Anda di halaman 1dari 10

Lembar Tugas Mahasiswa

Modul Respirasi
Dibuat Oleh:
Anggi Angelina Permatasari
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
( Kelompok 2 1506668473 )

Tata Laksana Farmakologi dan Non-Farmakologi Rhinitis Alergi

I.Pendahuluan
Rhinitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada membran mukosa yang terletak di dalam
hidung.1 Rhinitis dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok utama yaitu rhinitis alergi dan rhinitis non
alergi. Rhinitis alergi merupakan rhinitis yang disebabkan oleh alergi terhadap unsur tertentu (alergen) seperti
udara dingin , debu , serbuk sari , dan lain lain sedangkan rhinitis non alergi merupakan rhinitis yang bukan
disebabkan oleh alergi melainkan akibat infeksi virus dan bakteri. 1
Gejala rhinitis baik rhinitis alergi maupun rhinitis non alergi mirip dengan gejala influenza seperti
bersin bersin , hidung tersumbat dan berair , berkurangnya kemampuan penghidu , dan terdapat iritasi ringan
pada hidung atau area disekitarnya yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada penderita.1 Pada rhinitis alergi
gejala gejala tersebut akan muncul setelah terpapar oleh alergen yang dapat memicu timbulnya rhinitis.
Gejala gejala tersebut dapat semakin parah dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama hingga dapat
mengganggu kegiatan sehari hari. Namun , mayoritas penderita rhinitis alegi hanya mengalami gejala ringan
yang dapat diobati dengan efektif apabila dilakukan tata laksana yang tepat.
Lembar tugas mahasiswa ini akan membahas mengenai tata laksana farmakologi dan non-farmakologi
pada penderita rhinitis alergi.

II.Isi / Pembahasan
Penyakit alergi , termasuk rhinitis alergi , disebabkan oleh adanya mediator kimia seperti histamin
yang dilepaskan oleh sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada
reseptor yang terletak pada permukaan sel tersebut.1 Tujuan dilakukan nya penatalaksanaan atau pengobatan
yang tepat terhadap rhinitis alergi adalah untuk mengurangi gejala akibat paparan alergen , hiperreaktifitas
nonspesifik, dan juga inflamasi. Selain itu pengobatan terhadap rhinitis alergi juga bertujuan untuk
memperbaiki kualitas hidup para penderita agar dapat menjalankan aktifitas sehari hari dan mengurangi efek
samping dari pengobatan yang sedang dijalankan.1 Tata laksana terhadap rhinitis alergi akan diklasifikasikan
menjadi tata laksana farmakologi dan tata laksana non-farmakologi.

