Anda di halaman 1dari 35

TUGAS RANCANGAN DAN PENGEMBANGAN FORMULA

GEL TERBINAFIN
TERFIGEL

Disusun oleh:
Kelompok 4
Christye Aulia
Gumilar Adhi Nugroho
Nevi Nur Fitriasari
Sriwulantya

1306502320
1306502472
1306502680
1306502876

PROGRAM PROFESI APOTEKER ANGKATAN 79


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan nikmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas makalah dari mata kuliah Rancangan
dan Pengembangan Formula. Dalam penyusunan makalah ini, kami mengangkat tema
mengenai PBL Terbinafin Gel, sediaan yang kami buat kami beri nama TERFIGEL.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Silvia Surini M.Pharm.Sc., Sutriyo M.Si., Apt., Kurnia Sari M.Pharm., Apt.
selaku dosen pengajar Mata Kuliah Rancangan dan Pengembangan Formula yang
sudah memberikan bimbingan untuk menyusun makalah ini.
2. Rekan-rekan tim penyusun dan seluruh rekan Apoteker angkatan 79 Fakultas Farmasi
UI yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari banyaknya kekurangan yang terdapat dimakalah ini. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah ini Semoga hasil
dari pembuatan makalah ini bermanfaat dan menginspirasi pembaca untuk dapat
mengembangkan formula obat secara komprehensif.
.
Depok, Maret 2014

Tim Penulis

ii

DAFTAR ISI
JUDUL....... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................
1.2 Tujuan .........................................................................................................................
1.3 Permasalahan ..............................................................................................................
1.4 Metode Penulisan .......................................................................................................

1
1
2
2
2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................


2.1 Kulit ............................................................................................................................
2.2 Kuku ...........................................................................................................................
2.3 Gel ..............................................................................................................................

3
3
9
10

BAB 3 PRAFORMULASI................................................................................................
3.1 Terbinafin Gel.............................................................................................................
3.2 Mekanisme Kerja........................................................................................................
3.3 Permasalahan dan Solusi ............................................................................................
3.4 Studi Praformulasi ......................................................................................................
3.5 Sifat Fisikokimia Bahan Gel Terbinafin .....................................................................

13
13
13
14
15
15

BAB 4 FORMULASI ........................................................................................................ 21


4.1 Formulasi Terbinafin Gel ........................................................................................... 21
4.2 Pembuatan Terbinafin Gel .......................................................................................... 21
BAB 5 EVALUASI SEDIAAN ......................................................................................... 23
5.1 In Process Control ...................................................................................................... 23
5.2 Post Process Control .................................................................................................. 25
BAB 6 RANCANGAN KEMASAN................................................................................. 29
6.1 Kemasan Primer ......................................................................................................... 29
6.2 Kemasan Sekunder ..................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 32

iii

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kata topikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan dengan

daerah permukaan tertentu. Dalam literatur lain disebutkan kata topikal berasal dari
kata topos yang berarti lokasi atau tempat. Secara luas obat topikal dide_nisikan sebagai
obat yang dipakai di tempat lesi. Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen
dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. sediaan topikal adalah sediaan yang
penggunaannya pada kulit dengan tujuan untuk menghasilkan efek local. Kegunaan terapetik
dari sediaan topikal ini berkaitan dengan sifat melekatnya pada kulit atau membran mukosa
selama periode waktu yang cukup lama, serta berefek farmakologis melalui mekanisme
perlindungan dan penutupan serta efek lokal oleh bahan berkhasiat.
Gel sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun
baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi
cairan. Gel adalah sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik
yang kecil atau molekul organik yang besar terpenetrasi oleh suatu cairan. Penampilan gel
adalah transparan atau berbentuk suspensi partikel koloid yang terdispersi, yang dengan
jumlah pelarut yang cukup banyak membentuk gel koloid yang mempunyai struktur tiga
dimensi.
Terbinafine gel adalah sediaan yang digunakan dalam pengobatan onkomikosis,
kandidiasis yang diaplikasikan pada kulit dan kuku sebagai antijamur. Dalam formulasi
sediaan terbinafin gel harus diperhatikan keterkaitan antara kestabilan bahan-bahan yang
terkandung dalam sediaan dengan tampilan, kemudahan dan kenyamanan dalam penggunaan
serta kebutuhan pasien. Formulasi suatu sediaan farmasi didahului dengan identifikasi
masalah yang mungkin timbul selama formulasi dan menentukan solusi yang dipilih dari
permasalahan yang timbul itu. Kemudian, ditentukan pula spesifikasi sediaan yang
diinginkan. Spesifikasi tersebut selanjutnya dijadikan acuan dalam formulasi dan evaluasi.
Setiap tahap tersebut dilakukan untuk mendapatkan sediaan gel yang memenuhi persyaratan.

1.2

Tujuan

1.2.1 Mengetahui dan memahami permasalahan fisikokimia, farmasetika, biofarmasetika dari


formulasi sediaan gel terbinafin
1.2.2 Mengetahui dan memahami proses-proses praformulasi, formulasi, pembuatan, dan
evaluasi sediaan gel terbinafin.

1.3

Permasalahan
Dalam makalah dibahas tentang permasalahan fisikokimia, farmasetika, biofarmasetika

dalam pembuatan sediaan gel terbinafin dan menemukan solusi yang tepat dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu juga, dibahas mengenai praformulasi,
formulasi, prosedur pembuatan, dan evaluasi sediaan gel terbinafin.

1.4

Metode Penulisan
Penyusunan makalah ini disusun berdasarkan metode pustaka. Penulis mengumpulkan

informasi yang berkaitan dengan tema makalah ini dari berbagai sumber berupa textbook,
jurnal-jurnal, atau situs-situs yang menampilkan informasi yang dibutuhkan dalam
penyusunan makalah ini.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kulit

2.1.1 Anatomi Kulit


Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagian tubuh,
membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya. Luas kulit pada manusia ratarata + 2 meter persegi dengan berat 10 kg jika ditimbang dengan lemaknya atau 4 kg jika
tanpa lemak atau beratnya sekitar 16% dari berat badan seseorang. Kulit memiliki fungsi
melindungi bagian tubuh dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi
perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan
tanduk secara terus menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati),
respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan pigmen
melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra violet.
Secara anatomi kulit terdiri dari banyak lapisan jaringan, tetapi pada umumnya kulit
dibagi dalam tiga lapisan jaringan yaitu epidermis, dermis, dan jaringan subkutan. Untuk
dapat lebih jelasnya, anatomi kulit dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Gambar struktur penampang kulit

