Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA

PERCOBAAN I

SIMULASI PERMODELAN FARMAKOKINETIKA SECARA INVITRO

Oleh :

1. Anastasya Dian Salim P (17020200008)


2. Eka Pramuda W (16020200029)
3. Karmelia Nur S (17020200043)
4. May Sintya D (17020200050)
5. Nindy Sylvia H (17020200060)
6. Rahmad Nurul H (17020201103)
7. Sela Mustika Sari (17020200076)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

STIKES RUMAH SAKIT ANWAR MEDIKA

SIDOARJO

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan dan perubahan
zat aktif di dalam tubuh. Aktivitas ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Nasib obat di
dalam tubuh dikenal dengan istilah farmakokinetika. Fase farmakokinetik ini merupakan
salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase
dan selanjutnya menentukan aktivitas terapeutik obat. Fase farmakokinetika terdiri darı
absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi. Famakokinetika obat dapat dilustras ikan
dalam model yang dikenal dengan istilah model farmakokinetika atau kompartemen. Model
farmakokinetik sendiri dapat memberikan penatsiran yang lebih teliti tentang hubungan kadar
obat dalam plasma dan respons farmakologık. Salah satu model kompartemen yang biasa
digunakan untuk perhitungan farmakokinetika adalah model Kompartemen satu terbuka.
Mempelajari ilustrasi model kompartemen secara teoritis perlu didukung dengan aplikasi
untuk lebih memudahkan pemahaman mahasiswa. Oleh sebab itu, pada praktikum ini
dilakukan praktikum model farmakokinetika dengan bahan rhodamin B. Rhodamin
diibaratkan sebagai obat yang beredar di dalam tubuh. Dengan begitu, mahasiswa dapat lebih
jelas memahamı bagaimana kinerja obat di dalam tubuh sesuai dengan teori model
farmakokinetika.

1.2 Tujuan

Setelah melakukan praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu :

1. Menerapkan konsep farmakokinetika suatu obat dengan menggunakan simulasi


invitro
2. Membedakan profil farmakokinetikasuatu obat dengan dosis, rute pemberian,
klirens, dan volume distribusi yang berbeda.
3. Menerapkan analisis farmakokinetika dalam perhitungan parameter
farmakokinetika.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Farmakokinetika


Farmakokinetika adalah suatu ilmu yang mempelajari kuantitas obat dalam tubuh
sehubungan dengan waktu. Dengan kata lain, farmakokinetika mempelajari bagaimana
proses-proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi terjadi, berdasarkan kadar obat
yang terukur dalam cairan tubuh vs waktu setelah pemberian (Waldon, D.J. 2008).
Suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, apabila obat tersebut
melewati berbagai membran sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai struktur
lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel (Shargel and Yu,
1998). Secara praktis, makna klinik dari parameter-parameter tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tetapan kecepatan absorpsi (Ka)

Tetapan kecepatan absorpsi menggambarkan kecepatan absorpsi, yakni masuknya


obat ke dalam sirkulasi sistemik dari tempat absorpsinya. Bila terjadi hambatan dalam
proses absorpsi, akan didapatkan nilai Ka yang lebih kecil. Satuan dari parameter ini
adalah fraksi persatuan waktu (jam-1atau menit-1).

2. Waktu mencapai kadar puncak (tmax)

Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak.
Hambatan pada proses absorpsi obat dapat dengan mudah dilihat dari
mundurnya/memanjangnya t max.

3. Kadar puncak (Cmax)

Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah/serum/plasma. Cmax
ini umumnya juga digunakan sebagai tolok ukur, apakah dosis yang diberikan
cenderung memberikan efek toksik atau tidak. Dosis dikatakan aman apabila kadar
puncak obat tidak melebihi kadar toksik minimal (KTM).

4. Tetapan kecepatan eliminasi(Kel)

Tetapan kecepatan eliminasi menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses-
proses kinetik mencapai keseimbangan. Nilai ini menggambarkan proses eliminasi,
walaupun perlu diingat bahwa pada waktu itu mungkin proses absorpsi dan distribusi
masih berlangsung.
5. Waktu paro eliminasi (t1/2)

Waktu paro eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi
sistemik berkurang menjadi separonya. Rumusnya adalah 0,693/Kel.

