Anda di halaman 1dari 33

INTERAKSI OBAT ASMA

Tugas Kelompok 3 :
• ANISA OLIVIA (2120112339)
• BUNGA LATHIFA DJAMAL (2120112344)
• GANDARI GARDENIA (2120112352)
• HANIFAH LUTHFI (2120112354)
• NURAISYI FIANITA (2120112373)
• PUTRI AMALIA ADMI (2120112374)
• SINDY GIYOVANI (2120112385)
• YUMNAA HANIIFAH R. (2120112396)
• ZIMRATUL HUSNI (2120112397)
• M. AKBAR ILHAM NUR (2120112398)

Dosen Pengampu :
Apt.Suhatri, M.Si
01
Definisi
Asma
Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit
asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi
(peradangan) kronik saluran nafas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodik berulang berupa batuk, sesak
nafas dan rasa berat di dada terutama pada
malam atau dini hari yang umumnya bersifat
reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.

Penyakit asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang


tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi
dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan
kematian.
02
Patofisiologi
Asma
Illustration by Smart-Servier Medical Art
Illustration by Smart-Servier Medical Art
Illustration by Smart-Servier Medical Art
04 Patogenesis Asma
Patogenesis Asma
Serangan Asma terjadi karena adanya gangguan pada
aliran udara akibat penyempitan pada saluran napas atau
bronkiolus. Penyempitan tersebut sebagai akibat adanya
arteriosklerosis atau penebalan dinding bronkiolus,
disertai dengan peningkatan eksresi mukus atau lumen
kental yang mengisi bronkiolus, akibatnya udara yang
masuk akan tertahan diparu-paru sehingga pada saat
ekspirasi udara dari paru-paru sulit dikeluarkan, sehingga
otot polos akan berkontraksi dan terjadi peningkatan
tekanan saat bernapas. Karena tekanan pada saluran napas
tinggi khususnya pada saat ekspirasi, maka dinding
bronkiolus tertarik kedalam (mengerut) sehingga diameter
bronkiolus semakin kecil atau sempit.
Mekanisme Kerja
Asma
03
PENGGOLONGAN
OBAT ASMA
1. Terapi Pelega (Reliever)
Adalah obat yang digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang
timbul. Terapi pelega memiliki prinsip untuk dilatasi jalan nafas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkontriksi yang berkaitan dengan gejala akut
seperti mengi, rasa berat didada, dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan nafas atau
menurunkan hiperesponsif jalan nafas
Contoh : Agonis Beta-2 Kerja Singkat, Kortikosteroid sistemik, Antikolinergik, Aminofilin,
Adrenalin

2. Terapi Pengontrol (Controller)


Adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Contoh : Kortikosterroid inhalasi, Kortikosteroid sistemik, Sodium kromoglikat, Nedokromil
sodium, Methly xantin, Agonis Beta-2 Kerja lama, leukotrien modifiers, Antihistamin
generasi kedua
A.Golongan Metyl Xanthine
Mekanisme kerja :Menghambat enzim fosfodiesterase sehingga mencegah penguraian siklik AMP intrasel
meningkat. Hal ini akan merelaksasi otot polos bronkus dan mencegah pelepasan mediator alergi seperti
histamin dan leukotrien dari sel mast. Metihylxanthine juga mengantagonis bronkokonstriksi yang disebabkan oleh
prostaglandin dan memblok reseptor adenosine. Obat golongan methylxanthine memiliki efek pada system saraf
pusat dan stimulasi jantung dengan jalan meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pembuluh vena
Interaksi Obat :1. Efek meningkat bila diberikan bersama diltiazem, erythromycin, fluvoxamine, verapamil,
ciprofloxacin, norloxacin, cimetidin.
2. Efek menurun bila diberikan bersama rifampisin.
3. Bila diberikan bersama lithium akan menurunkan efek lithium.
Contoh obat gol metyl Xanthine: Teofilin dan Aminofilin.

