Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

WAKTU PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA


TINDAKAN LOKAL ANESTESI

Kelompok F RSUPP - RSUPP

Febby Sitti N 1706030390

SUPERVISOR:
drg. Yudy Ardilla Utomo, SpBM

DEPARTEMEN BEDAH MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS INDONESIA

MARET 2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................... 2
BAB I...................................................................................................................................... 3
Pendahuluan.......................................................................................................................... 3
BAB II..................................................................................................................................... 5
Tinjauan Pustaka.................................................................................................................... 5
BAB III.................................................................................................................................. 12
Pembahasan........................................................................................................................ 12
BAB IV.................................................................................................................................. 14
KESIMPULAN...................................................................................................................... 14
Daftar Pustaka...................................................................................................................... 15

2
BAB I

Pendahuluan

Kedokteran gigi adalah salah satu bidang spesialisasi yang bertujuan untuk menangani
dan mengobati infeksi gigi atau memulihkan dan merehabilitasi struktur gigi yang hilang
akibat proses infeksi bakteri. Penggunaan antibiotik merupakan salah satu bagian dari terapi
farmakologi bidang kedokteran gigi sehingga meresepkan antibiotik merupakan hak istimewa
yang dimiliki oleh dokter gigi yang tidak boleh disalahgunakan. Penggunaan antibiotik yang
tidak tepat dan rasional akan menyebabkan peningkatan beban pasien dan masyarakat dengan
meningkatnya biaya pengobatan, efek samping, dan juga memiliki risiko terjadinya resistensi
antibiotik. Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme antara lain
bakteri dan fungi yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme jenis lain. 1
Pemakaian antibiotik sebagai terapi dasar dalam penyakit infeksi harus dilakukan secara bijak
dan rasional untuk menghindari terjadinya peningkatan resistensi antibiotik dan efek samping
dan kerugian-kerugian yang tidak diinginkan yang menyebabkan penyakit infeksi akan
semakin sulit ditangani. Obat yang digunakan untuk menangani mikroba sebagai penyebab
infeksi pada gigi dan mulut manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin.
Dalam hal ini artinya obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi
relatif tidak toksik untuk hospes.2
Salah satu antibiotik yang sering digunakan dalam kedokteran gigi yaitu antibiotik
profilaksis. Antibiotik profilaksis merupakan bentuk antibiotik yang digunakan untuk
mencegah infeksi atau menekan kontak infeksi sebelum bermanifestasi secara klinis.
Penggunaan antibiotik profilaksis biasanya diberikan pada pasien yang memiliki resiko tinggi
terkena infeksi. Jadi dapat disimpulkan bahwa antibiotik untuk profilaksis adalah pemberian
antibiotik sebelum adanya tanda-tanda dan gejala akan terjadinya suatu infeksi dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya manifestasi klinik infeksi tersebut yang diduga akan bisa terjadi.
Antibiotik untuk profilaksis memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan oleh karena itu
penggunaannya perlu didasarkan pada prinsip-prinsip penggunaan antibiotik untuk profilaksis
yang rasional. Penggunaan antibiotik profilaksis dikatakan rasional jika memenuhi kriteria
resiko infeksi yang tepat, antibiotik yang tepat, dosis yang tepat, saat pemberian yang tepat,
jangka waktu pemberian yang tepat, dan harga yang terjangkau.2
Pada umumnya antibiotik profilaksis sering kali diberikan pada pasien-pasien yang akan

