Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batuk
Dalam sistem imun : Refleks batuk dan bersin dapat juga membantu untuk
mengeluarkan patogen. Batuk merupakan refleks penting yang membersihkan
tenggorokan dan bronkus dari flegma yang sering tertimbun pada saat flu.
Batuk dibagi dua, yaitu batuk kering dan batuk berdahak.
Pengobatan Batuk
1. Antitusif
Obat antitusif berfungsi menghambat atau menekan batuk dengan
menekan pusat batuk serta meningkatkan ambang rangsang sehingga akan
mengurangi iritasi. Secara umum berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi
atas antitusif yang bekerja di perifer dan antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif
yang bekerja di sentral dibagi atas golongan narkotik dan nonnarkotik. Contoh :
Kodein, DMP, Noskapin dan Uap Menthol.
2. Ekspektoran
Obat ini digunakan untuk meningkatkan sekresi mukus di saluran napas
sehingga bermanfaat untuk mengurangi iritasi dan batuknya akan berkurang
dengan sendirinya. Contoh : Amonium klorida, potasium sitrat, guaifenesin dan
gliseril guaiakolat.
3. Mukolitika
Infeksi pernapasan menyebabkan munculnya mukus yg bersifat purulen
atau menyebabkan infeksi, oleh karena itu harus segera dikeluarkan secara
alamiah. Obat golongan ini berkhasiat melarutkan dan mengencerkan dahak yg
kental sehingga lebih mudah dikeluarkan melalui batuk dan sering digunakan
pada penderita Bronkhitis. Contoh : Asetilsistein , Bromheksin.

2.2 Asma
Asma merupakan episode nafas pendek, berulang, yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi yang muncul dari inflamasi jalan nafas dan hiperreaktivitas.
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan nafas dimana banyak sel dan
elemen sel berperan : terutama, sel mast, eosinofil, limfosit-T, makrofag,
neutrofil, dan sel epitel (National Asthma Education and Prevention Program
(NAEPP)). Inflamasi ini menyebabkan episode berulang mengi, nafas pendek,
kaku dada, dan batuk, terutama pada malam atau pagi hari.
Patofisiologi asma ;
 Karakteristik utama asma : variasi tingkat obstruksi aliran nafas (terkait
bronkospasme, edema, dan hipersekresi), hiperresponsif bronkus, dan
inflamasi jalan nafas.

 Bukti inflamasi timbul dari studi hiperresponsif bronkus, bronchoalveolar


lavage, biopsi bronkus, dan induksi sputum, seperti halnya dari observasi
postmortem pasien-pasien dengan asma yang meninggal karena serangan
asma atau karena penyebab lain.
 Untuk memahami mekanisme patogenik yang mendasari banyak jenis
asma, penting untuk mengidentifikasi faktor yang menginisiasi,
memperkuat, dan mengatur respon inflamasi jalan nafas dan untuk
menentukan bagaimana proses imunologi dan biologi menghasilkan
abnormalitas jalan nafas seperti dalam asma ini.
 Respon imun yang dimediasi oleh antibodi IgE adalah yang terpenting.
Antiasma
Obat-obat asma :
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat asma dapat di bagi dalam
beberapa kelompok, yaitu Antialergika, Bronkhodilator, Antihistaminika,
Kortikosteroid.
ANTIALERGIKA
Zat-zat yang berkhasiat menstabilisasi mastcells, sehingga tidak pecah dan
mengakibatkan terlepasnya histamine dan mediator peradang lainnya. Yang
terkenal adalah kromoglikat dan nedocromil, tetapi juga antihistaminnika
(ketotipen, oksatomida) dan β2-adrenergika (lemah) memiliki daya kerja ini. Obat
ini sangat berguna untuk prefensi serangan asma dan rhinitis alergis (hay fever).
Contoh obatnya yaitu : kromoglikat dan salbutamol.