B. Golongan antikolinergik
Mekanisme kerja :Memblok efek bronkokontriksi dari asetilkolin pada reseptor muskarinik M3 yang terdapat
pada otot polos saluran nafas .
Obat antikolinergik terdiri atas 2 jenis yaitu : 1.Short acting antimuscarinic (SAMA) : Ipratropium dan
Oxitropium.
2.Long acting antimuscarinic (LAMA) : Tiotropium,
Aclinidium, Glycopyrronium.
Interaksi Obat : Meningkatkan efek bronkodilator teofilin, aminofilin dan beta 2 agonis: salbutamol,
formoterol.
Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit
C. Golongan Beta 2 agonis

Mekanisme kerja : Relaksasi otot polos jalan nafas dengan menstimulasi reseptor beta 2 adrenergik dengan
meningkatkan C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi.
Beta 2 agonis terdiri atas 2 kelompok yaitu : 1. Short acting beta 2 agonis : berlangsung 4-6 jam
2. Long acting beta 2 agonis : berlangsung 12 jam atau lebih
1) Agonis Beta-2 Kerja Singkat
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, feneterol, pirbuterol dan
prokaterol.Obat ini mempunyai efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka, dan
hipokalemia pemberian secara inhalasi sangat dianjurkan dari pada pemberian secara oral karena efek
sampingnya yang lebih kecil
2) Agonis beta-2 kerja lama (inhalasi)
Obat yang termasuk dalam golongan agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol.
Salmeterol dan Formaterol berperan dalam pengendalian jangka panjang asma kronik dan berguna untuk
asma noktural. Salmeterol tidak boleh dipakai untuk mengatasi serangan akut, karena mula kerjanya lebih
lambat dibandingkan salbutamol dan terbutalin. Formaterol digunakan untuk terapi jangka pendek untuk
menghilangkan gejala dan untuk mencegah spasme bronkus akibat kerja fisik dengan mula kerja yang sama
cepatnya dengan salbutamol. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek
bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat sistemik. Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat
memberikan efek samping sistemik seperti rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka, dan
hipokalemia.
Illustration by Smart-Servier Medical Art
D. Kortikosteroid
1) Kortikosteroid Inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang merupakan obat paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan kortikosteroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala mengi, dan memperbaiki kualitas hidup. Stroid
inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten. Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping
local seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran pernafasan atas. Efek samping
tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, hygiene mulut yang baik atau berkumur-kumur
setelah melakukan inhalasi kortikosteroid

2) Kortikosteroid Sistemik
Obat kortikosteroid sistemik diberikan pada serangan asma akut bila pemberian secara inhalasi belum
dapat mengontrol serangan asma akut yang terjadi. Pemberian steroid oral selama 5-7 hari biasa
digunakan sebagai terapi permulaan pengobatan jangka panjang maupun sebagai terapi awal pada asma
yang tidak terkontrol atau ketika terjadi perburukan penyakit. Meskipun tidak dianjurkan, steroid oral
jangka panjang terpaksa diberikan apabila pasien asma persisten sedang berat, tidak mampu membeli
steroid inhalasi. Namun, pemberiannya memerlukan monitoring ketat terhadap gejala klinis yang ada dan
kemungkinan terjadinya efek samping pada pemberian oral sistemik.
Penggolongan Obat Asma lainnya
1) Kromolin Sodium
Kromolin merupakan obat antiinflamasi yang bekerja dengan cara menghambat pelepasan mediator, histamin, dan
SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, Leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja secara lokal pada paru-paru
tempat obat diberikan. Efek samping yang paling sering terjadi adalah bronkopasme yang berhubungan dengan
penurunan fungsi paru-paru, batuk, edema laringeal, iritasi faringeal, dan nafas berbunyi.

2) Nedokromil Natrium
Nedokromil merupakan antiinflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini akan menghambat aktivasi secara
in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai tipe sel yang berhubungan dengan asma termasuk eosinofil,
neutrofil, makrofag, sel mast, monosit, dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon
bronkokonstriksi baik awal maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi. Efek samping yang terjadi pada penggunaan
nedokromil bisa berupa batuk, faringitis, infeksi saluran pernafasan atas, bronkopasma, mual, sakit kepala, nyeri
dada, dan pengecapan tidak enakObat kortikosteroid sistemik diberikan pada serangan asma akut bila pemberian
secara inhalasi belum dapat mengontrol serangan asma akut yang terjadi. Pemberian steroid oral selama 5-7 hari
biasa digunakan sebagai terapi permulaan pengobatan jangka panjang maupun sebagai terapi awal pada asma yang
tidak terkontrol atau ketika terjadi perburukan penyakit. Meskipun tidak dianjurkan, steroid oral jangka panjang
terpaksa diberikan apabila pasien asma persisten sedang berat, tidak mampu membeli steroid inhalasi. Namun,
pemberiannya memerlukan monitoring ketat terhadap gejala klinis yang ada dan kemungkinan terjadinya efek
samping pada pemberian oral sistemik
3) Leukotriene Modifiers
Obat-obat yang bereaksi pada jalur leukotrien ada dua golongan yaitu antagonis reseptor leukotrien dan
inhibitor lipoksigenase. Contoh obat golongan pertama adalah montelukast, pranlukast, dan zafirlukast. Sedangkan
contoh kelompok dua adalah zieluton. Secara klinis, obat-obat ini mengurangi gejala asma, meningkatkan fungsi
paru-paru dan mencegah serangan akut asma juga bersifat antiinflamasi karena dapat mencegah pengeluaran
eosinofil. Reaksi yang dapat ditimbulkan oleh obat leukotrien modifier antara lain gangguan gastrointestinal, sakit
kepala, demam, mialgia, reaksi alergi kulit, meningkatnya enzim hati, dan infeksi saluran nafas atas. Selain itu juga
bisa menimbulkan gangguan yang disebut churg Strauss syndrome yang ditandai dengan adanya riwayat asma,
sering diikuti rhinitis atau sinusitis, terjadinya eosinofilia, dan vaskulitis sistemik