Gambar 1. Respon Tubuh terhadap Alergi


Modul Respirasi Anggi Angelina P. 1
A.Tata Laksana Farmakologi Rhinitis Alergi
Tata laksana farmakologi terhadap rhinitis alergi meliputi pemberian obat obatan yang dapat
mengurangi gejala rhinitis alergi dan juga imunoterapi. Obat-obatan yang dapat digunakan atau diberikan
untuk mengurangi gejala pada penderita rhinitis alergi antara lain adalah sebagai berikut.
1.Anti-Histamin H1
Antihistamin merupakan pengobatan lini pertama yang digunakan untuk pengobatan alergi termasuk
untuk rhinitis alergi. Obat antihistamin bekerja dengan cara menghalangi atau memblok pelepasan histamin
ke dalam tubuh.2 Histamin dilepaskan ke dalam tubuh ketika tubuh bereaksi terhadap alergen seperti udara
dingin , debu , bulu hewan peliharaan , dan lain-lain. Pelepasan histamin ke dalam tubuh menyebabkan
terjadinya pembengkakan kelenjar hidung atau mata dan meningkatkan sekresi lendir yang bertujuan untuk
mencegah alergen masuk lebih dalam ke tubuh.2 Namun, efek daripada histamin tersebut terkadang dapat
menimbulkan rasa tidak nyaman dan mengganggu aktifitas apabila dibandingkan dengan alergen sendiri. Oleh
sebab itu, pembatasan terhadap produksi histamin dapat mengurangi respon alergi.
Histamin akan menimbulkan efek pada tubuh apabila berikatan dengan reseptor histaminergik yaitu
reseptor H1, reseptor H2 , reseptor H3 dan juga reseptor H4.2,3 Interaksi histamin dengan reseptor H1 akan
menyebabkan kontraksi pada otot polos usus dan bronkus, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
meningkatkan sekresi mukus.2,3 Selain itu , interaksi dengan reseptor H1 juga dapat menyebabkan terjadinya
vasodilatasi arteri sehingga menjadi permeable terhadap cairan dan plasma protein, yang menyebabkan
sembab, pruritik, dermatitis , dan urtikaria. Selanjutnya , interaksi histamin dengan reseptor H 2 dapat
meningkatkan sekresi asam lambung dan kecepatan kerja jantung. Reseptor H3 merupakan reseptor histamin
yang baru ditemukan pada tahun 1987. Reseptor H3 terletak pada ujung saraf jaringan otak dan jaringan perifer
, yang berperan dalam mengontrol sintesis dan pelepasan histamin , yang merupakan mediator alergi dan juga
peradangan.2,3 Reseptor H4 berbeperan penting pada efek kemotaktik di eosinophil dan juga sel mast.2,3

Tabel 1. Klasifikasi Reseptor Histamin2

Anti histamin yang digunakan untuk pengobatan rhinitis alergi adalah antihistamin golongan H1.
Antihistamin H1 adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi bersatunya histamin dengan reseptor
H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada mukosa hidung.2,4 Antihistamin dan histamin akan
saling berlomba satu sama lain untuk dapat menempati reseptor H1 yang ada di pada permukaan sel di dalam
tubuh. Antihistamin H1 akan berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor tersebut.2 Blokade
reseptor oleh antagonis H1 menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak
akibat histamin misalnya kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi
pembuluh darah.2 Saat ini beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa selain merupakan golongan obat
antagonist , antihistamin H1 juga termasuk ke dalam golongan obat inverse agonist yang dapat menghambat
aktivitas reseptor H1. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa antihistamin H1 dapat menginaktivasi reseptor
H1 yang aktif pada tubuh sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi inflamasi akibat alergi.2
Obat antihistamin H1 diklasifikasikan menjadi generasi satu dan generasi dua.2,3 Perbedaan signifikan
antara antihistamin H1 generasi satu dan generasi dua adalah kemampuan dalam menembus sawar darah otak
dan selektivitas atau spesifisitas. Antihistamin H1 generasi dua memiliki sifat lipofobik sehingga kurang
mampu untuk menembus sawar darah otak sehingga menurunkan efek sedasi.2,3 Lain halnya dengan
antihistamin H1 generasi pertama yang memiliki efek sedasi yang cukup signifikan. Selain itu , antihistamin
H1 generasi dua bersifat lebih selektif sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologis lainnya pada tubuh
Modul Respirasi Anggi Angelina P. 2
seperti muskarinik dan adrenergik alfa. Kelebihan lain yang dimiliki oleh antihistamin H1 generasi dua adalah
obat tersebut memiliki efek anti alergi dan anti inflamasi. Obat tersebut mampu menghambat pelepasan
histamin , prostaglandin , kinin dan leukotrien.2 Selain itu , obat tersebut juga dapat mengurangi ekspresi
ICAM 1 pada epitel yang terletak di konjungtiva. Keuntungan lainnya adalah antihistamin H1 generasi dua
memiliki waktu paruh plasma yang lebih panjang, sehingga dosisnya cukup dengan 1-2 kali sehari.2
Daftar nama obat obatan yang termasuk ke dalam kelompok antihistamin H1 generasi satu dan
generasi dua yang dapat digunakan sebagai pengobatan untuk penderita rhinitis alergi adalah sebagai berikut

