Anda di halaman 1dari 26

APOTEKER dinilai perlu mengontrol pemberian obat kepada masyarakat baik di klinik, rumah sakit,

maupun di apotek.

Salah satu yang menjadi perhatian Badan Kesehatan Dunia (WHO), ialah penggunaan antibiotik yang
tidak bijak. Hal itu menimbulkan terjadi resistensi antibiotik yang secara klinis membahayakan tubuh
manusia.

Director General of Health, Ministry of Health and Social Action, Republic of Senegal, Papa Amadou
Diack, mengatakan antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi
bakteri. Masalahnya, sampai saat ini masih ada penggunaan yang keliru terhadap antibiotik.

"Penggunaan antibiotik harus berdasarkan resep dokter. Resistensi antibiotik terjadi karena tidak patuh
dalam menggunakan antibiotik atau tanpa resep dokter," ujarnya di sela-sela acara rangkaian Global
Health Security Agenda (GHSA) ke-5 di Bali, yang berakhir pada Kamis (8/11).

GHSA merupakan pertemuan tahunan tingkat menteri yang bertujuan untuk meningkatkan komitmen
negara dalam pencapaian ketahanan kesehatan nasional, regional dan global. Pertemuan ini sekaligus
sebagai upaya berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam upaya mencegah, mendeteksi, dan
merespons cepat berbagai ancaman penyakit menular berpotensi wabah termasuk salah satunya
resistensi antimikroba atau antibiotik.

Resistensi antibiotik terjadi saat bakteri penyebab infeksi mengalami kekebalan dalam merespon
antibiotik. Antibiotik yang awalnya efektif untuk pengobatan infeksi menjadi tidak efektif lagi.

Resistensi antibiotik juga bisa disebabkan karena pemberian antibiotik yang tidak bertanggung jawab
pada hewan ternak. Pemberian antibiotik pada hewan ternak dianggap turut berdampak pada manusia
yang memakannya. Oleh karena itu, kesehatan hewan juga perlu diperhatikan sebagai bagian dari
pengendalian resistensi antimikroba.

"Selain berdampak secara klinis, berdampak pula secara ekonomi. Resistensi antibiotik menyebabkan
biaya pengobatan lebih tinggi, dan meningkatkan angka kematian," imbuh Papa.
Baca juga: BPOM-WHO Kembangkan Sistem Pelaporan Obat Palsu

Data WHO menunjukkan angka kematian akibat bakteri resisten sampai tahun 2014 sekitar 700 ribu
pertahun. Dengan cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi akibat bakteri resisten, pada 2050
diperkirakan kematian akibat bakteri resisten lebih besar dibanding kematian akibat kanker.

WHO merilis beberapa tahun lalu, bahwa berdasarkan data global 45% masyarakat tidak paham
mengenai penggunaan antibiotik secara bijak.

Rilis data surveilans WHO yang dimuat di laman resminya pada Januari 2018 menunjukkan adanya
tingkat resistensi yang tinggi terhadap sejumlah infeksi bakteri yang terjadi di negara-negara
berpenghasilan tinggi dan rendah.

Sistem Pengawasan Antimikroba Global (GLASS) WHO mengungkapkan terjadinya resistensi antibiotik
secara luas di antara 500.000 orang dengan infeksi bakteri yang dicurigai di 22 negara.

Bakteri yang paling sering dilaporkan adalah Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus
aureus, dan Streptococcus pneumoniae, diikuti oleh Salmonella.

Sistem ini tidak memasukkan data tentang resistensi Mycobacterium tuberculosis, yang menyebabkan
tuberculosis (TB), karena WHO telah melacaknya sejak 1994 dan memberikan pembaruan tahunan
dalam laporan tuberkulosis Global.

Di antara pasien dengan dugaan infeksi aliran darah, ditemukan setidaknya satu bakteri resisten
terhadap antibiotik yang paling umum digunakan hingga antibiotik yang sangat beragam. Tiap negara
jumlahnya berbeda - dari nol hingga 82%.

Adapun resistensi terhadap penisilin - obat yang digunakan selama beberapa dekade di seluruh dunia
untuk mengobati pneumonia - berkisar dari nol hingga 51% dari laporan negara-negara. Sementara
resistensi terhadap bakteri E. Coli antara 8% hingga 65%.
Adapun yang hubungannya dengan infeksi saluran kemih menunjukkan resistensi terhadap ciprofloxacin,
antibiotik yang biasa digunakan untuk mengobati kondisi tersebut. (OL-3)

Peran Apoteker dalam Penggunaan antibiotik secara Rasional

Dalam beberapa tahun ini resistensi pada antibiotik semakin meningkat. Hal itu dikarenakan oleh
seringnya masyarakat mengkonsumsi obat-obat antibiotik tanpa disertai resep dokter. Akibatnya, mereka
sudah tidak mempan lagi ketika benar-benar membutuhkan obat tersebut.

Mudahnya masyarakat mendapat antibiotik di apotek dan toko obat ini menjadi salah satu penyebabnya.
Padahal hakekatnya, antibiotik termasuk dalam golongan obat yang tidak boleh dijual bebas di apotek.
Penggunaan antibotik seyogianya sesuai dengan yang telah diresepkan dokter dan patuh dalam
melakukan terapi agar tidak terjadi resistensi antibiotik.

Resistensi antibiotika ini sudah menjadi masalah dunia, melalui Badan Kesehatan Dunia, WHO
menyatakan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk mengendalikan resistensi antibiotika yang
terjadi karena dikhawatirkan dapat terjadi suatu ketika bahwa tidak ada satupun antibiotika yang sensitif
terhadap bakteri yang telah menginfeksi pasien. Tentu saja hal ini dapat membahayakan keselamatan
jiwa pasien. Oleh karena itu, apoteker sebagai bagian dari health care system turut berperan dalam
upaya pengendalian resistensi antibiotik.

Timbulnya resistensi obat dalam terapi menjadi kendala dalam upaya pengendalian suatu penyakit.
Bahkan persoalan resistensi obat antibiotik telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat di berbagai
negara dunia dengan kejadian yang semakin meluas. Misalnya saja pada kasus resistensi antibiotik pada
pasien tuberkololosis. Data WHO tahun 2012 mencatat setidaknya terdapat 450 ribu pasien dengan
multidrug resistan tubercolosis (MDR Tb) yang baru teridentiikasi di 92 negara,” katanya.

Definisi Antibiotik

Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan
atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh
bakteri. Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine,
antibiotika dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak
efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat
beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri
gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung
pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.

Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan kimiawinya. Ada
enam kelompok antibiotika, dilihat dari target atau sasaran kerjanya:

1.Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penisilin, Polipeptida dan Sefalosporin,
misalnya ampisilin, penisilin G;

2.Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampisin, aktinomisin D,
asam nalidiksat;

3.Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Makrolida,
Aminoglikosida, dan Tetrasiklin, misalnya gentamisin, kloramfenikol, kanamisin, streptomisin, tetrasiklin,
oksitetrasiklin, eritromisin, azitromisin;

4.Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomisin, valinomisin;

5.Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya oligomisin, tunikamisin;
dan

6.Antimetabolit, misalnya azaserine.

Karena biasanya antibiotika bekerja sangat spesifik pada suatu proses, mutasi yang mungkin terjadi pada
bakteri memungkinkan munculnya strain bakteri yang 'kebal' terhadap antibiotika. Itulah sebabnya,
pemberian antibiotika biasanya diberikan dalam dosis yang menyebabkan bakteri segera mati dan dalam
jangka waktu yang agak panjang agar mutasi tidak terjadi. Penggunaan antibiotika yang 'tanggung' hanya
membuka peluang munculnya tipe bakteri yang 'kebal'. Oleh karena itu satu dosis lengkap atau satu cure
antibiotika harus dihabiskan semuanya, walaupun kadang-kadang baru

Terkait Penyalahgunaan Antibiotik

Beberapa jenis antibiotik yang paling sering dipakai di masyarakat berikut ini:

1.Amoxicillin.Amoxicillin merupakan antibiotik golongan penicillin, lebih spesifik lagi termasuk kelompok
aminopenicillin seperti halnya jenis antibiotik populer lainnnya yakni ampicilin. Penggunaannya sangat
luas, mulai dari untuk obati infeksi kulit, gigi, telinga, saluran napas dan saluran kemih

2.Cefadroxil.Cefadroxil merupakan generasi pertama antibiotik golongan Cephalosphorin, yang cara


kerjanya hampir sama dengan Amoxicillin dan antibiotik lain di golongan penicillin. Penggunaannya juga
sama luas, mulai untuk mengobati dari infeksi kulit hingga saluran kemih.

