Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN LENGKAP

ANALISIS FARMASI
“Analisis Golongan Antihistamin“

TRANSFER A 2018

ASISTEN PENANGGUNG JAWAB :


Muhammad Fathurrachman Mantali

LABORATORIUM KIMIA FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Seperti telah diketahui bahwa beberapa makanan, minuman, maupun
obat-obatan yang dikomsumsi oleh masyarakat dapat menyebabkan
timbulnya reaksi alergi. Reaksi alergi terjadi karena dilepaskannya histamin
ke dalam darah. Alergi merupakan respon imun yang berlebuhan setelah
terpapar oleh suatu alergen. Alergen adalah protein, glokoprotein,
polisakarida, atau makromolekul yang merangsang dilepaskannya antibodi.
Reaksi alergi ditandai dengan gejala-gejala seperti gatal, kulit terasa panas
dan kemerahan, tekanan darah menurun, frekuensi jantung meningkat, timbul
sakit kepala (Burger & Alfred 1996).
Saat ini antihistamin yang beredar di pasaran adalah generasi pertama
dan kedua. AH1 generasi kedua sudah mulai menggeser generasi pertama
karena memiliki banyak kelebihan. Perbedaan mencolok di antara keduanya
terletak pada kemampuan menembus sawar darah dan otak dan selektivitas
maupun spesifitas. Generasi keduabersifat lipofobik sehingga kurang mampu
menembus sawar otak.
Dalam farmasi khususnya dalam bidang kimia dilakukan analisis
berbagai senyawa yang bersumber dari obat, tumbuhan dan hewan. Salah
satu senyawa yang sering di analisis yaitu analisis antihistamin (antialergi).
Analisis dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Salah satu obat dari
golongan antihistamin yaitu Chlorpheniramini Maleat (CTM).
Klorfeniramin maleat adalah turunan alkilamin yang merupakan
antihistamin dengan indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan
efek samping dan toksisitas yang relatif rendah (Siswandono, 1995).
Klorfeniramin maleat merupakan obat golongan antihistamin penghambat
reseptor H1 (AH1) (Siswandono, 1995).
1.2 Rumusan masalah
Bagaimana mengetahui jenis dan kadar golongan Obat Antihistamin
yang terkandung dalam serbuk, tablet atau sirup sediaan farmasi?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui jenis dan kadar golongan golongan Obat Antihistamin
yang terkandung dalam serbuk, tablet atau sirup sediaan farmasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 ANTIHISTAMIN
II.1.1 Definisi Antihistamin
Antihistamin (antagonis histamin adalah zat yang dapat mengurangi
atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblokir
reseptor histamin. Histamin merupakan derivat amin dengan berat molekul
rendah yang diproduksi dari L-histidine. Ada empat jenis reseptor histamin,
namun yang dikenal secara luas hanya reseptor histamin H1 dan H2.
Reseptor H1 ditemukan pada neuron, otot polos, epitel dan endotelium.
Reseptor H2 ditemukan pada sel parietal mukosa lambung, otot polos,
epitelium, endotelium, dan jantung. Sementara reseptor H3 dan H4
ditemukan dalam jumlah yang terbatas. Reseptor H3 terutama ditemukan
pada neuron histaminergik, dan reseptor H4 ditemukan pada sum-sum tulang
dan sel hematopoitik perifer (Greaves 2005)
Antihistamin merupakan obat yang digunakan sebagai penghambat
reseptor histamin,obat ini bekerja dengan menghambat efek histamin yang
dilepaskan ke dalam darah dengan terikat pada “reseptive site” sel efektor
(goodman 1975)
Histamin memegang peran utama dalam pada proses peradangan dan
pada system daya tangkis, kerjanya berlangsung melalui tiga jenis reseptor,
yakni reseptor H1, H2, dan H3 (Tjay 2007).
Aktivasi reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatan
permeabilitas pembuluh darah, dan sekresi mukus. Sebagian dari efek
tersebut mungkin diperantarai oleh peningkatan cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) di dalam sel. Histamin juga berperan sebagai
neurotransmiter dalam susunan saraf pusat (Ganiswara SG. 1995).
Aktivitas reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung.
Selain itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing.
Histamine menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP
dan menurunkan kadar cGMP dan menurunkan kadar cGMP, sedangkan
antihistamin H2 memblokade efek tersebut. Pada otot polos bronkus aktivasi