Tabel 2. Obat obatan Antihistamin H1 Generasi Satu dan Generasi Dua2

2.Dekongestan Hidung
Dekongestan merupakan golongan obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk mengurangi
sumbatan pada hidung dan juga kongesti pada hidung. Dekongestan bekerja dengan cara berikatan dengan
reseptor adrenergic alfa sehingga menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah yang terletak di
dalam membran hidung sehingga dapat mengurangi pembengkakan kelenjar mukosa hidung yang terjadi dan
memperbaiki pernafasan.2,5 Obat obat dekongestan sangat efektif dalam menurunkan kongesti atau sumbatan
yang terjadi pada hidung. Namun , obat obat dekongestan memiliki efek yang minimal terhadap gejala
gejala hidung lainnya seperti bersin atau hidung gatal. Obat dekongestan hidung , tersedia dalam bentuk
sediaan topikal dan juga oral.5
Dekongestan topikal tidak menyebabkan atau hanya sedikit sekali menyebabkan absorpsi sistemik.
Preparat topikal bekerja dalam waktu 10 menit dan dapat bertahan hingga 12 jam.5 Efek samping yang
ditimbulkan dari penggunaan dekongestan topikal adalah rasa panas dan kering pada hidung , ulserasi mukosa,
dan juga perforasi septum. Selain itu , penggunaan agen topikal dalam jangka waktu yang lama atau panjang
, lebih dari 3 atau 5 hari, dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa dimana hidung dapat kembali tersumbat
Modul Respirasi Anggi Angelina P. 3
akibat terjadinya vasodilatasi perifer. Oleh sebab itu , penggunaan dekongestan topikal harus dibatasi sesuai
dengan kebutuhan saja. 5

Tabel 3. Obat Dekongestan Topikal Berdasarkan Durasi Aksi3

Tabel 4.Obat Obatan Golongan Dekongestan Topikal2

Lain hal nya dengan dekongestan topikal , dekongestan oral memiliki onset kerja yang lebih lambat.
Efek terapi dari preparat oral dapat dirasakan setelah 30 menit pasca dikonsumsi. Namun , dekongestan oral
memiliki efek yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama ( 8 hingga 24 jam ) dan tidak
menyebabkan terjadinya iritasi lokal. Selain itu , penggunaan dekongestan oral juga tidak akan menimbukan
resiko terjadinya rhinitis medikamentosa. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan dekongestan oral
antara lain adalah pusing , sakit kepala , takikardi, dan juga insomnia. 2

Tabel 5. Obat-Obatan Golongan Dekongestan Oral2

3.Kortikosteroid Intranasal
Kortikosteroid memiliki mekanisme kerja dengan cara mengendalikan laju sintesis protein. Ketika
dilakukan pemberian kortikosteroid, molekul steroid bebas akan berdifusi secara pasif ke membran sel target
dan memasuki sitoplasma dan kemudian berikatan dengan reseptor glukokortikoid.2 Selanjutnya, reseptor
glukokortikoid akan teraktivasi dan memasuki inti sel, dan kemudian melekat sebagai dimer pada lokasi ikatan
spesifik (elemen respon glukokortikoid) pada DNA di gen 5-upstream promotor region of steroid-response.

