Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH PSIKOLOGI, KOMUNIKASI DAN

KONSELING
Konseling Penggunaan Antibiotik Eritromisin

OLEH :
Refsya Azanti Putri
1311011054
Kelas A

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
PENDAHULUAN

Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit


terbanyak. Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang bijak akan
meningkatkan kejadian resistensi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa telah
muncul mikroba resisten antara lain Methicillin Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA), resistensi multi obat pada penyakit tuberkulosis (MDR TB) dan lain-lain.
Dampak resistensi terhadap antibiotik adalah meningkatnya morbiditas, mortalitas
dan biaya kesehatan. Selain itu, penggunaan antibiotik yang tidak tepat oleh pasien
meliputi: ketidakpatuhan pada regimen terapi dan swamedikasi antibiotik dapat
memicu terjadinya resistensi (KemenKes RI, 2011).

Resistensi tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat diperlambat melalui


penggunaan antibiotik yang bijak. Hal tersebut membutuhkan kebijakan dan program
pengendalian antibiotik yang efektif. Dalam hal ini Apoteker diharapkan dapat
berperan aktif dalam memberikan informasi, konseling dan edukasi kepada pasien
secara individu ataupun kepada masyarakat secara umum. Sehingga apoteker dapat
menjalankan perannya sebagai communicator dalam mewujudkan The Nine-Star
Pharmacist (KemenKes RI, 2011)
TEORI

ANTIBIOTIKA ERITROMICIN

1. Kelas dan Kategori Obat


Golongan antibiotik : Makrolida
Kelas Terapi : Agen Anti jerawat, antibiotik
Katerogi obat pada wanita hamil : B (Jones, 2011)
2. Indikasi dan Dosis
a. Oral/Intravena : Pengobatan infeksi pada saluran pernafasan, kulit, dan
penyakit transmisi secara seksual karena susceptible organisme,
pengobatan pertussis, amebiasis usus, konjungtivitis infant, mencegah
serangan rematik, mencegah bakteri endocardisis, pengobatan otitis media
akut.
b. Opthalmic (Mata) : infeksi mata akibat strain mikroba.
c. Topikal : profilaksis infeksi pada luka, abrasi kulit dan pengobatan acne
vulgaris.
d. Unlabeled use : pengobatan Neisseria gonorrhoeae pada kehamilan,
pengobatan diare akibat Campylobacter jejuni; sebagai alternatif penisilin
pada infeksi tertentu. (David, 2003)
3. Mekanisme Kerja
Berikatan dengan subunit ribosom 50S pada bakteri aerom, anaerob, gram
positif dan gram negatif. Aktifitas dengan menghambat sintesis protein pada
RNA dalam sel bakteri yang menyebabkan kematian sel bakteri (Jones, 2011).
4. Kontraindikasi
Hipersensitivitas pada eritromisin atau antibiotik makrolida, penyakit hati
(eritromisin estolate), epitelial herpes simplex, penyakit jamur pada mata,
varisella (penggunaan untuk mata) (David, 2011).
5. Interaksi
Antikoagulan: meningkatkan efek antikoagulan.
Antihistamin, non sedatif (astemizol, terfenadin): meningkatkan level
antihistamin dan menyebabkan efek kardiovaskular yang serius, seperti
aritmia ventrikular dan kematian.
Bromokriptin: meningkatkan level bromokriptin serum.
Karbamazepin: menyebabkan toksisitas karbamazepin.
Klindamisin, topikal: antagonis dengan eritromisin topikal.
Siklosporin: meningkatkan kadar siklosporin dengan toksisitas ginjal.
Digoksin: meningkatkan kadar digoksin.
Lovastatin: menyebabkan miopati atau rabdomiolisis.
Metilprednisolon: menurunkan klirens metilpresdnisolon.
Teofilin: meningkatkan konsentrasi plasma teofilin. (David, 2003)
6. Efek Samping Obat
Sistem Saraf Pusat : lelah, demam, malaise, lemas
Kardioventrikular : Ventrikular aritmia
Pendengaran : Gangguan pendengaran, kandidiasis oral
GI : kram perut dan nyeri, diare, hepatotoksik, mual, muntah
Kulit: Eritema, jaundice, pruritis, ruam
Lainnya : Kandidiasis vagina, gejala myasthenia gravis. (Jones, 2011)
7. Peringatan
Kategori kehamilan : B
Laktasi : Diekskresikan pada ASI.
Terapi acne : Efek iritasi mungkin terjadi.
Gangguan Hati : Penggunaan obat dengan peringatan menyebabkan disfungsi
hati dengan atau tanpa jaundice.
Hipersensitivitas : Reaksi serius meliputi anafilaksis.
Ototoksisitas : Mungkin terjadi terutama pada pasien dengan gangguan hati
atau ginjal dan pasien dengan pemberian dosis besar.
(David, 2003)
PEMBAHASAN

Pengendalian resistensi antibiotik memerlukan kolaborasi berbagai profesi


kesehatan antara lain dokter, ahli mikrobiologi, perawat dan apoteker. Apoteker
sebagai salah satu tenaga kesehatan dapat memberikan kontribusi melalui pelayanan
KIE pada pasien pengguna antibiotik sebagai terapi infeksi. Salah satu bentuk
komunikasi dari KIE itu sendiri yakni konseling penggunaan obat pasien (KemenKes,
2011).
Hal ini bertujuan untuk :
1. Menekan resistensi antibiotik
2. Mencegah toksisitas akibat penggunaan antibiotik
3. Menurunkan resiko infeksi nosokomial
4. Mendorong penggunaan antibiotik secara bijak
5. Menurunkan transmisi infeksi melalui pengendalian infeksi.