1. Epidermis
Epidermis merupakan bagian kulit paling luar. Ketebalan epidermis berbeda-beda pada
berbagai bagian tubuh, yang paling tebal berukuran 1 milimeter pada telapak tangan dan
telapak kaki, dan yang paling tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi,
dahi dan perut. Sel-sel epidermis disebut keratinosit. Epidermis melekat erat pada dermis
karena secara fungsional epidermis memperoleh zat-zat makanan dan cairan antar sel dari
plasma yang merembes melalui dinding-dinding kapiler dermis ke dalam epidermis. Pada
epidermis dibedakan atas lima lapisan kulit, yaitu:
a) Lapisan tanduk (stratum corneum)
Terdiri dari beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak
mengalami proses metabolisme, tidak berwarna, dan sangat sedikit mengandung air.
Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin, jenis protein yang tidak larut dalam air
dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit
untuk memproteksi tubuh dari pengaruh luar. Secara alami, sel-sel yang sudah mati di
permukaan kulit akan melepaskan diri untuk beregenerasi. Permukaan stratum
corneum dilapisi oleh suatu lapisan pelindung lembab tipis yang bersifat asam, disebut
mantel asam kulit.
b) Lapisan Jernih (stratum lucidum)
Terletak tepat di bawah stratum corneum merupakan lapisan yang tipis, jernih,
mengandung eleidin, sangat tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki.
Antara stratum lucidum dan stratum granulosum terdapat lapisan keratin tipis yang
disebut reins barier (Szakall) yang tidak bisa ditembus (impermeable).
c) Lapisan berbutir-butir (stratum granulosum)
Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar,
berinti mengkerut. Stoughton menemukan bahwa di dalam butir keratohyalin itu
terdapat bahan logam, khususnya tembaga yang menjadi bahan katalisator proses
pertandukkan kulit.
d) Lapisan Malphigi (stratum spinosum atau malphigi layer)
Memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri. Intinya besar dan oval.
Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas srabut protein. Cairan limfe
masih ditemukan mengitari sel-sel dalam lapisan malphigi ini.
e) Lapisan Basal (stratum germativum atau membran basalis )
Lapisan terbawah epidermis. Di dalam stratum granulosum juga terdapat selsel melanosit, yaitu sel-sel yang tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya
4

memebentuk pigmen melanin dan memberikannya kepada sel-sel keratinosit melaluimelalui dendrit-dendritnya. Satu sel melanosit melayani sekitar 36 sel keratinosit.
Kesatuan ini diberi nama unit melanin epidermal.
2. Dermis
Kulit jangat sering disebut kulit sebenarnya dan 95 % kulit jangat membentuk ketebalan
kulit. Ketebalan rata-rata kulit jangat diperkirakan antara 1-2 mm dan yang paling tipis
terdapat di kelopak mata serta yang paling tebal terdapat di telapak tangan dantelapak kaki.
Fungsi utama dari dermis adalah mengatus temperatur dan menyalurkan darah yang kaya
nutrisi menuju epidermis. Sebagian besar persediaan air dalam tubuh disimpan dalam dermis.
Kulit jangat atau dermis menjadi tempat ujung saraf perasa, tempat keberadaan kandung
rambut, kelenjar keringat, kelenjar-kelenjar palit atau kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh
darah dan getah bening, dan otot penegak rambut (muskulus arektor pili).
a) Pembuluh darah, menyediakan nutrisi dan oksigen untuk kulit dan membawa pergi sel
yang tak terpakai. Pembuluh darah juga menyalurkan vitamin D yang diproduksi oleh
kulit menuju ke seluruh tubuh.
b) Pembuluh limfe, memberikan cairan limfe yang mengandung sel yang dapat melawan
infeksi sebagai bagian dari sistem imun.
c) Folikel rambut, terletak di pangkal rambut, di bawah permukaan kulit dan memberi
nutrisi bagi rambut.
d) Kelenjar keringat, terdiri dari
Kelenjar apokrin
Keringat yang mengandung 95-97 persen air dan mengandung beberapa
mineral, seperti garam, sodium klorida, granula minyak, glusida minyak, glusida,
dan sampingan dari metabolisme seluler. Kelenjar ini terdapat di seluruh kulit,
mulai dari telapak tangan dan telapak kaki sampai kulit kepala. Jumlahnya di
seluruh badan sekitar 2 juta, menghasilkan 14 liter keringat dalam 24 jam pada
orang dewasa. Bentuknya langsing, bergulung-gulung, dan salurannya bermuara
langsung pada permukaan kulit yang tidak ada rambutnya.
Kelenjar akrin
Lebih besar daripada kelenjar ekrin, hanya terdapat di daerah-daerah ketiak,
puting susu, daerah kelamin, dan menghasilkan cairan yang agak kental serta
berbau khas pada setiap orang. Muaranya berdekatan dengan muara kelenjar

sebasea pada saluran folikel rambut. Kelenjar keringat apokrin jumlahnya tidak
terlal banyak dan hanya sedikit cairan yang disekresikan dari kelenjar ini.
e) Kelenjar sebasea, menghasilkan minyak yang membantu untuk menjaga agar kulit
tetap halus dan kenyal. Minyak tersebut juga menjaga kulit menjadi kedap air
sehingga mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur pada permukaan kulit.
f) Ujung syaraf, reseptor nyeri dan sentuhan yang menyampaikan sensasi nyeri, gatal,
tekanan, suhu, kepada otak.
g) Kolagen dan elastin, kolagen adalah protein yang menyusun lapisan dermis, dan
dibuat oleh fibroblast. Kolagen adalah protein yang kaku, dan tidak larut air yang
ditemukan dalam tubuh pada jaringan ikat yang mempertahankan agar otot dan organ
tetap berada di tempatnya. Elastin, sebuah protein, merupakan bahan yang
memungkinkan kembalinya kulit ke asal setelah diregangkan dan menjaga agar kulit
tetap fleksibel.
3. Subkutan / hipodermis
Lapisan ini merupakan lapisan terdalam dari kulit, dan terdiri dari jaringan sel lemak
dan kolagen. Lapisan ini berfungsi baik sebagai insulator, yang menjaga suhu tubuh, dan
sebagai penahan guncangan, untuk melindungi organ dalam. Lapisan ini juga menyimpan
lemak sebagai energi bagi tubuh. Pembuluh darah, syaraf, pembuluh limfe, dan folikel
rambut juga melintasi lapisan ini. Ketebalan lapisan hipodermis bervariasi pada seluruh
tubuh dan untuk setiap orang.