reseptor H1 oleh histamin menyebabkan bronkokonstriksi sedangkan aktivasi
reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi
(Ganiswara SG. 1995).
Reseptor H3, berfungsi menghambat saraf kolinergik dan
nonkolinergik yang merangsang saluran nafas. Blokade terhadap reseptor ini
membatasi terjadinya bronkokonstriksi yang diinduksi oleh histamin
(Ganiswara SG. 1995).
II.1.2 Macam-macam obat antihistamin
Sejak histamin ditemukan sebagai suatu zat kimia yang mempengaruhi
banyak proses faali dan patologik dalam tubuh, maka dicari obat yang dapat
melawan khasiat histamin. Epinefrin merupakan antagonis faali yang pertama
kali digunakan, efeknya lebih cepat dan lebih efektif daripada AH1.
1. Antihistamin generasi pertama
Sejak tahun 1937-1972, ditemukan beratusratus antihistamin dan
digunakan dalam terapi, namun khasiatnya tidak banyak berbeda. AH1 ini
dalam dosis terapi efektif untuk menghilangkan bersin, rinore, gatal pada
mata, hidung dan tenggorokan pada seasonal hay fever, tetapi tidak dapat
melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. AH1 efektif
untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada urtikaria kronik hasilnya
kurang baik. Mekanisme kerja antihistamin dalam menghilangkan gejala-
gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan dengan
reseptor H1 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan
memunculkan lebih banyak reseptor H1. Antihistamin tersebut digolongkan
dalam antihistamin generasi pertama (Ganiswara SG. 1995).
Antihistamin generasi pertama ini mudah didapat, baik sebagai obat
tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat dekongestan, misalnya
untuk pengobatan influensa. Kelas ini mencakup klorfeniramine,
difenhidramine, prometazin, hidroksisin dan lain-lain. Pada umumnya obat
antihistamin generasi pertama ini mempunyai efektifitas yang serupa bila
digunakan menurut dosis yang dianjurkan dan dapat dibedakan satu sama
lain menurut gambaran efek sampingnya. Namun, efek yang tidak
diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk sehingga
mengganggu aktifitas dalam pekerjaan, harus berhati-hati waktu
mengendarai kendaraan, mengemudikan pesawat terbang dan
mengoperasikan mesin-mesin berat. Efek sedatif ini diakibatkan oleh
karena antihistamin generasi pertama ini memiliki sifat lipofilik yang dapat
menembus sawar darah otak sehingga dapat menempel pada reseptor H1
di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel pada reseptor
H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa mengantuk. (1,6)
Selain itu, efek sedatif diperberat pada pemakaian alkohol dan obat
antidepresan misalnya minor tranquillisers. Karena itu, pengguna obat ini
harus berhati-hati. Di samping itu, beberapa antihistamin mempunyai efek
samping antikolinergik seperti mulut menjadi kering, dilatasi pupil,
penglihatan berkabut, retensi urin, konstipasi dan impotensia (Simons
FER, Simons KJ, 1994).
2. Antihistamin generasi kedua
Setelah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru yang
dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin yaitu burinamid,
metilamid dan simetidin. (2) Ternyata antihistamin generasi kedua ini
memberi harapan untuk pengobatan ulkus peptikum, gastritis atau
duodenitis. Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi
seperti generasi pertama, memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah sulit
menembus sawar darah otak. Reseptor H1 sel otak tetap diisi histamin,
sehingga efek samping yang ditimbulkan agak kurang tanpa efek
mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik, dapat diberikan dengan dosis
yang tinggi untuk meringankan gejala alergi sepanjang hari, terutama
untuk penderita alergi yang tergantung pada musim. Obat ini juga dapat
dipakai untuk pengobatan jangka panjang pada penyakit kronis seperti
urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin pada asma masih belum
sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang dapat mencegah bronkokonstriksi
karena histamin, antihistamin dapat meredakan gejala ringan asma kronik
dan gejala-gejala akibat menghirup alergen pada penderita dengan