Modul Respirasi Anggi Angelina P. 4


Efek interaksi ini menginduksi dan mensupresi transkripsi gen. Transkripsi RNA messenger terinduksi selama
proses ini kemudian diikuti proses post-transkripsional dan ditransportasikan ke sitoplasma untuk translasi
ribosom, dengan produk sampingan protein baru. Setelah proses post-transkripsional terjadi, protein baru
dilepaskan untuk aktivitas ekstraselular atau ditahan oleh sel untuk aktivitas intraselular.2
Waktu yang dibutuhkan untuk transalasi RNA messenger dan transkripsi protein dapat terjadi pada
lag phase antara pemberian dan menghasilkan aktivitas klinis kortikosteroid.Kortikosteroid telah
menunjukkan efek spesifik dalam sel inflamasi dan mediator kimia yang terlibat dalam proses alergi. Steroid
intranasal mempengaruhi seluruh aspek respon inflamasi nasal. Selain itu , steroid secara signifikan
menurunkan kadar protein kationik eosinofil pada sekret nasal. Efek utama yang dihasilkan oleh kortikosteroid
intranasal adalah mengurangi inflamasi dengan memblok pelepasan mediator, menekan kemotaksis neutrofil,
mengurangi edema intrasel, menyebabkan vasokonstriksi ringan, dan menghambat reaksi fase lambat yang
diperantarai oleh sel mast. 2,5
Kortikosteroid oral sangat efektif dalam mengurangi gejala rinitis alergi terutama dalam episode akut.
Efek samping sistemik dari pemakaian jangka panjang kortikosteroid sistemik baik peroral atau parenteral
dapat berupa osteoporosis, hipertensi, glukoma, cutaneous striae, dan lain lain . Efek samping lain yang
jarang terjadi diantaranya sindrom Churg-Strauss. 2
Pemakaian kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rinitis alergi seperti Beclomethason dipropionat,
Budesonide, Flunisonide acetate fluticasone dan Triamcinolone acetonide dinilai lebih baik karena
mempunyai efek antiinflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya, serta memiliki
efek samping sitemik yang lebih kecil.2 Tapi pemakaian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
mukosa hidung menjadi atropi dan dapat memicu tumbuhnya jamur. respon puncak korrtikosteroid intranasal
umumnya tercapai dalam 2- 3 minggu. Dosis kemudian dapat diturunkan jika sudah tercapai respon yang
diinginkan.2,3

Tabel 6. Obat Obatan Kortikosteroid Intranasal3


Kortikosteroid
Dosis dan Pemberian Bioavailabilitas Intranasal
Merek Dagang
Beclomethasone 1-2 spray/nostril 2 kali 168-336 g/hari Dewasa dan anak 6 tahun Belum diketahui
Beconase AQ sehari
42 g per spray Dewasa dan anak 6 tahun
Vancenase 1 atau 2 spray/ nostril per 168-336 g/hari
84AQ hari Dewasa 15 tahun
84 g per spray
2 spray/nostril dua kali 200 g/hari 40%-50%
Flunisolide sehari atau Anak 6-14 tahun
Nasalide / 2 spray/nostril 3 kali sehari 300 g/hari
Nasarel, 25 g 1 spray/nostril 3 kali sehari
per spray atau 150 g/hari
2 spray/nostril 2 kali sehari
200 g/hari Dewasa dan anak 6 tahun
2 spray/nostril 2 kali sehari
4 spray/nostril per hari
256 g/hari 20%
Budesonide 2 spray/nostril per hari Dewasa dan anak 12 tahun
Rhinocort, 32 g 1-2 spray/nostril per hari Anak 4-11 tahun
per spray
2-4 spray/nostril per hari
2 spray/nostril per hari 200 g/hari Dewasa dan anak 12 tahun 0,5%- 2%
Fluticasone Anak 6-11 tahun

Modul Respirasi Anggi Angelina P. 5


Flonase, 50 g 2spray/nostril per hari 100-200 g/hari
per spray 1-2 spray/nostril per hari
Dewasa dan anak 12 tahun
2 spray /nosreil per hari 220-440 g/hari Anak 6-12 tahun Belum diketahui
Triamcinolone
Nasacort, 55 g 220 g/hari
per spray Dewasa dan anak 6 tahun