BRONCHODILATOR
Mekanisme kerja obat ini adalah merangsang sistem adrenergik sehingga
memberikan efek bronkodilatasi. Digunakan sebagai obat utama dalam bentuk
aerosol. Termasuk kedalamnya adalah : 1. Adrenergika 2. Antikolinergika 3.
Derivat xantin.
Adrenergika
Zat-zat ini bekerja selektif terhadap reseptor 2 (bronchospasmolyse) dan
tidak bekerja terhadap reseptor 1 (stimulasi jantung). Contoh obat : salbutamol,
terbutalin, klenbuterol, salmeterol, fenoterol, formoterol dan prokaterol.
Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor β2 yang banyak
terdapat di trachea (batang tenggorok dan bronchi yang menyebabkan aktivasi
dari adenilsiklase.Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosfat (ATP)
yang kaya energi menjadi cyclic-adenosine- monophosphape (cAMP) dengan
pembebasan enersi yang digunakan proses-proses dalam sel.Meningkatnya kadar
(cAMP) didalam sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase
bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mastcells. Efek
samping : Rasa gugup, rasa khawatir Takikardia, palpitasi Nyeri kepala, mual dan
muntah
Antikolinergika
Dalam otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergik dan
kolinergik. Bila reseptor 2 sistem adrenergik terhambat, maka sistem
kolinergikmenjadi dominan, sehingga terjadi peciutan bronchi. Antikolinergik
bekerja memblokir reseptor saraf kolinergik pada otot polos bronchi sehingga
aktivitas saraf adrenergik menjadi dominan, engan efek bronchodilatasi. Contoh
obat : Ipratropium,tiotropiumdan deftropin. Efek samping : tachycardia,
pengentalan dahak, mulut kering, obstipasi, sukar kencing, gangguan akomodasi.
Efek samping dapat diperkecil dengan pemberian inhalasi.
Derivate xantin
Mempunyai daya bronchodilatasi berdasarkan penghambatan enzim
fosfodiesterase dan meningkatkan kadar cAMP selular. Contoh obat : Teofilin,
Aminofilin Efek samping : Mual, muntah, nyeri lambung karena peningkatan
sekresi asam lambung, pendarahan usus, disritmia jantung, palpitasi (berdebar),
hipotensi berat, hiperrefleks, dan kejang.
ANTIHISTAMINIKA
Obat ini memblokir reseptor histamin sehingga mencegah
bronchokonstriksi. Banyak antihistamin memiliki daya antikolinergika dan
sedatif. Antagonis yang mblok reseptor histamin H1 digunakan pada terapi alergi
seperti demam hay, urtikaria, ruam akibat sensitivitas terhadap obat, pruritus, serta
gigitan dan sengatan serangga. Mekanisme kerja : bekerja memblok reseptor H1
secara kompetitif atau non kompetitif untuk mengurangi kotraksi otot polos
saluran nafas, mngurangi permeabilitas vaskular, dan mengurangi reflex serabut
sensoris yang membebaskan neuro peptida dari serabut sensoris. Contoh obat :
Ketotipen, oksatomida.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti peradangan
dan gatal gatal. Daya antiradang ini berdasarkan blockade enzim fosfolipase A2,
sehingga pembentukan mediator peradangan prostaglandin dan leukotrien dari
asam arachidonat tidak terjadi. Kortikosteroid menghambat mekanisme kegiatan
allergen yang melalui IgE dapat menyebabkan degranulasi mastcells, juga
meningkatkan kepekaan reseptor beta 2 hingga efek beta mimetika diperkuat.
Contoh obat : Hidrokortison, Prednisone, Dexametason.
2.3 ISPA
2.3.1 Otitis Media
Otitis media : suatu inflamasi telinga bagian tengah. Diagnosis otitis media
akut termasuk tanda dan gejala infeksi telinga bagian tengah, seperti otalgia/nyeri
telinga, demam, dan iritabilitas (perasaan terganggu/tidak nyaman), serta adanya
cairan dalam telinga bagian tengah. Pada otitis media dengan efusi, terdapat cairan
di telinga bagian tengah, tapi tanda dan gejala infeksi tidak ada. Otitis media
paling umum terjadi pada bayi dan anak-anak.