hiperreaktif bronkus. Namun, pada umumnya mempunyai efek terbatas
dan terutama untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat,
sehingga antihistamin generasi kedua diragukan untuk terapi asma kronik.
Yang digolongkan dalam antihistamin generasi kedua yaitu terfenadin,
astemizol, loratadin dan cetirizin. Terfenadin diperkenalkan di Eropa pada
tahun 1981 dan merupakan antihistamin pertama yang tidak mempunyai
efek sedasi dan diijinkan beredar di Amerika Serikat pada tahun 1985.
Namun, pada tahun 1986 pada keadaan tertentu dilaporkan terjadinya
aritmia ventrikel, gangguan ritme jantung yang berbahaya, dapat
menyebabkan pingsan dan kematian mendadak. Beberapa faktor seperti
hipokalemia, hipomagnesemia, bradikardia, sirosis atau kelainan hati
lainnya atau pemberian bersamaan dengan juice anggur, antibiotika
makrolid (misalnya eritromisin), obat anti jamur (misalnya itraconazole atau
ketoconazole) berbahaya karena dapat memperpanjang interval QT. (8,9)
Pada tahun 1997 FDA menarik terfenadin dari pasaran karena telah
ditemukannya obat sejenis dan lebih aman
3. Antihistamin generasi ketiga
Yang termasuk antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin,
norastemizole dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah
merupakan metabolit antihistamin generasi kedua. Tujuan
mengembangkan antihistamin generasi ketiga adalah untuk
menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta menghindari
efek samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya (Handley DA,
Magnetti A, Higgins A.J., 1998).
II.2 Klorofeniramin Maleat (CTM)
Klorfeniramin maleat adalah turunan alkilamin yang merupakan dengan
indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan
toksisitas yang relatif rendah. Klorfeniramin maleat juga merupakan obat
golongan antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1) (Siswandono, 1995).
Pemasukan gugus klor pada posisi para cincin aromatik feniramin
maleat akan meningkatkan aktifitas antihistamin. Berdasarkan struktur
molekulnya, memiliki gugus kromofor berupa cincin pirimidin, cincin benzen,
dan ikatan –C=C- yang mengandung elektron pi (µ ) terkonjugasiπ yang
dapat mengabsorpsi sinar pada panjang gelombang tertentu di daerah UV
(200-400 nm), sehingga dapat memberikan nilai serapan (Silverstein,
1986;Rohman, 2007).
Struktur Klorfeniramin maleat Mekanisme kerja klorfeniramin maleat
adalah sebagai antagonis reseptor H1, klorfeniramin maleat akan
menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-
macam otot polos; selain itu klorfeniramin maleat dapat merangsang maupun
menghambat susunan saraf pusat
II.3 Titrasi Bebas Air
Titrasi bebas airadalah titrasi yang dilakukan tanpa adanya air. Titrasi ini
berguna terutama untuk penetapankadar untuk obat obatan yang bersifat
asam atau basa yang sangat lemah sehingga tidak dapat terion dalam
kondisi berair. Air yang merupakan senyawa ampoterik, bekerja menghambat
ionisasi asam atau basa yang sangat lemah. Semua perlengkapan dan
peralatan bahan gelas untuk titrasi bebes air, harus bener kering karena
setetes air sekalipun akan merusak keseluruhan penetapan kadar.
Titrasi bebas air banyak digunakan dalam british pharmacoporia volume
1untuk penetapan kadar senyawa obat. Sejumlah besar obat bersifat asam
atau basa yang sangat lemah (barbiturat,fenitoin atau sulfonamida), atau
basa lemah (antihistamin, anastetik lokal, morfin, dan lain lain). Asam asam
lemah biasanya dititrasi dengan tetra butilamonium hidroksida (N(Bun)4OH)
atau kalium metoksida (CH3OH) dalam dimetil formamida (DMF) sebagai
pelarut basah lemah dilarutkan didalam asam asetat glasial dan dititrasi
dengan asam perklorat (HCIO4). Jika suatu asam kuat, seperti asam perklorat
dilarutkan di dalam asam yang lebih lemah, seperti asam asetat, asam asetat
ini akan dipaksa bertindak sebagai basa dan menerima proton dari asam
perklorat. Reaksi ini menghasilkan ion onium yang berfungsi sebagai asam
yang sangat kuat dengan tidak adanya air, dan senyawa inilah dengan obat
yang bersifat basa tersebut (Cairns, 2008).
II.4 Uraian bahan
1. Chlorpeniramin maleat (Dirjen POM, 1979)