220 g/hari
Nasacort AQ, 55
g per spray 110-220 g/hari

200 g/hari 0,1%


Mometasone
Nasonex,50 g
per spray

4.Natrium Kromolin
Natrium Kromolin adalah obat anti alergi yang memiliki mekanisme kerja
mendegranulasikan sel mast dalam melepaskan histamin sebagai mediator pada
penyakit alergi.5 Natrium kromolin tersedia dalam bentuk semprotan hidung yang
dapat mencegah dan juga mengobati pasien dengan rhinitis alergi.5 Efek samping
dari natrium kromolin adalah terjadinya bersin bersin dan rasa perih pada membran
mukosa hidung. Dosis penggunaan natrium kromolin untuk pasien yang berusia
enam tahun keatas adalah satu kali semprotan pada setiap lubang hidung sebanyak
3-4 kali sehari dengan jarak pemakaian yang teratur.
Efek penggunaan natrium kromolin kadang baru akan terlihat dalam 2-4 minggu
setelah pemakaian, untuk itu penggunaan dekongestan dan antihistamin juga
Gambar 2. Natrium diperlukan. Pada rhinitis alergi musiman , natrium kromolin dapat digunakan pada
Kromolin saat awal musim alergi dan dapat digunakan seterusnya di sepanjang musim. 5

5.Antikolinergik ( Ipratropium Bromide )


Obat obatan yang menghambat kerja asetilkolin dengan cara menempati reseptor asetilkolin disebut
dengan antikolinergik.Acetylcholine adalah kimia yang dilepaskan oleh syaraf-syaraf yang melekat pada
receptor-receptor pada otot-otot yang mengelilingi saluran udara menyebabkan otot-otot untuk berkontraksi
dan saluran-saluran udara menyempit. 3 Nama lain dari obat obat antikolinergik adalah agen penghambat
kolinergik , agen antiparasimpatis , atau agen agen antimuskarinik. Jaringan tubuh atau organ utama yang
dipengaruhi oleh kelompok obat antikolinergik adalah jantung , saluran pernafasan , saluran pencernaan ,
kandung kemih, mata , dan juga kelenjar eksokrin. Obat antikolinergik bekerja dengan cara menghambat saraf
parasimpatis sehingga sistem saraf simpatis atau adrenergik menjadi lebih dominan. 3
Obat obat antikolinergik memiliki efek yang berlawanan dengan obat obatan kolinergik. Respon
utama dari obat obatan antikolinergik adalah menurunkan motalitas gastrointestinal , mengurangi salivasi ,
dilatasi pupil mata , dan meningkatkan denyut nadi, dan berbagai efek lainnya. Berbagai efek dari obat
obatan anti kolinergik dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 3

Tabel 7. Efek Obat Obat Antikolinergik pada Jaringan Tubuh3


Modul Respirasi Anggi Angelina P. 6
Reseptor reseptor muskarinik , yang merupakan reseptor reseptor kolinergik , berperan dalam
respon jaringan dan organ terhadap antikolinergik , karena antikolinergik mengambat kerja asetilkolin dengan
menempati tempat reseptor reseptor asetilkolin. Obat obat antikolinergik dapat menghambat efek
parasimpatomimetik yang bekerja langsung , seperti betanekol dan pilokarpin, dan dapat menghambat
parasimpatomimetik yang bekerja tidak langsung seperti fisostigmin dan neostigmin.2,3

Gambar 3. Mekanisme Kerja Obat Antikolinergik ( AK= Asetilkolin ; D=Antikolinergik )

Pada rhinitis alergi , agen antikolinergik yang paling sering digunakan adalah ipratropium bromide.
Ipratropium bromide merupakan agen antikolinergik yang berbentuk semprotan hidung.3 Obat ini bermanfaat
untuk mengatasi rhinitis alergi yang persisten. Ipratropium bromide memiliki sifat antisekretori apabila
digunakan secara lokal dan berfungsi untuk mengurangi sekresi mukus yang menyebabkan hidung menjadi
berair pada rhinitis alergi.
Ipratropium mempunyai penimbulan aksi yang lebih perlahan namun durasi aksi yang lebih panjang
daripada beta-2 agonists yang beraksi singkat. Ipratropium memerlukan waktu lebih lama untuk bekerja
dibanding dengan beta-2 agonis, dengan puncak efektifitas terjadi pada 2 jam setelah masuk dan berakhir
sekitar 6 jam.Ipratropium bromide tersedia dalam bentuk larutan dengan kadar 0,03% dan diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien.2,3