6. Luas daerah di bawah kurva vs. waktu (AUC)

Nilai AUC (Area Under Curve) dapat dihitung pada berbagai periode pengamatan,
sesuai kebutuhan. Nilai ini menggambarkan derajad absorpsi, yakni berapa banyak
obat diabsorpsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Bila intensitas efek obat sangat
erat kaitannya dengan kadar, secara tidak langsung nilai ini juga akan
menggambarkan durasi dan intensitas efek obat. (Joenoes, Z. N. 2002)

Bentuk model yang menerangkan kinetik obat setelah pemberian


ekstravaskuler adalah:
Persamaan yang merangkan perubahan kadar obat dalam darah, plasma, serum, atau
sampel hayati lainnya pada tiap waktu (Ct) adalah:

F = ketersediaan hayati (bioavailabilitas)


Dev = dosis obat yang diberikan secara ekstravaskular

Dari persamaan terebut dapat diketahui bahwa semakin cepat atau banyak obat yang
diabsorpsi masuk ke dalam system sirkulasi atau semakin besar dosis, maka semakin
cepat dan tinggi kadar obat di dalam darah. Demikian sebaliknya, semakin banyak
obat yang terdistribusi ke dalam jaringan, semakin rendah kadar obat di dalam darah
(Hakim, L., 2011).
2.2 Tinjauan Bahan

a. Rhodamin B adalah salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada
industri tekstil dan kertas . Zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang
penggunaannya pada makanan melalui Menteri Kesehatan (Permenkes)
No.239/Menkes/Per/V/85. Namun penggunaan Rhodamine dalam makanan masih
terdapat di lapangan. Contohnya, BPOM di Makassar berhasil menemukan zat
Rhodamine-B pada kerupuk, sambak botol, dan sirup melalui pemeriksaan pada
sejumlah sampel makanan dan minuman. Rhodamin B ini juga adalah bahan kimia
yang digunakan sebagai bahan pewarna dasar dalam tekstil dan kertas. Pada awalnya
zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai
keperluan yang berhubungan dengan sifatnya dapat berfluorensi dalam sinar matahari.
Rumus Molekul dari Rhodamin B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat molekul sebesar
479.000. Zat yang sangat dilarang penggunaannya dalam makanan ini berbentuk
kristal hijau atau serbuk ungu-kemerah – merahan, sangat larut dalam air yang akan
menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berfluorensi kuat. Rhodamin B juga
merupakan zat yang larut dalam alkohol, HCl, dan NaOH, selain dalam air. Di dalam
laboratorium, zat tersebut digunakan sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co,
Au, Mg, dan Th dan titik leburnya pada suhu 165⁰C. Dalam analisis dengan metode
destruksi dan metode spektrofometri, didapat informasi bahwa sifat racun yang
terdapat dalam Rhodamine B tidak hanya saja disebabkan oleh senyawa organiknya
saja tetapi juga oleh senyawa anorganik yang terdapat dalam Rhodamin B itu sendiri,
bahkan jika Rhodamin B terkontaminasi oleh senyawa anorganik lain seperti
timbaledan arsen ( Subandi ,1999)
b. Aquadest merupakan air hasil dari destilasi atau penyulingan, dapat disebut juga air
murni (H2O). karena H2O hampir tidak mengandung mineral. Sedangkan air mineral
merupakan pelarut yang universal. Air tersebut mudah menyerap atau melarutkan
berbagai partikel yang ditemuinya dan dengan mudah menjadi terkontaminasi. Dalam
siklusnya di dalam tanah, air terus bertemu dan melarutkan berbagai mineral
anorganik, logam berat dan mikroorganisme. Jadi, air mineral bukan aquades (H2O)
karena mengandung banyak mineral. (Santosa, 2011)
BAB III

METODELOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah spektrofotometer UV-Vis, tabung
reaksi, pipet ukur, magnetic stirrer, pipet volume dan beaker glass.

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah rhodamin B dan air suling.