3
menjalani prosedur dental guna mencegah infeksi odontogenik dan bakteremia yang dapat
menyebabkan endokarditis infektif dan infeksi sendi prosthesis ataupun infeksi lokal. 3,4
Namun seiring berjalannya waktu studi dan rekomendasi terbaru sudah mulai menggeser
pernyataan ini. Pemberian profilaksis antibiotik pada prosedur dental tidak lagi
direkomendasikan untuk diberikan secara rutin pada pasien. Hal ini dikarenakan pemberian
antibiotik profilaksis secara rutin diragukan efektifitasnya dan dapat memicu overpreskripsi
antibiotik, sehingga terjadi resistensi antimikroba, peningkatan biaya medis yang tidak
diperlukan, serta risiko efek samping tanpa adanya manfaat yang jelas. 3,5 Profilaksis
antibiotik hanya dapat diberikan apabila terdapat indikasi dan harus melalui penilaian klinis
dokter yang tepat.4
Pada kasus bedah mulut, antibiotik untuk profilaksis diberikan dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi luka operasi dan pencegahan penyebaran infeksi seperti infeksi
kardial. Untuk mencegah infeksi Iuka operasi, faktor teknik operasi dan asepsis sangat
berperan sebagai kontrol infeksi. Tidak semua kasus memerlukan antibiotik untuk profilaksis.
Individu dengan mekanisme pertahanan tubuh yang tinggi atau normal pada prosedur operasi
ringan dapat mengatasi kontaminasi bakteri tanpa pemberian antibiotik selama. Sedangkan
untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi, terdapat kategori-kategori kondisi pasien
dimana antibiotik untuk profilaksis perlu diberikan sebelum prosedur bedah mulut dilakukan.
Antibiotik yang menjadi piIihan utama adalah Penicillin karena bersifat bakterisidal, non
toksik, memiliki efektifitas yang tinggi terhadap bakteri aerob dan anaerob yang merupakan
flora normal rongga mulut, dan harganya lebih terjangkau. Selanjutnya, jika penderita alergi
terhadap penicillin, digunakan erythromycin atau cephalosporin atau clindamycin.6

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Definisi Antibiotik
Pada umumnya antibakteri dapat dibagi menjadi dua, yaitu antibiotik dan agen
kemoterapetik. Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang
mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menhambat pertumbuhan atau
membunuh mikroorganisme, contohnya penisilin, sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin,
dan lain- lain.Antibiotik yang relatif non toksis bagi pejamunya digunakan sebagai agen

4
kemoterapetik dalam pengobatan penyakit infeksi pada manusia, hewan dan tanaman.Istilah
ini sebelumnya digunakan terbatas pada zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme, tetapi
penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan aktivitas
kimia yang mirip, contohnya sulfonamida, kuinolon dan fluorikuinolon. 7 Antibiotika sebagai
obat untuk menanggulangi penyakit infeksi, penggunaannya harus rasional, tepat dan aman.
Penggunaan antibiotika yang tidak rasional akan menimbulkan dampak negatif, seperti terjadi
kekebalan kuman terhadap beberapa antibiotika, meningkatnya efek samping obat dan
bahkan kematian. Penggunaan antibiotika dikatakan tepat bila efek terapi mencapai maksimal
sementara efek toksis yang berhubungan dengan obat menjadi minimum, serta perkembangan
antibiotika resisten seminimal mungkin.8

B. Golongan Antibiotik
Antibiotika digolongkan dalam enam kelompok, yaitu penisilin dan sefalosporin,
kelompok tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan linkomisin, polipeptida, serta kelompok
sisa (polyen, rifamisin, dan lain-lain).9 Masing-masing kelompok akan dijelaskan berikut ini:

1. Penisilin.
Antibiotika golongan penisilin ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu penisilin dan
sefalosporin. Penisilin dan sefalosporin merupakan kelompok antibiotik betalaktam yang
sudal lama di kenal sejak abad ke-19. Penisilin diperoleh dari biakan penicillium notatum
untuk perkembangbiakan sistemik, kemudian menggunakan penicilium chrysogenum.
Sefalosporin diperoleh dari biakan cephalorium acremonium oleh Brotzu pada abad yang
sama. Kedua kelompok antibiotika tersebut memiliki bentuk bangun yang serupa, keduanya
memiliki cincin beta-laktam. Cincin ini merupakan syarat mutlak untuk menguji
keampuhannya. Ketika cincin ini dibuka misalnya oleh enzim beta- laktamase (penisilinase
atau sefalosporinase), maka antibiotik tersebut menjadi inaktif. Pada umumnya penisilinase
hanya dapat menginaktifkan penisilin dan tidak pada sefalosporin, begitu sebaliknya berlaku
untuk sefalosporinase.
Penisilin dapat dibagi dalam beberapa jenis menurut aktivitas dan resistensinya
terhadap laktamase:
A. Zat –zat dengan spektrum-sempit: benzilpenisilin, penisilin-V dan fenetisilin.
B. Zat-zat tahan-laktamase: metisilin, kloksasilin, dan flukloksasilin.
C. Zat-zat dengan spektrum-luas: ampisilin dan amoksisilin.
D. Zat-zat anti-pseudomonas: tikarsilin dan piperasilin.

