Anda di halaman 1dari 6

BAGAIMANA BAKTERI BISA JADI KEBAL TERHADAP ANTIBIOTIK?

Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang ditemukan di seluruh bagian dalam dan
di luar tubuh. Tidak semua bakteri berbahaya, bahkan ada yang benar-benar membantu,
termasuk bakteri baik yang hidup di usus. Sementara bakteri jahat juga banyak tersebar, dan
beberapa menyebabkan penyakit. Antibiotik digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri, yang
terkadang juga bisa menyebabkan resistensi bakteri. Apa itu resistensi bakteri? Apa
penyebabnya?
Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan yang utama di beberapa negara,
khususnya di negara berkembang (Kementerian kesehatan RI, 2011). Penyebab infeksi
disebabkan oleh sejumlah mikroorganisme seperti bakteri yang bersifat patogen yang biasa
dikenal dengan kuman penyakit. Sejumlah bahan antimikroorganisme yang digunakan untuk
menghambat kuman penyakit penyebab infeksi telah lama dikembangkan pada tingkat
organisme, baik seluler maupun molekuler. Bahan antimikroorganisme tersebut dikenal dengan
antibiotik.
A. Antibiotik
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi atau bakteri, yang memiliki
khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen, sedangkan
toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat yang dibuat secara semi sintesis tersebut
juga termasuk kelompok antibiotik, begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri
(Tjay dan Rahardja, 2007). Antibiotik sebagai obat untuk menanggulangi penyakit infeksi,
penggunaannya harus rasional, tepat dan aman. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan
menimbulkan dampak negatif, seperti terjadinya kekebalan mikroorganisme terhadap beberapa
antibiotik, meningkatnya efek samping obat dan bahkan berdampak kematian.
Penggunaan antibiotik dikatakan tepat bila efek terapi mencapai maksimal sementara efek
toksik yang berhubungan dengan obat menjadi minimum, serta perkembangan antibiotik resisten
seminimal mungkin (WHO, 2008).
Cara kerja antibiotik yaitu Antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal (membunuh
bakteri secara langsung) atau bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Pada kondisi
bakteriostasis, mekanisme pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan produksi antibodi
biasanya akan merusak mikroorganisme. Ada beberapa cara kerja antibiotik terhadap bakteri
sebagai targetnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein, merusak
membran plasma, menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat sintesis metabolit
esensial. Dinding sel bakteri terdiri atas jaringan makromolekuler yang disebut peptidoglikan.
Dampak negatif akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional, penggunaan antibiotik
yang terlalu sering, penggunaan antibiotik baru yang berlebihan, dan penggunaan antibiotik
dalam jangka waktu yang lama ialah timbulnya resistensi mikroorganisme terhadap berbagai
antibiotik (multidrug-resistance). Hal ini mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif,
peningkatan morbiditas maupun mortalitas pasien, dan peningkatan biaya kesehatan
(Kementerian kesehatan RI, 2005). Resistensi juga muncul karena penggunaan yang berlebihan
dari antibiotik berspektrum luas atau penggunaan antibiotik yang ditujukan pada tanaman dan
hewan dalam jangka waktu yang lama sehingga berimbas kepada manusia (Mulyani, 2013).
B. Resistensi Antibiotik
Infeksi bakteri biasanya diobati dengan antibiotik. Namun, bakteri lama-lama bisa
beradaptasi dengan obat-obatan dan menjadi makin sulit untuk dibunuh. Ini yang disebut dengan
resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Beberapa bakteri secara alami dapat melawan beberapa jenis antibiotik tertentu. Bakteri bisa
menjadi resisten terhadap antibiotik jika gen bakteri berubah atau bakteri mendapat gen yang
resistan terhadap obat dari bakteri lain.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik, khususnya antibiotik golongan β-lactam terus meningkat
secara memprihatinkan. Hasil penelitian pada tahun 2003 menyebutkan tentang kejadian
resistensi terhadap penicilin dan tetrasiklin oleh bakteri patogen diare dan Neisseria gonorrhoeae
telah hampir mencapai 100% di seluruh area di Indonesia (Hadi, 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ilma Asharina (2016) diperoleh data bahwa
antibiotik dapat dibeli tanpa resep di 64% negara Asia Tenggara”. Hal tersebut secara tidak
langsung dapat memicu terjadinya resistensi antibiotik. WHO mengeluarkan data bahwa
setidaknya ada 2.049.442 kasus kesakitan karena resistensi antibiotik dan 23.000 diantaranya
meninggal dunia. Memang, tidak ada manusia yang dapat menghindari penyakit, terlebih lagi
dari penyakit infeksi. penanggung jawab resistensi antimikroba WHO Indonesia, dr. Dewi
Indriani, lebih lanjut menjelaskan bahwa resistensi antibiotik terjadi saat reaksi bakteri terhadap
antibiotika tidak sebagaimana harusnya, sehingga antibiotika tidak ampuh lagi. “Kita
mengkhawatirkan terjadinya era post antibiotic, dimana penyakit sederhanya yang sebenarnya
bisa disembuhkan antibiotik malah jadi berbahaya”, jelas dr. Dewi dalam kegiatan media
briefing bertajuk One Heath Approach: Strategi Kurangi Maraknya Bakteri Kebal Antibiotik