2.1.2 Jenis-jenis Kulit


1. Kulit Normal
Kulit normal memiliki kandungan air dan minyak yang seimbang, sehingga
kelambapannya sangat terjaga baik. Ukuran pori-pori kulit normal adalah sedang. Bila
bagian kulit wajah dicubit, kulit tersebut akan segera kembali ke tempatnya. Garis dan tandatanda penuaan akan muncul sejalan bertambahnya umur.
2. Kulit Berminyak
Biasanya ditandai dengan tekstur kulit wajah yang cenderung kasar. Kulit berminyak
disebabkan oleh produksi kelenjar minyak yang sangat aktif. Umumnya, bagian yang
berminyak akan terlihat mengkilap. Ukuran pori-porinya termasuk besar sehingga mudah
sekali berjerawat. Sel kulit mati pada wajah akan terlihat lebih gelap jika terpapar udara luar
sehingga membentuk komedo.

3. Kulit Kering
Tekstur kulit kering umumnya kasar dan cenderung terlihat (flaky). Tidak ada bagian yang
mengilap, bahkan kulit cenderung terlihat suram dan kusam. Lubang pori-pori berukuran
kecil. Tanpa kelembapan yang cukup, kulit kering akan mudah menjadi merekah. Tandatanda penuaan akan terlihat lebih jelas untuk jenis kulit kering jika dibandingkan dengan jenis
kulit lainnya.
4. Kulit Kombinasi
Merupakan gabungan antara kulit kering dan kulit berminyak dengan tingkat yang
berbeda. Umumnya area T yaitu kening, hidung dan dagu akan lebih berminyak. Sementara
daerah pipi dan leher lebih kering. Kebanyakan orang memiliki kulit kombinasi dibandingkan
kulit kering atau kulit berminyak.
5. Kulit Sensitif
Diagnosis kulit sensitif didasarkan atas gejala-gejala penambahan warna, dan reaksi cepat
terhadap rangsangan. Kulit sensitif biasanya lebih tipis dari jenis kulit lain sehingga sangat
peka terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan alergi (allergen). Pembuluh darah kapiler dan
ujung saraf pada kulit sensitifterletak sangat dekat dengan permukaan kulit. Jika terkena
allergen,reaksinya pun sangat cepat. Kulit sensitif memiliki ciri-ciri sebagai berikut : mudah
alergi, cepat bereaksi terhadap allergen, mudah iritasi dan terluka, tekstur kulit tipis,
pembuluh darah kapiler dan ujung saraf berada sangat dekat dengan permukaan kulit
sehingga kulit mudah terlihat kemerahan.

2.2.3 Absorpsi perkutan


Absorbsi perkutan adalah masuknya bahan obat dari luar kulit ke dalam jaringan di
bawah kulit untuk kemudian memasuki sirkulasi darah. Pada kulit normal, jalur utama
penetrasi obat umumnya melalui lapisan epidermis, dimana jumlah obat yang berpenetrasi
dapat ditentukan berdasarkan luas permukaan tempat yang dioleskan obat dan tebal
membran, dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut maupun melalui kelenjar keringat.
Komponen lemak yang ada pada stratum korneum merupakan kendala utama yang
menyebabkan rendahnya penetrasi obat melalui lapisan ini. Stratum korneum mengandung
banyak keratin, bersifat sebagai membran semipermeabel dan obat akan berpenetrasi secara
pasif melalui membrane tersebut. Dengan demikian, jumlah obat yang akan berpenetrasi
melintasi kulit tergantung dari gradient konsentrasi obat dan koefisien partisi obat dalam
minyak dan air. Kelarutan obat dalam air merupakan parameter yang mempengaruhi

penetrasi obat melalui rute transappendageal karena obat yang terlarut akan lebih mudah
berpenetrasi melintasi pori-pori.
a. Rute transepidermal
Jalur absorpsi transepidermal melintasi epidermis. lapisan penentu pada kulit yang
menunjang abosorpsi transepidermal adalah stratum korneum. apabila terjadi kerusakan
pada stratum korneum akan memperbesar laju difusi obat karena terjadi perubahan
permeabilitas dari stratum korneum. Jalur difusi melalui stratum korneum melalui dua
jalur, yaitu jalur transeluler dan jalur antar sel.
b. Rute transappendageal
Jalur masuknya obat melewati folikel rambut dan kelenjar keringat, karena adanya
pori-pori, sehingga memungkinkan obat berpenetrasi.

Beberapa faktor di kulit yang mempengaruhi penetrasi adalah kelembaban kulit,


keadaan kulit: apakah normal atau mengalami modifikasi, apakah kulit gundul atau banyak
rambutnya, usia, jenis kelamin, dan kecepatan metabolisme bahan itu dalam kulit.

Gambar 2. Penetrasi melalui kulit

2.2

Kuku
Kuku terbentuk dari sel-sel terkeratinasi dan memiliki beberapa segmen anatomis

kunci. Yang pertama adalah akar kuku atau matriks, yang bermula pada bagian dasar dari
kuku. Bagian paling proksimal ditutupi oleh jaringan epidermal (lipatan kuku) dan tidak
terlihat oleh mata. Jaringan pada bagian ujung lipatan kuku adalah kutikula, yang melekat
pada lempeng kuku, bergerak bersamanya dalam jarak yang pendek saat lempeng bertumbuh,
dan kemudian lepas. Area yang terang, berbentuk sabit yang terproyeksi dari bawah lipatan
kuku ibu jari adalah bagian dari matriks yang dapat terlihat. Area ini disebut lunula (bulan
kecil) dan umumnya tidak terihat pada kuku jari tangan yang lain atau pada jari kaki.
Bagian utama dari kuku adalah lempeng kuku, yang terbentuk saat sel-sel matriks
berubah dan menjadi sel-sel pipih bertanduk dengan tingkat perlekatan yang tinggi. Di bawah
lempeng kuku adalah dasar kuku, yang tumbuh keluar dari lapisan sel basal epidermis. Dasar
kuku tidak memanjang hingga ke bagian ujung lempeng kuku. Area dari bagian ujung dasar
kuku ke lekukan distal dari kuku disebut hiponikium. Area ini penting, karena banyak kondisi
medis yang berbeda muncul dari lokasi ini.
Kuku ibu jari tumbuh dalam laju yang lebih lambat daripada jari kuku lain. Sebagai
tambahan, kuku-kuku jari dari individu yang sama tumbuh pada laju yang berbeda. Beberapa
faktor dapat mempengaruhi laju pertumbuhan kuku dan meliputi genetik, usia (laju
pertumbuhan melambat selama dekade ketiga kehidupan), dan cuaca (laju pertumbuhan
meningkat selama masa-masa yang lebih hangat dalam tahun).