3.Erythromicyn.Erythromicin merupakan antibiotika golongan makrolid yang sering diberikan pada


pasien yang alergi penicillin. Penggunaannya lebih luas dari penicillin maupun cephalosphorin, sehingga
sering dipakai sebagai pilihan pertama untuk pengobatan pneumonia atipik.
4. Ciprofloxacin.Ciprofloxacin merupakan antibiotik golongan floroquinolon, salah satu jenis antibiotik
paling mutakhir saat ini. Penggunaannya antara lain untuk mengobati infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas (sinusitis, pneumonia, bronkitis) dan juga infeksi kulit.

5. Tetrasiklin.Di kalangan pekerja seks, tetrasiklin cukup populer karena jenis antibiotika ini paling sering
jadi pilihan utama untuk mengobati infeksi kelamin seperti chlamydia dan gonorrhea atau kencing
nanah. Penggunaan antibiotik jenis ini mulai dibatasi, karena memicu masalah resistensi yang membuat
kuman gonorrhea jadi kebal antibiotik.

Dalam prakteknya, apoteker sering menyalahgunakan haknya dengan melakukan swamedikasi obat keras
non OWA. Salah satu yang sering dijual adalah obat-obatan antibiotik. Apoteker dan masyarakat sendiri
beranggapan antibiotik merupakan obat yang sudah lumrah dan aman-aman saja dikonsumsi, meskipun
tanpa resep dokter. Padahal dalam kemasan antibiotik itu sendiri sudah jelas terlihat tanda huruk K
dalam lingkaran merah yang menandakkan itu merupakan obat keras yang tidak boleh diperjualbelikan
dengan bebas. Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat
keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris
tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah
antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat
diabetes, obat penenang, dan lain-lain). Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan
bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan.

Untuk mengatasi hal tersebut, Apoteker harus memberikan pengarahan terhadap masyarakat terkait
fungsi-fungsi dari masing masing obat dan larangan pemakaian serta akibat yang bisa terjadi. Seperti
halnya dengan adanya swanmedikasi. Apoteker harus membatasi apabila ada pasien yang membeli
antibiotik, tidak memakai resep dari Dokter dan lebih ditekan kan lagi kepada pasien yang berkeinginan
untuk swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang
meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Swamedikasi adalah
pelayanan obat non resep kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri

Untuk memantapkan dan menegaskan pelayanan swamedikasi, pemerintah juga menetapkan jenis obat
keras yang dapat diserahkan tanpa resep dengan membuat beberapa SK diantaranya: SK Menteri No.
347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek. Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK
tersebut digolongkan menjadi obat wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No. 1. Karena
perkembangan bidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan obat maka dipandang perlu
untuk ditetapkan daftar OWA No.2 sebagai revisi dari daftar OWA sebelumnya. Daftar OWA No. 2 ini
kemudian dilampirkan pada keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993. Dari peraturan
di atas dengan jelas diterangkan bahwa seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras tanpa
resep dokter atau swamedikasi obat keras apabila obat yang diserahkan merupakan obat keras yang
termasuk dalam OWA.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
merupakan undang-undang terbaru di dunia kefarmasian yang mengatur pekerjaan kefarmasian yang
dibenarkan oleh hukum. Tujuan pemerintah membuat UU ini salah satunya adalah untuk memberikan
perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi
dan jasa kefarmasian. Melihat apa yang terjadi di lapangan tentunya Apotek telah lalai dalam
menerapkan UU ini. Penyerahan obat keras tanpa resep seperti halnya antibiotik tentunya telah
melanggar aturan pemerintah dalam upaya melindungi pasien dalam memperoleh sediaan kefarmasian.

PRINSIP DASAR PENGGUNAAN ANTIBIOTIK RASIONAL

– Tepat indikasi

– Tepat penderita

– Tepat pemilihan jenis antibiotika

– Tepat dosis

– Efek samping minimal

– Bila di perlukan : Kombinasi yang tepat

– Ekonomik

Ada beberapa hal penting mengenai antibiotika yang perlu di ketahui sebelum kita memilih dan
menggunakannya yaitu:

Sifat aktifitasnya

Spektrum

Mekanisme kerja

Pola resistensi

Efek samping

Di samping itu perlu diperhatikan pengalaman-pengalaman klinik sebelumnya.

1. Sifat aktifitasnya

Bakteriostatik : menghambat pertumbuhan kuman dengan cara menghambat metabolisme kuman

Bakteriosidik : Membunuh kuman misalnya dengan cara merusak dinding sel

Untuk infeksi yang berat apalagi kalau keadaan pertahanan tubuh penderita kurang baik maka
sebaiknya dipilih antibiotik yang bersifat bakteriosidik.

Pengetahuan tentang sifat aktifitas ini juga penting kalau kita ingin menggabung antibiotika. Pemakaian
gabungan antibiotika yang bersifat bakteriostatik bersama antibiotika yang bakteriosidik akan
mengurangi khasiat antibiotika bakteriosidik . Hal ini disebabkan karena antibiotika yang bersifat
bakteriosidik umumnya khasiatnya baik bila kuman tersebut membelah dengan cepat, sedangkan
antibiotik yang bersifat bakteriostatik akan menyebabkan pembelahan kuman yang menurun
sehingga akan menghambat khasiat antibiotika yang bersifat bakteriosidik.

2. Spektrum antibiotika

Spektrum sempit : Hanya menghambat atau membunuh kelompok kuman tertentu

Spektrum luas : Dapat menghambat baik kuman gram positif maupun gram negatif

Pemakaian antibiotika spektrum sempit dilakukan bila jenis kuman yang menyebabkan infeksi sudah
diperkirakan atau dipastikan. Sedangkan bila jenis kuman tidak dapat dipastikan maka dipakai
antibiotika spektrum luas.

3. Mekanisme kerja antibiotika

Antibiotika yang menghambat metabolisme sel kuman

Contoh : Sulfonamid

Trimetophrim

Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel kuman

Contoh : Penicillin

Sefalosporin

Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran sel kuman

Contoh : Polimiksin

Antibiotik yang menghambat sintesa protein sel kuman

Contoh : Aminoglikosid

Makrolid

Tetrasiklin

Kloramfenikol

Antibiotik yang menghambat sintesa asam nuleat kuman

Contoh : Rifampisin

Kuinolon
4. Pola Resistensi

Dalam pemakaian antibiotika perlu diperhatikan pola resistensi kuman setempat, misalnya :
Campylobacter jejuni di Indonesia masih sensitif terhadap siprofloksasin tetapi di Thailand banyak
resisten terhadap Siprofloksasin karena di sana Siprofloksasin banyak di pakai untuk terapi STD.

5. Efek Samping

Ada 3 macam efek samping yaitu

– reaksi alergi

– reaksi idiosikratik

– dan reaksi toksik.

Contoh dari reaksi idiosinkratik adalah pemakaian Primaquin dapat merangsang terjadinya anemia
hemolitik berat pada individu-individu tertentu. (Blackwater fever)

Contoh reaksitoksik adalah gangguan pertumbuhan gigi akibat pemakaian tetrasiklin.

Penggunaan antibiotik seharusnya menjadi solusi terakhir dan bukan yang pertama. Dengan cara ini
maka antibiotik menjadi suatu kebutuhan dan indikasi, bukan suatu keharusan untuk setiap masalah
kesehatan. Sehingga masalah resistensi antibiotik bisa ditanggulangi

Farmasi dan ruang lingkupnya

Farmasi berasal dari bahasa Inggris yaitu Pharmacy, sedangkan dalam bahasa Yunani Pharmacon, yang
berarti obat. Farmasi merupakan salah satu bidang profesional kesehatan yang mempunyai tanggung
jawab memastikan efektivas dan keamanan penggunaan obat. Institusi farmasi Eropa pertama kali
berdiri di Trier, Jerman, pada tahun 1241 dan tetap eksis sampai dengan sekarang.
Ruang Lingkupnya mulai yang berasal dari obat tradisional sampai yang kimia, dari pelayanan farmasi
yang berhubungan dengan layanan terhadap pasien (patient care) diantaranya pelayanan klinis, evaluasi
efikasi, keamanan penggunaan obat, home care, visite, konseling dan pemberian informasi obat. Ruang
Lingkup tadi ada yang berada di industri yaitu pabrik farmasi, di mana kita farmasis diharapkan dapat
menerapkan GMP (Good Manufacturing Practice) tidak hanya di pabrik obat, namun farmasi juga
berkaitan dengan kosmetik, makanan dan minuman, dan alat-alat kesehatan.