3.3 Cara Kerja

1) Macam percobaan
Kelompok 1 : dosis 20mg, klirens 200 ml/15 menit vd 0.5 l
Kelompok 2 : dosis 10mg, klirens 100 ml/15 menit vd 1 l
Kelompok 3 : dosis 20mg, klirens 200 ml/15 menit vd 0,5 l
Kelompok 4 : dosis 10mg, klirens 100 ml/15 menit vd 1 l
Dilakukan satu macam percobaan secara intravaskuler.
2) Pembuatan larutan baku kerja rhodamine B
 Larutan baku induk 100 ppm diilarutkan 10mg rhodamine B ke dalam 100 ml air
suling
 Dienceekan dengan air suling sampai didapat larutan dengan kadar 1,2,5,10,20,40
ppm
3) Penentuan panjang gelombang maksimum
 Larutan baku kerja diamati nilai serapan pada panjang gelombang 530-570 nm.
 Dibuat kurva serapan terhadap panjang gelombang pada kertas grafik berskala
sama
 Ditentukan panjang gelombang maksimum
4) Pembuatan kurva baku
Larutan baku kerja dengan panjang gelombang maks diketahui
 Larutan baku kerja dengan panjang gelombang maks yang telah diketahui,
diamati serapannya
 Dibuat tabel hasil pengamatan
 Dibuat kurva kadar larutan baku kerja terhadap serapan pada kertas grafik
berskala sama
 Dihitung koefisien korelasi
 Dibuat persamaan garis
5) Simulasi model farmakokinetika invitro rute intravaskular
 Beaker glass diisi dengan air suling secara kuantitatif, sesuai dengan nilai vd
 Ditambahkan rhodmin B sesuai dengan dosis yang telah ditentukan sebelumnya
 Diaduk dengan batang pengaduk
 Diambil sampel larutan rhodamin B pada menit ke 0,15,30,45 sesuai nilai klirens
dan segera digantikan volume yang diambil tersebut dengan air suling
 Diukur serapan sampel pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh,
digunakan air suling sebagai blanko
 Dihitung parameter farmakokinetika
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

4.1 Tabel Pengamatan

Parameter 1 2 3 4 5 6

Dosis 20 mg 10 mg 20 mg 10 mg 20 mg 20 mg

Cl 200 ml 100 ml/ 200 ml 100 ml 100 ml 100 ml


15 menit
Vd 6,5 L 0,5 L 1L 1L 0,5 L 1L

t½ 28,42 57,75 46,2 92,4 52,90 100,43

K 0,0243 0,012 0,0157 0,075 0,0131 0,0069

AuC 1562,1 1149 885,8 552,75 1475 1047

Kadar (mcg/ml) Absorbansi


Sampel-Blanko
1 ppm 0,104
2 ppm 0,176
5 ppm 0,447
10 ppm 0,767
20 ppm 1,698
40 ppm 2,626

Waktu Absorbansi C kadar Log C

0 menit 1,661 23,5 1,37


15 menit 1,701 24,10 1,38
30 menit 1,398 19,5 1,29
45 menit 1,119 15,2 1,18
60 menit 0,915 12,1 1,08
4.2 Perhitungan

1. Pengenceran

Untuk 2 ppm dari 100 ppm pada 100 mL

V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 100 ppm = 100 mL x 2 ppm

100 mL x 2 ppm
V1 = 100 ppm

V1 = 2 mL

2. Menghitung Kadar

Didapatkan persamaan linear y = 0,066x + 0,11

a = 0,11 ; b = 0,066

 Absorbansi 1,661 ; t = 0 menit

absorbansi−a
y=
b

 Absorbansi 1,661 ; t = 0 menit


1,661−0,11
y=
0,066

1,551
y=
0,066

y = 23,5

 Absorbansi 1,701 ; t = 15 menit

absorbansi−a
y=
b

1,701−0,11
y=
0,066

1,591
y=
0,066

y = 24,1

 Absorbansi 1,398 ; t = 30 menit

absorbansi−a
y=
b

1,398−0,11
y=
0,066

1,288
y=
0,066
 Absorbansi 1,119 ; t = 45 menit

absorbansi−a
y=
b

1,119−0,11
y=
0,066

1,009
y=
0,066

y = 15,2

 Absorbansi 0,915 ; t = 60 menit

absorbansi−a
y=
b

0,915−0,11
y=
0,066

0,805
y=
0,066

y = 12,1

3. Mengitung Log C

Menggunakan kalkulator scientific

 Tekan log 23, 5  tekan =  1,37


 Tekan log 24,10  tekan =  1,38
 Tekan log 19,5  tekan =  1,29
 Tekan log 15,2  tekan =  1,18
 Tekan log 12,1  tekan =  1,08