5
Sefalosporin diperoleh secara semisintesis dari sefalosporin-C yang dihasilkan jamur
cephalorium acremonium. Berdasarkan keampuhan antimikoba dan resistensinya terhadap
beta-laktamase, sefalosporin umumnya digolongkan sebagai berikut:
A. Generasi 1 : sefalotin dan sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil.
B. Generasi 2 : sefaklor, sefamandol, sefmetazol dan sefuroksim.
C. Generasi 3 : sefoperazon, sefotaksim, seftizoksim, seftriakson, sefotiam, sefiksim,
sefpodoksim, dan sefprozil.
D. Generasi 4 : sefepim dan sefpirom

2. Aminoglikosida.
Aminoglikosida adalah antibiotika yang dihasilkan dari jenis-jenis fungi streptomyces dan
fungus lainnya (mikromonospora). Semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya
mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam molekulnya yang saling terikat secara
glukosidis. Aminoglikosida dapat dibagi atas dasar rumus kimianya, sebagai berikut :
A. Streptomisin
B. Kanamisin dengan turunannya amikasin, dibekasin, gentamisin dan turunannya
netilmisin dan tobramisin.
C. Neomisin, framisetin, paromomisin.

3. Tetrasiklin.
Tetrasiklin adalalah antibiotik yang di hasilkan oleh streptomyces aureofaciens,
Streptomyces rimosus. Tetrasiklin di buat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga
dapat di peroleh oleh dari streptomyces yang lain. Setelah tahun 1960 zat-induk tetrasiklin,
mulai dibuat seluruhnya secara sintesis, yang kemudian disusul oleh derivat –oksi dan –klor
serta senyawa long-acting doksisiklin dan minosiklin.

4. Makrolida dan Linkomisin.


Antibiotik golongan makrolid persamaan, yaitu terdapatnya cincin lakton yang besar
dalam rumus molekulmnya. Kelompok antibiotika makrolida dan linkomisin ini terdiri dari
eritromisin, dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, diritromisin. Pada
golongan tersebut Eritromisin lah yang paling di anggap paling penting. Spiramisin dianggap
termasuk kelompok ini karena rumus bangunnya yang serupa, yaitu cincin lakton besar
(makro) yang mana terikat turunan gula. Linkomisin dan klindamisin secara kimiawi berbeda
dengan eritomisin, akan tetapi mirip sekali dengan aktivitas, mekanisme kerja dan pola

6
resistensinya, bahkan terdapat resistensi-yang silang dan antagonisme.

5. Polipeptida.
Antibiotika golongan ini meliputi polimiksin A, B, C, D dan E. Merupakan kelompok
antibiotika yang terdiri dari rangkaian polipeptida dan secara selektif aktif terhadap kuman
gram negatif, misalnya psedudomonas maupun kuman- kuman koliform yang lain.
Antibiotika ini berlainan dengan antibiotika lainnya yang diperoleh dari jamur, obat-obat ini
dihasilkan oleh sejenis bakteri.

6. Antibiotika lainnya.
a. Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antimikroba bakteriostatik dan memiliki spektrum yang luas.
b. Vancomisin
Menurut American Journal of Health System Pharmacy, vancomisin merupakan salah
satu antibiotik yang penggunaannya paling luas dalam pengobatan infeksi serius bakteri gram
positif yang melibatkan methicilin resistant S. aureus (MRSA). Antibiotikum glikopeptida ini
dihasilkan oleh Streptomyces orientalis.
c. Spektinomisin
Spektinomisin adalah antibiotik yang memiliki broad-spectrum ampuh membasmi
sejumlah kuman gram-positif dan gram-negatif yang di peroleh dari biakan Streptomyces
spectabilis
d. Linezolid
Linezolid adalah senyawa antimicrobial. Antibiotika ini termasuk kelas antibiotika
terbaru yaitu oxazolidindion, antibiotik tersbut ditemukan di tahun 1980. Linezolid bekerja
dengan cara mengganggu produksi protein yang diperlukan bakteri untuk tumbuh.
e. Asam fusidat
Asam fusidat adalah antibiotikum dengan rumus steroida yang mirip dengan struktur
asam empedu ini dihasilkan oleh jamur Fusidum coccineum.
f. Mupirosin
Mupirosin merupakan senyawa yang dihasilkan oleh kuman Pseudomonas
fluorescens.