Sedangkan ruang lingkup lainnya berada di klinis yaitu rumah sakit, di sini peran farmasis mulai dari
perencanaan obat dan alat kesehatan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pengelolaan,
konseling, pemberian informasi dan sampai tahap evaluasi. Ruang lingkup selain itu yaitu farmasi
komunitas yang merupakan ruang lingkup farmasi di apotek. Ruang lingkup ini miniatur dari rumah sakit,
karena beban kerjanya tidak serumit yang ada di Rumah sakit.

Farmasis (Apoteker) merupakan gelar profesional dengan keahlian di bidang farmasi. Farmasis biasa
bertugas di institusi-institusi baik pemerintahan maupun swasta, rumah sakit, industri farmasi, industri
obat tradisional, apotek, dan di berbagai sarana kesehatan.

Apa itu antibiotik

Antibiotik adalah zat kimiawi dihasilkan mikroorganisme yang mempunyai kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain. Parameter kebutuhan konsumsi
antibiotik bukanlah gejala klinis, melainkan proses infeksi kuman dalam tubuh pasien, karenanya
antibiotik harus dikonsumsi secara tuntas sesuai durasi pemakaian yang ditentukan meskipun gejala
klinis telah hilang. Antibiotik termasuk golongan obat keras yang harus dibeli dengan resep dokter.
Masyarakat dan permasalahannya dengan antibiotik

Obat dapat digolongkan menjadi :

Obat bebas, Obat bebas terbatas, Obat keras, obat wajib apotek, obat psikotropika dan golongan
narkotika. Obat yang boleh dijual dengan resep dokter ialah obat bebas dan obat bebas terbatas,
perbedaannya pada obat bebas dapat dibeli secara bebas tanpa resep dengan memperhatikan aturan
pakai di brosur yang terlampir. Sedangkan obat bebas terbatas bisa dibeli tanpa resep dokter dengan
arahan dari seorang farmasis (apoteker).

Masyarakat awam seringkali tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang berbagai jenis obat dan
aturan penggunaannya. Dewasa ini banyak masayrakat yang kecanduan membeli obat selain obat bebas
dan obat bebas terbatas tanpa memeriksakan dirinya dahulu ke dokter dan banyak dari kalangan
masyarakat yang kecanduan antibiotik. Hal ini kemungkinan karena masyarakat menilai jika periksa
dahulu ke dokter baru menebus resep dan membeli obat biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih besar
dibandingkan dengan hanya ke apotek dan membeli obat. Banyak juga apotek yang kadang hanya
mengejar omzet tanpa mempedulikan pelayanan.

Masyarakat juga semakin pintar dengan kemajuan teknologi, semakin mempermudah menacri sesuatu di
internet termasuk obat. Dengan mudah “googling” mencari obat sesuai keluhan dan tak sedikit yang
datang ke apotek untuk membeli obat keras yang dibeli tanpa resep dokter. Beberapa masyarakat
beranggapan antibiotik merupakan salah satu obat wajib yang harus diminum ketika sakit. Bahkan
Kadang penyakit yang disebabkan virus seperti pilek yang tidak memerlukan antibiotik tetap diberikan
resep antibiotik. Penggunaan antibiotik yang sembarangan dan tidak rasional apalagi dibeli tanpa resep
dokter akan mengakibatkan resistensi penyebab penyakit pada antibiotik.
Resisten adalah bakteri yang sensitif tidak akan terbunuh namun semakin tumbuh dan berkembang
biak.Rentetan akibat resistensi ini panjang, di mana pasien yang tak kunjung sembuh, bakteri juga bisa
mengancam ke anggota keluarga lain, teman maupun rekan kerja sehingga menimbulkan rantai penyakit
menular yang baru dan sulit disembuhkan juga menambah pengeluaran untuk berobat.

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, sekitar 86,1 persen rumah tangga menyimpan antibiotik tanpa
resep. Hal itu menunjukkan ketidakdisiplinan tenaga kesehatan dalam memberikan antibiotik.

Hasil riset ”Antimirobial Resistance” di Indonesia pada 2011, dari 2.494 responden, ditemukan resistensi
Escherichia coli terhadap antibiotik pada 43 persen responden terhadap berbagai jenis antibiotik, antara
lain : ampisilin (34 persen), kotrimoksazol (29 persen) dan kloramfenikol (25 persen). Hal serupa
ditemukan pada bakteri penyebab tuberkulosis. Kondisi itu terjadi karena ketidakpatuhan pemakaian
antibiotik. Untuk itu, apoteker dan asisten apoteker diimbau mengingatkan pasien agar menghabiskan
antibiotik yang diresepkan.

Dalam hal di atas kita tidak bisa hanya menyalahkan pasien, tetapi farmasis juga bertanggung jawab
dengan keadaan ini karena telah melakukan penjualan antibiotik secara bebas . Namun sayangnya,
berapa jumlah keseluruhan apoteker-apoteker nakal tersebut belum bisa dipastikan.

Peran apoteker dalam penyalahgunaan antibiotik

Farmasistidak melayani pembelian antibiotik tanpa membawa resep dari dokter.


Mengkaji resep yang diterima dan memastikan jika terdapat antibiotik dalam resep pasien maka benar-
benar dipastikan disebabkan oleh infeksi bukan penyebab lain seperti virus.

Pemberian aturan pakai yang jelas di plastik obat.

Untuk obat-obat khusus pemakaian atau aturan pakainya, seperti antibiotik kita sebagai farmasis harus
menuliskan kata “Dihabiskan” pada plastik obat, supaya pasien ingat bahwa pemakaian antibiotik harus
sampai habis.

Selain label, farmasis juga wajib menjelaskan kepada pasien ketika meminum antibiotik harus dihabiskan
meskipun keluhan sudah tidak ada.

Moratorium menurut KBBI adalah suatu tindakan penangguhan atau penundaan. Moratorium
pendidikan kefarmasian adalah upaya penangguhan atau penundaan sementara program studi S1
Farmasi di Indonesia hingga waktu yang ditentukan.
Berdasarkan data terkini, pada tanggal 12 Desember 2018 terdapat 95 prodi sarjana farmasi yang belum
terakreditasi dari total 200 prodi dan 3 prodi apoteker yang belum terakreditasi dari total 40 prodi.
Sedari bulan Juni hingga Desember 2018, sebanyak 18 prodi S1 farmasi baru telah dibuka, sedangkan
hanya 2 prodi apoteker yang dibuka. Hal ini menunjukkan tingginya angka pertumbuhan program studi
S1 Farmasi di Indonesia, yang kedepannya dapat mengakibatkan ketidakseimbangan pendidikan farmasi,
baik sarjana maupun profesi dalam segi kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu, moratorium harus
dilakukan dengan harapan dapat memberikan ruang dan waktu bagi institusi farmasi untuk
meningkatkan kualitasnya, dengan cara meningkatkan akreditasi, yang semula belum terakreditasi
ataupun berada di bawah B, untuk ditingkatkan menjadi (minimal) B sehingga dapat membuka prodi
profesi apoteker. Pemerintah harus sadar bahwa pembenahan kualitas sangat perlu untuk mencetak
lulusan sarjana farmasi yang berkompeten.

Ada tindakan, pasti ada dampak. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya moratorium ini dapat
menciptakan kesetaraan dalam standardisasi kompetensi apoteker dan menghilangkan
ketumpangtindihan antara jumlah lulusan program studi S1 Farmasi dengan jumlah lulusan PSPA
(profesi). Serta, dapat memberikan kesempatan bagi Kemenristekdikti, APTFI, dan institusi yang
berkaitan untuk terlebih dahulu melakukan evaluasi, perbaikan, dan pembenahan tata kelola
pembukaan program studi S1 farmasi pada parameter kurikulum, SDM, maupun fasilitas agar dapat
mencetak apoteker handal di masa depan.

Mari kita dukung dan ikuti gerakan ini dengan memberikan tanda tangan, dan tak lupa untuk
menyebarluaskan berita ini agar lebih banyak orang tau, mendukung, dan berpartisipasi!

