Anda di halaman 1dari 6

Kasus 2 : Penderita wanita usia 30 tahun datang karena bengkak pada pipi sebelah kiri.

Timbul nyeri 3 hari yang lalu dan bengkak baru hari ini. Selama ini penderita belum minum obat. Penderita saat ini hamil trimester 1.

Pertanyaan : A. Perlukah penderita tersebut diberikan antibiotik? B. Jika perlu, antibiotik apa yang akan saudara berikan?

Jawaban : A. Perlu Antibiotika banyak digunakan secara luas pada kehamilan. Karena adanya efek samping yang potensial bagi ibu maupun janinnya, penggunaan antibiotika seharusnya digunakan jika terdapat indikasi yang jelas. Prinsip utama pengobatan wanita hamil dengan penyakit adalah dengan memikirkan pengobatan apakah yang tepat jika wanita tersebut tidak dalam keadaan hamil. Biasanya terdapat berbagai macam pilihan, dan untuk alasan inilah prinsip yang kedua adalah mengevaluasi keamanan obat bagi ibu dan janinnya (Yankowitz, 2001). Pemilihan bahan terapeutik untuk anestesi lokal, sedasi, kontrol nyeri pascaoperasi dan perawatan infeksi biasanya tanpa pertimbangan. Untuk orang dewasa muda sehat, praktisi dental biasanya akan memilih lidokain hidroklorida dengan epinefrin, diazepam, kodein dengan asetaminofen dan penisilin Vpotasium. Penggunaan bahan alternatif mungkin diperlukan untuk pasien yang memiliki riwayat alergi obat atau yang secara medis memerlukannya, yang terlalu muda atau tua, yang sedang menerima pengobatan secara bersamaan atau yang hamil. Dalam kasus pasien hamil, praktisi dental harus menetapkan bahwa manfaat potensial terapi gigi yang dibutuhkan untuk perawatan ibu hamil masih lebih besar dibanding risikonya terhadap janin (Paul, 2009). Meskipun prosedur perawatan gigi yang paling tepat dapat ditunda hingga kehamilan berakhir, perawatan dental untuk wanita hamil yang mengalami rasa nyeri pada mulut, penyakit atau infeksi parah tidak boleh ditunda. Telah diketahui bahwa tidak satupun dari obat yang digunakan untuk merawat rasa nyeri

dan infeksi sepenuhnya tanpa risiko. Namun akibat yang ditimbulkan dari tidak dirawatnya infeksi selama kehamilan melebihi risiko yang mungkin ditimbulkan oleh sebagian besar obat-obatan yang dibutuhkan untuk perawatan gigi (Paul, 2009). Namun, penggunaan antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi ataupun profilaksis. Pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan pada ibu hamil seharusnya didasarkan atas uji kepekaan di laboratorium untuk menentukan secara tepat jenis antibotika yang diperlukan dengan

mempertimbangkan pula efek toksik terhadap ibu maupun efek teratogenik terhadap janin dalam rahim. Selain itu penentuan dosis antibiotika juga harus mempertimbangkan perubahan farmakokinetik yang sesuai dengan perubahan fisiologik pada ibu hamil. Kondisi fisiologik ibu hamil akan sangat menentukan apakah sebaiknya obat yang diberikan peroral atau parenteral dan dosis yang diberikan lebih tinggi atau sama dengan ibu yang tidak hamil. Barier plasenta merupakan salah satu perlindungan agar janin seminimal mungkin mendapatkan efek samping obat. Dalam hal ini harus dipertimbangkan usia hamil saat mendapatkan antibiotika, oleh karena pada fase embrio (2-8 minggu) barier plasenta ini sangat lemah (masa kritis) dan meningkat sampai pada puncaknya pada waktu janin usia 21-28 minggu, setelah itu akan menurun lagi sampai aterm (Harry, 2007).