Patofisiologi otitis media :
 Otitis media bakterial akut biasanya terjadi setelah ISPA akibat virus yang
menyebabkan disfungsi eustachian tube dan pembengkakan mukosa
dalam telinga bagian tengah.
 Bakteri yang berkoloni di nasofaring kemudian masuk ke telinga bagian
tengah dan tidak dibersihkan dengan baik oleh sistem mukosiliari.
 Dalam adanya efusi, bakteri berproliferasi dan menyebabkan infeksi.
 Anak-anak cenderung lebih rentan terhadap otitis media dibanding orang
dewasa karena anatomi eustachian tube lebih pendek dan lebih horizontal,
memfasilitasi bakteri masuk ke dalam telinga bagian tengah.
2.3.2 Sinusitis
Sinusitis : suatu inflamasi dan/atau infeksi mukosa sinus paranasal.
Meskipun mayoritas infeksi ini berasal dari virus, antimikroba sering diresepkan.
Sehingga penting untuk membedakan viral dan bakterial sinusitis untuk
membantu dalam mengoptimalkan keputusan terapi.
Patofisiologi sinusitis :
 Mirip dengan otitis media kut, sinusitis bakterial akut biasanya didahului
oleh infeksi saluran respirasi akibat virus yang menyebabkan inflamasi
mukosa. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus (jalur yang
mengaliri sinus).
 Sekresi mukosa menjadi terperangkap, pertahanan lokal terganggu, dan
bakteri dari permukaan mulai berproliferasi.
 Patogenesis sinusitis kronis belum well studied. Apakah disebabkan oleh
patogen yang lebih persisten atau terdapat cacat dalam fungsi imun inang,
beberapa pasien mengalami gejala kronis setelah infeksi akut.
2.3.3 Faringitis
Faringitis : suatu infeksi akut orofaring atau nasofaring. Meskipun
penyebab paling umum adalah virus, Streptococcus grup A β-hemolitik, atau
S.pyogenes adalah bakteri penyebab utama.
Patofisiologi sinusitis :
 Carrier faringeal organisme mungkin menyebabkan perubahan dalam
imunitas inang (misalnya menerobos mukosa faring) dan bakteri di
orofaring, membiarkan kolonisasi menjadi infeksi.
 Faktor patogenik terkait dengan organisme itu sendiri juga mungkin
berperan, seperti toksin pirogenik, hemolisin, streptokinase, dan
proteinase.
Penatalaksanaan ISPA
Terapi Non Farmakologi
 Istirahat yang cukup.
 Konsumsi makanan yang bergizi (misalnya buah-buahan yang
mengandung vitamin dan makanan yang kaya Zinc seperti sup ayam).
Buah dan sayurdapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh serta
mendukung penyembuhan, selain itu dapat meningkatakan antioksidan
dalam tubuh dimana antioksidan ini berfungsi untuk menetralisir racun
(termasuk asap,debu dan polusi udara) yang msuk ke dalam tubuh.
 Berkumur dengan air garam atau obat kumur yang mengandung antiseptic
dapat meringankan gejala sakit tenggorokan.
 Menghindari polusi udara.

Terapi Farmakologi
 Analgesik-antipiretik untuk mengobati gejala demam seperti parasetamol,
ibuprofen dan aspirin.
 Kombinasi dekongestan dan anti alergi untuk pilek dan flu. Contoh
dekongestan antara lain pseudoefedrin, fenil propanolamin. Contoh anti alergi
adalah dipenhidramin.
 Ekspektoran untuk batuk berdahak. Contoh : ammonium klorida.
 Mukolitik untuk batuk berdahak. Contoh : ambroksol, bromheksin,
gliserilgualakolat.
 Antitusif untuk meringankan gejala batuk kering. Contoh : dekstrometorfan.
