Anda di halaman 1dari 6

RESISTENSI ANTIBIOTIK,

BERBAHAYAKAH!!!

Resistensi antibiotik adalah salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global saat
ini. Resistensi antibiotik terjadi secara alami, namun penyalahgunaan antibiotik pada manusia
terbukti mempercepat proses tersebut. Penggunaan antibiotik tak tepat atau tak sesuai indikasi
medis menyebabkan kuman penyebab penyakit kebal terhadap obat antibiotik. Akibatnya,
pengobatan menjadi lebih lama dan lebih sulit dilakukan. Sejak dulu dokter selalu
mengimbau untuk menghabiskan dosis antibiotik yang diberikannya. Tujuannya adalah untuk
menghindari terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik sehingga pengobatan yang
selanjutnya lebih cepat dilakukan. Namun ternyata, antibiotik tidak selamanya harus
dihabiskan. Pasalnya, menghabiskan dosis antibiotik yang tidak tepat sasaran justru akan
mempercepat resistensi bakteri.

Resistensi antibiotik, yang telah diperingatkan WHO, sekarang telah terjadi di seluruh
dunia, sehingga menyebabkan pasien berada dalam kondisi medis yang lebih buruk dan
resiko kematian yang lebih tinggi, dan pada saat yang sama meningkatkan beban pada sistem
kesehatan. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2007 di Eropa Barat,
kasus kematian akibat masalah ini mencapai 25 ribu kasus per tahun. Di Thailand, kasus
kematiannya mencapai 38 ribu per tahun dan di Amerika Serikat mencapai 23 ribu per tahun.
Pada 2014 terdapat 480.000 kasus baru di dunia dan 700 ribu kematian pertahun terjadi
akibat bakteri kebal terhadap antibiotik. Sementara, di Indonesia masih belum diketahui data
pastinya. Namun, diperkirakan, datanya mencapai lebih dari 135 ribu kematian per tahun.

Berdasarkan laporan Review on Antimicrobial Resistance memperkirakan bahwa jika


tidak ada tindakan secara global yang efektif, resistensi bakteri terhadap obat akan mem-
bunuh 10 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahunnya pada 2050. Angka tersebut melebihi
kematian akibat kanker, yakni 8,2 juta jiwa per tahun. Data ini menunjukkan resistensi
antibiotik memang telah menjadi masalah yang harus segera diselesaikan dan perlu
peningkatan kesadaran di masyarakat mengenai resistensi antibiotik.
Menurut Ari, kondisi ini berbahaya karena seseorang kebal dengan antibiotik tertentu
yang membuatnya sulit disembuhkan. "Mau diobatin jadi kebal kan, ini yang membuat
seseorang tak kunjung sembuh penyakitnya padahal sudah minum obat," kata Ari yang
menjadi Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) .
Para ahli kesehatan sebelumnya memperingatkan bahaya besar resistensi antibiotik, dengan
penggunaan terus menerus selama 20 tahun. Akibatnya, manusia kehilangan kemampuan
memerangi infeksi.

Resistensi antibiotik merupakan ancaman nyata bagi pengobatan modern. Ancaman


kian serius akibat penggunaan antibiotik yang digunakan untuk berbagai infeksi
ringan. Kebiasaan masyarakat mengonsumsi antibiotik secara bebas tanpa resep dokter juga
menyebabkan bakteri penyebab penyakit kebal pada antibiotik. ”Diperkirakan, 50 persen
antibiotik diberikan pada kasus tak perlu, seperti penyakit infeksi karena virus,” kata Chairul
Radjab Nasution, Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan. Padahal,
menurut Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan Bayu Teja Muliawan,
antibiotik termasuk obat keras. Karena itu, pemakaiannya harus dengan resep dokter.

Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Anis Karuniawati


mengatakan, penyakit infeksi yang disebabkan bakteri bisa diatasi dengan memberi
antibiotik. Akan tetapi, tak semua penyakit infeksi disebabkan bakteri. Ada penyakit infeksi
yang disebabkan virus. Kini apa pun penyakit infeksinya, orang cenderung mengonsumsi
antibiotik. Padahal, penggunaan antibiotik tak tepat akan membuat bakteri kebal sehingga
pengobatan menjadi lebih lama dan lebih sulit dilakukan.