Didapat persemaan regresi nya y = - 0,0052x + 1,416 ; nilai R2 = 0,919

a = 1,416 ; b = 0,052

4. Menghitung Nilai K

−K
Slope (b) = 2,3

−K
(-) 0,0052 = 2,3

(-) K = (-) 0,0052 x 2,3

K = 0,0119 dibulatkan 0,012/menit


5. Menghitung t1/2

0,693
t1/2 = K

0,693
t1/2 = 0,012

t1/2 = 57,75 menit.

6. Menghitung AUC

AUC total = 𝐴𝑈𝐶015 + 𝐴𝑈𝐶15


30 45
+ 𝐴𝑈𝐶30 60
+ 𝐴𝑈𝐶45

(C0 + C15) x (t15 – t0) (C15 + C30) x (t30 – t15) (C30 + C45) x (t45 – t30)
AUC total = { }+{ }+{ }
2 2 2

(C45 + C60) x (t60 – t45)


+{ 2
}

(23,5 + 24,1) x (15 – 0) (24,1 + 19,5) x (30 – 15) (19,5 + 15,2) x (45 – 30)
AUC total = { }+{ } +{ }
2 2 2

(15,2 + 12,1) x (60 – 45)


+{ }
2

(47,6 x 15) (43,6 x 15) (34,7 x 15) (27,3 x 15)


AUC total = + + +
2 2 2 2

714 654 520,5 409,5


AUC total = + + +
2 2 2 2

AUC total = 357 + 327 + 260,25 + 204,75

AUC total = 1.149 μg.menit/ml.


BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Prinsip Percobaan

Percobaan simulasi model in vitro farmakokinetik ini bertujuan untuk menjelaskan


proses farmakokinetik obat dalam tubuh setelah pemberian secara intravena dan
mengetahui profil farmakokinetik obat. Dalam metode ini, suatu wadah digambarkan sebagai
kompertemen tubuh dimana obat mengalami profil farmakokinetik dari distribusinya hingga
eliminasi obat. Sampel untuk percobaan ini yaitu Rhodamin B yang akan di uji aktifitas
farmakokinetiknya dengan menggunakan metode model in vitro.

5.2 Analisa Prosedur

Langkah pertama dari percobaan ini yaitu membuat larutan baku induk Rhodamin
B100 ppm dengan cara melarutkan 10 mg Rhodamin B dalam 100 ml air suling. Dari larutan
baku induk dibuat konsentrasi bertingkat dengan kadar 1, 2, 5, 10, 20, 40 ppm. Larutan baku
kerja tersebut kemudian di uji dalam spektrofotometer untuk menentukan nilai serapan pada
panjang gelombang 530 – 570 nm dan dan didapat nilai Panjang gelombang (λ) maksimum
dan untuk menentukan nilai absorbansinya hingga didapatkan persamaan linier.

Langkah kedua yaitu penimbangan Rhodamin B 10 mg dilarutkan dengan air suling


500 ml dalam gelas beaker. Rhodamin B dianggap sebagai obat dengan pemberian secara
intravena yang langsung terdistribusi dalam saluran sistemik tanpa melalui absorbsi. Larutan
dalam gelas beaker diilustrasikan sebagai volume distribusi obat dalam tubuh. Volume
distribusi (Vd) merupakan volume hipotesis cairan tubuh yang akan diperlukan untuk
melarutkan jumlah total obat pada konsentrasi yang sama seperti yang ditemukan dalam
darah (Ansel, 2006). Volume distribusi yang diperoleh mencerminkan suatu keseimbangan
antara ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai
distribusi lebih besar, dengan ikatan pada protein plasma, yang meningkatkan konsentrasi
plasma dan membuat volume distribusi menjadi lebih kecil. (Holford, 1998). Digunakan satu
wadah sebagai ilustrasi model kompartemen satu terbuka. Model ini menganggap bahwa
berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding
dengan kadar obat dalam jaringan (Shargel, 1988).
Setelah Rhodamin B dimasukkan dalam larutan, dilakukan pengadukan secara terus
menerus yang menggambarkan seperti aliran darah yang mengalir dalam tubuh dengan
kecepatan konstan. Larutan dalam wadah kemudian diambil sebanyak 100 ml setiap 15 menit
dari menit ke 0 hingga 45 yang dianggap sebagai proses klirens (Cl) atau bersihan obat dari
dalam tubuh. Klirens merupakan parameter farmakokinetika yang menggambarkan eliminasi
obat yang merupakan jumlah volume cairan yang mengandung obat yang dibersihkan dari
kompartemen tubuh setiap waktu tertentu. Secara umum eliminasi obat terjadi pada ginjal
dan hati yang sering dikenal dengan istilah klirens total yang merupakan jumlah dari klirens
ginjal (renalis) dan hati (hepatik) (Mutschler, 1999).

