AGM. Management of Acute Otitis Media Without Antibiotics. In : Alper
CM, Bluestone CD, Caselbrant ML, Dohar JE, Mandel EM, editors.
Advanced Therapy of Otitis Media. Ontario : BC Decker Inc; 2004. p.44-8.
Siegel RM, Kiely M, Bien JP, Joseph EC, Davis JB, Mendel SG, et. al. Treatment
of Otitis Media With Observation and A Safety-Net Antibiotic Prescription.
Pediatrics 2003; 112 : 527-31.
Spiro DM, Tay, KY, Arnold DH, Dziura JD, Baker MD, Shapiro ED. Wait and
See Prescription for The Treatment of Acute Otitis Media. A Randomized
Controlled Trial. JAMA 2006; 296(10): 1235-41.
Sukandar, Elin Yulinah., dkk. 2012. ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI
Penerbitan.

Anda mungkin juga menyukai