Gambar 3. Gambar struktur kuku

2.3

Gel

2.3.1 Teori Gel


Menurut Farmakope Indonesia ed. IV, gel atau jelli merupakan sistem semi padat
terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar terpenetrasi oleh suatu cairan.
Sedangkan Howard C. Ansel mendefinisikan gel sebagai suatu sistem setengah padat
yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau
molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan.

a. Sifat dan Karakteristik Gel


1. Swelling
Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorpsi
larutan sehingga terjadi penambahan volume. Pelarut akan berpenetrasi di antara matriks
gel dan terjadi interaksi antara pelarut dan gel. Pengembangan gel kurang sempurna bila
terjadi ikatan silang antara polimer di dalam matriks gel yang dapat menyebabkan
kelarutan komponen gel berkurang.
2. Sineresis
Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel. Cairan yang
terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Khususnya sineresis terjadi pada
penurunan konsentrasi polimer. Pada waktu pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis
sehingga terbentuk massa gel yang tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan
dengan relaksasi dari tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya pengurangan
tekanan mengakibatkan jarak antara matriks berkurang. sehingga memungkinkan cairan
bergerak menuju permukaan. Selain tekanan osmotik, pH dan konsentrasi elektrolit juga
berpengaruh terhadap sineresis. Sineresis dapat terjadi pada hidrogel organik, hidrogel
inorganik maupun organogel.
3. Rheologi
Larutan pembentuk gel (Gelling Agent) dan dispersi padatan yang terflokulasi
memberikan sifat aliran pseudoplastik yang khas dan menunjukkan jalan aliran nonNewton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dengan peningkatan laju aliran.
Rheologi tergantung pada sifat dari polimer, sejarah dari sampel gel dan kondisi
percobaan.

10

4. Rigiditas
Rigiditas adalah perbandingan antara tekanan geser dan tegangan. Rigiditas
mengukur kemampuan gel untuk melawan perubahan bentuk.

b. Bahan Basis Gel


Polimer-polimer yang digunakan sebagai gelling agent terdiri dari :
1.

Polimer alam :

Polimer alam organik

Polimer alam anorganik, contohnya bentonit

2.

Polimer semisintetik

3.

Polimer sintetik

c. Prinsip Pembuatan
Pembuatan gel dapat melibatkan proses fusi atau prosedur khusus lain. tergantung dari
gelling agent yang digunakan. Gel dengan basis tragakan harus dibuat pada suhu rendah
karena labilnya gom alam tersebut pada suhu panas yang ekstrim. Di sisi yang lain, akan
lebih mudah untuk mendispersikan metilselulosa pada air panas dibandingkan air dingin.
Pembuatan karbomer menjadi gel dilakukan dengan prosedur yang unik. Ketika dispersi yang
terbentuk sudah homogen, proses pembuatan gel diinduksi dengan cara menetralkan sistem
tersebut dengan basa anorganik atau dengan amin seperti Trietanolamin (TEA). Basa ini akan
mengionisasi gugus karboksil pada polimer, menarik polimer menjadi larutan koloidal, dan
membentuk struktur matriks yang diinginkan.
Untuk membuat gel yang bersih, homogen, dan bebas gelembung udara, tentu harus
diperhatikan karakteristik pembuatannya. Pada awalnya karbomer membutuhkan high-shear
untuk membentuk dispersi yang homogen (dalam medium asam), kemudian dilanjutkan
dengan low-shear mixing selama proses penetralisasian. Sebaiknya proses mixing dilakukan
pada keadaan vakum jika dimungkinkan. Hal ini dilakukan untuk menarik udara yang
terperangkap dari dispersi selama proses pembuatan dan mencegah terperangkapnya udara
kemudian yang mungkin terjadi karena pecahnya lapisan permukaan. Minimalisasi
terperangkapnya udara penting bagi estetika gel tersebut. Selain itu, yang lebih penting ialah
saat proses kontrol berat isi pada saat pengemasan (khususnya untuk skala industri).
Gel umumnya memiliki viskositas yang tinggi. jadi penting sekali untuk memilih
peralatan yang tepat dalam pembuatan gel. Contohnya, alat untuk mencampur (mixer) harus

11

mampu mencampur secara merata, harus dilengkapi dengan alat untuk menghilangkan
gelembung udara dan alat disesuaikan pada transportasi, penyaringan (filterisasi) dan
pendinginan (cooling) dari bahan-bahan dengan viskositas tinggi. Karena transparansi
penting bagi suatu gel, maka perlu diperhatikan disolusi dan keseragaman bahan pembuatnya.

12

BAB 3
PRAFORMULASI

3.1 Terbinafin Gel


Terbinafine gel merupakan sediaan yang diberikan untuk pengobatan
onkomikosis, kandidiasis yang diaplikasikan pada kulit dan kuku sebagai antijamur.
Sediaan yang dibuat diharapkan memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. Sediaan gel tidak berbau, stabil, dan tidak mudah mengalami sineresis
2. Sifat aliran pseudoplastis tiksotropik.
3. Memberikan rasa sejuk dan nyaman di kulit.
4.

Sediaan gel dengan kemasan yang tertutup baik dan terlindung dari cahaya, tetapi
isi gel mudah untuk dikeluarkan.

5.

pH sediaan yang termasuk dalam rentang pH balance kulit yaitu 4,5-5,5 dan pH
stabilitas Terbinafin HCl yaitu 3-5,8.

6. Sediaan gel yang dapat terpenetrasi hingga lapisan target.

3.2

Mekanisme Kerja
Terbinafin menghambat sintesis senyawa ergosterol dengan cara berinteraksi
dengan sistem P450 sehingga menghambat enzim skualen epoksidase pada jamur. Hal
ini menyebabkan akumulasi sterol skualen yang bersifat toksik terhadap organisme.