Setiap pengambilan larutan klirens pada wadah ditambahkan kembali air suling
sebanyak 100 ml untuk menggambarkan kondisi sink dalam tubuh. Tahap selanjutnya yaitu
pengukuran konsentrasi setiap larutan dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada 
530 nm untuk menentukan kadar Rhodamin B yang diekskresikan per satuan waktu. Hasil absorbansi
setiap larutan digunakan untuk menentukan konsentrasinya dengan menggunakan kurva baku
Rhodamin B yang telah diketahui sebelumnya.

5.3 Analisa Hasil

Pada penentuan larutan baku kerja dari nilai serapan pada panjang gelombang 530 –
570 nm, didapatkan Panjang gelombang (λ) maksimum 553 nm dengan absorbansi 0,765.
Absorbansi yang didapat dari 1, 2, 5, 10, 20, 40 ppm beruturut – turut adalah 0,104 ; 0,176 ;
0,447 ; 0,767 ; 1,698 ; 2,626 ; dari nilai absorbansi tersebut didapatkan persamaan linear yaitu
y = 0,0661x + 0,1108 dengan nilai 𝑅2 = 0,9805.

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa konsentrasi Rhodamin B mengalami


penurunan kadar sebanding dengan selang waktu dari larutan yang diambil. Pada pemberian
waktu ke-0, absorbansi yang didapatkan mencapai 1,661 dan konsentrasi kadar didapat 23,5.
Pada menit ke-15 absorbansi meningkat menjadi 1,701 dan konsentrasi kadar didapat
24,10. Pada menit ke 30 absorbansi kembali menurun menjadi 1,398 dan didapat konsetrasi
kadar 19,5. Pada menit ke-45 menurun menjadi 1,119 dengan konsentrasi kadar yang didapat
15,2. Pada Menit ke-60 absorbansi keembali menurun menjadi 0,915 dan konsentrasi kadar
nya 12,1. Pada percobaan yang kami lakukan terdapat laju eliminasi yang meningkat di menit
ke-15, hal ini terjadi karena kuvet untuk uji pada spektrofotometer kurang bersih sehingga
cahaya berpendar dan mengecoh hasil.
Seharusnya, laju eliminasi dari Rhodamin B semakin menurun seiring dengan
perubahan waktu. Hasil yang didapat jika semua konsentrasi nya menurun merupakan data
kompartemen satu terbuka secara intravaskuler. Sehingga data dapat menghasilkan grafik
menurun karena pada rute ini obat langsung mencapai konsentrasi 100% dan didistribusikan
tanpa adanya tahapan absorbsi obat.

Berdasarkan percobaan pemberian obat melalui intravena, dapat diketahui parameter