7. Fluorokuinolon.
Fluorokuinolon merupakan golongan kuinolon baru dengan atom fluor pada cincin

7
kuinolon. Antibiotik ini adalah antibiotik satu-satunya kelas antibiotik yang secara langsung
menghentikan sintesis DNA bakteri Karena sifatnya yang mudah diserap sangat baik oleh
tubuh.

C. Cara Kerja dan Dosis Antibiotik


Pemahaman kita tentang bagaimana antibiotik menyebabkan kematian sel bakteri
berpusat pada fungsi seluler esensial yang dihambat oleh interaksi obat dengan target utama.
Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan komponen atau sistem seluler yang
dipengaruhinya, selain apakah antibiotik tersebut menyebabkan kematian sel (obat
bakterisidal) atau hanya menghambat pertumbuhan sel (obat bakteriostatik). Antimikroba
bakterisida terbagi menjadi antimikroba yang menghambat sintesis DNA, sintesis RNA,
sintesis dinding sel, atau sintesis protein. Kematian sel yang dimediasi oleh antibiotik adalah
proses kompleks yang dimulai dengan interaksi fisik antara molekul obat dan target spesifik
bakterinya dan melibatkan perubahan pada bakteri yang terkena dampak pada tingkat
biokimia, molekuler dan ultrastruktural.10
Kematian sel yang diinduksi oleh antibiotik telah dikaitkan dengan pembentukan
kerusakan DNA untai ganda setelah pengobatan dengan inhibitor gyrase. Kemudian terjadi
penghentian sintesis RNA setelah pengobatan dengan rifamycins. Kemudian terdapat pula
kerusakan selubung sel dan hilangnya integritas struktural setelah pengobatan dengan
inhibitor sintesis dinding sel. Terdapat pula mekanisme pengikatan ribosom dan kesalahan
penerjemahan protein setelah pengobatan dengan inhibitor sintesis protein.10
Antibiotik dapat bergantung pada konsentrasi pembunuhan dan waktu pembunuhan.
Obat yang bergantung pada konsentrasi menyebabkan kematian bakteri hadir di atas
konsentrasi tertentu. Meningkatnya konsentrasi akan menghasilkan pembunuhan yang lebih
cepat. Dosis tunggal yang tinggi tmungkin cukup untuk mencapai efek membunuh bakteri.
Misalnya, metronidazol. Terdapat pula obat yang bergantung pada waktu, efek terbaiknya
hadir pada tingkat terapeutik untuk jangka waktu tertentu. Tingkat terapeutik obat harus
dipertahankan untuk waktu yang lama untuk mencapai efek terbaik. Meningkatkan
konsentrasi obat tidak berpengaruh pada kemanjurannya. Obat mungkin lebih baik digunakan
dengan meningkatkan frekuensi pemberiannya daripada meningkatkan dosis. Kelompok obat
penisilin termasuk dalam profil ini.1
Terdapat pertanyaan apakah 250 mg amoksisilin yang diberikan 4 kali sehari lebih
bermanfaat daripada 500 mg amoksisilin diberikan 3 kali sehari. Ataukah amoksisilin 250 mg
yang diberikan tiga kali sehari cukup. Resep yang berbeda hadir tanpa bukti yang memadai

8
kemanjurannya karena tidak ada studi yang jelas tentang dosis dan frekuensi terbaik yang
berlaku untuk kedokteran gigi. Dosis antibiotik yang lebih tinggi yang diberikan untuk durasi
yang lebih pendek dianjurkan dalam beberapa tahun terakhir. Regimen ini akan menghindari
terjadinya resistensi mikroba dan risiko alergi atau efek samping yang minimal. Resistensi
antibiotik biasanya terjadi setelah penggunaan antibiotik dengan dosis yang lebih rendah
untuk waktu yang lebih lama. Akan tetapi pertimbangan utama sebelum menentukan dosis
antibiotik adalah apakah antibiotik diindikasikan dalam tindakan klinis yang akan dilakukan.
Berikut adalah contoh kasus tindakan klinis yang biasa dilakukan oleh dokter gigi.1