Gambar 4. Lokasi target pengobatan Terbinafin Gel


13

Mekanisme terapinya pada kulit yaitu lapisan kulit yang bersifat lipofilik pada
bagian luar memungkinkan Terbinafin HCl dapat terabsorbsi hingga lapisan dermis
meskipun jamur tidak tumbuh hingga lapisan ini. Sifat Terbinafin HCl yang lipofilik
memungkinkan zat tersebut mampu menembus lapisan-lapisan kulit.
Mekanisme terapinya pada kuku yaitu lapisan kuku yang tersusun atas keratin
merupakan penghalang utama absorbsi obat. Sifat keratin yang hidrofilik
menyebabkan zat yang bersifat lipofilik sulit diabsorbsi. Obat harus melewati lapisan
ke-25 keratin kuku. Tingkat hidrasi yang lama diperlukan agar lapisan kreatin
mengembang, permeabilitas meningkat, pori-pori keratin melebar dan terbinafin HCl
dapat terabsorbsi.
Biofarmasetika dari obat ini yaitu dapat diabsorbsi dengan baik jika diberikan
secara oral (> 70 %), bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada
dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku, memiliki waktu paruh 16-100 jam pada
sediaan oral, dan pada sediaan topikal 22 hari, absorbsi kurang dari 5% dari dosis
yang diaplikasikan secara topikal, sifat barrier pada stratum corneum dan keratin
menurunkan absorbsi dan membutuhkan peningkatan aplikasi penggunaannya.
Obat ini memiliki efek yang berspektrum luas, bersifat fungisidal dan
fungistatik untuk Tinea pedis, Tinea corporis, Tinea versicolor. Dosis yang biasa
digunakan yaitu sebanyak 1% pada sediaan topikal.

3.3

Permasalahan dan solusi


Sediaan antijamur yang di formulasikan ditujukan untuk penyakit kulit dan kuku.
1. Masalah : Terbinafin HCl merupakan antifungal yang agak sukar larut dalam air.
Solusi : Terbinafin HCl dilarutkan dalam propilen glikol (terbinafin HCl sangat
mudah larut dalam propilen glikol yang berfungsi sebagai kosolven).
2. Masalah : Terbinafin HCl akan dibuat menjadi sediaan gel yang banyak
mengandung air sehingga mudah ditumbuhi bakteri dan jamur.
Solusi : Sediaan gel Terbinafin ditambahkan pengawet untuk mencegah
pertumbuhan bakteri dan jamur.
6. Masalah : Agar dapat diabsorbsi lebih optimal, hidrasi bagian topikal tempat
pengolesan gel Terbinafin HCl membutuhkan waktu lebih lama.
Solusi : Gel Terbinafin HCl membutuhkan humektan agar waktu hidrasi lebih
lama

sehingga

dapat

meningkatkan

mempengaruhi absorbsi zat aktif


14

permebilitas

lapisan

topikal

yang

7. Masalah : Sediaan gel Terbinafin HCl mudah terurai oleh cahaya sehingga
membutuhkan wadah yang tertutup rapat dan terlindung dari cahaya. Kemasan
primer yang umum dipakai terbuat dari aluminium yang bersifat inert.
Solusi : Sediaan gel Terbinafin HCl ditambahkan agen pengkelat logam.

3.4 Studi Praformulasi


Rancangan perkiraan bahan-bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:

3.5

Terbinafine HCl

1,14 %

Sepigel 305

3,0 %

Propilen Glikol

15 %

Fenoksietanol

0,5 %

Na2EDTA

0,05 %

Aquadest

80,31 %

Sifat Fisikokimia Bahan Gel Terbinafine


3.5.1 Terbinafin Hidroklorida
Rumus Molekul : C21H26ClN
Struktur kimia

Gambar 5. Struktur Terbinafin HCl.


BM

: 327,9

Pemerian

: Serbuk granular putih, tidak berbau, dan tidak berasa

Kelarutan

: Sangat sukar larut atau sukar larut dalam air, mudah larut

dalam propilen glikol.


Stabilitas

: Stabil pada pH 3 5,8, harus terlindungi dari cahaya.

15

OTT

: (tidak ada literatur)

Efek samping

: hipersensitivitas pada pemakaian topikal

3.5.2 Sepigel 305


Pemerian

: Cairan kental berwarna putih dan tidak berbau.

Komposisi

: C13-C14 isoparafin, Lauret-7, Poliakrilamida.

Kelarutan

: Larut dalam air.

Stabilitas

: Stabil pada pH 3 sampai 11, bersifat higroskopik dan perlu

disimpan pada wadah tertutup rapat di tempat yang kering dan sejuk.
OTT

: Zat dengan pH kurang dari 3 dan lebih dari 11.

Fungsi

: Gelling agent

Alasan Pemilihan Sepigel 305 :


Sepigel 305 merupakan suatu campuran polimer yang terdiri dari 40%
poliakrilamida, 24% C13-14 isoparafin, dan 6% lauret-7 (Okamoto, 2007).
Poliakrilamida merupakan suatu polimer yang larut air dan bersifat nonionic.
Poliakrilamida juga terbentuk dari polimerisasi penambahan rantai
akrilamida. Polimer ini berwarna putih dan larut dalam air dingin dan tidak
larut dalam banyak pelarut organik. Poliakrilamida biasa digunakan sebagai
thickener dan zat pensuspensi.
C13-14 isoparafin merupakan campuran minyak mineral turunan dari minyak
bumi yang biasa digunakan dalam produk kosmetik dan produk perawatan
diri sebagai emolien. Lauret-7 merupakan suatu emulsifier dan surfaktan
sintetis yang terbuat dari modifikasi asam laurat.

3.5.3 Propilen glikol


Rumus molekul : C3H8O2
Rumus bangun

Gambar 6. Struktur Propilen glikol


16

Berat molekul

: 76,09

Pemerian

: Cairan jernih tidak berwarna namun manis, tidak berbau, tidak

berwarna, rasa agak sangit seperti gliserin


Kelarutan

: Dapat bercampur dengan gliserin, air, dan aseton.

Stabilitas

: Stabil dalam tempat

yang kering dan

temperatur dingin, tetapi pada temperatur panas dan terpapar udara maka akan
teroksidasi menghasilkan propionaldehid, asam laktat, asam piruvat, dan asam
asetat. Propilenglikol stabil ketika dicampur dengan etanol (95%), gliserin, atau
air. Bersifat higroskopis dan disimpan dalam wadah yang tertutup rapat di tempat
sejuk serta kering
OTT

: Senyawa pengoksidasi seperti kalium permanganat

Fungsi

: Humektan (mengurangi penguapan air) 15%

Alasan Pemilihan Propilen Glikol :


Memiliki sifat menarik air (moisture sorption) melalui ikatan hidrogen,
sehingga sangat efektif sebagai humektan yang membuat efek hidrasi kulit
lebih lama. Efek hidrasi kulit ini bertujuan untuk memperpanjang durasi
kontak zat aktif terlarut dalam sediaan topikal dengan kulit atau kuku tempat
pengolesan agar absorbsi zat aktif menjadi lebih optimal hingga mencapai
lapisan dermis. Selain itu, propilen glikol juga dapat mengurangi penguapan
air maupun etanol dalam sediaan (Labuza, Elsner, & Maibach, 2000).
Tidak mengiritasi kulit ketika diaplikasikan secara topikal, dibandingkan
humektan lain seperti gliserin.
Konsentrasi propilen glikol yang digunakan dalam sediaan ialah 15%.