primer yang menunjukan profil farmakokinetiknya yaitu volume distribusi sebesar 500 ml
dan klerens sebesar 100ml/15 menit. Tidak diketahui Ka (kecepatan absorbs) karena
disimulasikan berupa injeksi intravaskuler. Dari parameter primer didapatkan parameter
sekunder berupa t1/2 sebesar 57,75 menit dan harga K sebesar 0,012/menit kemudian adapula
parameter turunan salah satunya AUC dari sample Rhodamin B didapatkan nilai sebesar
1.149 mcg. menit/ml. Sedangkan pada kelompok 1, dosis 20 mg dengan klirens 200 mL/15
menit dan Vd = 500 mL. Kelompok 3, dosis 20 mg dengan klirens 200 mL/15 menit dan Vd
= 1 L. Kelompok 4, dosis 10 mg dengan klirens 100 mL/15 menit dan Vd = 1 L. kelompok 5,
dosis 20 mg dengan klirens 100 mL/15 menit dan Vd = 500 mL. kelompok 6, dosis 20 mg
dengan klirens 100 mL/15 menit dan Vd = 1L. Kemudian untuk t ½ , didapatkan tiap
kelompok 1, 3, 4, 5, 6 berturut – turut 28,42 ; 46,2 ; 92,4 ; 52,90 ; 100,43. Nilai K yang
didapat dari kelompok 1, 3, 4, 5, 6 berturut – turut adalah 0,0243 ; 0,0157 ; 0,075 ; 0,013 ;
0,0069. Nilai AUC yang diperoleh kelompok 1, 3, 4, 5, 6 adalah 1.562, 885, 552, 1.475,
1.047.

AUC (Area Under Curve) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung
secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat
digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan
kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak
dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008).

Berdasarkan percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa model in vitro farmakokinetika


digunakan untuk menguji profil farmakokinetika obat dalam suatu wadah yang digambaran
seperti kompartemen darah dalam tubuh sebagai tempat didistribusikan dan
dieliminasikannya obat. Pemberian obat secara intravaskuler merupakan model rute
pemberian obat dimana obat tidak mengalami absorbs, melainkan langsung didistribusikan
sehingga konsentrasinya dalam plasma pada waktu 0 (Cp0) maksimal dalam darah.
Perbedaan dosis, klirens dan Vd juga mempengaruhi hasil dari t1/2 obat, nilai K dan AUC
nya.

Kurva kalibrasi dibuat berdasarkan t(s) sebagai sumbu x dan log C sebagai sumbu y,
sehingga diperoleh t versus log C. Dari kurva tersebut diperoleh nilai a = 1,416 ; b = - 0,0052
dan 𝑅 2 = 0,919. Hal ini dapat disimpulkan bahwa nilai tersebut memasuki rentang 0-1.

5.4 Diskusi
1. Apa yang dimaksud dengan model farmakokinetika dan mengapa diperlukan
model farmakokinetika ? sebutkan macamnya !

Model farmakokinetika merupakan penggambaran sistem biologik yang kompleks


yang dibuat penyederhanaan anggapan mengenai pergerakan obat (Sriwidodo, 1985).
Model Farmakokinetik merupakan suatu hubungan matematik yang menggambarkan
perubahan konsentrasi terhadap waktu dalam sistem yang diperiksa. Tujuan dibuat
model farmakokinetika ialah untuk menyederhanakan struktur tubuh (hewan atau
manusia) yang begitu kompleks menjadi model matematik yang sederhana, sehingga
mempermudah menerangkan nasib obat (ADME) di dalam tubuh (Hakim, 2012).
Model farmakokinetik berguna untuk (Shargel & Yu, 1988):
 Memperkirakan kadar obat dalam plasma, jaringan dan urine pada berbagai
pengaturan dosis
 Menghitung pengaturan dosis optimum untuk tiap penderita secara individual
 Memperkirakan kemungkinan akumulasi obat dngan aktivitas farmakologi atau
metabolit metabolit
 Menghibungakan kemungkinan konsentrasi obat dengan aktivitas farmakologik atau
toksikologik
 Menilai perubahan laju atau tingkat availabilitas antar formulasi
 Menggambarkan perubahan faal atau penyakit yang mempengaruhi absorbsi,
distribusi dan eliminasi
 Menjelaskan interaksi obat