B. Pada tahun 1980, Food and Drug Administration memperkenalkan 5 kategori untuk obat-obat yang diberikan selama kehamilan. Lima kategori itu adalah (Yankowitz, 2001) : 1. Kategori A : Obat-obat yang menurut studi terkontrol tidak menimbulkan resiko pada janin 2. Kategori B : Untuk obat-obat yang berdasarkan studi pada binatang dan manusia tidak menunjukkan resiko yang bermakna. Termasuk disini adalah : 1. Dari studi pada binatang tidak menunjukkan resiko, tetapi belum ada studi pada manusia mengenai hal tersebut

2. Dari studi pada binatang menunjukkan adanya resiko, tetapi dari hasil studi yang terkontrol baik pada manusia menunjukkan tidak adanya resiko 3. Kategori C : Untuk obat-obat yang belum didukung studi adekuat, baik pada binatang maupun pada manusia atau obat-obat yang menunjukkan efek yang merugikan pada studi binatang tetapi belum ada studi pada manusia 4. Kategori D : Untuk obat-obat yang ada bukti resikonya pada janin tetapi manfaatnya jauh lebih besar 5. Kategori X : Untuk obat-obat yang terbukti mempunyai resiko terhadap janin dan resiko itu lebih berat daripada manfaatnya. Antibiotika tidak ada yang termasuk kategori X. Umumnya masuk kategori B, kecuali beberapa yang masuk kategori C atau D. Telah disebut

sebelumnya bahwa antibiotika yang bebas yang mempunyai efek farmakologis dan mampu ditransfer melalui plasenta untuk selanjutnya terdistribusi dalam tubuh janin. Obat yang berada di dalam tubuh janin inilah yang bisa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin (Pedler, 2000). Menurut Eriksson dkk, ada 4 prinsip teratogenik yang menyebabkan suatu antibiotika bisa menimbulkan efek teratogenik yaitu (Yankowitz, 2001) : 1. Sifat antibiotika dan kemampuannya untuk memasuki tubuh janin 2. Saat obat bekerja 3. Kadar dan lama pemberian (dosis) 4. Kesempurnaan genetik janin Jenis penisilin dan sefalosporin merupakan anti biotik yang sangat lazim digunakan di bidang kedokteran gigi, yaitu penisilin V-potasium, amoksisilin dan sefaleksin, umumnya dianggap aman diberikan selama kehamilan. Klindamisin, metronidazol dan erotromisin juga diyakini mempunyai risiko yang kecil. Eritromisin estolat mungkin lebih cenderung menyebabkan toksisitas hepatik pada pasien hamil dan karenanya tidak dianjurkan. Masalah paling besar sehubungan penggunaan antibiotik adalah mengenai bahan-bahan antibiotik yang indikasinya terbatas di bidang kedokteran gigi. Aminoglikosida, misalnya gentamisin, dapat

menyebabkan toksisitas pada janin jika diberikan pada akhir kehamilan. Tetrasiklin, termasuk doksisiklin hiklat, telah ditunjukkan berdampak

menyebabkan diskoloraasi gigi dan penghambatan perkembangan tulang pada janin. Kloramfenikol tidak boleh diberikan selama kehamilan karena akan menyebabkan toksisitas pada ibu dan kegagalan sirkulasi pada janin yang di sebut gray syndrome (Paul, 2009).

Penisilin
Penisilin adalah antibiotika yang termasuk paling banyak dan paling luas dipakai. Obat ini merupakan senyawa asam organik, terdiri dari satu inti siklik dengan satu rantai samping. Inti sikliknya terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam. Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang dapat mengikat berbagai jenis radikal (Jawet, 1998).