3.5.4 Phenoxyethanol
Rumus Molekul : C8H10O2
BM

: 138,16

Rumus Struktur :

17

Gambar 7. Struktur Phenoxyethanol


Pemerian

: tidak berwarna, cairan sedikit kental dengan

bau yang

menyenangkan.
Kelarutan

: Larut dalam 43 bagian air.

Stabilitas

:Larutan

phenoxyethanol

stabil. Bahan bulk juga bersifat

stabil dan harus disimpan dalam wadah yang tertutup rapat, di tempat yang sejuk
dan kering.
OTT

: Senyawa surfaktan non ionic, polyvinyl chloride, derivate

selulosa (metil selulosa, Na CMC, HPMC)


Fungsi

: Pengawet pada konsentrasi 0,5-1,0%

Alasan Pemilihan Phenoxyethanol :


Fenoksi etanol merupakan pengawet yang sering digunakan dalam formulasi
kosmetik dan topikal, dan efetif pada rentang pH yang luas. Larutan
phenoxyethanol stabil.
Konsentrasi fenoksi etanol yang digunakan dalam sediaan ialah 0,5%.

3.5.5 Dinatrium Edetat (Na2EDTA)


Rumus Molekul : C10H18 N2Na2O8 (dihidrat)
BM

: 372,2

Rumus Struktur :

18

Gambar 8. Struktur Na2EDTA


Pemerian : Serbuk kristalin, berwarna putih, tidak berbau, rasa yang sedikit
asam.
Kelarutan : 1 : 11 dalam air
Stabilitas : stabil pada pH 4,0 6,0, bersifat higroskopis. Dapat disterilisasi
dengan autoklaf dan disimpan dalam wadah bebas alkali di tempat yang kering
dan sejuk.
OTT

: Agen pengoksidasi kuat dan basa kuat

Fungsi

: Agen pengkelat (konsentrasi 0,005 - 1%)

Alasan Pemilihan Dinatrium Edetat (Na2EDTA):


Kontaminasi ion logam dari proses produksi dan wadah kemasan sediaan gel
dapat menjadi kofaktor proses oksidasi komponen gel ini, sehingga
Na2EDTA akan mensekuester ion logam tersebut dan menginhibisi oksidasi
dari beberapa komponen dalam sediaan ini.
Bentuk Na2EDTA lebih stabil dan lebih mudah larut dalam air daripada
bentuk asam edetat.
Konsentrasi Na2EDTA yang digunakan dalam sediaan ialah 0,05%.

3.5.6 Aquadest (Purified Water)


Rumus molekul : H2O
BM

: 18,02

Pemerian

: cairan jernih tidak berwarna,

tidak berbau, tidak berasa;

sudah dimurnikan dengan proses destilasi.


Kelarutan

: dapat bercampur dengan semua pelarut polar.


19

Stabilitas

: secara kimia stabil dalam bentuk es, cairan, dan uap.

Penyimpanannya dalam wadah tertutup baik dan terhindar dari mikoba serta
kontaminan lainnya.
Fungsi

: pelarut

20

BAB 4
FORMULASI

4. 1 Formulasi Terbinafin Gel:


Komposisi

Konsentrasi

Terbinafine HCl

Jumlah per tube Jumlah 1 batch


(15 g)

(1000 tube)

1,14%

0,17 g

170 g

Propilenglikol

15%

2,25, g

2250 g

Sepigel 305

3,0%

0,45 g

450 g

fenoksietanol

0,5%

0,075 g

75 g

Na2EDTA

0,05%

0,0075 g

7,5 g

Aquademineralisata

80,31%

12,047 g

12047 g

Perhitungan Bahan Terbinafin HCl


BM Terbinafin

: 291,45

BM Terbinafin HCl

: 327,9

Dosis Terbinafin sebesar 1% dalam sediaan


Banyaknya Terbinafin HCl yang digunakan =

4. 2 Pembuatan Terbinafin Gel :


1. Larutkan 7,5 g Na2EDTA dalam 41,25 ml akuademineralisata hingga terlarut semua.
2. Larutan Na2EDTA dimasukkan kedalam larutan pengawet yang dibantu dengan
pengadukan hingga homogen.
3. Akuades bebas CO2 ditambahkan ke dalam larutan no.3 hingga mencapai 3400 ml
dibantu dengan pengadukan hingga homogen. 150 gram HPMC 4000 didispersikan
ke dalam larutan tersebut dan dibantu dengan peningkatan pemanasan secara
perlahan hingga 40oC. Dibantu juga dengan pengadukan secara terus menerus dengan
kecepatan 50 rpm hingga terdispersi sempurna . Basis dengan adanya agen pengkelat
dan pengawet didiamkan hingga 24 jam, biarkan menghidrasi
4. Dalam wadah yang berbeda, 84,75 gram Terbinafine HCl dilarutkan ke dalam 750 ml
etanol 96% hingga larut dan homogen.
5. Larutan Terbinafin HCl dimasukkan ke dalam basis gel yang telah berisi agen
pengkelat dan pengawet, diaduk dengan kecepatan 50 rpm hingga larut.
21

6. Volume dicukupkan menjadi 7,5 L dengan ditambahkan akuades bebas CO2 dengan
masih dibantu dengan pengadukan kecepatan 50 rpm hingga homogen.
7. Terbinafin Gel diambil sebagian untuk diuji evaluasinya
8. Terbinafin Gel dimasukan ke dalam wadah berupa tube serta diberi label dan etiket.

22

BAB 5
EVALUASI SEDIAAN

5.1 In Process Control


5.1.1 Organoleptis
a.

Spesifikasi
Sediaan gel opaque, tidak berbau dan tidak sineresis.

b.

Prosedur
Pengamatan organoleptis dilakukan dengan penginderaan sedian terkait bentuk, warna
dan aroma.

5.1.2 Uji pH
a.

Alat
pH meter digital

b.

Prosedur
1) Menimbang sediaan formula gel Terbinafine sebanyak 1 g.
2) Dispersikan sediaan yang ditimbang dalam 10 mL aquadest.
3) Kalibrasi pH meter dengan baku standar pH 4, pH 7, dan pH 10.
4) Bilas elektroda pH meter dengan aquadest sebelum melakukan penentuan pH
sediaan.
5) Ukur pH sediaan gel Terbinafine dengan pH meter

c.

Spesifikasi
pH sediaan 5,5 6,5.

5.1.3 Uji Viskositas


a.

Alat
Viskometer Brookfield

b.