9
Gambar 2.1 Tindakan umum dalam kedokteran gigi1

D. Peran Antibiotik di Kedokteran Gigi


Kedokteran gigi adalah spesialisasi komprehensif yang ditujukan untuk perawatan
gigi infeksi atau memulihkan dan merehabilitasi struktur gigi yang hilang karena proses
bakteri. Penggunaan antibiotik merupakan bagian integral dari kedokteran gigi dan
pemberian resep antibiotik adalah hak istimewa yang tidak boleh disalahgunakan.
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menyebabkan peningkatan beban pada pasien
dan masyarakat dengan meningkatnya biaya pengobatan dan risiko berkembangnya bakteri
yang resisten. Manajemen infeksi odontogenik melibatkan tiga fase; diagnosis, pengendalian
infeksi dan rehabilitasi / pemulihan. Antibiotik berguna di fase pengendalian infeksi.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dan diinterpretasikan dalam fase diagnostik, fase kontrol
infeksi melibatkan penghilangan fokus infeksi dan mengatasi infeksi. Ini termasuk juga
dengan penggunaan antibiotik / agen antiseptik dalam pembedahan metode untuk mengatasi
infeksi.1
Penggunaan antimikroba harus mempertimbangkan “pemilihan jenis antibiotik yang
optimal, dosis, dan durasi pengobatan antimikroba yang menghasilkan hasil klinis terbaik
untuk pengobatan atau pencegahan infeksi, dengan toksisitas minimal bagi pasien dan
dampak minimal pada resistensi berikutnya". Sebuah pertimbangan penting dalam memulai
antimikroba terapi untuk menilai apakah infeksi terlokalisasi dan mengontrol kemampuan
imun pasien dalam mengontrol bakteri tanpa didukung dengan tindakan pembedahan. Berikut
adalah pertimbangan penggunaan antibiotik dalam kedokteran gigi.1

10
Gambar 2.2 Pertimbangan penggunaan antibiotik dalam kedokteran gigi1

11
BAB III

Pembahasan

Penggunaan antibiotik ketika lokal anestesi dilakukan dalam tindakan kedokteran gigi
ringan tidak selalu diindikasikan. Contohnya pada kasus penindakan abses periodontal. Abses
periodontal seringkali dapat ditangani dengan tindakan kuretase engan anestesi lokal untuk
menghilangkan plak atau bahan etiologi lainnya. Penggunaan antibiotik tidak diindikasikan,
kecuali antibiotik sistemik dapat diindikasikan bila pasien mengalami peningkatan suhu atau
menunjukkan tanda-tanda dari selulitis dan memiliki penyakit sistemik atau penyakit
immunocompromised. Terapi antibiotik sendirian tanpa tindakan drainase dan scalling
subgingival merupakan kontraindikasi karena tidak akan mengobati kondisi pasien.1
Akan tetapi keputusan untuk menggunakan antibiotik profilaksis pada tindakan
kedokteran gigi yang berat perlu dipertimbangkan, terutama kasus infeksi. Pada kasus yang
tidak terinfeksi juga harus didasarkan pada apakah pasien memiliki faktor risiko medis yang
signifikan yang dapat mempengaruhi mekanisme kekebalan humoral dan seluler mereka.
Pertimbangan berikutnya adalah apakah ada risiko penyakit sistemik tertentu yang terkait
dengan bakteremia. Pasien yang memiliki risiko infeksi pasca operasi dapat diantisipasi
dengan pemakaian kemoprofilaksis. Tidak ada bukti bahwa penggunaan antibiotik melebihi
24-48 jam memiliki manfaat tambahan. Penggunaan antibiotik profilaksis tidak boleh
melebihi 24 jam. Antibiotik yang diberikan secara berlebih dapat menimbulkan risiko efek
samping dan komplikasi. Dosis profilaksis antibiotik biasanya dua kali lipat dosis yang
dianjurkan. Dosisnya harus diberikan sebelum pembedahan sedemikian rupa hingga puncak
konsentrasi terjadi pada saat dilakukan sayatan. Rata-rata puncak kadar serum antibiotik yaitu
60-120 menit setelah pemberian amoksisilin secara oral dan segera setelah pemberian
intravena dari amoksisilin. Oleh karena itu, amoksisilin oral 1 gram (dua kali lipat dosis
terapi 500 mg) direkomendasikan setidaknya 1 jam sebelum operasi walaupun tindakan kasus
dilakukan dengan anestesi lokal.1
Jenis antibiotik profilaksis lainnya adalah antibiotik konsentrasi tinggi yang langsung
dialirkan didalam darah. Antibiotik intravena (IV) dapat diberikan sebelumnya atau beberapa
menit sebelum mengambil sayatan. Administrasi IV berguna dalam kasus yang dilakukan
anestesi general dan sangat mudah diberikannya melalui induksi. Konsep pemberian dosis
ulang antibiotik berlaku untuk operasi kompleks yang lebih lama jangka waktunya.
Penggunaan beberapa jenis antibiotik sekaligus, belum terbukti kemanjurannya, sehingga

