PERCOBAAN I
Oleh :
SIDOARJO
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan dan perubahan
zat aktif di dalam tubuh. Aktivitas ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Nasib obat di
dalam tubuh dikenal dengan istilah farmakokinetika. Fase farmakokinetik ini merupakan
salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase
dan selanjutnya menentukan aktivitas terapeutik obat. Fase farmakokinetika terdiri darı
absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi. Famakokinetika obat dapat dilustras ikan
dalam model yang dikenal dengan istilah model farmakokinetika atau kompartemen. Model
farmakokinetik sendiri dapat memberikan penatsiran yang lebih teliti tentang hubungan kadar
obat dalam plasma dan respons farmakologık. Salah satu model kompartemen yang biasa
digunakan untuk perhitungan farmakokinetika adalah model Kompartemen satu terbuka.
Mempelajari ilustrasi model kompartemen secara teoritis perlu didukung dengan aplikasi
untuk lebih memudahkan pemahaman mahasiswa. Oleh sebab itu, pada praktikum ini
dilakukan praktikum model farmakokinetika dengan bahan rhodamin B. Rhodamin
diibaratkan sebagai obat yang beredar di dalam tubuh. Dengan begitu, mahasiswa dapat lebih
jelas memahamı bagaimana kinerja obat di dalam tubuh sesuai dengan teori model
farmakokinetika.
1.2 Tujuan
Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak.
Hambatan pada proses absorpsi obat dapat dengan mudah dilihat dari
mundurnya/memanjangnya t max.
Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah/serum/plasma. Cmax
ini umumnya juga digunakan sebagai tolok ukur, apakah dosis yang diberikan
cenderung memberikan efek toksik atau tidak. Dosis dikatakan aman apabila kadar
puncak obat tidak melebihi kadar toksik minimal (KTM).
Tetapan kecepatan eliminasi menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses-
proses kinetik mencapai keseimbangan. Nilai ini menggambarkan proses eliminasi,
walaupun perlu diingat bahwa pada waktu itu mungkin proses absorpsi dan distribusi
masih berlangsung.
5. Waktu paro eliminasi (t1/2)
Waktu paro eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi
sistemik berkurang menjadi separonya. Rumusnya adalah 0,693/Kel.
Nilai AUC (Area Under Curve) dapat dihitung pada berbagai periode pengamatan,
sesuai kebutuhan. Nilai ini menggambarkan derajad absorpsi, yakni berapa banyak
obat diabsorpsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Bila intensitas efek obat sangat
erat kaitannya dengan kadar, secara tidak langsung nilai ini juga akan
menggambarkan durasi dan intensitas efek obat. (Joenoes, Z. N. 2002)
Dari persamaan terebut dapat diketahui bahwa semakin cepat atau banyak obat yang
diabsorpsi masuk ke dalam system sirkulasi atau semakin besar dosis, maka semakin
cepat dan tinggi kadar obat di dalam darah. Demikian sebaliknya, semakin banyak
obat yang terdistribusi ke dalam jaringan, semakin rendah kadar obat di dalam darah
(Hakim, L., 2011).
2.2 Tinjauan Bahan
a. Rhodamin B adalah salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada
industri tekstil dan kertas . Zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang
penggunaannya pada makanan melalui Menteri Kesehatan (Permenkes)
No.239/Menkes/Per/V/85. Namun penggunaan Rhodamine dalam makanan masih
terdapat di lapangan. Contohnya, BPOM di Makassar berhasil menemukan zat
Rhodamine-B pada kerupuk, sambak botol, dan sirup melalui pemeriksaan pada
sejumlah sampel makanan dan minuman. Rhodamin B ini juga adalah bahan kimia
yang digunakan sebagai bahan pewarna dasar dalam tekstil dan kertas. Pada awalnya
zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai
keperluan yang berhubungan dengan sifatnya dapat berfluorensi dalam sinar matahari.