Moratorium S1 farmasi adalah pemberhentian sementara pembukaan program studi S1 farmasi baru
yang ada di indonesia saat ini. Rencana moratorium s1 farmasi didasarkan pada data jumlah s1 farmasi
yang mencapai 128 program studi pada tahun 2014 yang terdiri dari 128 program studi hanya 14 prodi
yang berakreditasi A, 32 prodi berakreditasi B dan 32 prodi berakreditasi C dan 50 prodi yang belum
terkareditasi. Hanya berselang 2 tahun saja jumlah s1 farmasi pada februari 2016 telah mencapai 174
prodi dengan 14 prodi yang berakreditasi A, 32 prodi berakreditasi B dan 32 prodi berakreditasi C dan 96
prodi yang belum terkareditasi. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan program studi s1
farmasi mencapai 100% dalam 2 tahun saja. Hal ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan Program
Studi Profesi Apoteker (PSPA) dari maret 2016 hingga februari 2018 jumlahnya hanya bertambah dari 29
menjadi 38 PSPA saja atau dengan kata lain hanya mengalami pertumbuhan 31,57 % saja. Hal ini tentu
membuat APTFI menyatakan keberatan terhadap pembukaan prodi farmasi tanpa mendapat persetujuan
serta rekomendasi dari APTFI. Kemenristek Dikti seolah – olah hanya mengejar kuantitas saja tanpa
melihat kualitas dari para lulusan yang dihasilkan, ditambah dengan jumlah lulusan s1 farmasi yang tidak
sebanding dengan jumlah PSPA yang ada saat ini yang menyebabkan banyak lulusan S1 farmasi yang
kesulitan untuk melanjutkan pendidikan ke program profesi karena keterbatasan dari jumlah PSPA saat
ini.

Berdasarkan hasil acara DIKSI (Diskusi Kajian Seputar Isu) yang diadakan oleh BEMF Farmasi pada hari
jumat, 27 april 2018 beberapa peserta menyatakan kesetujuannya mengenai rencana moratorium s1
farmasi ini. Dengan tidak seimbangnya rasio PSPA dan program S1 farmasi dan kualitas Apoteker yang
kurang, moratorium lebih baik dilaksanakan. Dengan memberhentikan sementara pembukaan S1
farmasi, perguruan tinggi yang telah mendirikan S1 farmasi dapat lebih meningkatkan kualitas
lulusannnya. Membatasi pembukaan S1 Farmasi yang baru dapat membuat beberapa PT yang telah
mendirikan S1 Farmasi sebelumnya fokus meningkatkan akreditasinya minimal menjadi B sehingga
dapat membuka PSPA. Hal ini dapat meningkatkan jumlah PSPA. Dengan peningkatan kualitas lulusan S1
farmasi diharapkan apoteker –apoteker yang dihasilkan PSPA lebih berkualitas dan diterima di
masyarkat.
Namun, beberapa peserta kurang setuju dengan adanya moratorium S1 Farmasi ini. International
Pharmaceutical Federation dan WHO merekomendasikan negara berkembang salah satunya Indonesia
agar memiliki rasio ideal 1 apoteker untuk 2.000 penduduk, namun kenyataannya Indonesia hanya
memiliki rasio 1:4528 (2016) sehingga dapat dikatakan Indonesia masih sangat membutuhkan tenaga
kesehatan yaitu apoteker. Dari rekomendasi WHO ini moratorium S1 Farmasi perlu dipertimbangkan lagi.
Untuk mengatasi masalah kualitas apoteker dan jumlah PSPA yang kurang dapat dilakukan dengan
memperbanyak jumlah Fakultas Farmasi yang ada PSPA dan S1 Farmasi yang di luar Jawa dengan tidak
hanya melakukan sentralisasi di Jawa namun juga di luar dengan cara bertahap. Tidak hanya itu saja,
pemerintah harusnya melakukan lobbying pada rumah sakit dan industri untuk lebih menerima apoteker
lulusan PSPA dari luar pulau jawa dan membuat peraturan daerah mengenai pembentukan PSPA terfokus
untuk suatu daerah yang kekurangan tenaga apoteker baik di bidang klinis atau industri. Solusi lain yaitu
dengan menurunkan biaya peningkatan akreditasi yang selama ini memberatkan prodi S1 maupun PSPA.
Tidak hanya peningkatan kualitas apoteker peningkatan kuantitas pun juga dibutuhkan karena di
Indonesia sudah banyak kualitas apoteker yang bagus namun tidak terdistribusi secara merata karena
perbedaan gaji antara apoteker di pulau jawa dan di luar jawayang menyebabkan apoteker dan s1
farmasi masih lebih terkonsentrasi di pulau jawa saja.

Pada hari yang berbahagia ini, perkenankanlah saya menyampai¬kan pidato pengukuhan guru besar
dengan judul ”Strategi Pengembangan Budidaya Tumbuhan Obat dalam Menunjang Pertanian
Berkelanjutan”. Judul ini saya pilih mengingat pentingnya tanaman obat sebagai bagian dari kekayaan
plasma nutfah di Indonesia, yang perlu dimanfaatkan sekaligus dilestarikan eksistensinya. Selain itu
tanaman obat merupakan salah satu komoditi hortikultura prospektif untuk dikembangkan menjadi
salah satu komoditas andalan, karena memiliki peranserta yang besar dalam peningkatan pendapatan
masyarakat dan penerimaan devisa negara.
Peran tumbuhan obat dalam pemberdayaan ekonomi dapat melalui: (1) penyediaan bahan baku, (2)
sebagai penggerak ber¬kembangnya sektor ekonomi pedesaan, (3) pemanfaatan sumber daya domestik,
(4) dan meningkatkan kese¬jah¬teraan masyarakat, (5) menghasilkan devisa negara. Pengem¬bang¬an
tanaman obat harus memperhatikan: (1) pengembangan sentra produksi, (2) pengembangan benih, (3)
pengembangan penangkar benih, (4) pemanfaatan paket teknologi, (5) pengembangan sumber daya
manusia, dan (6) ) memperkuat modal kelompok petani (Pujiasmanto, 2003).

Hasil olahan tanaman obat memiliki nilai ekonomi tinggi. Penggunaan obat tradisional di dunia terus
meningkat dari tahun ke tahun. Total impor paspor internasional pada akhirnya mencapai 500.000 ton
per tahun dan tumbuh 8,5% per tahun. Budidaya tanaman obat me¬miliki keuntungan yang ekonomis
dan non ekonomis, yaitu: (1) peningkatan pendapatan masyarakat, (2) pelestarian ekosistem dan plasma
nutfah, (3) penjaminan kontinyuitas suplai bahan baku, (4) peningkatan pendapatan dan kualitas hasil
produksi tumbuhan obat. Perhatian dunia terhadap obat-obatan dari bahan alam (obat herbal)
menunjukkan Peningkatan, baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. Menurut
data yang dihimpun oleh Sekretariat Convention on Biological Diversity (CBD) penjualan global obat
herbal dapat mencapai US $ 60 miliar (> 54 triliun rupiah / tahun). Obat-obatan herbal telah diterima
secara luas di negara-negara yang tergolong dihargaian rendah sampai maju. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) menyebutkan 65% dari populasi negara-maju menggunakan obat-obatan herbal (Aspan, 2004;
Depkes, 2006; Pujiasmanto, 2009).

Strategi Pengembangan Tumbuhan Obat

Strategi perencanaan, Arah dan pengelolaan untuk mencapai suatu tujuan. Strategi merupakan rencana
yang terintegrasi, lengkap dan terpadu yang mengkaitkan keunggulan dengan strategi bersaing. Strategi
yang dirancang untuk memancarkan tujuan utama dapat dicapai melalui komitmen yang tepat. Arah
penyiapan teknologi budidaya tanaman perlu memperhatikan aspek teknis, sosial, budaya dan ekonomi.
Aspek teknis ditinjau dari ekologi adalah faktor abiotis dan biotis. Faktor abiotis dari suhu, kelembaban
udara, curah hujan, pH, jenis tanah, struktur tanah, kedalaman solum dan kesuburan tanah. Faktor biotis
adalah jenis-jenis pohon dan tumbuhan herba yang berasosiasi dengan tumbuhan obat (Dephut, 2004).