yang diselenggarakan di Balai Kartini, Jakarta, selasa pagi (19/4).
C. Mutasi DNA Penyebab Resistensi Antibiotik
Mutasi mengarah pada suatu perubahan senyawa kimia pada DNA. Mutan merupakan individu
yang mengalami perubahan pada satu atau lebih basa DNAnya: perubahan ini dapat diwariskan dan
irreversibel (kecuali terjadi mutasi-balik ke urutan awal).
Bakteri rentan terhadap mutasi alias perubahan DNA. Ini adalah bagian dari evolusi alami
bakteri dan memungkinkan bakteri untuk terus menyesuaikan susunan genetiknya.
Mutasi melibatkan sejumlah gen pada DNA bakteri: beberapa mutasi tidak pernah dideteksi
karena tergantung pada mutasi mempengaruhi suatu fungsi yang dapat dikenali (contoh,
penyebab resistensi antibiotik).
Ketika suatu bakteri secara alami menjadi resisten terhadap obat antibiotik, bakteri tersebut
akan tetap bertahan, ketika jenis yang lain terbunuh. Bakteri yang tetap bertahan ini
kemungkinan akan menyebar dan menjadi dominan, sehingga bisa menyebabkan infeksi.Selain
itu, bakteri adalah mikroba yang mudah berpindah-pindah, yang membuat bakteri untuk
bersentuhan dengan mikroba lain dan meneruskan gen mutasi ke bakteri lain.
Jadi, ketika manusia menggunakan antibiotik untuk membunuh bakteri, seringkali kemudian
bakteri secara spontan memutasi gennya, yang mengubah komposisi mereka dengan cara tertentu
yang menyebabkan antibiotik tidak dapat membunuhnya. Bakteri yang bertahan ini meneruskan
gen ini kepada bakteri melalui perkawinan yang sederhana (secara teknis dikenal sebagai
'konjugasi') dan resistensi bakteri tersebut dapat menyebar dari satu makhluk hidup ke makhluk
hidup lainnya.
D. Mengenal Penyakit Radang Tenggorokan Akibat Infeksi Bakteri Streptococcus
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ilma Asharina (2016) diperoleh data bahwa
antibiotik dapat dibeli tanpa resep di 64% negara Asia Tenggara”. Hal tersebut secara tidak
langsung dapat memicu terjadinya resistensi antibiotik. WHO mengeluarkan data bahwa
setidaknya ada 2.049.442 kasus kesakitan karena resistensi antibiotik dan 23.000 diantaranya
meninggal dunia. Memang, tidak ada manusia yang dapat menghindari penyakit, terlebih lagi
dari penyakit infeksi. penanggung jawab resistensi antimikroba WHO Indonesia, dr. Dewi
Indriani, lebih lanjut menjelaskan bahwa resistensi antibiotik terjadi saat reaksi bakteri terhadap
antibiotika tidak sebagaimana harusnya, sehingga antibiotika tidak ampuh lagi. “Kita
mengkhawatirkan terjadinya era post antibiotic, dimana penyakit sederhanya yang sebenarnya
bisa disembuhkan antibiotik malah jadi berbahaya”, jelas dr. Dewi dalam kegiatan media
briefing bertajuk One Heath Approach: Strategi Kurangi Maraknya Bakteri Kebal Antibiotik
yang diselenggarakan di Balai Kartini, Jakarta, selasa pagi (19/4).
Dikutip dari Healthline, radang tenggorokan merupakan salah satu keluhan paling umum
yang dirasakan saat seseorang memeriksakan ke dokter. Diperkirakan tiap tahun ada 13 juta
kunjungan ke dokter dengan keluhan tersebut. Didefinisikan sebagai keluhan nyeri, kering, dan
gatal di tenggorokan, penyebab paling umum pada keluhan ini adalah infeksi. Sering
menyebabkan susah bicara apalagi menelan, dan menyebabkan tonsil tampak memerah pertanda
radang. Infeksi bakteri streptococcus merupakan penyebab pada 40 persen radang tenggorokan
pada anak.
Dalam mengatasi infeksi Streptococcus, dokter akan memberikan antibiotik pada pasien.
Jenis antibiotik dan besarnya dosis yang diberikan akan berbeda-beda tergantung kondisinya.
Antibiotik yang biasa diberikan oleh dokter untuk mengatasi infeksi Streptococcus tipe A adalah
Penisilin, Amoxicillin dan Sefalosporin. Sefalosporin generasi ketiga, seperti ceftriaxone, dapat
diberikan melalui suntikan untuk mengatasi infeksi Streptococcus tipe A yang lebih berat. Pasien
yang memiliki alergi terhadap obat penisilin, dapat diberikan antibiotik erythromycin atau
azithromycin sebagai pengganti. Besarnya dosis yang dibutuhkan berbeda, tergantung keparahan
kondisi pasien.
Resistensin bakteri terhadap penisilin dapat timbul akibat adanya mutasi yang menyebabkan
dihasilkannya produksi pengikat penisilin yang berbeda atau akibat bakteri memerlukan gen-gen
protein pengiakt penisilin yang baru. Resistensi terhadap penisilin juga dapat muncul akibat
bakteri memiliki sistem transfor membran luar (outer membrane) yang terbatas, yang mencegah
penisilin mencapai membran sitoplasma (lokasi protein pengikat penisilin). Hal ini dapat terjadi
akibat adanya mutasi yang mengubah porin yang etrlibat dalam transport melewati membrane
luar. Hal lain yang memungkinkan terjadinya resistensi bakteri terhadap penisilin dan
sefalosporin adalah apabila bakteri memiliki kemampuan untuk memproduksi β-laktamase, yang
akan menghidrolisis ikatan pada cincin β-laktam molekul penisilin dan mengakibatkan inaktivasi
antimikroba.
E. Menyambuhkan Radang Tenggorokan Tanpa Antibiotik
Prof Dr dr Usman Hadi MD PhD Sp PD-KPTl, guru besar Universitas Airlangga (Unair),
Surabaya, dalam sebuah diskusi (12/2/2017) menyebutkan dari berbagai studi ditemukan sekitar
40-62 persen obat antibiotik dipakai secara tidak tepat, antara Iain untuk penyakit-penyakit yang
sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Bahkan dalam operasi hampir beragam operasi tidak
membutuhkan antibiotik