Rumus Molekul dari Rhodamin B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat molekul sebesar
479.000. Zat yang sangat dilarang penggunaannya dalam makanan ini berbentuk
kristal hijau atau serbuk ungu-kemerah – merahan, sangat larut dalam air yang akan
menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berfluorensi kuat. Rhodamin B juga
merupakan zat yang larut dalam alkohol, HCl, dan NaOH, selain dalam air. Di dalam
laboratorium, zat tersebut digunakan sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co,
Au, Mg, dan Th dan titik leburnya pada suhu 165⁰C. Dalam analisis dengan metode
destruksi dan metode spektrofometri, didapat informasi bahwa sifat racun yang
terdapat dalam Rhodamine B tidak hanya saja disebabkan oleh senyawa organiknya
saja tetapi juga oleh senyawa anorganik yang terdapat dalam Rhodamin B itu sendiri,
bahkan jika Rhodamin B terkontaminasi oleh senyawa anorganik lain seperti
timbaledan arsen ( Subandi ,1999)
b. Aquadest merupakan air hasil dari destilasi atau penyulingan, dapat disebut juga air
murni (H2O). karena H2O hampir tidak mengandung mineral. Sedangkan air mineral
merupakan pelarut yang universal. Air tersebut mudah menyerap atau melarutkan
berbagai partikel yang ditemuinya dan dengan mudah menjadi terkontaminasi. Dalam
siklusnya di dalam tanah, air terus bertemu dan melarutkan berbagai mineral
anorganik, logam berat dan mikroorganisme. Jadi, air mineral bukan aquades (H2O)
karena mengandung banyak mineral. (Santosa, 2011)
BAB III
METODELOGI PERCOBAAN
3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah spektrofotometer UV-Vis, tabung
reaksi, pipet ukur, magnetic stirrer, pipet volume dan beaker glass.
3.2 Bahan
1) Macam percobaan
Kelompok 1 : dosis 20mg, klirens 200 ml/15 menit vd 0.5 l
Kelompok 2 : dosis 10mg, klirens 100 ml/15 menit vd 1 l
Kelompok 3 : dosis 20mg, klirens 200 ml/15 menit vd 0,5 l
Kelompok 4 : dosis 10mg, klirens 100 ml/15 menit vd 1 l
Dilakukan satu macam percobaan secara intravaskuler.
2) Pembuatan larutan baku kerja rhodamine B
Larutan baku induk 100 ppm diilarutkan 10mg rhodamine B ke dalam 100 ml air
suling
Dienceekan dengan air suling sampai didapat larutan dengan kadar 1,2,5,10,20,40
ppm
3) Penentuan panjang gelombang maksimum
Larutan baku kerja diamati nilai serapan pada panjang gelombang 530-570 nm.
Dibuat kurva serapan terhadap panjang gelombang pada kertas grafik berskala
sama
Ditentukan panjang gelombang maksimum
4) Pembuatan kurva baku
Larutan baku kerja dengan panjang gelombang maks diketahui
Larutan baku kerja dengan panjang gelombang maks yang telah diketahui,
diamati serapannya
Dibuat tabel hasil pengamatan
Dibuat kurva kadar larutan baku kerja terhadap serapan pada kertas grafik
berskala sama
Dihitung koefisien korelasi
Dibuat persamaan garis
5) Simulasi model farmakokinetika invitro rute intravaskular
Beaker glass diisi dengan air suling secara kuantitatif, sesuai dengan nilai vd
Ditambahkan rhodmin B sesuai dengan dosis yang telah ditentukan sebelumnya
Diaduk dengan batang pengaduk
Diambil sampel larutan rhodamin B pada menit ke 0,15,30,45 sesuai nilai klirens
dan segera digantikan volume yang diambil tersebut dengan air suling