Bagaimana jika suatu hari antibiotik tidak lagi efektif melawan bakteri? Hal ini
sungguh mengkhawatirkan, mengingat selama ini antibiotik merupakan obat yang menjadi
andalan dalam mengobati berbagai jenis penyakit yang disebabkan bakteri, mulai dari infeksi
kulit dan telinga hingga infeksi darah yang mengancam jiwa.

Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan


irasional. Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima antibiotik
sebagai pengobatan ataupun profilaksis. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk
kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya
infeksi virus. Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, dr. Hari Paraton, Sp.OG(K) mengatakan penggunaan
antibiotik yang tidak bijak dan tidak sesuai Indikasi, jenis, dosis dan lamanya, serta
kurangnya kepatuhan penggunaan antibiotik merupakan penyebab timbulnya
resistensi.Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya resistensi, antara lain:
1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis yang
terlalu rendah, diagnose awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat.
2. Faktor yang berhubungan dengan pasien . Pasien dengan pengetahuan yang salah
akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit
meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak
dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan financial yang baik akan meminta
diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan.
Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self
medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan financial yang rendah seringkali
tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.
3. Peresepan : dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care expenditure
dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose
awal belum pasti.
4. Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi,
penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
5. Penggunaan di rumah sakit : adanya infeksi endemic atau epidemic memicu
penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsal-bangsal rawat inap terutama
di intensive care unit.
6. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta
didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga
jumlah antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat
luas terhadap antibiotika
7. Penelitian : kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan
antibiotika baru (Bisht et al,2009)
8. Pengawasan : lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan
pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan
antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya
komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun
mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011).
Resistensi antibiotik juga menimbulkan beberapa konsekuensi yang fatal. Penyakit
infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang gagal berespon terhadap pengobatan
mengakibatkan perpanjangan penyakit (prolonged illness), kekebalan tubuh menurun,
penularan bakteri lebih cepat, meningkatkan kekebalan bakteri, pendengaran terganggu,
meningkatnya resiko kematian (greater risk of death) dan semakin lamanya masa rawat inap
di rumah sakit (length of stay). Ketika respon terhadap pengobatan menjadi lambat bahkan
gagal, pasien menjadi infeksius untuk beberapa waktu yang lama (carrier).

Ketika infeksi menjadi resisten terhadap pengobatan antibiotika lini pertama, maka
harus digunakan antibiotika lini kedua atau ketiga, yang mana harganya lebih mahal dan
kadang kala pemakaiannya lebih toksik. Konsekuensi lainnya adalah dari segi ekonomi baik
untuk klinisi, pasien, health care administrator, perusahaan farmasi, dan masyarakat. Biaya
kesehatan akan semakin meningkat seiring dengan dibutuhkannya antibiotika baru yang lebih
kuat dan tentunya lebih mahal.

Sayangnya, tidak semua lapisan masyarakat mampu menjangkau antibiotika generasi


baru tersebut. Semakin mahal antibiotik, semakin masyarakat tidak bisa menjangkau,
semakin banyak carrier di masyarakat, semakin banyak galur baru bakteri yang bermutasi dan
menjadi resisten terhadap antibiotika. Untuk itu, perlu ada kebijaksanaan dari seluruh tenaga
kesehatan, termasuk dokter, apoteker dan perawat untuk tidak lagi meresepkan antibiotik
pada pasien yang tidak membutuhkan.

dr Hari Paraton, SpOG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba


(KPRA) mengatakan bahwa penanganan resistensi antibiotik di Indonesia memang belum
maksimal. Hal ini terjadi karena kurangnya data soal prevalensi kasus penyakit resisten
antibiotik di Indonesia. "Hanya masalahnya di kita ini kematian akibat resistensi antibiotik
sulit terlacak. Penyebab kematian yang tercatat biasanya hanya yang terdekat saja seperti
misalnya gagal jantung, ginjal atau stroke. Padahal kalau dilihat, di dalam tubuh pasien itu
ada bakteri resisten yang tersembunyi, cuma tidak terlaporkan," paparnya.