Tahapan awal strategi pengembangan tanaman dapat dilakukan dengan pembudidayaan tanaman obat.
Proses dari penanaman pembohong menjadi tanaman budidaya melalui penanaman pada habitat baru
yang disebut domestikasi. Domestikasi sebagai proses pertumbuhan yang dikontrol manusia, tumbuh
pertumbuhan genetik yang tumbuh berkelanjutan semenjak dibudidayakan. Domestikasi terkait dengan
seleksi dan manajemen oleh manusia dan tidak hanya menunggu pemeliharaan. Proses mendomestikasi
adalah menotaisasikan biota menjadi kebutuhan manusia dengan segala kebutuhan dan kapasitasnya.
Pada domestikasi, tanaman perlu dikaji dalam kondisi benih, perubahan morfologi, laju pertumbuhan
dan perkembangannya. Berdasarkan hukuman manusia, tumbuhan didomestikasi dengan beragam cara,
mulai cara yang sederhana hingga cara yang sangat maju dengan bioteknologi. Menurut Demchik dan
Streed (2002) domestikasi untuk tanaman dengan cara bertahap: (1) wildcrafting, (2) perbaikan stand,
(3) penanaman (pemeliharaan), (4) seleksi (pemuliaan) dan penggunaan stok andal dalam ornamen
(budidaya) . Pengubahan ini berkonsekuensi dengan modal dan teknologi agronomik penggunaan benih
dan pemilihan bibit, pengaturan tanaman dan pemupukan yang tepat. Perbaikan teknik budidaya
tanaman meningkatkan kualitas simplisia dan meningkatkan kuantitas simplisia dalam jumlah cukup dan
seragam untuk memenuhi bahan baku obat. Langkah awal yang dilakukan adalah perubahan habitat
habitat sebagai dasar pengembangan vegetasi lebih lanjut (Luasunaung et al., 2003; Naiola et al., 2006).
Menurut Demchik dan Streed (2002) domestikasi untuk tanaman dengan cara bertahap: (1) wildcrafting,
(2) perbaikan stand, (3) penanaman (pemeliharaan), (4) seleksi (pemuliaan) dan penggunaan stok andal
dalam ornamen (budidaya) . Pengubahan ini berkonsekuensi dengan modal dan teknologi agronomik
penggunaan benih dan pemilihan bibit, pengaturan tanaman dan pemupukan yang tepat. Perbaikan
teknik budidaya tanaman meningkatkan kualitas simplisia dan meningkatkan kuantitas simplisia dalam
jumlah cukup dan seragam untuk memenuhi bahan baku obat. Langkah awal yang dilakukan adalah
perubahan habitat habitat sebagai dasar pengembangan vegetasi lebih lanjut (Luasunaung et al., 2003;
Naiola et al., 2006). Menurut Demchik dan Streed (2002) domestikasi untuk tanaman dengan cara
bertahap: (1) wildcrafting, (2) perbaikan stand, (3) penanaman (pemeliharaan), (4) seleksi (pemuliaan)
dan penggunaan stok andal dalam ornamen (budidaya) . Pengubahan ini berkonsekuensi dengan modal
dan teknologi agronomik penggunaan benih dan pemilihan bibit, pengaturan tanaman dan pemupukan
yang tepat. Perbaikan teknik budidaya tanaman meningkatkan kualitas simplisia dan meningkatkan
kuantitas simplisia dalam jumlah cukup dan seragam untuk memenuhi bahan baku obat. Langkah awal
yang dilakukan adalah perubahan habitat habitat sebagai dasar pengembangan vegetasi lebih lanjut
(Luasunaung et al., 2003; Naiola et al., 2006). (2) stand stand, (3) penanaman (pemeliharaan), (4) seleksi
(pemuliaan) dan penggunaan stok andal dalam budidaya (budidaya). Pengubahan ini berkonsekuensi
dengan modal dan teknologi agronomik penggunaan benih dan pemilihan bibit, pengaturan tanaman
dan pemupukan yang tepat. Perbaikan teknik budidaya tanaman meningkatkan kualitas simplisia dan
meningkatkan kuantitas simplisia dalam jumlah cukup dan seragam untuk memenuhi bahan baku obat.
Langkah awal yang dilakukan adalah perubahan habitat habitat sebagai dasar pengembangan vegetasi
lebih lanjut (Luasunaung et al., 2003; Naiola et al., 2006). (2) stand stand, (3) penanaman
(pemeliharaan), (4) seleksi (pemuliaan) dan penggunaan stok andal dalam budidaya (budidaya).
Pengubahan ini berkonsekuensi dengan modal dan teknologi agronomik penggunaan benih dan
pemilihan bibit, pengaturan tanaman dan pemupukan yang tepat. Perbaikan teknik budidaya tanaman
meningkatkan kualitas simplisia dan meningkatkan kuantitas simplisia dalam jumlah cukup dan seragam
untuk memenuhi bahan baku obat. Langkah awal yang dilakukan adalah perubahan habitat habitat
sebagai dasar pengembangan vegetasi lebih lanjut (Luasunaung et al., 2003; Naiola et al., 2006).
Pengubahan ini berkonsekuensi dengan modal dan teknologi agronomik penggunaan benih dan
pemilihan bibit, pengaturan tanaman dan pemupukan yang tepat. Perbaikan teknik budidaya tanaman
meningkatkan kualitas simplisia dan meningkatkan kuantitas simplisia dalam jumlah cukup dan seragam
untuk memenuhi bahan baku obat. Langkah awal yang dilakukan adalah perubahan habitat habitat
sebagai dasar pengembangan vegetasi lebih lanjut (Luasunaung et al., 2003; Naiola et al., 2006).
Pengubahan ini berkonsekuensi dengan modal dan teknologi agronomik penggunaan benih dan
pemilihan bibit, pengaturan tanaman dan pemupukan yang tepat. Perbaikan teknik budidaya tanaman
meningkatkan kualitas simplisia dan meningkatkan kuantitas simplisia dalam jumlah cukup dan seragam
untuk memenuhi bahan baku obat. Langkah awal yang dilakukan adalah perubahan habitat habitat
sebagai dasar pengembangan vegetasi lebih lanjut (Luasunaung et al., 2003; Naiola et al., 2006).
Prospek Pengembangan Budidaya Tumbuhan Obat, dan Pemanfaatannya

Prospek pengembangan tumbuhan cukup kaya dilihat dari aspek potensi flora, konservasi, lahan dan
industri industri obat dan komestika tradisional. Secara empiris, beberapa tumbuhan selain memiliki
keunggulan kimiawi (sebagai bahan obat) juga memiliki keunggulan fisik (sebagai tanaman hias), dan
biologis (sebagai tanaman yang dibudidayakan). Pemanfaatan obat tradisi meningkat karena perubahan
pola penyakit dari infeksi ke penyakit degeneratif serta gangguan migrasi. Penyakit degre¬ne¬ratif
membutuhkan pengobatan jangka panjang yang menyebabkan efek samping yang serius bagi kesehatan.
(Depkes, 2005).

Indonesia sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Sebanyak 40 ribu jenis flora yang tumbuh didunia,
30 ribu tumbuh di Indonesia. Sekitar 26% telah dibudidayakan dan sisanya sekitar 74% masih tumbuh
pembohong di hutan-hutan. Indonesia memiliki sekitar 17% jumlah spesies yang ada di dunia. Hutan
tropis yang sangat luas keaneragaman hayati yang ada di sumber daya alam yang tak ternilai harganya.
Indonesia dikenal sebagai gudang tumbuh obat (herbal) sehingga mendapat julukan laboratorium hidup
(Litbang Depkes, 2009).

Pemakaian tanaman obat dalam jangka waktu terakhir ini meningkat seiring perkembangan industri
jamu atau obat tradisional, farmasi, kosmetik, makanan dan minuman. Tanaman obat yang digunakan
biasanya dalam bentuk simplisia (bahan yang telah dikeringkan dan belum diproses pengolahan apa
pun). Simplisia ini berasal dari akar, daun, bunga, biji, buah, terna dan kulit batang. Pemanfaatan
tanaman obat Indonesia akan terus meningkat mengingat kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia
terhadap tradisi budaya mengkonsumsi jamu. Eksploitasi tanaman obat yang berlebihan tanpa
memperhatikan konservasi, tentu sangat mengkuatirkan. Peran para ahli budidaya (agronomis) dan para
ahli bioteknologi khusus tekno¬logi kultur jaringan sangat penting untuk menghindari kelangkaan bahan
baku obat herbal,

Beberapa bahan baku obat tradisional telah menjadi komoditas ekspor yang andal untuk menambah
devisa negara. Berdasar¬kan data ekspor, Hongkong merupakan pasar utama tanaman obat Indonesia
karena memiliki nilai ekspor yang paling besar, Nilai setiap dolar berfluktuasi. Rata-rata ekspor tanaman
obat Indonesia ke Hongkong setiap tahun sebesar 730 ton dengan nilai US $ 526,6 ribu. Ekspor Terbesar
kedua adalah ke Singapura dengan rata-rata ekspor setiap tahun mencapai 582 ton dengan nilai sebesar
US $ 647 ribu. Jerman merupakan tujuan ekspor terbesar dengan tingkat ekspor rata-rata setiap tahun
mencapai 155 ton dengan nilai sebesar US $ 112,4 ribu. Selain itu, tujuan ekspor tanaman obat adalah
Taiwan, Jepang, Korea Selatan & Malaysia. Sebanyak 2000 tanaman obat dan tanaman aromatik
digunakan di Eropa untuk kebutuhan komersial. Beberapa spesies botani sepenuhnya diperlukan oleh
banyak industri di Amerika Serikat dan Eropa, meminta gingseng, valerian dan bawang putih
(Maximillian, 2008).