Diukur serapan sampel pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh,
digunakan air suling sebagai blanko
Dihitung parameter farmakokinetika
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Parameter 1 2 3 4 5 6
Dosis 20 mg 10 mg 20 mg 10 mg 20 mg 20 mg
1. Pengenceran
V1 x M1 = V2 x M2
100 mL x 2 ppm
V1 = 100 ppm
V1 = 2 mL
2. Menghitung Kadar
a = 0,11 ; b = 0,066
absorbansi−a
y=
b
1,551
y=
0,066
y = 23,5
absorbansi−a
y=
b
1,701−0,11
y=
0,066
1,591
y=
0,066
y = 24,1
absorbansi−a
y=
b
1,398−0,11
y=
0,066
1,288
y=
0,066
Absorbansi 1,119 ; t = 45 menit
absorbansi−a
y=
b
1,119−0,11
y=
0,066
1,009
y=
0,066
y = 15,2
absorbansi−a
y=
b
0,915−0,11
y=
0,066
0,805
y=
0,066
y = 12,1
3. Mengitung Log C
a = 1,416 ; b = 0,052
4. Menghitung Nilai K
−K
Slope (b) = 2,3
−K
(-) 0,0052 = 2,3
0,693
t1/2 = K
0,693
t1/2 = 0,012
6. Menghitung AUC
(C0 + C15) x (t15 – t0) (C15 + C30) x (t30 – t15) (C30 + C45) x (t45 – t30)
AUC total = { }+{ }+{ }
2 2 2
(23,5 + 24,1) x (15 – 0) (24,1 + 19,5) x (30 – 15) (19,5 + 15,2) x (45 – 30)
AUC total = { }+{ } +{ }
2 2 2
PEMBAHASAN
Langkah pertama dari percobaan ini yaitu membuat larutan baku induk Rhodamin
B100 ppm dengan cara melarutkan 10 mg Rhodamin B dalam 100 ml air suling. Dari larutan
baku induk dibuat konsentrasi bertingkat dengan kadar 1, 2, 5, 10, 20, 40 ppm. Larutan baku
kerja tersebut kemudian di uji dalam spektrofotometer untuk menentukan nilai serapan pada
panjang gelombang 530 – 570 nm dan dan didapat nilai Panjang gelombang (λ) maksimum
dan untuk menentukan nilai absorbansinya hingga didapatkan persamaan linier.
Setiap pengambilan larutan klirens pada wadah ditambahkan kembali air suling
sebanyak 100 ml untuk menggambarkan kondisi sink dalam tubuh. Tahap selanjutnya yaitu
pengukuran konsentrasi setiap larutan dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada
530 nm untuk menentukan kadar Rhodamin B yang diekskresikan per satuan waktu. Hasil absorbansi
setiap larutan digunakan untuk menentukan konsentrasinya dengan menggunakan kurva baku
Rhodamin B yang telah diketahui sebelumnya.
Pada penentuan larutan baku kerja dari nilai serapan pada panjang gelombang 530 –
570 nm, didapatkan Panjang gelombang (λ) maksimum 553 nm dengan absorbansi 0,765.
Absorbansi yang didapat dari 1, 2, 5, 10, 20, 40 ppm beruturut – turut adalah 0,104 ; 0,176 ;
0,447 ; 0,767 ; 1,698 ; 2,626 ; dari nilai absorbansi tersebut didapatkan persamaan linear yaitu
y = 0,0661x + 0,1108 dengan nilai 𝑅2 = 0,9805.
AUC (Area Under Curve) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung
secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat
digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan
kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak
dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008).
Kurva kalibrasi dibuat berdasarkan t(s) sebagai sumbu x dan log C sebagai sumbu y,
sehingga diperoleh t versus log C. Dari kurva tersebut diperoleh nilai a = 1,416 ; b = - 0,0052
dan 𝑅 2 = 0,919. Hal ini dapat disimpulkan bahwa nilai tersebut memasuki rentang 0-1.
5.4 Diskusi
1. Apa yang dimaksud dengan model farmakokinetika dan mengapa diperlukan
model farmakokinetika ? sebutkan macamnya !
