Anda di halaman 1dari 46

FARMAKOKINETIKA LANJUT

PENGATURAN DOSIS INJEKSI AMINOFILIN DI RUMAH SAKIT DAN


TEOFILIN TABLET SAAT KELUAR RUMAH SAKIT PADA
PENDERITA ASMA DENGAN FUNGSI ELIMINASI NORMAL

PROPOSAL

Oleh :
KELOMPOK B-5

Erika Suhadi NRP. 114217504


Midfa’ul Haawan Fitayaatin M. NRP. 114217511
Rodo Nathania Eirene Sitorus NRP. 114217548
Jessica Christya Albertina NRP. 114217552
Thirta Junistia NRP. 114217562
Tresia Lekal NRP. 114217589
Bella Puspita Hapsari NRP. 114217609

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA
PERIODE 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penyakit asma memiliki angka prevalensi yang bervariasi di berbagai
negara, meskipun dewasa ini banyak dikembangkan berbagai obat asma, namun
terlihat kecenderungan bahwa penderita asma meningkat jumlahnya. Penyakit asma
merupakan penyakit heterogen, yang biasanya ditandai dengan adanya inflamasi
kronis pada saluran pernapasan. Gejala yang muncul pada penderita asma antara
lain mengi, sesak napas, sesak di dada, dan batuk dengan intensitas yang sering
bersamaan dengan keterbatasan udara dalam ekspirasi (GINA, 2017).
Berdasarkan data World Health Organization, 2002 dan Global Initiative
For Asthma, 2011, terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025
diperkirakan jumlah penderita mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat bertambah lebih
besar mengingat asma merupakan penyakit yang underdianosed. Hasil penelitian
International Study on Asthma and Allergies in Childhood menunjukkan bahwa di
Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi
5,4% pada tahun 2003. Pada tahun 2017, Indonesia menduduki peringkat ke-5
untuk kematian karena asma di antara negara-negara Asia dan urutan ke-13
diseluruh di dunia (World Health Organization, 2017).
Tujuan terapi pada asma adalah meringankan atau menghilangkan gejala
kronik, meringankan atau menghilangkan eksaserbasi, aktivitas yang tidak terbatas,
memelihara fungsi paru normal, meminimalkan penggunaan beta-2 agonis aksi
cepat, dan meminimalkan atau menghilangkan efek yang tidak dikehendaki dari
obat (GINA, 2017; Rengganis, 2008. Ortiz, 2008). Berbagai tujuan tersebut dapat
dicapai apabila penanganan terapi asma sudah dilaksanakan secara tepat.
Menurut pedoman dari Global Initiative for Asthma, 2017, golongan obat
methylxanthine digunakan sebagai terapi dalam penatalaksanaan asma. Salah satu
contoh obat golongan methylxantin adalah teofilin. Teofilin dapat diberikan secara
injeksi sebagai aminofilin yaitu suatu campuran teofilin dengan etilendiamin yang

2
20 kali lebih larut dibandingkan dengan teofilin itu sendiri. Teofilin merupakan
salah satu obat dengan indeks terapi sempit sehingga individualisasi dari aturan
dosis sangat penting. Tujuan perancangan aturan dosis ini adalah untuk konsentrasi
toksik minimum atau jatuh dibawah konsentrasi obat minimum kritis. Oleh karena
itu, teofilin diindividualisasikan dengan hati – hati untuk menghindari fluktualisasi
konsentrasi obat dalam plasma sehubungan dengan perbedaan antar subyek dalam
proses absorpsi, distribusi, atau eliminasi (Pusat Informasi Obat Nasional, BPOM
RI, 2015; GINA, 2017).
Berbagai metode farmakokinetika dapat digunakan untuk menghitung dosis
awal atau aturan dosis. Aturan dosis awal dihitung berdasarkan berat badan atau
luas permukaan tubuh setelah mempertimbangkan secara seksama profil
farmakokinetika obat yang diketahui, kondisi patofisiologis pasien, dan riwayat
obat pasien. Rancangan dosis yang benar akan mencapai suatu konsentrasi obat
tertentu pada site reseptor untuk menghasilkan respon terapi optimal dengan efek
samping yang minimal. Perbedaan profil farmakokinetik dan farmakodinamik tiap
individu akan menyebabkan rancangan aturan dosis menjadi lebih rumit. Oleh
karena itu, konsep farmakokinetika untuk merancang aturan dosis harus
disesuaikan dengan tepat dan perlu dilakukan evaluasi serta pemantauan kondisi
klinis pasien melalui pemantauan terapeutik obat (therapeutic drug monitoring-
TDM) atau pelayanan farmakokinetika klinis (Laboratorium) (clinical
pharmacokinetic services - CPKS).
Menurut Shargel L, 2012, fasilitas layanan untuk melakukan TDM telah
didirikan dibanyak rumah sakit untuk mengevaluasi respon dari pasien terhadap
aturan dosis yang dianjurkan. Perbaikan dalam efektivitas klinis obat melalui
pemantauan obat terapeutik dapat memberikan keuntungan yaitu menurunkan biaya
perawatan medis dengan mencegah efek merugikan yang tidak diinginkan. Fungsi
lain dari layanan TDM yaitu untuk menentukan pemilihan obat, rancangan aturan
dosis, evaluasi respon pasien, menentukan kebutuhan untuk mengukur konsentrasi
obat dalam serum, penetapan kadar untuk konsentrasi obat dalam cairan biologis,
melakukan evaluasi farmakokinetika dalam konsentrasi obat, menyesuaikan aturan
dosis jika perlu, memantau konsentrasi obat dalam serum, merekomendasikan
kebutuhan khusus.