Untuk menunjang kelestarian Lingkungan Hidup dan men¬jamin suplai bahan baku untuk keperluan
industri obat maka perlu dikembangkan sistem budidaya tanaman yang sesuai dengan agroekosistem.
Dalam budidaya ini perlu diperhatikan kualitas produk bahan baku yang diproduksi dan kualitas varietas
tanaman. Pemanfaatan tanaman obat harus melalui konservasi pertanian yang menggunakan
ketersedian, kelestarian dan keaslian jenisnya (speciesnya) (Sukardiman et al., 2009).

Terkait kesesuaian Lingkungan, iklim dan tanah, untuk tanaman obat, ada beberapa yang harus
dilakukan. Setiap fitur khusus dan diperlukan khusus. Lingkungan tumbuh merupakan faktor yang cukup
penting terkait dengan peningkatan produksi dan dapat di¬pertahankan sifat genetik dari tanaman.
Masalah Pengolahan lepas penghasilan juga ikut berpartisipasi dalam mendapatkan bahan atau simplisia
yang bermutu tinggi.

Menggunakan produk herbal untuk perawatan jamu kesehatan yang telah disetujui oleh masyarakat
sejak beberapa abad yang lalu. Konsep jamu ini sebenarnya diambil dari hubungan harmoni antara
manusia dan lingkungan di sekitarnya sehingga menghasilkan konsep-konsep yang unik dalam
pembahasannya dengan pemeliharaan kesehatan dan kecantikan selaras dengan siklus hidup
pengembangan manusia. Prospek pengembangan tanaman sangat maju, karena ada beberapa faktor
pendukung, yaitu (1) tersedianya sumber kekayaan alam Indonesia dengan keaneka¬ragaman hayati
terbesar di dunia, (2) Jadi menjadi warisan budaya bangsa, (3) isu global "kembali ke alam" berakibat
meningkatkan pasar produk herbal termasuk Indonesia,

Banyak kalangan mulai melirik untuk mengembangkan tanaman obat, baik untuk kebutuhan sendiri
maupun untuk bisnis. Lebih dari masyarakat mulai sadar tentang manfaat tanaman obat untuk
memperbaiki kesehatan dan dengan membuat menjamurnya industri-industri obat tradisional di dalam
maupun luar negeri. Hal ini juga didukung dengan perspektif positif tentang bahan-bahan alam (alami)
dibandingkan bahan kimia atau sintesis. Dengan latar belakang ini maka beberapa pendapat mengatakan
bahwa tanaman obat Indonesia patut dikembangkan.

Kelemahan Pengembangan Tumbuhan Obat

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, ditemukan berbagai kelemahan dalam rangkaian


kegiatan yang berhubung¬an dengan kegiatan pengembangan tumbuhan obat. Simpul-lemah tidak perlu
diangkat sebagai isu strategis untuk mendapat¬kan penanganan yang tepat, profesional dan terpadu.
Berbagai simpul lemah tersebut yaitu:

1. Sumber bahan obat alam sebagian besar (diperkirakan lebih dari 90%) masih berasal dari pembohong,
hutan dan pekarangan. Kegiatan budidaya tanaman belum banyak dikelola secara profesional.

2. Industri kecil obat tradisional dan juga industri besar obat tradisional berskala besar memperoleh
bahan baku langsung dari pengumpul dan pedagang (penyalur) simplisia. Pedagang simplisia yang
sebagian besar berada di Jawa Tengah dan di Jawa Timur diperoleh suplai simplisia dari petani di pulau
Jawa.
3. Mutu simplisia pada saat kurang memenuhi persyaratan yang diperlukan, ketidakmampuan petani dan
pengumpul dalam mengolah dan mengelola simplisia secara baik.

4. Hampir semua obat tradisional, baik industri kecil maupun industri besar, belum melakukan bimbingan
/ pelatihan teknis untuk pengumpul dan petani. Industri menerima menerima dan menyeleksi kembali
hasil yang diperoleh dari pengumpul dengan biaya yang cukup besar. Meskipun demikian sudah ada
beberapa industri obat tradisional yang membangun kemitraan dengan petani di sekitar lokasi pabriknya.

5. Industri obat tradisional masih sangat kurang memperhatikan dan memanfaatkan hasil-hasil penelitian
ilmiah dalam pengaplikasian produk dan pasar. Dalam pengembangan pasar, industri obat tradisional
masih lebih menekankan pada kegiatan pro¬mosi, daripada dukungan ilmiah tentang kebenaran khasiat,
keamanan dan kualitasnya. Dalam era globalisasi dengan pasar bebasnya, upaya standarisasi yang
berlaku nasional / internasional menjadi hal yang sangat penting. Oleh karena itu membuat standar
bahan baku dan sediaan jadi perlu terus ditingkatkan.

Peluang Pengembangan Tumbuhan Obat

Beberapa peluang yang bisa mewujudkan keberhasilan agri¬bisnis tanaman obat di Indonesia antara lain
sebagai berikut.

1. Sejak terjadi masa krisis, posisi obat tradisional yang berbahan baku nabati mulai bisa sejajar dengan
obat-obatan modern di pasaran karena harga relatif terjangkau.

2. Tren kembali ke alam di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika semakin mempopulerkan
pengobatan dan perawatan kesehatan sehingga meningkatkan permintaan dunia terhadap bahan baku
nabati.

3. Untuk meminta bantuan lebih tinggi bahan baku nabati oleh negara penghasil produk herbal seperti
Cina dan India maka Indonesia adalah daerah yang cocok untuk pengem¬bangan budidaya tanaman
obat. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang mengembangkan bahan baku nabati di
Amerika Selatan dan Afrika Barat yang bersuhu tropis.

4. Beberapa jenis tanaman tropis yang berkhasiat obat dan banyak digunakan untuk perawatan alami
hanya bisa tumbuh di daerah tropis Indonesia.

Tantangan Pengembangan Tumbuhan Obat

Beberapa tantangan yang segera dilakukan pengembangan budidaya tanaman obat dan kosmetika di
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Tumbuhan obat sudah mulai sulit ditemukan di habitatnya, bahkan beberapa spesies sudah mulai
langka karena sulit masyarakat yang tidak menghiraukan segitiga pele¬tarian, tetapi hanya
memanfaatkan saja.

2. Berdasarkan beberapa penelitian, produksi simplisia dari tanaman obat hasil penelitian masih lebih
rendah dari pembohong tanaman, baik dari segi kualitas maupun persaingannya.

3. Beberapa spesies tumbuhan obat masih cukup sulit dibom¬dayakan secara konvensional.

4. Budidaya tanaman obat dan komestika sebaliknya dilakukan dengan sistem organik (pertanian
organik) tanpa menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya seperti pupuk kimia buatan, herbisida,
insektisida, dan fungisida.

5. Budidaya tanaman tanpa menggunakan bioteknologi yang dapat merusak gen-gen dari tanaman
dalam jangka waktu yang lama.

6. Pasar tumbuhan bahan masih terbatas dan eksklusif, akhir-akhir ini permintaannya cukup tinggi baik
lokal maupun ekspor.

Program Pengembangan Tumbuhan Obat

Secara Umum Kebijakan Pengembangan Tumbuhan Obat di Indonesia ditujukan untuk pemanfaatan
sumber daya alam tum¬buhan obat lain yang optimal bagi pembangunan kesehatan sekaligus
pembangunan industri obat tradisional dengan tetap mempertahankan kelestarian sumber daya alam
tersebut.