2. Model Caternary
Dalam farmakokinetika model mammilary harus dibedakan dengan macam
model kompartemen yang lain yang disebut model caternary. Model caternary terdiri
atas kompartemen-kompartemen yang bergabung satu dengan yang lain menjadi satu
deretan kompartemen. Sebaliknya, model mammilary terdiri atas satu atau lebih
kompartemen yang mengelilingi suatu kompartemen sentral.
2. Apa yang dimaksud dengan volume distribusi dan klirens suatu obat ?
Volume distribusi merupakan parameter yang menerangkan seberapa luas
suatu obat terdistribusi dalam tubuh. Volume ini tidak bermakna faal atau tidak ada
kaitannya dengan faal. Volume distribusi dipengaruhi oleh :
Perfusi darah Yaitu seberapa cepat dan banyak obat masuk dalam darah.
Lipofilitas obat
Seberapa kuat obat terikat oleh protein plasma, protein darah maupun protein
jaringan
Vd = Jumlah obat di dalam tubuh / C
Klirens suatu obat adalah faktor yang memprediksi laju eliminasi yang
berhubungan dengan konsentrasi obat :
CL = Laju Eliminasi / C
Klirens dapat dirumuskan berkenaan dengan darah (CLb), plasma (CLp) atau
bebas dalam urin (CLu), bergantung pada konsentrasi yang diukur. Eliminasi obat
dari tubuh dapat meliputi proses-proses yang terjadi dalam ginjal, paru, hati dan organ
lainnya. Dengan membagi laju terjadi pada setiap organ dengan konsentrasi obat yang
menuju pada organ menghasilkan klirens pada masing- masing obat tersebut. Kalau
digabungkan klirens-klirens yang terpisah sama dengan klirens sistemik total
(Katzung, 2001).
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa
mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau organ
dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume
distribusi) dimana obat terlarut didalamnya (Shargel, 2005). Untuk beberapa obat
rute pemakaian mempengaruhi kecepatan metabolismenya. Obat - obat yang
diberikan secara oral diabsorbsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan
ditransport melalui pembuluh mesenterika menuju vena porta hepatik dan ke hati
sebelum ke sirkulasi sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam jumlah besar
oleh hati atau sel-sel mukosa usus halus menunjukkan avaibilitas sistemik yang jelek
jika diberikan secara oral. Metabolisme secara oral sebelum mencapai sirkulasi umum
disebut first pass effect atau eliminasi presistemik (Shargel, 2005).
4. Jelaskan factor dari timbulnya variabilitas kadar obat dalam plasma setelah
dosis yang sama diberikan pada pasien yang berbeda ?
Berat badan : obat yang besifat lipofilik ketika terjadi kenaikan berat badan makan
volume distribusinya pun akan mengalami peningkatan sehingga kadar obat daram
darah sedikit sedangkan obat yang bersifat hidrofilik tidak berpengaruh ketika
terjadi kenaikan berat badan.
Aliran darah : semakin cepat aliran darah, kecepatan absorbsi semakin besar
sehingga obat lebih cepat dimetabolisme atau berada dalam plasma.
Protein plasma : albumin salah satunya apabila obat banyak yang terikat kuat pada
protein plasma mempunyai Vd yang kecil serta kadar obat dalam darah tinggi.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
Praktikan harus lebih teliti dalam melakukan prosedur kerja praktikum supaya dapat
meminimalisir kesalahan yang terjadi pada saat melakuakan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Makoid, M.C., Vuchetich, P.J.N and Banakar, U.V., 1999, Basic Pharmacocinetic, First
edition, Pakistan: Virtual University Press.
Mutschler, E., 1999, Dinamika Obat. Edisi kelima. Penerjemah: Mathilda B Widianto,
Bandung: Penerbit ITB, Hal. 5, 51, 358.
Neal, Michael J., 2006, Farmakologi Medis, Edisi kelima, Jakarta: Erlangga.
LAMPIRAN