Prinsip
Pengukuran viskositas pada beberapa rpm yang berbeda. Sifat aliran diketahui dengan
membuat kurva antara rpm dengan usaha yang dibutuhkan untuk memutar spindel.
Usaha dihitung dengan mengalikan angka pada skala dengan faktor pada setiap
rpm.

c.

Prosedur
23

Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan alat viskometer Brookfield.


Cara pengujian yaitu sediaan dimasukkan ke dalam wadah berupa beaker glass 250
mL, spindel yang sesuai diturunkan hingga batas spindel tercelup ke dalam sediaan,
kemudian motor dan spindel dinyalakan. Angka viskositas yang ditunjukkan oleh
jarum merah dicatat, kemudian dikalikan dengan faktor koreksi pada tabel yang
terdapat pada brosur alat. Nilai viskositas diperoleh dengan mengubah rpm dari 0,5; 1;
2; 2,5; 4; 10 dan 20 rpm. Selanjutnya dilakukan kebalikannya dari 20; 10; 4; 2,5; 2; 1;
dan 0,5 rpm. Nilai viskositas dihitung pada pengukuran menggunakan 1 jenis spindel
dan pada kecepatan tertentu.
d.

Spesifikasi
Pseudoplastis Tiksotropik
Sediaan semisolid : 45.000 80.000 cps
Tiksotropik merupakan sifat alir yang diharapkan sediaan semisolid karena mempunyai
konsistensi tinggi dalam wadah, namun dapat dengan mudah dituang dan mudah
menyebar (Zats dan Kushla, 1996).

5.1.4 Uji Homogenitas


a. Alat
Kaca Objek, mikroskop.
b. Metode
Uji homogenitas sediaan dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan di atas kaca objek,
lalu diratakan dan diamati di bawah mikroskop, sediaan harus menunjukkan susunan yang
homogen.
c. Spesifikasi
Pengamatan mikroskopik menunjukkan susunan yang homogen.

5.1.5 Uji Konsistensi


a. Alat
Penetrometer
b. Prosedur
Sediaan yang akan diperiksa dimasukkan ke dalam wadah khusus dan diletakkan pada
meja penetrometer. Peralatan diatur hingga ujung kerucut menyentuh bayang permukaan
sediaan. Batang pendorong dilepas dengan mendorong tombol start. Angka penetrasi
dibaca lima detik setelah kerucut menembus sediaan. Dari pengukuran konsistensi dengan
24

penetrometer akan diperoleh yield value. Pemeriksaan konsistensi dilakukan pada minggu
ke-0 dan minggu ke-8 dengan penyimpanan pada suhu kamar.
c. Spesifikasi
Sediaan yang baik memiliki yield value 100-1000 dyne/cm2 (Zats dan Kushla, 1996).
Semakin tinggi yield value, maka semakin sulit suatu sediaan menyebar. Sebaliknya,
semakin rendah yield value, maka semakin mudah menyebar.

5.2 Post Process Control


5.2.1 Kadar Bahan Aktif
a. Alat
Spektrofotometer UV-Vis
b. Prosedur
1 g gel dicampur dengan 25 mL metanol dan disonikasi selama 10 menit. Campuran
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm. 2 mL supernatan dicampur dengan
0,5 mL HCl 1M dan dicukupkan dengan metanol murni. Kemudian diukur menggunakan
spektrofotometri UV pada panjang gelombang 272,5 nm. 1 g gel dicampur dengan 25 mL
metanol dan disonikasi selama 10 menit. Campuran kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm. 2 mL supernatan dicampur dengan 0,5 mL HCl 1M dan dicukupkan
dengan metanol murni. Kemudian diukur menggunakan spektrofotometri UV pada
panjang gelombang 272,5 nm. Serapan yang terbentuk kemudian dimasukkan dalam
persamaan regresi linier. Serapan yang terbentuk kemudian dimasukkan dalam persamaan
regresi linier dari hasil pembuatan kurva kalibrasi dan didapat konsentrasi Terbinafine
HCl.
c. Spesifikasi
Kadar Terbinafine sebesar 1% dari jumlah yang tercantum pada label

5.2.2 Uji Kebocoran Tube


a. Alat
Oven
b. Prosedur
1.

Pilih 10 tube.

2.

Bersihkan dan keringkan baik-baik permukaan luar tiap tube dengan kain
penyerap.

25

3.

Letakkan tube pada posisi horizontal di atas lembaran penyerap dalam oven
dengan suhu yang telah diatur pada 60 C 3 C selama 8 jam.

c. Spesifikasi
Tidak ada satupun kebocoran yang diamati dari 10 tube uji.
Ketika ditemukan kebocoran pada satu tube, tes diulang dengan tambahan 20 tube
Tidak boleh ditemukan kebocoran pada lebih dari satu tube.

5.2.3 Uji Isi Minimum


a. Alat
Wadah sediaan dan timbangan
b. Prosedur
Ambil contoh sebanyak 10 wadah yang berisi zat uji.
1.

Hilangkan dan bersihkan semua etiket yang dapat mempengaruhi bobot, pada
waktu isi wadah dikeluarkan.

2.

Timbang satu persatu.

3.

Keluarkan isi secara kuantitatif dari masing-masing wadah, potong ujung


wadah, jika perlu cuci dengan pelarut yang sesuai, hati-hati agar tutup dan
bagiaban lain wadah tidak terpisah.

4.

Keringkan dan timbang kembali masing-masing wadah kosong beserta bagianbagiannya. Perbedaan antara kedua penimbangan adalah bobot bersih isi
wadah

c. Spesifikasi
Persyaratan :
Bobot bersih rata-rata isi dari 10 wadah tidak kurang dari bobot yang tertera
pada etiket, dan
Tidak satu wadahpun yang bobot bersih isinya kurang dari 90% dari bobot
yang tertera pada etiket untuk (bobot 60 g atau kurang).
Jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi, tetapkan bobot bersih isi 20 wadah
tambahan.
Bobot bersih rata-rata isi dari 30 wadah tidak kurang dari bobot yang
tertera pada etiket, dan
Hanya satu wadah yang bobot bersih isinya kurang dari 90% dari bobot
yang tertera pada etiket (bobot 60 g atau kurang).

26

5.2.4 Uji Stabilitas


a.

Alat
KCKT, Oven/Climating chamber, pH meter,

b.

Prosedur

Cycling Test
Sediaan disimpan pada suhu 4 2C selama 24 jam dipindahkan ke dalam
oven yang bersuhu 40 2oC selama 24 jam perlakuan ini adalah satu siklus.
Percobaan dilakukan sebanyak 6 siklus dan dilakukan evaluasi fisik (perubahan
warna, bau, dan sineresis).
Kondisi fisik sediaan dibandingkan setiap siklus percobaan.