3
1.2 RUMUSAN MASALAH
Langkah-langkah yang dapat dianalisis terkait latar belakang permasalahan
di atas, sebagai berikut.
1. Bagaimanakah prediksi laju infus dan lama pemberiannya?
2. Berapa aminofilin injeksi yang harus diambil dan berapa jumlah pelarut
yang ditambahkan, serta berapa laju infus yang harus diberikan (dalam
volume per waktu)?
3. Apakah perlu dilakukan loading dose? Berapa jumlah ampul aminofillin
yang harus diberikan?
4. Apabila pasien akan pulang dan diberikan teofilin tablet, bagaimana dosis
teofilin tablet pada saat Keluar RS (KRS), terkait aturan pakai dan
perhitungannya?
5. Apakah rekomendasi sediaan yang beredar di Indonesia?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui prediksi laju infus aminofilin dan lama pemberiannya.
2. Mengetahui aminofilin injeksi yang harus diambil, jumlah pelarut yang
ditambahkan, serta laju infus yang harus diberikan (dalam volume per
waktu).
3. Mengetahui loading dose dan mengetahui jumlah ampul aminofilin yang
harus diberikan.
4. Mengetahui dosis teofilin tablet pada saat pasien keluar RS (KRS), aturan
pakai dan perhitungannya.
5. Mengetahui rekomendasi sediaan aminofilin dan teofilin yang beredar di
Indonesia.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI ASMA


Menurut Global Initiative for Asthma, 2017, asma adalah gangguan
inflamasi kronik pada saluran nafas. Sel-sel yang berperan dalam gangguan tersebut
terutama adalah sel mast, eosinofil, dan sel limfosit T. Asma ditandai dengan
adanya gangguan pernafasan, seperti mengi, nafas pendek, sesak pada bagian dada,
dan batuk yang sering terjadi pada malam hari atau dini hari. Penyakit asma dapat
disebabkan oleh terjadinya hiperresponsif dan inflamasi pada saluran pernafasan.
Kejadian asma seringkali disebabkan oleh berbagai faktor seperti olahraga, alergen
atau paparan iritan, perubahan cuaca, dan infeksi virus. Proses terjadinya asma
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Gejala klinis yang terlihat pada penyakit asma adalah keterulangan nafas
yang pendek, dada sesak, mengi, selalu berhubungan dengan batuk, dan apabila
ditinjau secara fisiologis terjadi penyempitan saluran bronkus dan ditandai
peningkatan respon bronkus untuk terstimulasi bernafas; dan secara fisiologis
limfositik, terjadi inflamasi akibat eusinofil pada mukosa bronkus (Katzung BG,
2012).

2.2 TERAPI FARMAKOLOGI ASMA


Terapi asma dibagi menjadi 3, yaitu controller, reliever, dan terapi
tambahan untuk severe asma. Controller diberikan untuk pemeliharaan dengan cara
mengurangi gejala yang timbul dan mengurangi resiko eksaserbasi (perburukan)
yang digunakan secara berkala. Reliever merupakan pengobatan yang bertujuan
untuk meredakan gejala yang timbul secara cepat. Terapi tambahan diberikan bila
gejala tidak membaik (GINA, 2017).
Adapun menurut Katzung BD, 2014, terapi farmakologi yang dapat
dilakukan dengan pemberian agonis adrenergik β2, kortikosterid, stabilisator
mastosit, anti muskarinik, anti IgE, kromolin & nedocromil dan golongan

5
metilsantin. Golongan metilsantin antara lain teofilin, teobromin, dan kafein.
Namun teofilin yang digunakan untuk tujuan terapi adalah aminofilin. Aminofillin
adalah jenis teofilin yang berikatan dengan suatu substantial kimia yaitu teofilin-
etilendiamin yang membuatnya menjadi lebih larut dengan air. Mekanisme teofilin
dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut.