 Antibiotik tidak disarankan untuk ISPA yang disebabkan oleh virus karena
antibiotik tidak dapat membunuh virus. Antibiotik diberikan jika gejala
memburuk, terjadi komplikasi atau radang yang disebabkan oleh bakteri.

2.4 Rhinitis Alergi


Alergi rhinitis adalah inflamasi pada hidung yang ditandai oleh bersin,
rhinorrhea (hidung berair), dan obstruksi (sumbatan) pengeluaran cairan hidung,
dapat terkait dengan gatal konjungtiva dan laring, lakrimasi, serta sinusitis.
Patofisiologi alergi rhinitis :
 Pemaparan polen (seruk sari bunga) dan alergen lain pada mukosa hidung
orang yang tersensitasi menyebabkan pelepasan IgE yang merangsang sel
mast, yang kemudian melepas mediator-mediator yang menyebabkan
hiperemia mukosa, bengkak dan mengeluarkan cairan.
 Inflamasi permukaan mukosa hidung mempermudah penetrasi alergen ke
jaringan lebih dalam yang merupakan tempat kotak dengan sel mas
perivenular.
 Sumbatan ostia sinus dapat mengakibatkan sinusitis sekunder dengan atau
tanpa infeksi bakteri.
Antihistamin
Semua antihistamin bermanfaat besar pada terapi alergi nasal, rhinitis
alergika dan mungkin juga pada rhinitis vasomotor. Antihistamin mengurangi
sekresi nasal dan bersin tetapi kurang efektif untuk kongesti hidung. Antihistamin
topikal digunakan pada mata, hidung dan kulit.
Antihistamin oral juga dapat mencegah urtikaria dan digunakan untuk
mengatasi ruam kulit pada urtikaria, gatal, gigitan dan sengatan serangga, serta
alergi obat. Injeksi klorfeniramin atau prometazin digunakan sebagai terapi
tambahan pada terapi darurat anafilaksis dan angioedema dengan adrenalin.
Antihistamin (sinarisin, siklisin dan prometasin teoklat) digunakan pada mual dan
muntah. Antihistamin kadang digunakan untuk insomnia.
Antihistamin berbeda-beda dalam lama kerja serta dalam derajat efek
sedatif dan antimuskarinik. Antihistamin golongan lama relatif mempunyai kerja
pendek tetapi beberapa (misal prometazin) memiliki kerja sampai 12 jam,
sedangkan antihistamin non sedatif yang lebih baru memiliki kerja panjang.
Semua antihistamin golongan lama menyebabkan sedasi, meskipun alimemazin
(trimeprazin) dan prometazin mempunyai efek sedasi yang lebih besar dibanding
klorfeniramin dan siklizin. Efek sedasi ini kadang-kadang dibutuhkan untuk
mengendalikan gatal karena alergi. Tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa
antihistamin sedatif yang satu lebih baik dari yang lain karena pasien mempunyai
respons yang sangat berbeda satu sama lain. Antihistamin non sedatif seperti
setirizin, levosetirizin, loratadin, desloratadin, feksofenadin, terfenadin dan
mizolastin lebih sedikit menyebabkan efek sedasi dan gangguan psikomotor
dibanding golongan lama karena jumlah obat yang menembus sawar darah otak
hanya sedikit.
Operasi gigi. Antihistamin digunakan secara luas sebagai anti muntah.
Pada pasien dengan reflek gag yang berlebihan, pemberian diazepam akan lebih
efektif.
Peringatan dan Kontraindikasi: Antihistamin yang menyebabkan kantuk
mempunyai aktivitas antimuskarinik yang nyata dan harus digunakan dengan hati-
hati pada hipertrofi prostat, retensi urin, pasien dengan risiko galukoma sudut
sempit, obstruksi pyloroduodenal, penyakit hati dan epilepsi. Dosis mungkin perlu
diturunkan pada gangguan ginjal. Anak dan lansia lebih mudah mendapat efek
samping. Penggunaan pada anak di bawah 2 tahun tidak dianjurkan kecuali atas
petunjuk dokter dan tidak boleh digunakan pada neonatus. Banyak antihistamin
harus dihindari pada porfiria, meskipun beberapa (misalnya klorfenamin dan
setirizin) diperkirakan aman.