Nama resmi : CHLORPENIRAMINI MALEAT


Nama lain : CTM
Rumus molekul : C16H13CIN2. C4H4O4
BM : 390,87
Pemerian : serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam 4 bagian air, dalam 10 bagian
etanol 95 % p di dalam 10 bagian kloroform
P, sukar larut dalam eter P.
2. Diphenhidramin (Dirjen POM,1979)
Nama resmi : Diphenhidramini Hydrochloridum
Nam lain : Diphenhidramin HCL
Rumus molekul : C17H2. N4HCL
BM : 291,82
Pemerian :Serbuk hablur,.putih, tidak berbau, ras pahit
disertai rasa tebal.
Kelarutan :mudah larut dalam air, dalam etano 95 % p dan
dalam kloroform p, sangat sukar larut dalam
eter p agak suka larut dalam aseton P
3. AgNO3

Nama resmi : ARGENTII NITRAT


Nama lain : perak nitrat
RM/BM : AgNO3 / 169,82
Pemerian : hablur transparan atau serbuk hablur berwarna
putih, tidak berbau, menjadi gelap jika kena
cahaya
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air, larut dalam etanol
(95%) P
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya yang baik
Khasiat/kegunaan : pereaksi
4. Asam Asetat Glasial
Nama resmi : ACIDUM ACETICUM GLASIAL
Nama lain : Asam Asetat Glasial
RM/BM : C2H4O2 /60,02

Pemerian :Cairan jernih, tidak berwarna, bau khas, tajam,


jika diencer dengan air, rasa asam
Kelarutan : Dapat campur dengan air, etanol (95%) p dan
dengan gliserol
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat.
Khasiat/kegunaan : pereaksi
BAB III
METODE KERJA
III.1 ALAT
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah buret, statif dan
klem, tabung reaksi, rak tabung, pipet tetes, batang pengaduk, erlenmeyer,
beaker glass, gelas ukur, botol semprot, neraca analitik, sendok tanduk,
mortir dan stamper, sudip.
III.2 BAHAN
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah CTM
(Chlorpheniramin Maleat), aquadest, pereaksi cuprifil, pereaksi marquis,
asam asetat, asam perklorat, indikator kristal violet, aluminium foil, tissue.
III. 3 CARA KERJA
III.3.1 Analisis Kualitatif
a. Siapkan alat dan bahan yang digunakan.
b. Timbang tablet CTM sesuai kebutuhan.
c. Gerus tablet CTM pada lumpang.
d. Larutkan serbuk CTM dengan 5 tetes aquadest.
e. Tambahkan pereaksi cuprifil.
f. Lakukan hal yang sama untuk pereaksi marquis.
g. Amati hasil yang diperoleh.
III.3.2 Analisis Kuantitatif
a. Siapkan alat dan bahan yang digunakan.
b. Timbang 8 mg tablet CTM.
c. Gerus tablet CTM pada lumpang.
d. Larutkan serbuk CTM dengan 1 ml asam asetat, lalu disaring.
e. Tambahkan indikator kristal violet.
f. Titrasi dengan asam perklorat 0,1 N
g. Amati hasil yang diperoleh.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1 Tabel pengamatan
1. Analisis Kualitatif
NO. Langkah Identifikasi Hasil
1. CTM + 5 tetes aquadest (+) Hijau
+ pereaksi cuprifil
2. CTM + 5 tetes aquadest (+) Jingga
+ pereaksi marquis
2. Analisis Kuantitatif
NO. Data Penimbangan Volume Titrasi Kadar
1. CTM 8 mg 6,2 ml 3029,24 %
2. CTM 8 mg 2,2 ml 1074,81 %
3. CTM 8 mg 3,8 ml 1661,19 %
4. CTM 8 mg 0,2 ml 97,71 %
5. CTM 8 mg 4,3 ml 2052,06 %
IV.2 Perhitungan
a. 1 ml asam perkolat ≈ 19,54 C6H19CIN2,C4H4O4
 CTM 6,2 ml
𝑉𝑡 𝑋 𝑁𝑋 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑡𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛
%Kadar = 𝑋 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑋 𝐹𝐾
6,2 𝑚𝑙 𝑋 0,1 𝑋 19,54 𝑚𝑙
= 𝑋 100 %
8 𝑚𝑔 𝑋 0,1