Gambar 2.1 Bronkodilatasi Akibat Teofilin (Katzung, 2012)

Aminofilin memiliki mekanisme kerja menghambat enzim fosfodiesterase


(PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMP dan cGMP masing-masing menjadi
5’-AMP dan 5’-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan akumulasi cAMP dan
cGMP dalam sel sehingga terjadi relaksasi otot polos termasuk otot polos bronkus
(Katzung, 2012).

2.3 AMINOFILIN

Gambar 2.2 Aminofilin


Aminofilin adalah kompleks teofilin dengan etilendiamin (2:1). Anhidrat
aminofilin mengandung sekitar 84,0%-87,4% dari teofilin anhidrat dan
mengandung sekitar 13,5%-15,0% dari etilendiamin anhidrat. Organoleptis
aminofilin berupa serbuk putih atau sedikit kekuningan dan kadang-kadang

6
berbentuk granul. Teofillin sangat larut dalam air dan praktis tidak larut dalam
alkohol dehidrasi (MD 38th, 2014).
Aminofilin diberikan dalam bentuk anhidat atau hidrat. Aminofilin hidrat 1,90
mg ekivalen dengan 1 mg teofilin. Untuk kasus berat seperti bronkospasme akut,
aminofilin diberikan dengan rute IV yang diberikan dengan laju < 25 mg/menit agar
tidak memperbesar efek samping. Bagi pasien yang tidak mendapat aminofilin,
teofilin atau obat yang mengandung xanthin, pemberian loading dose sebesar 5
mg/kg berat badan ideal atau 200-500 mg aminofilin yang diijeksikan atau
diinfuskan 20-30 menit, yang diikuti maintenance dose 500 µg/kg/jam (MD 38th,
2014).

2.4 TEOFILIN

Gambar 2.3 Teofilin


1. Karakteristik
Teofilin terdiri dari satu molekul air hidrasi ataupun anhidrat. Organoleptis
putih, tidak berbau, dan berbentuk kristal serbuk. Teofilin sedikit larut dalam air,
lebih mudah larut dalam air panas; sedikit larut dalam alkohol, dalam kloroform,
dan dalam eter; mudah larut dalam larutan alkali hidroksida dan amonia (MD 38th,
2014).
2. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja dari teofilin yaitu merelaksasikan otot polos bronkus;
mengurangi bronkospasme; memiliki efek stimulan pada respirasi; serta
merangsang miokardium dan SSP (MD 38th, 2014).
3. Indikasi

7
Teofilin digunakan sebagai bronkodilator dalam manajemen obstruksi
saluran nafas yang reversibel, seperti pada pasien asma. Teofilin dapat digunakan
sebagai tambahan untuk agonis β2 dan terapi kortikosteroid pada pasien yang
membutuhkan efek bronkodilatasi tambahan. Beberapa pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik juga memiliki respon terhadap terapi teofilin. Teofilin dapat
juga digunakan untuk meringankan apnea pada pasien neonatus (MD 38th, 2014).
4. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap semua xantin, peptik ulser, mengalami gangguan
seizure (kecuali menerima obat-obat antikonvulsan yang sesuai) (Binfar, 2007).
5. Dosis
Dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian dosis berdasarkan
respon klinik dan perkembangan pada fungsi paru-paru. Dosis ekivalen berdasarkan
teofilin anhidrat yang dikandung. Berikut adalah dosis yang direkomendasikan
untuk pasien yang belum menggunakan teofilin.
Pasien Dosis Oral Awal DosisPemeliharaan
Anak 1-9 tahun 5 mg/kg 4 mg/kg setiap 6 jam
Anak 9-16 tahun dan 5 mg/kg 3 mg/kg setiap 6 jam
dewasa perokok
Dewasa bukan perokok 5 mg/kg 3 mg/kg setiap 8 jam
Pasien gagal jantung 5 mg/kg 2 mg/kg setiap 8 jam
congestive 5 mg/kg 1-2 mg/kg setiap 12 jam