Efek Samping Antihistamin: Mengantuk adalah efek samping utama pada
sebagian besar antihistamin golongan lama, walaupun stimulasi yang paradoksikal
dapat terjadi meski jarang (terutama pada pemberian dosis tinggi atau pada anak
dan pada lanjut usia). Mengantuk dapat menghilang setelah beberapa hari
pengobatan dan jauh kurang dengan antihistamin yang lebih baru.
Efek samping yang lebih sering terjadi dengan antihistamin golongan lama
meliputi sakit kepala, gangguan psikomotor, dan efek antimuskarinik seperti
retensi urin, mulut kering, pandangan kabur, dan gangguan saluran cerna.
Efek samping lain yang jarang dari antihistamin termasuk hipotensi, efek
ekstrapiramidal, pusing, bingung, depresi, gangguan tidur, tremor, konvulsi,
palpitasi, aritmia, reaksi hipersensitivitas (bronkospasme, angio-edema, dan
anafilaksis, ruam kulit, dan reaksi fotosensitivitas), kelainan darah, disfungsi
hepar dan glaukoma sudut sempit.
Antihistamin Yang Tidak Menyebabkan Kantuk:
Walaupun mengantuk jarang dijumpai, namun pasien harus diingatkan bahwa hal
itu dapat terjadi dan dapat mempengaruhi aktivitas yang memerlukan ketrampilan,
misalnya mengemudi-kan mobil. Pemakaian alkohol berlebihan harus dihindari.
Antihistamin Yang Menyebabkan Kantuk:
Efek samping mengantuk akan mempengaruhi aktivitas yang memerlukan
ketrampilan, misalnya mengemudi mobil; efek sedasi meningkat dengan pengaruh
alkohol.
Contoh obat antihistamin :
Akrivastatin Dimenhidrinat
AstemizolL Feksofenadin HCl
Azatadin Maleat Feniramin Maleat
Bepostatin Besilat Hidroksizin Hidrokloroda
Brompheniramin Maleat Klorfeniramin Maleat
Deksklorfeniramin Maleat Loratadin
Desloratadin Setirizin HCl
Difenhidramin Hidroklorida
BAB 3
METODELOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


Berikut ini adalah alat dan bahan yang diperlukan dalam praktikum kali
ini:
3.1.1 Alat
 Buku ISO
 Buku tentang obat
 Buku Farmakologi Obat
3.1.2 Bahan
Beberapa obat yang dapat digunakan pada penyakit yang menyerang
sistem pernafasan. Diantaranya :
Berdasarkan cara penggunaannya
a. Batuk kering : Actifed
b. Batuk berdahak : Acetylcysteine,Wood papaermint,
Ambroxol HCl
c. Asma : Combivent UDV, Theobron,
Seredite Inhaler, Salbutamol Syrup, Ambroxol HCl
d. ISPA : Ibufropen, dan Paracetamol
e. Rhinitis alerrgi : Cetirizine, Ibuprofen, dan
Paracetamol
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Mengidentifikasi Nama Penyakit, Patofisiologi dan Target obat
pada sistem pernapasan
 Cari informasi patofisiologi dari penyakit pada sistem pernafasan
yang ada di modul
 Beserta target organ sistem pernafasan yang diserang penyakit
tersebut
3.2.2 Mengidentifikasi Obat yang dapat digunakan pada penyakit
sistem pernafasan
 Cari informasi tentang obat pada penyakit tersebut
 Tuliskan mekanisme kerja obat pada penyakit tersebut
 Tuliskan bentuk sediaan dan cara pengunaan dari obat tersebut

Anda mungkin juga menyukai