Strategi pengembangan tanaman dilakukan dengan bantuan asas, asas legalitas, kontribusi lengkap, hulu
ke hilir dengan melibatkan semua pihak terkait yang melibatkan pemerintah, industri, petani, pendidik,
peneliti dan pengembang kesehatan.

Semua kegiatan pengembangan tumbuh-tumbuhan berbasis pada lima pilar program pengembangan
tumbuh-tumbuhan yaitu:

1. Pemeliharaan mutu, keamanan dan kebenaran khasiat

2. Keseimbangan antara permintaan dan permintaan

3. Pengembangan dan kesesuaian antara industri hulu, industri antara, dan industri hilir.

4. Pengembangan dan penataan pasar, termasuk penggunaan pada pelayanan kesehatan

5. Penelitian dan pendidikan.

Pengembangan Budidaya Tumbuhan Obat Menunjang Pembangunan Pertanian Berkelanjutan


Pada hakikatnya, sistem pertanian yang berkelanjutan kembali ke alam, yaitu sistem pertanian yang tidak
rusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh dan
dialihkan pada kaidah-kaidah alamiah. Upaya manusia yang mengingkari kaidah-kaidah ekosistem dalam
jangka pendek mungkin mampu memacu produktivitas lahan dan hasil. Namun, dalam jangka panjang
Biasanya hanya akan berakhir dengan kehancuran Lingkungan. Kita yakin betul bahwa hukum alam
adalah penguasa Tuhan. Manusia sebagai umat-Nya hanya menikmati menikmati dan berkewajiban
mendukung serta melestari¬kannya.

Terminologi pertanian berkelanjutan (pertanian berkelanjutan) sebagai padanan istilah agroekosistem


pertama kali digunakan pada awal tahun 1980 oleh pakar pertanian FAO (Organisasi Pertanian Pangan).
Agroekosistem sendiri mendukung modifikasi ekosistem alamiah dengan sentuhan campur tangan
manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan manusia. Conway (ahli pertanian) menggunakan istilah pertanian berkelanjutan dengan
agroekosistem yang mendukung memadukan antara produktivitas, produktivitas (stabilitas), dan
pemerataan (ekuitas). Jadi, semakin jelas bahwa konsep agroekosistem atau pertanian ber¬kelanjutan
adalah jawaban bagi kegamangan revolusi hijau yang antara lain ditengarai oleh semakin merosotnya
produktivitas pertanian (leveling off).

Di kalangan para pakar ilmu tanah dan agronomi, istilah sistem pertanian disetujui lebih dikenal dengan
istilah LEISA (Input Eksternal Rendah Pertanian Berkelanjutan) atau LISA (Input Rendah Pertanian
Berkelanjutan), yaitu sistem pertanian yang mendukung penggunaan input (benih, pupuk kimia,
pestisida, dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat merugikan
kelangsungan hidup sistem pertanian (Reijntjes et al., 2006).

Kata berkelanjutan mengandung dua makna, yaitu pemeliharaan dan memperpanjang. Terkait, pertanian
berkelanjutan harus dikelola atau dipertahankan (pemeliharaan) untuk jangka waktu yang panjang
(memperpanjang). Dalam bahasa Indonesia, di¬terjemah¬kan berkelanjutan dengan kata berkelanjutan.
Otto Soemarwoto lebih senang menggunakan istilah terkelanjutan. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah
yang lebih tepat, yaitu pertanian lumintu (terus-menerus), sempulur (lestari, langgeng), atau milimintir.
Berhubungan lahir sebagai solusi alternatif untuk mengatasi kegagalan pertanian modern di masa lalu,
pertanian berkelanjutan juga dapat disebut pertanian pascamodern (Salikin, 2007).

Di Indonesia, pembangunan berwawasan lingkungan merambah¬kan implementasi dari konsep


pembangunan yang didukung (pembangunan berkelanjutan) yang bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, melalui peningkatan produksi pertanian, baik dalam hal
peningkatan kualitas, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan Lingkungan.
Pembangunan pertanian yang terkait pembangunan pertanian dalam arti luas atau disetujui, mencakup
bidang pertanian tanaman pangan, tanaman obat (hortikultura), perkebunan, pertanian, pertanian,
pertanian, dan kelautan. Pembangunan pertanian harus dilakukan dengan seimbang dan disesuaikan
dengan daya dukung ekosistem sehingga kontinyuitas produksi dapat diselesaikan dalam jangka panjang,
dengan memulihkan tingkat kerusakan Lingkungan sekecil kecilnya.
Pengembangan Budidaya Tanaman Obat Secara Organik di

kawasan hutan tropis Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 spesies tanaman jauh lebih banyak daripada
potensi daerah-daerah tropis lainnya, termasuk Amerika Selatan dan Afrika Barat. Lebih dari 8.000
spesies merupakan tanaman yang memiliki khasiat obat dan baru 800-1.200 spesies yang telah
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat tradisional atau jamu (Litbang Depkes, 2009).

Mengingat kekayaan alam Indonesia dengan keberagaman tanaman berkhasiat obat maka sudah
selayaknya jika penggunaan dan pemanfaatannya mempertimbangkan faktor pelestariannya agar tidak
sampai punah. Namun demikian, sesuai dengan permintaan bahan nabati yang diambil dari tanaman
untuk keperluan perawatan kesehatan dan kecantikan maka perlu segera dilakukan pembudidayaan
tanaman tersebut di habitat yang dimaksud (in situ) maupun luar ling¬kungan tumbuhnya (ex situ). Hal
ini menarik untuk dibahas tentang jenis tanaman dengan tidak mengambilnya pembohong dan tidak
terkendali dari lingkungan tumbuhnya. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pembudidayaannya. Upaya ini
diharapkan dapat mengimbangi peningkatan pengembangan bahan nabati untuk produk herbal dalam
skala industri besar.

Pada awalnya, industri herbal memang hanya terbatas pada industri kecil dan skala rumah tangga yang
dipasarkan secara lokal dan individu seperti jamu gendong. Namun, industri ini sekarang sudah
mengekspor ke manacanegara. Oleh karena itu, upaya pembudi¬dayaan tanaman obat ini sangat tepat.
Di samping untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dengan kualitas yang baik dan kontinyu, dukungan
ini juga untuk melestarikan jenis-jenis tanaman obat tertentu dengan tidak mengubah kehidupan di
lingkungan tumbuhnya atau di habitatnya.

Beberapa orang yang sangat peduli terhadap keberlanjutan hidup generasi mendatang mulai melakukan
sesuatu dengan mempercayai sistem bercocok tanam yang tidak diperlukan pada bahan-bahan kimia.
Sistem bercocok tanam ini dikenal dengan sebutan bercocok tanam secara organik. Bercocok tanam
secara organik berdasarkan pada prinsip dasar yaitu 1) tidak menggunakan pestisida kimia. 2) tidak
meng¬gunakan pupuk kimia. 3) beberapa spesies gulma tetap dibiarkan tumbuh, dan 4) tidak membajak
tanah yang akan ditanami.

Penggunaan pestisida kimia menggantikan dihindarkan sama sekali dan diganti dengan pestisida alami,
seperti halnya dengan menanam beberapa jenis tanaman atau gulma yang merupakan bagian tubuh¬nya
(bunga, daun, atau akarnya) dapat digunakan sebagai pengusir serangga pengganggu. Pestisida alami
dapat juga dibuat dengan menggunakan ramuan dari beberapa jenis tanaman kemudian beragam dan
dilarutkan untuk disemprotkan ke tanaman. Sementara itu, pupuk yang digunakan untuk menambah
nutrisi dalam tanah menjadi pupuk alam atau pupuk organik yang berasal dari sampah dapur, humus,
serasah daun, atau tanaman lain yang telah melalui proses penguraian oleh bakteri. Menurut Fukuoka
(1985) pembajakan tanah akan merusak udara, udara, dan nutrisi di dalam tanah yang sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies gulma yang dibiarkan tumbuh di sekitar
pertanaman dapat menanggulangi kerusakan akibat pertumbuhan tanaman lainnya. Jenis gulma ini
tentu saja dapat menunjang pertumbuhan tanaman utama seperti gulma dari jenis Leguminoccae atau
polong-polongan.
Beberapa ahli di bidang budidaya organik yang lain yaitu Klaus Mori, Kurt Egger, dan Bapa Agato Eisener
(Swiss) sangat mendukung konsep budidaya organik ini. Berkaitan dengan konsep tanaman organik
bercocok tanam dengan cara menumpang sari, yaitu dalam satu luasan ditanam beberapa jenis
tanaman. Upaya ini pada awalnya memang sangat sulit dan cukup sulit untuk mengubah sistem bercocok
tanam yang telah lama dilakukan petani menuju sistem budidaya organik. Kendala ini sangat menarik
perhatian pada saat menghadapi serangan hama atau penyakit karena dalam sistem budidaya organik
tidak digunakan pestisida. Petani umum juga belum siap menentang kenyataan hasil panen sangat buruk
dan di pasar senang sangat murah. Namun demikian, masalah-masalah tersebut sudah dapat diatasi
sedikit demi sedikit,

Departemen Pertanian pernah mencetuskan suatu tema ”Menuju Pertanian Organik 2010”. Hal ini
merupakan salah satu langkah strategis dalam rangka meningkatkan terwujudnya program
pembangunan agribisnis berwawasan Lingkungan (ecoagri¬business) untuk meningkatkan ketahanan
pangan dan kesejahteraan masya¬rakat. Selanjutnya, diberikan pertanian organik, sistem produksi yang
holistik dan terpadu dengan mengutamakan kesehatan dan pertanian, produktivitas, dan produksi
pertanian yang kaya, berkualitas, dan berkembangan.