= 1.514,35 %
 CTM 2 ml
𝑉𝑡 𝑋 𝑁𝑋 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑡𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛
%Kadar = 𝑋 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑋 𝐹𝐾
2 𝑚𝑙 𝑋 0,1 𝑋 19,54 𝑚𝑙
= 𝑋 100 %
8 𝑚𝑔 𝑋 0,1

= 48,850 %
CTM 3,8 ml
𝑉𝑡 𝑋 𝑁𝑋 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑡𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛
%Kadar = 𝑋 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑋 𝐹𝐾
3,8 𝑚𝑙 𝑋 0,1 𝑋 19,54 𝑚𝑙
= 𝑋 100 %
8 𝑚𝑔 𝑋 0,1

= 928,15 %
 CTM 0,2 ml
𝑉𝑡 𝑋 𝑁𝑋 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑡𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛
%Kadar = 𝑋 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑋 𝐹𝐾
0,2 𝑚𝑙 𝑋 0,1 𝑋 19,54 𝑚𝑙
= 𝑋 100 %
8 𝑚𝑔 𝑋 0,1

=48,85 %
 CTM 4,3 ml
𝑉𝑡 𝑋 𝑁𝑋 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑡𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛
%Kadar = 𝑋 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑋 𝐹𝐾
4,3 𝑚𝑙 𝑋 0,1 𝑋 19,54 𝑚𝑙
= 𝑋 100 %
8 𝑚𝑔 𝑋 0,1