4) Antihistamin (Loratadin, cetirizin, fexofenadin)


Obat ini memblokir reseptor histamin sehingga mencegah bronchokonstriksi. Banyak antihistamin memiliki daya
antikolinergika dan sedatif. Antagonis yang mblok reseptor histamin H1 digunakan pada terapi alergi seperti demam,
urtikaria, ruam akibat sensitivitas terhadap obat, pruritus, serta gigitan dan sengatan serangga.
Interaksi Obat Teofilin
Interaksi Obat Teofilin
m
Interaksi Aminofilin dengan Obat Lain

• Penurunan efektivitas aminofilin jika digunakan bersama carbamazepine, phenytoin,


rifampicin, atau ritonavir
• Penurunan efektivitas obat penghambat beta dan peningkatan risiko terjadinya efek
samping dari aminofilin jika digunakan bersamaan
• Peningkatan kadar aminofilin di dalam darah dan risiko terjadinya efek samping jika
digunakan bersama obat antibiotik golongan makrolid, quinolone, atau allopurinol,
cimetidine, fluconazole, isoniazid, methotrexate, tiabendazole, atau verapamil
• Peningkatan risiko terjadinya kejang jika digunakan dengan obat bius ketamine
• Peningkatan efek racun aminofilin yang bersifat fatal jika digunakan dengan ephedrine
atau obat turunan xanthine lain, seperti teofilin
• Penurunan efektivitas dari adenosin atau dipyridamole
• Interaksi Ipratropium dengan Obat Lain

• Peningkatan efektivitas dan efek bronkodilator dari ipratropium jika digunakan


dengan obat golongan agonis beta, seperti salbutamol, atau obat turunan xanthine,
seperti aminofilin
• Peningkatan efek toksisitas ipratropium jika digunakan dengan glukagon
• Peningkatan risiko terjadinya gangguan pergerakan usus jika digunakan dengan
pramlintide
• Peningkatan risiko terjadinya efek samping, seperti mengantuk, pandangan kabur,
atau mulut kering jika digunakan dengan revefenacin
Interaksi Tiotropium dengan Obat Lain

Berikut ini adalah efek interaksi obat yang dapat terjadi jika tiotropium digunakan dengan
obat-obatan tertentu:
• Peningkatan risiko terjadinya efek samping serius jika digunakan dengan umeclidinium
bromide atau vilanterol inhalasi
• Peningkatan risiko terjadinya gangguan pergerakan usus jika digunakan dengan glukagon
atau pramlintide
• Peningkatan efek antikolinergik dari tiotropium jika digunakan dengan revefenacin
• Peningkatan risiko terjadinya efek samping, seperti mengantuk, mulut kering, atau
pandangan kabur, jika digunakan dengan obat antihistamin, seperti brompheniramine,
hydroxyzine, atau chlorpheniramine
Interaksi salbutamol dengan Obat lain

• Meningkatkan risiko terjadinya jantung berdebar, nyeri dada, dan tekanan darah tinggi,
bila digunakan bersama obat golongan MAOI atau antidepresan golongan trisiklik, seperti
amitriptyline
• Menghambat kerja salbutamol dan meningkatkan risiko sesak napas yang parah, bila
digunakan bersama obat golongan beta-blocker, seperti propranolol
• Meningkatkan risiko terjadinya hipokalemia (kekurangan kalium), bila digunakan bersama
obat kortikosteroid, teofilin, atau golongan obat diuretik, seperti thiazide, diuretik loop,
dan furosemide
Interaksi Formoterol dengan Obat Lain