Untuk terapi kronis, Dosis awal : 16 mg/kg dalam 24 jam atau 400 mg dalam
sehari, yang dibatasi dengan pemberian teofilin anhidrous dalam interval 6-8 jam.
Peningkatan dosis : dosis di atas dapat ditingkatkan menjadi 25% dengan interval 3
hari sebagaimana dapat ditoleransi sampai dosis maksimum tercapai (Binfar,2007).
6. Interaksi
Teofilin dimetabolisme oleh sitokrom P450 isoenzim di hati, terutama
CYP1A2, CYP2E1, dan CYP3A3 (MD 38th, 2014). Teofilin mampu berinteraksi
dengan obat lain terutama menyebabkan kadar teofilin menurun maupun meningkat
di dalam darah hal disebabkan karena enzim yang memetabolisme teofillin
dihambat oleh obat tersebut (Stockley, 2008). Klirens teofilin berkurang akibat

8
allopurinol, beberapa obat antiaritmia, cimetidin, disulliram, fluvoxamine,
interferon alfa, antibakteri makrolida, dan kuinolon, kontrasepsi oral, tiabendazole,
dan viloxazin, dll (MD 38th, 2014).
7. Farmakokinetik (MD 38th, 2014)
Absorpsi
Teofilin dapat diserap dengan cepat dan secara sempurna diserap dari larutan
sediaan, kapsul, dan uncoated tablet; absorpsinya dapat berkurang akibat makanan,
dan mempengaruhi klearennya.
Absorpsi teofillin akan menurun oleh makanan sehingga sediaan teofillin
modified release dipilih karena diabsorpsi dengan sempurna dan tidak terpengaruh
oleh adanya makanan. Waktu yang dibutuhkan teofillin untuk mencapai kadar
puncak adalah 1 sampai 2 jam setelah ditelan dan ½ jam untuk sediaan intravena.
Distribusi
Volume distribusi teofilin 0,45 L/kg (0,3-0,7 L/kg) dikalikan dengan berat
badan ideal pasien. Teofilin berdistribusi rendah pada lemak tubuh. Volume
distribusi meningkat pada bayi prematur, pasien dengan sirosis hepatik, dan pada
lansia.
Eliminasi
Waktu paruh teofillin pada pasien sehat adalah 6,1-12,8 jam.
Metabolisme
Teofillin dimetabolisme di hepar menjadi 1,3-dimethyluric acid, 1-methyluric
acid, dan 3-methylxanthine. Metabolisme teofilin melibatkan enzim cytochrome
P450 isoenzyme CYP1A2, CYP2E1, dan CYP3A3.
Ekskresi
Pada orang dewasa sekitar 10% dari dosis teofilin diekskresikan dalam
bentuk tidak berubah dalam urin, tetapi pada neonatus sekitar 50% diekskresikan
tidak berubah dan sebagian besar diekskresikan sebagai kafein.

9
BAB III

PERHITUNGAN DAN PENGATURAN DOSIS

KASUS
Pasien Tn. X di rumah sakit mengalami sesak sehingga diberikan drip
Aminofilin infus intravena. Berat badan pasien 78 kg, tinggi badan 163 cm; obat
lain yang diresepkan kepada Tn. X adalah Simetidin 200 mg, sehari 2x1 tab, dan
eritromisin 500 mg, sehari 4x1 kapsul selama 5 hari. Data MEC teofilin memakai
data dari populasi yang tercantum dalam pustaka adalah 10-20 micrograms/mL.
Data t ½ populasi: 8-12 jam. Vd = 0.45 L/kgBB pada orang dewasa dengan fungsi
ginjal normal.

INTERAKSI OBAT
Pada peresepan obat Tn X terjadi interaksi antara pemberian eritromisin, simetidin,
dan teofilin. Simetidin dan Eritromisin merupakan inhibitor enzim CYP1A2 dan CYP3A4.
Kedua enzim tersebut mampu mengganggu proses metabolisme teofilin, sehingga proses
metabolisme terhambat. Akibatnya, kadar teofilin dalam plasma meningkat, serta kadar
Eritromisin dalam plasma dapat menurun (IONI, 2015).