Macam – macam model farmakokinetika


1. Model Mammillary
Model terdiri atas satu atau lebih kompartemen perifer yang dihubungkan ke
suatu kompartemen sentral. Kompartemen sentral mewakili plasma dan jaringan-
jaringan yang perfusinya tinggi dan secara cepat berkesetimbangan dengan obat.
Model mamillary dapat dianggap sebagai suatu sistem yang berhubungan secara erat,
karena jumlah obat dalam setiap kompartemen dalam setiap sistem tersebut dapat
diperkirakan setelah obat dimasukkan ke dalam suatu kompartemen tertentu. Menurut
Mammillary model kompartemen dibagi menjadi :
a. Kompartemen satu terbuka iv
Perfusi terjadi sangat cepat seperti tanpa proses distribusi sebab distribusi tidak
diamati karena terlalu cepatnya. (Hanya ada satu fase yaitu eliminasi).
b. Kompartemen satu terbuka ev
Sebelum memasuki kompartemen sentral, obat harus mengalami absorbsi.
(Terdiri dari 2 fase yaitu absorbsi dan eliminasi).
c. Kompartemen 2 terbuka intravaskuler
Kompartemen dianggap hanya satu dan ada proses distribusi dari sentral ke
perifer atau sebaliknya. Tidak ada proses absorbsi tetapi ada proses eliminasi.
d. Kompartemen 2 terbuka ekstravaskuler
Obat mengalami proses absorpsi, distribusi dan eliminasi.

2. Model Caternary
Dalam farmakokinetika model mammilary harus dibedakan dengan macam
model kompartemen yang lain yang disebut model caternary. Model caternary terdiri
atas kompartemen-kompartemen yang bergabung satu dengan yang lain menjadi satu
deretan kompartemen. Sebaliknya, model mammilary terdiri atas satu atau lebih
kompartemen yang mengelilingi suatu kompartemen sentral.

3. Model Fisiologik (Model Aliran)


Model fisiologik juga dikenal sebagai model aliran darah atau model perfusi,
merupakan model farmakokinetik yang didasarkan atas data anatomik dan fisiologik
yang diketahui. Makna yang nyata dari model fisiologik adalah dapat digunakannya
model ini dalam memprakirakan farmakokinetika pada manusia dari data hewan. Jadi,
parameter-parameter fisiologik dan anatomic dapat digunakan untuk memprakirakan
efek obat pada manusia berdasar efek obat pada hewan (Shargel dan Yu, 1988).

2. Apa yang dimaksud dengan volume distribusi dan klirens suatu obat ?
Volume distribusi merupakan parameter yang menerangkan seberapa luas
suatu obat terdistribusi dalam tubuh. Volume ini tidak bermakna faal atau tidak ada
kaitannya dengan faal. Volume distribusi dipengaruhi oleh :
 Perfusi darah Yaitu seberapa cepat dan banyak obat masuk dalam darah.
 Lipofilitas obat
 Seberapa kuat obat terikat oleh protein plasma, protein darah maupun protein
jaringan
Vd = Jumlah obat di dalam tubuh / C

Klirens suatu obat adalah faktor yang memprediksi laju eliminasi yang
berhubungan dengan konsentrasi obat :
CL = Laju Eliminasi / C
Klirens dapat dirumuskan berkenaan dengan darah (CLb), plasma (CLp) atau
bebas dalam urin (CLu), bergantung pada konsentrasi yang diukur. Eliminasi obat
dari tubuh dapat meliputi proses-proses yang terjadi dalam ginjal, paru, hati dan organ
lainnya. Dengan membagi laju terjadi pada setiap organ dengan konsentrasi obat yang
menuju pada organ menghasilkan klirens pada masing- masing obat tersebut. Kalau
digabungkan klirens-klirens yang terpisah sama dengan klirens sistemik total
(Katzung, 2001).
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa
mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau organ
dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume
distribusi) dimana obat terlarut didalamnya (Shargel, 2005). Untuk beberapa obat
rute pemakaian mempengaruhi kecepatan metabolismenya. Obat - obat yang
diberikan secara oral diabsorbsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan
ditransport melalui pembuluh mesenterika menuju vena porta hepatik dan ke hati
sebelum ke sirkulasi sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam jumlah besar
oleh hati atau sel-sel mukosa usus halus menunjukkan avaibilitas sistemik yang jelek
jika diberikan secara oral. Metabolisme secara oral sebelum mencapai sirkulasi umum
disebut first pass effect atau eliminasi presistemik (Shargel, 2005).