Ada beberapa efek interaksi yang mungkin terjadi jika formoterol digunakan dengan
obat-obatan tertentu, di antaranya:
• Peningkatan risiko terjadinya gangguan irama jantung jika digunakan dengan
quinidine, disopyramide, antihistamin, gas halothane, atau procainamide.
• Peningkatan risiko terjadinya hipokalemia, yaitu rendahnya kadar kalium dalam
darah, jika digunakan dengan teofilin, obat kortikosteroid, atau furosemide.
• Peningkatan efektivitas formoterol jika digunakan dengan dengan obat antikolinergik,
seperti ipratropium atau glycopyrronium.
• Penurunan efektivitas formoterol jika digunakan dengan obat golongan penghambat
beta.
• Peningkatan risiko terjadinya gangguan jantung jika digunakan dengan obat golongan
MAOI, makrolid, atau antidepresan trisiklik
Interaksi Terbutaline dengan Obat Lain

Berikut ini adalah efek interaksi obat yang dapat terjadi jika terbutaline digunakan
dengan obat-obatan tertentu:
• Penurunan efektivitas obat antidiabetes, seperti acarbose atau metformin.
• Penurunan efektivitas obat penghambat beta, seperti propranolol, nadolol, timolol,
atau pindolol.
• Peningkatan risiko terjadinya kekurangan kalium (hipokalemia) jika digunakan dengan
obat diuretik.
• Peningkatan risiko terjadinya perdarahan berat dan gangguan irama jantung jika
digunakan dengan obat bius yang bebentuk gas, seperti halotane.
• Peningkatan risiko terjadinya penumpukan cairan di paru (edema paru) jika digunakan
dengan agonis beta atau kortikosteroid
Interaksi procaterol dengan obat lain

• Peningkatan risiko aritmia yang diinduksi digitali


• Peningkatan risiko hipokalemia dengan pemberian kortikosteroid, diuretik, xantin secara
bersamaan.
Interaksi Salmeterol dengan Obat Lain

• Peningkatan risiko terjadinya efek samping salmeterol jika digunakan dengan ritonavir atau
antijamur golongan azole, seperti ketoconazole
• Penurunan efektivitas salmeterol jika digunakan dengan obat golongan penghambat beta
• Peningkatan risiko hipokalemia jika digunakan dengan obat diuretik
• Peningkatan risiko terjadinya efek samping yang berbahaya jika digunakan dengan obat
monoamine oxidase inhibitors (MAOI) dan antidepresan trisiklik
• Peningkatan risiko terjadinya gangguan irama jantung jika digunakan dengan amiodarone,
procainamide, quinidine, atau erythromycin
Interaksi Budesonide dengan obat lain
Interaksi Fluticasone Propionat dengan Obat Lain

• Penggunaan Fluticasone Propionat yang dikonsumsi secara bersamaan dengan


ritonavir harus dihindari karena dapat menimbulkan efek sistemik kortikosteroid
seperti sindrom cushing dan dapat menekan fungsi ginjal. Selain ritonavir,
• Penggunaan Fluticasone Propionat bersama dengan ketokonazol juga akan
meningkatkan paparan sistemik terhadap Fluticasone Propionat.
No. OBAT A
“INTERAKSI OBAT DENGAN OBAT”
OBAT B MEKANISME OBAT A MEKANISME OBAT B INTERAKSI OBAT A DAN B

1. Epinefrin Antidepresan Merangsang baik alpha-dan beta- Menghambat ambilan 1. Krisis Hipertensi karena
(isoproterenol, trisiklik reseptor (alpha-reseptor pada kembali atau re-uptake penghambatan penyerapan norepinefrin
metaproterenol, (amitriptyline, dosis tinggi, beta1 - dan beta2- norefinefrin dan oleh neuron.
terbutalin, amoxapine, reseptor pada dosis moderat) serotonin pada presinaps 2. Gangguan kognitif (gangguan memori
epinefrin,albuter Imipramine, dalam sistem saraf simpatik. dan memiliki afinitas atau atensi) dengan methylphenidate dan
ol) lofepramine, Merelaksasi otot polos dari terhadap reseptor- imipramine pada anak-anak (mekanisme
iprindole, bronki dan iris dan antagonis reseptor muskarinik dan tidak diketahui).
protriptyline, histamin. histamin H1. 3. Peningkatan efek imipramine karena
dan penghambatan metabolisme imipramine.
trimipramine) 4. Peningkatan toksisitas dengan
desipramine dan methylphenidate
(kemungkinan menurunkan metabolisme
desipramine).