DATA PASIEN
1. Jenis Kelamin : Pria
2. Berat badan : 78 kg
3. Tinggi badan : 163 cm = 1.63 m
4. Perhitungan Body Mass Index (BMI)
BMI = BB (kg)/TB2(m)
= 78 kg/(1.63m2)
= 29.3575

10
Tabel 3.1 Klasifikasi Internasional pada Orang Dewasa yang kekurangan
kekurangan berat badan, kelebihan berat badan dan obesitas
sesuai dengan BMI (Body Mass Index)

BMI(kg/m2)
Classification
Principal cut-off points Additional cut-off points
Underweight <18.50 <18.50
Severe thinness <16.00 <16.00
Moderate thinness 16.00 - 16.99 16.00 - 16.99
Mild thinness 17.00 - 18.49 17.00 - 18.49
2
BMI(kg/m )
Classification
Principal cut-off points Additional cut-off points
18.50 - 22.99
Normal range 18.50 - 24.99
23.00 - 24.99
Overweight ≥25.00 ≥25.00
25.00 - 27.49
Pre-obese 25.00 - 29.99
27.50 - 29.99
Obese ≥30.00 ≥30.00
30.00 - 32.49
Obese class I 30.00 - 34.99
32.50 - 34.99
35.00 - 37.49
Obese class II 35.00 - 39.99
37.50 - 39.99
Obese class III ≥40.00 ≥40.00

Sumber : World Health Organization, 2004.

Pada pasien ini perhitungan dosisnya menggunakan IBW (Ideal Body


Weight) karena pasien memiliki berat badan berlebih yang tergolong pre-obese.
Pasien pre-obese cenderung memiliki jaringan lemak yang lebih banyak
daripada pasien normal sehingga pasien pre-obese memiliki proposi cairan
tubuh total yang lebih kecil dibandingkan dengan pasien berat badan ideal dan
hal ini dapat mempengaruhi volume distribusi obat (Shargel, ed. V, hal 643).
Selain itu, teofilin merupakan obat yang bersifat polar sehingga cenderung
terdistribusi ke dalam air dibandingkan lemak sehingga yang perlu
dipertimbangkan dalam perhitungan dosis adalah IBW. Ideal Body Weight
(IBW) merupakan berat badan tanpa lemak berdasarkan tinggi pasien dan berat
badan aktual (total) (Shargel, ed V, hal 684). Jika perhitungan dosisnya
menggunakan Actual Body Weight (ABW), maka akan mengikutkan

11
perhitungan lemak sehingga dapat menyebabkan obat yang berada di dalam
darah kadarnya menjadi sangat tinggi dan dapat mencapai kadar toksik.
(Rohrbaugh et al., 1982)

5. IBW Pria
Jika T > 152.5 cm  IBW = 50 + [(T-152.4) x 0.89]
Jika T < 152.5 cm  IBW = 50 - [(T-152.4) x 0.89]
Pustaka : Aslam, 2003
IBW = 50 + [(163-152.4) x 0.89]
IBW = 59.434 kg

PROFIL OBAT

 Aminofilin mengandung 84-87,4% teofilin, yang dipilih adalah 85%, sehingga


Aminofilin mengandung 85% teofilin. (Martindale 38th, 2014).
 Sediaan di pasaran (MIMS Referensi Obat, 2015) dan (IONI, 2017):
1. 1 ampul 10 mL mengandung 240 mg aminofilin (konsentrasi = 24
mg/mL)
Phaninov® 240 mg/10 mL x 2 x 5 (Rp 38.636,-)
2. Infus (N-S) Sanbe
100 mL (Rp 12.700,-/infusion bag)
250 mL (Rp 12.550,-/infusion bag)
500 mL (Single port Rp 1.300,-, Double port Rp 14.250,-)
1000 mL (Rp 22.650,-/infusion bag)
3. Kadar teofilin dalam 1 ampul (10 mL)
85% 240 𝑚𝑔
𝑥 = 20.4 𝑚𝑔/𝑚𝐿
100% 𝑚𝐿
 MEC Teofilin 10-20 μg/mL = 10-20 mg/L (BNF 71th, 2014)
Dipilih MEC=10 mg/L karena dosis efektif untuk bronkodilatasi pada
kebanyakan individu sebesar 10-20 mg/L. Disamping itu semakin tinggi
dosis maka semakin banyak efek samping yang ditimbulkan. Efek samping
dapat terjadi pada dosis 10-20 mg/L dan pada dosis ≥ 20 mg/L akan
menimbulkan efek samping yang lebih sering dan lebih parah (BNF 71th,
2014).