= 1.050,27 %
IV.3 Reaksi
IV.4 Pembahasan
Histamin adalah mediator kimia yang dikkeluarkan pada fenomena
alergi. Mekanisme kerja histamine dapat menimbulkan efek apabila
berinteraksi dengan reseptor histaminergik, yaitu reseptor H1, H2, H3.
Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja
histamin dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada
resepseptor H1, H2, H3 (siswandono, 2013)
Antihistamin bekerja terutama menghambat secara bersaing terhadap
histamin dengan reseptor khas. Antihistamin adalah salah satu obat yang
paling banyak digunakan karena antihistamin adalah obat yang paling
bermanfaat untuk mengatasi penyakit alergi seperti rhinitis urtikaria dan lain-
lain. Walaupun selama ini antihistamin digunakan sebagai obat yang cukup
nyaman, namun efek samping sedasi (rasa mengantuk) menyebabkan
penurunan daya tangkap, terutama pada antihistamin generasi pertama,
sangat mengganggu aktivitas sehari-hari (Ganiswara, 2007).
Pada percobaan ini digunakan sampel CTM, dimana CTM merupakan
antihistamin H1, yang menghambat efek histamin pada pembuluh darah,
bronkus, dan bermacam macam otot polos. Selain itu antihistamin H1
bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensivitas atau keadaan lain yang
disertai pelepasan endogen berlebihan (Ganiswara, 2007).
Adapun metode yang digunakan pada percobaan ini yaitu metode
titrasi bebas air. Titrasi bebas air ialah titrasi yang menggunakan pelarut
organik untuk mempertajam senyawa yang sukar larut dalam air (Harmita,
2006). Adapun prinsip dari titrasi bebas air adalah titrasi yang dilakukan
tanpa adanya air. Titrasi ini berguna terutama untuk penetapan kadar obat-
obat yang bersifat asam dan basa lemah hingga tidak akan terion dalam
kondisi berair. Air merupakan senyawa antipotarik bekerja menghambat
ionisasi asam atau basa lemah yang sangat lemah. semua perlengkapan dan
peralatan bahan gelas untuk titrasi bebas air harus benar-benar kering
Karena setetes air sekalipun akan merusak keseluruhan penetapan kadar.
(Donald, 2004)
Pada percobaan ini dilakukan uji kualitatif dan uji kuantitatif. Pada uji
kualitatif dengan sampel CTM diperoleh hasil positif, baik yang ditambahkan
pereaksi cuprifil dan perekasi Marquis diamana pada hasil yang ditambahkan
pereaksi cuprifil larutan berwarna biru sedangkan sampel yang ditambahkan
pereaksi marquis terbentuk cincin jingga.
Pada uji kuantitatif, pada penambahan bahan asam asetat glasial yaitu
sebagai pelarut dimana sampel senyawa organik basa digunakan pelarut
asam asetat glasial yang dapat meningkatkan kebasaan senyawa sehingga
dapat ditentukan kadarnya dengan peniter asam perklorat. Asam perklotar
memiliki syarat lebih asam dari asam asetat glasial dan larut dalam asam
asetat seperti asam perklorat adalah asam yang paling larut diantara asam-
asam yang umum dilarutkan asam asetat seperti klorida dan nitrat karena
asam perklorat merupakan asam kuat, maka dapat bereaksi baik dengan
CTM yang merupakan basa lemah, sehingga tidak akan terjadi
penyimpangan dan penerimaan proton. Selain itu asam perklorat merupakan
larutan asam organik yang dapat larut dalam asam asetat glasial (walson,
2007). Digunakan Kristal violet karena indikator ini biasanya digunakan untuk
basa lemah ( Harmita, 2006).
Adapun hasil yang diperoleh dari uji kuantitatif yaitu positif dimana
larutan berubah warna dari ungu menjadi hijau. Dan diperoleh hasil
perhitungan kadar pada volume titrasi 6,2 ml dengan kadar 30,292%, volume
titrasi 2,2 ml dengan kadar 10,7489%, pada volume titrasi 3,4 ml dengan
kadar 16,6125%, pada volume titrasi 0,2 ml dengan kadar 9,771%, pada
volume titrasi 4,2 ml dengan kadar 20,5206%. Kadar CTM menurut
Farmakope Indonesia Edisi III yaitu mengandung tidak kurang dari 98,5%
dan tidak lebih dari 101,01%. Dimana kadar yang didapat tidak sesuai
dengan literatur. Hal ini dapat disebabkan karena :
1. Asam Asetat yang digunakan mengandung pengotor, sehingga
mengganggu titik akhir titrasi.
2. Alat dan bahan yang digunakan ada yang masih ada mengandung air
3. Tidak dilakukan pemisahan dari zat aktif dan zat tambahan terhadap
sampel.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Hasil pengujian kualitatif didapatkan hasil positif baik pada pereaksi
cuprifil dan marquis.
2. Hasil pengujian kuantitatif tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan
yaitu tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,0 %.
V.2 Saran
Diharapkan pada percobaan selanjutnya pada analisis golongan
antihistanin dapat digunakan metode lain yang dapat digunakan selain titrasi
bebas air yaitu Alkalimetri. Spektrofotometri UV-Vis, Kromatografi Lapis Tipis
dan Densitometri.
DAFTAR PUSTAKA
Burger, A., 1970 medical chemistry, Third Edition, Whilley Intersierce, New
York-London-Sydney-Toronto
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI; Jakarta

Donald, G. 2004. Intisari Kimia Farmasi, Edisi kedua. Penerbit Buku


Kedokteran EGC; Jakarta
Ganiswara, S., 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi keempat. Bagian
farmakologi FKUI. Universitas Indonesia Press; Jakarta
Ganiswara, S., 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi kelima. Bagian
farmakologi FKUI. Universitas Indonesia Press; Jakarta
Gilman, A.G., 1975, goodman & gilman dasar farmakologi dan terapi,
penerbit buku kedokteran, EGC, Jakarta
Harmita. 2006. Penetapan Kadar Bahan Baku Obat dan Sediaan Farmasi.
EGC; Jakarta
Silvererstein, B., dan Morcil. 1986. Penyelidikan Spektrometrik senyawa
Organik. Alih Bahasa Brs. A.J. Hartomo . ITS ; Semarang
Siswandono. 2013. Kimia Medisinal. Universitas Airlangga Press; Surabaya

Siswandono, dan soekardjo, B., 1995, Kimia medisinal, airlangga University


Press, Surabaya
Tjay, T.H., dkk. 2007. Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
Efek Sampingnya. Edisi Keenam Cetakan Pertama. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo
LAMPIRAN
a. Kualitatif

Sampel + 5 Tetes H2O +


Sampel + Pereaksi Marquis
Pereaksi Cuprifil
b. Kuantitatif

Sampel + As. Asetat Glasial


+ Indikator Kristal Violet +
As. Perklorat

Anda mungkin juga menyukai