Tabel 8. Sediaan dan Dosis Ipratropium Bromide3

Ipratropium biasanya ditolerir dengan baik dengan efek-efek sampingan yang minimal bahkan ketika
digunakan pada dosis-dosis yang lebih tinggi.Efek samping yang ditimbulkan dari ipratropium bromide adalah
sakit kepala , epistaksis, dan hidung akan terasa kering.2 Berbagai penelitian menyarankan bahwa ipratropium
Modul Respirasi Anggi Angelina P. 7
mungkin lebih efektif dalam melebarkan saluran-saluran udara dan memperbaiki gejala-gejala dengan lebih
sedikit efek-efek samping.

6.Imunoterapi Alergi
Imunoterapi pada pasien alergi, bekerja untuk merangsang tubuh membentuk antibodi pertahanan.
Imunoterapi bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi alergi.6 Obat - obatan hanya dapat menghilangkan
gejala, namun tidak dapat mengobati alergi. Sehingga pengobatan tidak akan menghilangkan alergi secara
menyeluruh. Imunoterapi merupakan proses yang bertahap dengan cara menginjeksikan alergen yang
diketahui dapat memicu reaksi alergi pada pasien dengan dosis yang semakin meningkat. . Untuk itu, sebelum
dilakukan imunoterapi, diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui jenis alergen. Dosis imunoterapi diberikan
secara bertahap, dan berbeda pada setiap pasien. Tujuan dilakukannya imunoterapi alergi adalah agar pasien
mencapai peningkatan toleransi terhadap adanya alergen , hingg ia tidak dapat lagi menunjukkan reaksi alergi
jika terpapar oleh alergen tersebut.2,6
Imunoterapi alergi disarankan untuk dilakukan sejak dini dengan tujuan untuk mengurangi resiko efek
samping dan mencegah perkembangan alergi menjadi lebih berat.6 Imunoterapi merupakan pilihan
pengobatan yang dapat dipilih apabila respon terhadap farmakoterapi tidak maksimal atau pasien menolak
melakukan tata laksana dengan menggunakan farmakoterapi.2,6 Pada pasien rhinitis berat dan berkepanjangan
, biasanya berhubungan dengan asma, imunoterapi alergi dilakukan melalui proses injeksi subkutan. Apabila
pasien menolak pemberian obat melalui prosedur injeksi , maka dapat diberikan sediaan intranasal ataupun
sublingual-oral. Prosedur imunoterapi alergen dilakukan dengan menggunakan larutan alergen yang sangat
encer ( kurang lebih 1:100.000 ) dan diberikan sebanyak 1 2 kali seminggu. Konsentrasi larutan alergen
kemudian akan ditingkatkan hingga tercapai dosis yang dapat ditoleransi. Terapi dilakukan hingga pasien
dapat mentoleransi alergen pada dosis yang umumnya dijumpai pada paparan alergen. 2
Keberhasilan imunoterapi alergen ditandai dengan berkurangnya produksi IgE , meningkatnya
produksi IgG, perubahan pada limfosit T , berkurangnya pelepasan mediator dari sel yang tersensitisasi , dan
berkurangnya sensitivitas jaringan terhadap alergen.2,6 Namun , imunoterapi merupakan terapi yang termasuk
mahal dan membutuhkan waktu yang lama sehingga komitmen dari pasien sangat dibutuhkan untuk
keberhasilan imunoterapi alergen yang dilakukan atau dijalani.6