Vorvick, L. J. Medline Plus (2017). National Institutes of Health, U.S. National Library of
Medicine. Pharyngitis – Sore Throat. Dan ENT Health (2018). American Academy of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery Foundation. Sore Throats menyimpulkan beberapa
penanganan terhadap radang tenggorokan tanpa antibiotic diantaranya :

1. Perbanyak minum air putih


Kekurangan cairan atau dehidrasi dapat memperparah gejala radang tenggorokan. Anda
juga bisa mengonsumsi minuman hangat seperti campuran teh lemon dengan madu, agar
tenggorokan terasa lebih nyaman.
2. Mengonsumsi makanan lembut
Sementara pilihlah jenis makanan yang lembut dan tidak mengganggu atau melukai
tenggorokan yang sedang meradang. Misalnya sup, bubur ayam, atau nasi tim, pastikan
tidak terlalu panas.
3. Berkumur dengan air garam
Tindakan ini dipercaya mampu membantu mengurangi keluhan peradangan pada
tenggorokan. Lakukan pada tenggorokan (gargle) 2 hingga 3 kali sehari, menggunakan
campuran setengah cangkir air putih dan seperempat sendok garam. Namun hindari
lakukan aktivitas ini pada anak-anak yang masih terlalu kecil, atau belum mampu
meludah.
4. Menghirup udara lembap
Udara lembap pada saluran napas bagian atas akan membantu membersihkan lendir dan
cairan akibat peradangan. Hindari terlalu lama berada dalam ruangan ber-AC, atau
gunakanlah pelembap udara (humidifier).
5. Jangan terlalu banyak bersuara
Penggunaan pita suara secara berlebihan dapat memperparah radang tenggorokan. Agar
radang cepat sembuh, maka minimalkan penggunaan pita suara dengan kurangi berbicara,
setidaknya hindari bersuara keras.
6. Berhenti merokok
Jika Anda seorang perokok, disarankan untuk segera menghentikan kebiasaan tersebut.
Hal ini akan memberikan efek positif terutama jika radang disebabkan oleh
infeksi. Berhenti merokok akan membuat waktu penyembuhan lebih cepat.

Anda mungkin juga menyukai