12
disarankan menggunakan satu jenis antibiotik pada pemberian dosis ulang antibiotik. Kepada
pasien yang alergi terhadap penisilin, klindamisin dapat digunakan.1

13
BAB IV

KESIMPULAN

Indikasi definitif untuk antibiotik dalam praktik kedokteran gigi terbatas dan spesifik,
seperti yang terlihat pada tabel 4 di tinjauan pustaka. Pada kasus tidak terinfeksi, tindakan
anestesi lokal dengan tatalaksana kuratif oleh dokter gigi sudah cukup untuk dilakukan.
Sedangkan pada kasus infeksi odontogenik dapat ditangani dengan menghilangkan fokus
infeksi dan infeksi dengan baik terhadap antibiotik tertentu seperti amoksisilin dan
metronidazol. Sementara pada kasus tindakan berat seperti operasi, antibiotik profilaksis
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya bakterimia. Penggunaan anestesi lokal dapat diberikan
antibiotik per oral 60 - 120 menit sebelum tindakan operasi. Sedangkan penggunaan anestesi
general dapat diberikan antibiotik intravena untuk memudahkan pemberian antibiotik dosis
ulang. Penggunaan antibiotik yang tepat dan resep rasional oleh dokter gigi sangat
dibutuhkan mengingat mudahnya terjadi resistensi antimikroba.

14
Daftar Pustaka

1. Ramasamy, Akilesh. (2014). A review of use of antibiotics in dentistry and


recommendations for rational antibiotic usage by dentists. The International Arabic Journal of
Antimicrobial Agents. 4. 10.3823/748.

2. Roda RP, Bagan JV, Bielsa JMS, Pastor EC. Antibiotic Use in Dental Practice. Med Oral
Patol Oral Cir Bucal 2007;12;186–192.

3. Owen CP, Huang WH. Antibiotic prophylaxis for dental procedures: is it necessary?. Aust
Prescr. 2017;40:184–8.

4. Ramu C, Padmanabhan T V. Indications of antibiotic prophylaxis in dental practice -


Review. Asian Pac J Trop Biomed. 2012;2:749–54.

5. American Dental Association. Antibiotic Prophylaxis Prior to Dental Procedures.


ADA.2018. Diakses dari: https://www.ada.org/en/member-

6. Repository.unair.ac.id. 2021. PENGGUNAAN ANTIBIOTIK UNTUK PROFILAKSIS


PADA KASUS BEDAH MULUT (STUDI PUSTAKA) Repository - UNAIR
REPOSITORY. [online] Available at: <http://repository.unair.ac.id/id/eprint/51871>
[Accessed 16 March 2021].

7. Setiabudy, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V (cetak ulang dengan perbaikan).
Jakarta: Gaya Baru.

8. Morrison, J. and Wood, D., 2004. Academic medicine in crisis. Medical Education, 38(8),
pp.796-797.

9. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

10. Kohanski, M. A., Dwyer, D. J., & Collins, J. J. (2010). How antibiotics kill bacteria: from
targets to networks. Nature reviews. Microbiology, 8(6), 423–435.
https://doi.org/10.1038/nrmicro2333

15

Anda mungkin juga menyukai