Berdasarkan durasi penyakit , rhinitis alergi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu rhinitis
alergi intermiten dan rhinitis alergi persisten. Rhinitis alergi intermiten adalah rhinitis alergi yang mempunyai
gejala yang hilang timbul, yang hanya berlangsung selama kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang
dari empat minggu.1Sedangkan rhinitis alergi persisten adalah rhinitis alergi yang mempunyai gejala yang
berlangsung lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu.1 Gejala rinitis alergik ini dapat terjadi
sepanjang tahun dengan penyebabnya terkadang sama dengan rinitis non alergik.
Selain berdasarkan durasi penyakit , rhinitis alergi juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat
keparahannya. Rhinitis alergi ringan adalah apabila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu aktifitas atau kegiatan sehari
hari. Sedangan rhinitis alergi sedang atau berat adalah apabila rhinitis alergi yang terjadi disertai dengan
satu atau lebih dari berbagai gejala tersebut. 1
Berdasarkan durasi penyakit dan tingkat keparahannya , tatalaksana farmakologi pada penderita
rhinitis alergi dapat diklasifikasikan menjadi berikut ini.

Tabel 7. Tatalaksana Farmakologi Rhinitis Alergi Berdasarkan Durasi Penyakit dan Tingkat
Keparahan 1,5

Modul Respirasi Anggi Angelina P. 8


Gambar 3. Tatalaksana Farmakologi Rhinitis Alergi Berdasarkan Durasi Penyakit dan Tingkat
Keparahan 1

B.Tatalaksana Non-Farmakologi Rhinitis Alergi


Tatalaksana non farmakologi rhinitis alergi yang paling utama adalah menghindari alergen yang
mencetuskan respon atau reaksi alergi.1 Amati benda benda atau kondisi apa saja yang dapat memicu
terjadinya rhinitis alergi seperti debu , kondisi cuaca atau suhu, serbuk sari, bulu hewan, dan lain-lain.
Usahakan untuk menggunakan alat pelindung diri seperti masker wajah , sarung tangan , dan lain lain ketika
berada di sekitar lingkungan alergen.1,3 Selain itu , menjaga kebersihan lingkungan sekitar terutama
lingkungan tempat tinggal juga dapat dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kontak dengan alergen.
Selanjutnya , edukasi juga merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan rhinitis alergi. Penderita
rhinitis alergi perlu di edukasi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan yang sedang dijalani dan
juga kewaspadaan terhadap penyakit yang dideritanya. 1,3

III.Kesimpulan
Rhinitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada membran mukosa yang terletak di dalam
hidung. Rhinitis alergi membutuhkan penatalaksanaan yang tepat agar tidak berkomplikasi ke berbagai
penyakit. Tata laksana farmakologi yang dapat diberikan kepada pasien rhinitis alergi untuk mengurangi
gejala adalah antihistamin , dekongestan hidung , kortikosteroid intranasal , natrium kromolin , dan
antikolinergik ( ipratropium bromide ). Sedangkan tatalaksana farmakologi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi atau mengurangi reaksi alergi terhadap alergen adalah dengan melakukan imunoterapi alergi. Tata
laksana non farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan menghidari alergen yang memicu respon alergi

Modul Respirasi Anggi Angelina P. 9


, menggunakan alat pelindung diri , menjaga kebersihan lingkungan , dan memberikan edukasi terhadap
penderita rhinitis alergi.

REFERENSI
1. Robbins & Contran. Pathology Basic of The Disease. 8th edi, Elsevier Saunders, 2010
2. Katzung B, Masters S, Trevor A. Basic & clinical pharmacology. 13th ed. New York: McGraw-Hill
Medical; 2015.
3. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Farmakologi FKUI; 2007.
4. M P. Pharmacotherapy for allergic rhinitis. - PubMed - NCBI [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2017 [cited
28 May 2017]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25182353
5. Sur D, Scandale S. Treatment of Allergic Rhinitis [Internet]. Aafp.org. 2017 [cited 28 May 2017].
Available from: http://www.aafp.org/afp/2010/0615/p1440.html
6. Allergen immunotherapy [Internet]. Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy
(ASCIA). 2017[cited 28 May 2017]. Available from: https://www.allergy.org.au/patients/allergy-
treatment/immunotherapy

Modul Respirasi Anggi Angelina P. 10

Anda mungkin juga menyukai