2. Epinefrin Kelompok 1. Merangsang baik alpha-dan Meningkatkan kekuatan Digitalis (Digoxin) vs Epinefrin (amina
(isoproterenol,m digitalis(digito beta-reseptor (alpha-reseptor dan kecepatan kontraksi simpatomimetik) : Peningkatan
etaproterenol, ksin,digitalis,d pada dosis tinggi, beta1 - dan sistolik miokard (tindakan kecenderungan untuk aritmia jantung
terbutalin, igoksin) beta2-reseptor pada dosis inotropik positif),
epinefrin,albuter moderat) dalam sistem saraf memperlambat denyut
ol) simpatik. Merelaksasi otot polos jantung, dan mengurangi
dari bronki dan iris dan antagonis konduksi melalui simpul
histamin. atrioventrikular
2. Stimulasi reseptor
adrenoseptor B2, meningkatkan
cAMP intraseluler sehingga
menyebabkan bronkodilatasi,
melancarkan jalan nafas pada
penderita asma.
No. OBAT A OBAT B MEKANISME OBAT A MEKANISME OBAT B INTERAKSI OBAT A DAN B

3. Teofilin (teofilin, Alopurinol Merelaksasi otot polos bronkus Menghambat xantin oksidase, Kemungkinan toksisitas teofilin
okstrifilin, difilin, (zyloprim) dan merangsang dorongan enzim yang bertanggung (metabolisme menurun).
aminofilin) pernapasan pusat dengan jawab untuk konversi
menghambat kerja enzim hipoksantin untuk xanthine
fosfodiesterase dimana enzim ini dan kemudian menjadi asam
akan memecah cAMP dalam otot urat.
polos saluran nafas
4. Teofilin (teofilin, Simetidin Merelaksasi otot polos bronkus Cimetidine adaiah Efek 1: Toksisitas teofilin dengan
okstrifilin, difilin, (Tagamet) dan merangsang dorongan penghambat histamin pada cimetidine (metabolisme menurun)
aminofilin) pernapasan pusat dengan reseptor H2 secara selektif Efek 2 : Kemungkinan toksisitas
menghambat kerja enzim dan reversible, penghambatan teofilin dengan famotidine
fosfodiesterase dimana enzim ini histamin pada reseptor H, (metabolisme mungkin menurun)
akan memecah cAMP dalam otot akan menghambat sekresi Efek 3 : Kemungkinan toksisitas
polos saluran nafas. asam lambung baik pada teofilin dengan nizatidine
keadaan istirahat maupun (metabolisme mungkin menurun)
setelah perangsangan oleh Efek 4 : Kemungkinan toksisitas
makanan, histamin, teofilin dengan ranitidin (metabolisme
pentagastrin, kafein dan mungkin menurun)
insulin.

5. Teofilin (teofilin, Kontrasepsi Merelaksasi otot polos bronkus Menghambat ovulasi dengan Meningkatkan toksisitas teofilin
okstrifilin, difilin, oral dan merangsang dorongan menekan gonadotropin,
aminofilin) pernapasan pusat dengan follicle-stimulating hormone
menghambat kerja enzim dan hormon luteinizing
fosfodiesterase dimana enzim ini
akan memecah cAMP dalam otot
polos saluran nafas
“INTERAKSI OBAT DENGAN MAKANAN”
No. OBAT MAKANAN INTERAKSI

1. Teofilin Kopi Efek obat asma dapat meningkat. Obat asma melebarkan jalan udara dan
memudahkan pernapasan penderita asma. Akibatnya: mungkin terjadi
efek samping merugikan karena terlalu banyak teofilin disertai gejala
mual, pusing, sakit kepala, mudah tersinggung, tremor, insomnia,
takikardia, denyut jantung tidak teratur, dan mungkin terjadi serangan .

2. Epinefrin Bunga Kembang Efek obat asma dapat meningkat.


Sepatu (Hibiscus rosa
sinensis L)

3. Epinerfrin Asam Jawa Efek obat asma dapat meningkat.


(Tamarindus
indica,Linn.)
THANK YOU!!!!

Anda mungkin juga menyukai