Uji Stabilitas Dipercepat


Stabilitas fisikokimia gel terbinafine diuji dengan cara uji stabilitas dipercepat pada
kondisi 25oC/60% RH, 30oC/60%, dan 40oC/75% seperti guideline ICH untuk periode
6 bulan. Stabilitas sampel (n = 3) dianalisis pada bulan ke-0, 1, 2, 3, dan 6.

c.

Spesifikasi
Sediaan gel terbinafin stabil secara fisik pada suhu tinggi, kamar, dan rendah selama 2
tahun. Tampilan organoleptis sediaan tidak berubah. Tidak terjadi degradasi produk di
luar kriteria sediaan yang diinginkan pH, kadar

5.2.5 Uji Efektifitas Pengawet


a. Prosedur
Pindahkan 20 ml sampel ke dalam masing-masing 5 tabung bakteriologik
bertutup, berukuran sesuai dan steril. Inokulasi masing-masing wadah atau tabung
dengan salah satu suspensi mikroba baku, menggunakan perbandingan 0,10 ml
inokula setara dengan 20 ml sediaan, dan campur. Mikroba uji dengan jumlah
yang sesuai harus ditambahkan sedemikian rupa hingga jumlah mikroba di dalam
sediaan uji segera setelah inokulasi adalah antara 100.00 dan 1.000.000 per ml.
Tetapkan jumlah mikroba viabel di dalam tiap suspensi inokula, dan hitung angka
awal mikroba tiap ml sediaan yang diuji dengan metode lempeng. Inkubasi wadah
atau tabung yang telah diinokulasi pada suhu 20o sampai 25o. Amati wadah atau
tabung pada hari ke 7, ke 14, ke 21 dan ke 28 sesudah inokulasi. Catat tiap
perubahan yang terlihat dan tetapkan jumlah mikroba viabel pada tiap selang
waktu tersebut dengan metode lempeng. Dengan menggunakan bilangan teoritis
27

mikroba pada awal pengujian, hitung perubahan kadar dalam persen tiap mikroba
selama pengujian.
b. Spesifikasi
Suatu pengawet dinyatakan efektif di dalam contoh yang diuji, jika:
1.

Jumlah bakteri viabel pada hari ke 14 berkurang hingga tidak lebih dari 0,1%
dari jumlah awal

2.

Jumlah kapang dan khamir viabel selama 14 hari pertama adalah tetap atau
kurang dari jumlah awal

3.

Jumlah tiap mikroba uji selama hari tersisa dari 28 hari pengujian adalah tetap
atau kurang dari bilangan yang disebut pada a dan b.

28

BAB 6
RANCANGAN KEMASAN

6.1 Kemasan Primer


Kemasan primer berupa tube 15 gram. Bahan terbuat dari aluminium yang dapat dilipat
(collapsiblemetal tube) dengan tutup terbuat dari plastik. Alasan pemilihannya adalah karena
tube logam dapat melindungi sediaan dari oksidasi, mencegah keringnya sediaan, hilangnya
bahan yang mudah menguap dan memungkinkan suatu jumlah yang terkontrol disajikan
dengan mudah dan mudah dibuka. Resiko kontaminasi dari sisa yang tertinggal dalam tube
adalah minim karena tube tidak dapat menyedot kembali udara yang telah keluar. Tube logam
ringan dan tidak dapat pecah, serta memungkinkan pelaksaan pengisian dengan kecepatan
tinggi. Tube yang digunakan adalah tube yang terbuat dari aluminium yang bagian dalamnya
sudah dilapisi plastik tipis, untuk mencegah kontak antara sediaan dengan aluminium.
Desain Tube

29

6.2 Kemasan Sekunder


Dus terbuat dari kertas karton yang dilipat yang berisi 1 tube dan dilengkapi dengan brosur.
Desain Dus

30

Desain Brosur
TERFIGEL
Terbinafine 1% Gel
Komposisi :
Tiap 1 gram gel mengandung 11,4 mg terbinafine hidroklorida (setara
10 mg terbinafine)
Indikasi :
Infeksi jamur pada kulit dan kuku yang disebabkan oleh dermatifita.
Misalnya Trichophyton, Microsporum canis dan Epidermophyton
fioccosum.
Dosis dan cara pemakaian :
Oleskan sehari 1-2 kali pada bagian kulit atau kuku yang terinfeksi
Kontra indikasi: Efek samping :
kemerahan pada kulit, gatal, rasa tersengat.
Perhatian:
Hindari kontak dengan mata, pada wanita hamil, laktasi, lansia, dan
anak.
Cara penyimpanan:
Simpan dibawah suhu 25oC dalam wadah tertutup rapat.
Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
Kemasan :
Tube 15 gram
HANYA UNTUK PEMAKAIAN LUAR
HARUS DENGAN RESEP
DOKTER

No. Batch
No. Reg
Tanggal Pembuatan
Tanggal Kadaluarsa

: 140203
: DKL0911100703A1
: Maret 2014
: Maret 2016

31

Diproduksi oleh:
PT. Pharmatect Indonesia
Depok, Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi keempat (Farida Ibrahim,
Penerjemah). Jakarta: UI Press, 493-494.
Cauvin MFD, Viguie-Vallanet C, Kienzler J, Larnier C. 2008. Novel, single-dose, topical
treatment of tinea pedis using terbinafine: results of a dose-finding clinical trial.
Mycoses, 51(1): 1-6
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dermatology in general medicine. 7th ed. 2008. New York: Mc Graw-Hill.
Koesoemawati H, Hartanto H, Salim IN, Setiawan L, Valleria, Suparman W. 2002. Kamus
Kedokteran Dorland eds. 29 th ed. Jakarta: EGC.
Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Semi padat. Dalam: Suyatmi S, Kawira J,
Aisyah HS, eds. Teori dan praktek farmasi industri II. Edisi ke-3.
Ortonne JP, Korting HC, Viguie-Vallanet C, Larnier C, & Savaluny E. 2006. Efficacy and
safety of a new single-dose terbinafine 1% formulation in

patients with tinea

pedis (athlete's foot): a randomized, double-blind, placebo-

controlled

study.

JEADV, 20(10):1307-1313
Rowe RC, Sheskey PJ, Owen SC. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients 5th ed.
Washington : Pharmaceutical Press.
Schaefer H, Redelmeier TE, Ohynek GJ, Lademann J. Pharmacokinetics and topical
aplication of drugs. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leff el DJ, Fitzpatrick, eds.
Sharma S. 2008. Topical drug delivery system: A review. Pharmaceut. Rev.

32

Anda mungkin juga menyukai