Apoteker di rumah sakit dapat memberikan edukasi dan konseling pada pasien rawat
inap, rawat jalan, perawatan di rumah (home pharmacy care) dan keluarga
pasien/pelaku rawat (care giver) mengenai :

a. Kepatuhan dalam menggunakan antibiotik yang diresepkan.


b. Penyimpanan antibiotik
c. Prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi

Apoteker juga memberikan informasi kepada dokter/perawat tentang antibiotik.


Informasi yang diberikan antara lain tentang seleksi, regimen dosis, rekonstitusi,
pengenceran/pencampuran antibiotik dengan larutan infus dan penyimpanan
antibiotik (KemenKes, 2011)

Pemberian informasi meliputi :

a. Tujuan terapi
b. Cara penggunaan yang benar dan teratur
c. Tidak boleh berhenti minum antibiotik tanpa sepengetahuan dokter/apoteker
(harus diminum sampai habis kecuali jika terjadi reaksi obat yang tidak
diinginkan).
d. Reaksi obat yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi serta tindakan yang
harus dilakukan.
e. Cara penyimpanan.

Pemberian informasi oleh apoteker dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Informasi tertulis tentang antibiotik dibuat oleh Unit Pelayanan Informasi Obat
(PIO) di rumah sakit (KemenKes,2011)

KONSELING

Konseling terutama ditujukan untuk :

a. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan antibiotik.


b. Mencegah timbulnya resistensi bakteri
c. Meningkatkan kewaspadaan pasien/keluarga terhadap efek samping yang
mungkin terjadi.
d. Konseling tentang penggunaan antibiotik dapat diberikan pada
keluarga/pasien rawat jalan maupun rawat inap secara aktif di ruang konseling
khusus untuk menjamin privacy pasien.
Setelah diberikan konseling dilakukan evaluasi pengetahuan pasien untuk
memastikan pasien memahami informasi yang telah diberikan. Bila perlu, dilengkapi
dengan informasi tertulis (leaflet atau booklet) (KemenKes, 2011).

Berikut beberapa konseling yang harus diberikan pada pasien yang


menggunakan antibiotik eritromisin :
1. Obat antibiotik eritromisin harus dikonsumsi hingga habis dengan interval
pemberian obat yang tepat.
2. Antibiotik hanya dapat dikonsumsi jika diresepkan dokter, pasien tidak
diizinkan membeli antibiotik atas kehendak sendiri.
3. Memberikan informasi bahwa penggunaan antibiotik dapat menyebabkan
peningkatan kardiotoksis yaitu : perpanjangan interval QT dan ventricular taki
distritmia. Jika terjadi hal tersebut hentikan penggunaan eritromisin.
4. Selain itu penggunaan antibiotik eritromisin dapat menyebabkan efek samping
mual dan cholestatic jaundice terutama dengan estolat dan menyebakan
ototoksisitas pada dosis tinggi pasien yang mengalami gangguan ginjal dan
hati.
5. Sarankan pada pasien untuk mengkonsumsi obat dengan segelas air 1-2 jam
setelah makan. Jika terdapat gangguan lambung dapat diberikan dengan
makanan atau susu. Jangan biarkan pasien mengunyah tablet atau mengemut
tablet.
6. Beritahu pasien untuk penggunaan mata dapat menyebabkan pandangan kabur
sementara. Dan nasehati pasien jika terdapat kemerahan, iritasi atau nyeri
segera beritahu dokter.
7. Gunakan obat 1 jam sebelum berkendara.
8. Jika digunakan secara topikal sarankan pada pasien untuk menghindari
paparan sinar matahari atau gunakan sunscreen untuk mencegah reaksi
fotosensitivitas.
9. Pasien hamil dan menyusui harus diberi peringatan karena obat disekresikan
pada ASI.
PENUTUP

KESIMPULAN

Penggunaan antibiotik apapun jenisnya harus didasarkan atas resep dokter.


Dan penggunaan antibiotik oleh pasien harus dikonsumsi hingga habis. Khusus
antibiotik eritromisin, pasien harus waspada efek samping berupa ototoksisitas, mual,
taki aritmia dan cholestatic jaundice. Untuk itu pasien perlu diberikan konseling
terhadap efek samping yang mungkin terjadi. Eritromisin sebaiknya dikonsumsi 1-2
jam setelah makan.
DAFTAR PUSTAKA

David S. Tatro. 2003. A to Z Drug Fact. San Francisco: Facts and Comparisons.

Jones dan Bartlett. 2011. Nurses Drug Handbook. United Kingdom: Jones and
Bartlett Learning

KemenKes RI. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik.


Jakarta: KemenKes RI

Anda mungkin juga menyukai