Untuk itu, beberapa teknik dilakukan di pertanian organik sebagai berikut:

1. Mengindari penggunaan benih / bibit hasil rekayasa genetika.

2. Menghindari penggunaan pestisida kimia sintesis. Pengendalian gulma, hama mapun penyakit dapat
dilakukan dengan mekanisme, biologis, dan rotasi tanaman.

3. Menghindari penggunaan zat pengatur dan pupuk kimia sintesis. Untuk itu, kesuburan dan
produktivitas tanah di¬tingkatkan dan dipelihara melalui penggunaan bahan-bahan organik yang
mengandung humus, tanaman serasah, pupuk kompos, pupuk, dan pertambangan mineral alami, serta
tanam legum (tanaman polong-polongan), dan pemindahan tanaman.

Tumbuhan Obat Unggulan

Berdasarkan Badan POM Depkes RI ada 9 tanaman obat unggulan Indonesia. Pengembangan produk
obat bahan alam ke arah Fitofarmaka dengan melakukan penemuan penelitian 9 ¬ adap tumbuhan
tumbuhan tumbuhan tumbuhan tumbuhan tumbuhan tumbuhan tumbuhan tumbuhan tumbuhan
tumbuhan tumbuhan tumbuhan tumbuhan tumbuhan tumbuhan

Obat bahan alam yang telah dibuktikan khasiat dan keasuran klinik uji sejajar dengan obat modern. Oleh
karena itu tidak sesuai dengan alasan penggunaan, fitofarmaka pada pelayanan kesehatan formal sesuai
dengan tujuan penggunaannya.

Kesembilan tumbuhan obat unggulan adalah:


1. Salam (Eugenia polyantha), bagian daunnya berkhasiat: anti¬hipertensi, imunomodulator, dan
diabetes.

2. Sambiloto (Andrographis paniculata), bagian tanaman di atas tanah berkhasiat; diabetes,


antiinflamasi, antihipertensi, dan antimikroba.

3. Kunyit (Curcuma domestica), bagian rimpang berkhasiat; penurunan hepatoprotektor, antiinflamasi,


dan dispepsia (gangguan pencernaan).

4. Temulawak (Curcuma xanthorriza) bagian rimpang ber¬kha¬siat; hepatoprotektor, antiinflamasi,


dispepsia (gangguan pencernaan).

5. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia) bagian daun berkhasiat; menurunkan kolesterol, dan diabetes.

6. Cabe Jawa (Piper retrofractum) bagian buah berkhasiat; andro¬genik, dan anabolik.

7. Mengkudu / Pace (Morinda citrifolia) bagian buah masak berkhasiat; antihipertensi, imunomodulator,
diabetes.

8. Jambu biji (Psidium guajava) bagian daun untuk mengobati demam berdarah.

9. Jahe merah (Zingiber officinale) bagian rimpang berkhasiat; antiinflamasi, analgesik, rheumatik.

Penelitian-penelitian terhadap tanaman obat unggulan telah dilakukan oleh pihak terkait dan perguruan
tinggi, terkait yang pernah penulis lakukan terhadap tanaman obat sambiloto atas payung kerjasama
BPTO dengan Fakultas Pertanian UNS. Mengambil salah satu tanaman obat unggulan, berdasarkan survai
yang penulis lakukan harus dibudidayakan, dan diambil dari hutan-hutan, sehingga dapat diakses
kelestarian alam. Terkait dengan pertanian berkelanjutan, sambiloto perlu didomestikasi
(dibudidayakan), sehingga sebagai bahan obat herbal dapat terpenuhi baik kualitas dan kualitas,
sekaligus memperbaiki erosi plasmanutfah dan kerusakan alam. Diharapkan hasil penelitian akan
meningkatkan pemanfaatan bahan obat dalam pelayanan kesehatan masyarakat.

Pengembangan memanfaatkan obat bahan dalam pela¬yanan kesehatan masyarakat Membuka peluang
bagi produsen untuk mengembangkan produknya ke Arah fitofarmaka. Untuk melindungi masyarakat
dari produk yang tidak memenuhi persyaratan, keamanan dan manfaat yang ada dari Badan POM yang
melakukan pengawasan terhadap produk sebelum dan setelah dipindahkan. Sebelum disponsori, produk
didaftarkan di Badan POM untuk dinilai berdasarkan aspek kualifikasi, keamanan dan manfaat, dan
persetujuan telah memenuhi persyaratan maka diberikan persetujuan agar produk tersebut dapat
diluncurkan. Terhadap produk yang telah diterbitkan dilakukan kegatan survei dan pemantauan dengan
parameter parameter efek samping, kegiatan yang merugikan serta periklanan dan promosi.
Pengembangan Budidaya Tumbuhan Obat dengan Riset Aksi

Riset Aksi (penelitian tindakan) merupakam metode pembelajaran masyarakat menjadi pilihan tepat
untuk pengembangan masyarakat dalam kerangka pemasyarakatan budidaya tanaman obat yang
berorientasi komersial.

Dalam penelitian aksi yang dilakukan usaha-usaha untuk mendorong masya¬rakat baik individu maupun
kelompok untuk memanfaatakan potensi yang ada pada diri mereka untuk mengembangkan diri dan
melakukan perbaikan-perbaikan.

Pertama kali yang perlu dibuka dalam paket penemuan tanaman obat adalah melakukan pengumpulan
data pendahuluan (perlu penilaian); yang dalam hal ini dapat diketahui kebutuhan-kebutuhan apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat lokal. Setelah diketahui oleh masyarakat tentang potensi pengembangan
masyarakat terhadap pengembangan tanaman obat lalu diadakan persiapan sosial, pengorganisasian
masyarakat dan kemudian dilakukan kegiatan-kegiatan yang dapat terdiri dari pembuatan percontohan
(lahan percontohan) yang berisi percobaan-percobaan yang berkaitan dengan penanaman tanaman obat
untuk mendapatkan paket teknologi yang guna tepat. Mulai dari persiapan sampai evaluasi, evaluasi
masyarakat dilibatkan aktif. Setiap tahapan riset tindakan diadakan ”back up research” untuk
menindaklanjuti kegiatan-kegiatan yang menonjol atau hal-hal yang perlu dibahas lebih lanjut. Tahap
akhir dari riset aksi adalah pelembagaan (institusionalisasi), jika program komoditi tanaman obat dengan
paket teknologinya telah teruji dengan baik.

Hadirin yang saya hormati,

Uraian yang telah saya sampaikan dapat diambil kesimpulannya sebagai (1) pengembangan budidaya
tanaman harus memperhatikan kaidah-kaidah alam, dengan strategi melaku¬kan domestikasi terhadap
tanaman obat organik, (2) pengem¬bangan tumbuhan obat didahulukan yang unggul dan prospektif
dengan Telah teruji oleh klinik untuk memperoleh Manfaat sebesar-besarnya tanpa merusak Lingkungan,
(3) pengembangan budidaya tanaman dapat dilakukan dengan cara penelitian aksi (penelitian tindakan)
dengan pelibatan masyarakat di semua perkembangan kegiatan. Akhirnya sukses pengembangan
tanaman obat antara petani (industri hulu), pengumpul / pedagang antara, dan pabrik / eksportir obat
herbal (industri hilir). Semua pihak, baik petani, pedagang, industri obat,

Anda mungkin juga menyukai