Mekanisme kerjanya dengan menghambat pembentukan dinding sel mikroba yaitu dengan menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba (Tait, 2004). Mikroba yang memproduksi enzim betalaktamase resisten terhadap beberapa penisilin karena enzim tersebut akan merusak cincin betalaktam dan akhirnya obat menjadi tidak aktif (Jawet, 1998). Setelah pemberian parenteral, absorpsi penisilin terjadi cepat dan komplit. Pada pemberian peroral hanya sebagian obat yang diabsorpsi tergantung dengan stabilitas asam, ikatan dengan makanan dan adanya buffer. Untuk mengatasi hal itu pemberian peroral sebaiknya dilakukan 1 jam sebelum makan (Jawet, 1998). Penisilin mempunyai batas keamanan yang lebar. Pemberian obat ini selama masa kehamilan tidak menimbulkan reaksi toksik baik pada ibu maupun

janin, kecuali reaksi alergi. Kadar penisilin di dalam serum wanita hamil lebih rendah daripada wanita yang tidak hamil, sedang clearancenya lewat ginjal lebih tinggi selama masa kehamilan (Jawet, 1998). Pemberian pada wanita hamil untuk golongan penisilin dengan ikatan protein yang tinggi, misal oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin dan nafsilin akan menghasilkan kadar obat di dalam cairan amnion dan jaringan di dalam tubuh janin yang lebih rendah dibandingkan bila yang diberikan adalah golongan penisilin dengan ikatan protein yang rendah seperti ampisilin dan metisilin (Jawet, 1998). Dari semua antibiotika, hanya tetrasiklin yang terbukti punya efek merugikan pada janin bila dipakai sepanjang masa kehamilan. Adapun antibiotika yang mempunyai efek atau potensi merugikan pada janin ialah : Tetrasiklin, aminoglikosid (khususnya streptomisin), sulfonamid, kloramfenikol, isoniazid, metronidazol, nitrofurantoin.

Sefalosporin Antibiotik turunan sefalosporin merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi. Antibiotik ini mempunyai spektrum antibakteri yang luas dan lebih resisten terhadap -laktamase daripada penisilin. Pasien yang alergi terhadap penisilin biasanya tahan terhadap antibiotik ini (Sudjadi, 2008). Sefalosporin termasuk antibiotika beta laktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan sebagai berikut : spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterokoki dan kuman-kuman anaerob. resisten terhadap penisilinase asal stafilokoki, tetapi tetap tidak efektif terhadap stafilokoki yang resisten terhadap metisilin (MRSA) (Tjay & Kirana, 2007). Mekanisme kerja Sefalosporin biasanya bakterisida terhadap bakteri rentan dan bertindak dengan sintesis mucopeptide penghambat pada dinding sel sehingga penghalang yang rusak dan tidak stabil spheroplast osmotically. Mekanisme yang tepat untuk

efek ini belum pasti ditentukan, tetapi antibiotik beta-laktam telah ditunjukkan untuk mengikat beberapa enzim (carboxypeptidases, transpeptidases, endopeptidases) dalam membran sitoplasma bakteri yang terlibat dengan sintesis dinding sel. Afinitas yang berbeda bahwa berbagai antibiotic beta-laktam memiliki enzim tersebut (juga dikenal sebagai mengikat protein penisilin; PBPs) membantu menjelaskan perbedaan dalam spektrum aktivitas dari obat yang tidak dijelaskan oleh pengaruh beta-laktamase. Seperti antibiotik beta-laktam lainnya, sefalosporin umumnya dianggap lebih efektif terhadap pertumbuhan bakteri aktif. Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

Gondo, Harry Kurniawan. 2007. PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA KEHAMILAN. wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 57-62 Jawet E. 1998. Prinsip kerja obat antimikroba. In : Katzung B, eds. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta : EGC, 699-751 Paul A. Moore. 2009. Pemilihan Obat Untuk Pasien Hamil Di Bidang Kedokteran Gigi. Pedler S, Orr K. 2000. Bacterial, fungal and parasitic infections. In : Baron W, Lindheimer M, Davison J, eds. Medical disorders during pregnancy. London : Mosby, 411-418 Yankowitz J. 2001. Use of medications in pregnancy : General principles, teratology, and current developments. In : Yankowitz J, Niebyl J, eds. Drug therapy in pregnancy. London : Lippincott Williams & Wilkins, 1-19 Tait M. 2004. Preparat antimikroba. In : Jordan S. Farmakologi kebidanan. Jakarta : EGC, ; 309335

Anda mungkin juga menyukai