Lalu, apa yang akan dilakukan selanjutnya ? Antibiotik dapat menjadi penyelamat jika
digunakan secara tepat, tapi juga bisa membahayakan kesehatan jika tidak mengikuti aturan
penggunaan yang dianjurkan dokter. Cobalah perhatikan langkah-langkah yang benar dalam
mengonsumsi antibiotik.
1. Konsumsi antibiotik sebagaimana diresepkan sesuai dengan anjuran. Jangan
menghentikan konsumsi obat hanya karena Anda merasa lebih baik.
2. Konsultasikan dengan dokter kapan saat yang tepat untuk menggunakan antibiotik.
Jangan memaksa dokter untuk memberikan antibiotik terhadap penyakit akibat virus.
Ingat, antibiotik hanya efektif melawan infeksi bakteri, bukan infeksi virus.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah ikut berkomitmen


dalam pengendalian Ancaman Resistensi Antimikroba (AMR). Salah satu upaya yang
dilakukan pemerintah antara lain mengatasi dampak resistensi antibiotika akibat pengobatan
sendiri (self medication) dengan regulasi perundang-undangan. Salah satu dari usaha tersebut
adalah di berlakukannya undang-undang yang mengatur tentang penjualan antibiotika yang
diatur di dalam undang-undang obat keras St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949, pada pasal 3
ayat 1, dan telah berfungsinya Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang
dibentuk 2014 dan pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba di awali pada
144 rumah sakit rujukan nasional dan regional serta Puskesmas di 5 provinsi pilot project.

Namun, diperlukan kerjasama semua pihak untuk mengatasi masalah resistensi


antibiotik ini, terutama keterlibatan institusi pendidikan, organisasi kemasyarakatan,
organisasi profesi, perusahaan farmasi dan dinas kesehatan. Informasi seputar antibiotik juga
harus diberikan. Proses pengobatan bukan hanya soal bagaimana mengobati pasien yang sakit
agar sembuh, namun juga memberikan pengetahuan pada pasien agar penyakit tidak datang
kembali dan pasien tetap sehat.

Mulailah bertanggung jawab dalam mengonsumsi antibiotik. Berbeda dengan obat-


obatan pada umumnya, langkah Anda dalam menggunakan antibiotik memiliki implikasi
yang jauh lebih berat pada diri sendiri.
Daftar Pustaka
1. Moehario LH. 1986. Aspek genetik resistensi kuman. Simposium Perkembangan
Antibiotik pada Penanggulangan Infeksi dan Resistensi Kuman, Jakarta.
2. Soedarmono P. 1986. Kebijakan pemakaian antibiotika dalam kaitannya dengan
terjadinya resistensi kuman.
3. Simposium Perkembangan Antibiotik pada Penanggulangan Infeksi dan Resistensi
Kuman, Jakarta.
4. Arini Setiawati, 1995, Farmakologi dan terapi edisi IV penerbit Fakultas Kedokteran
UI Jakarta.
5. Bertram G, 2004, Farmakologi dasar dan klinik Salemba Medika. Jakarta Fakultas
Kedokteran UNAIR Surabaya.
6. Warsa, U. C., Josodiwondo, S., Rahim, A., Santoso, U. S., 1990, Penggunaan
Antibiotika Secara Rasional dan Masalah Resistensi Kuman, Yayasan Melati
Nusantara, Yogyakarta, 33-41
7. Kus, Anna.2015.Reistensi Antibiotik Bikin Penyakit Sulit Sembuh. Jakarta :Health
Kompas (5 Agustus 2015)
8. Viana, Uno Kartika.2014.Bahaya Resistensi Antibiotik.Jakarta:Farmasi Obat (oktober
2014)
9. Health,Detikcom.2015.Jadi Masalah Global Resistensi Antibiotik Perlu Perhatian
Khusus.Jakarta.
10. Eka Rahayu Utami.2012. Antibiotik,Resistensi dan Rasionalitas Terapi.Malang:Jurnal
Saintis.Vol 1. No.1.

Anda mungkin juga menyukai