3. Parameter farmakokinetika mana yang dikaitkan dengan jumlah obat dalam


tubuh untuk pengukuran kadar obat dalam plasma ?
Parameter farmakokinetik yang berkaitan dengan jumlah obat dalam tubuh
untuk mengukur kadar obat didalam plasma adalah volume ditribusi. Volume
distribusi adalah volume hipotetik dalam tubuh tempat obat terlarut. Vd adalah salah
satu faktor yang harus diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah obat dalam
tubuh. Vd merupakan suatu parameter yang berguna untuk menilai jumlah relatif obat
di luar kompartemen sentral atau dalam jaringan. Volume distribusi menghubungkan
jumlah obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat (C) dalam darah atau plasma
(Shargel dan Yu, 2005).
Obat–obat yang memiliki volume distribusi yang sangat tinggi mempunyai
konsentrasi yang lebih tinggi di dalam jaringan ekstravaskular daripada obat-obat
yang berada dalam bagian vaskular yang terpisah, yakni obat-obat tersebut tidak
didistribusikan secara homogen. Sebaliknya, obat-obat yang dapat bertahan secara
keseluruhan di dalam bagian vaskular yang terpisah, pada dasarnya mempunyai
kemungkinan minimum Vd yang sama dengan komponen darah di mana komponen-
komponen tersebut didistribusi (Angestiarum, 2015).

4. Jelaskan factor dari timbulnya variabilitas kadar obat dalam plasma setelah
dosis yang sama diberikan pada pasien yang berbeda ?
 Berat badan : obat yang besifat lipofilik ketika terjadi kenaikan berat badan makan
volume distribusinya pun akan mengalami peningkatan sehingga kadar obat daram
darah sedikit sedangkan obat yang bersifat hidrofilik tidak berpengaruh ketika
terjadi kenaikan berat badan.
 Aliran darah : semakin cepat aliran darah, kecepatan absorbsi semakin besar
sehingga obat lebih cepat dimetabolisme atau berada dalam plasma.
 Protein plasma : albumin salah satunya apabila obat banyak yang terikat kuat pada
protein plasma mempunyai Vd yang kecil serta kadar obat dalam darah tinggi.
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Simulasi model in vitro farmakokinetika digunakan untuk menguji profil


farmakokinetika obat dalam suatu wadah yang digambaran seperti kompartemen darah dalam
tubuh sebagai tempat didistribusikan dan dieliminasikannya obat. Berdasarkan percobaan
yang telah dilakukan, diketahui profil farmakokinetika Rhodamin B dari beberapa parameter
yaitu parameter primer berupa dosis 10 mg, Vd sebesar 500 ml dan Klerens sebesar 100ml/15
menit. Parameter sekunder yang diketahui yaitu berupa t1/2 sebesar 57,75 menit dan harga K
sebesar 0,012/menit, sedangkan parameter turunan yaitu AUC dari sample metilen merah
didapatkan nilai sebesar 1.149 μg.menit/ml.

6.2 Saran

Praktikan harus lebih teliti dalam melakukan prosedur kerja praktikum supaya dapat
meminimalisir kesalahan yang terjadi pada saat melakuakan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C., 2006, Pharmaceutical Calculations: the pharmacist’s handbook, Lippicontt


William and Wilkins, Philadelpia.

Ganiswara, S.G.,1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi Keempat, Jakarta: Bagian


Farmakologi FKUI, Hal: 3 – 6.

Hakim, L, 2011, Farmakokinetik Klinik. Yogyakarta : PT Bursa Ilmu.

Joenoes, ZN, 2002, Arsprescribendi jilid 3, Airlangga University Press: Surabaya.

Makoid, M.C., Vuchetich, P.J.N and Banakar, U.V., 1999, Basic Pharmacocinetic, First
edition, Pakistan: Virtual University Press.

Mutschler, E., 1999, Dinamika Obat. Edisi kelima. Penerjemah: Mathilda B Widianto,
Bandung: Penerbit ITB, Hal. 5, 51, 358.

Neal, Michael J., 2006, Farmakologi Medis, Edisi kelima, Jakarta: Erlangga.
LAMPIRAN

Penimbangan rhodamin B 0,01 g


Pembuatan larutan dengan kadar 2 ppm

Perbedaan konsentrasi dengan masing2 waktu

Pembacaan absorbansi untuk masing – masing larutan dengan perbedaan waktu

Anda mungkin juga menyukai