12
 Cpss = 10 mg/L  karena konsentrasi 10mg/L merupakan dosis efektif
minimal yang dapat memberikan efek saat serangan akut (DIH 24th, 2015).
 Waktu paruh (t ½) teofilin :
Data t ½ populasi = 8-12 jam
t ½ pada kondisi asma = 7-9 jam (Martindale 38th, p.1129), dipilih t ½ = 8
jam
0.693 0.693
k= = = 0.086625 /𝑗𝑎𝑚
𝑡 1/2 8 𝑗𝑎𝑚

tss teofilin = 5 x t ½ = 5 x 8 jam = 40 jam


 Vd teofilin = 0,45 L/kg berdasarkan IBW (DIH 24th, 2015).
Vd teofilin = 0.45 L/kg x 59.434 kg = 26.7453 L

A. Perhitungan Prediksi Laju Infus dan Lama Pemberiannya


- Stabilitas infus aminofilin selama 24 jam. Maka, infus harus diganti setiap
24 jam (t = 24 jam).
- Rteo = Cpss x Vd x K
= 10 mg/L x 26.7453 L x 0.086625
= 23.16811613 mg/jam

Aminofilin mengandung 85% teofilin, sehingga

100%
- Rsmino = 𝑥 23.16811613 mg/jam = 27.25660721 mg/jam
85%

- Perhitungan Cpss Teofilin yang diharapkan pada saat 24 jam


𝑅 𝑡𝑒𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛 23.16811613 𝑚𝑔/𝑗𝑎𝑚
Cpss teofilin = = 26.7453 𝐿 𝑥 0.086625/𝑗𝑎𝑚 = 10 𝑚𝑔/𝐿
𝑉𝑑 𝑥 𝐾

Jadi, dosis teofilin masuk dalam rentang terapi.

B. Perhitungan jumlah Aminofilin Injeksi yang harus diambil, jumlah


pelarut yang ditambahkan, dan laju infus yang diberikan
- Dosis aminofilin untuk 24 jam = 27.25660721 mg/jam x 24 jam =
654.158573 mg
654.158573𝑚𝑔
𝑥 10 𝑚𝐿 = 27.25660721 𝑚𝐿  30 mL = 3 ampul
240 𝑚𝑔

Cek Cpss Aminofilin 3 ampul

13
- 3 ampul aminofilin x 240 mg/ampul = 720 mg
Ramino = 720 mg/hari
= 30 mg/jam
85%
Rteo = 100% 𝑥 30 mg/ jam = 25.5 mg/jam
𝑅 𝑡𝑒𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛 25.5 𝑚𝑔/𝑗𝑎𝑚
Cpss teofilin = = 26.7453 𝐿 𝑥 0.086625/𝑗𝑎𝑚 = 11.0065 𝑚𝑔/𝐿
𝑉𝑑 𝑥 𝐾

Jadi, digunakan 3 ampul karena masuk dalam rentang MEC teofilin.


- Pemilihan kemasan infus
1. Infus 100 mL
Volume infus = 100 mL
Volume aminofilin injeksi = 30 mL (3 ampul, masing-masing 10 mL)
Volume total pemberian = 130 mL
Konsentrasi aminofilin = 3 ampul x 240 mg/ampul
= 720 mg/3 ampul
Konsentrasi aminofilin dalam infus = 720 mg/130 mL = 5.54 mg/mL
Ramino = 130 mL/24 jam
= 5.4167 mL/jam : 60
= 0.0903 mL/menit x 60 tetes (microdrip)
= 5.4167 tetes/menit  6 tetes/menit
Cek:
Ramino = 6 tetes/menit : 60 tetes/mL
= 0.1 mL/menit x 60
= 6 mL/jam x 5.54 mg/mL
= 33.24 mg/jam
85%
Rteo = 100% 𝑥 33.24 mg/ jam = 28.254 mg/jam
𝑅 𝑡𝑒𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛 28.254 𝑚𝑔/𝑗𝑎𝑚
Cpss teofilin = = 26.7453 𝐿 𝑥 0.086625/𝑗𝑎𝑚 =
𝑉𝑑 𝑥 𝐾

12.1952 𝑚𝑔/𝐿
Jadi, infus yang digunakan sebanyak :
Ramino = 6 tetes/menit x 60
= 360 tetes/jam : 60 tetes (microdrip)
= 6 mL/jam

14
Infus aminofilin akan dipasang selama 24 jam, sehingga infus 100 mL akan
130 𝑚𝑙
habis dalam: 6 𝑚𝑙/𝑗𝑎𝑚 = 21.6667 𝑗𝑎𝑚/𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔
24 𝑗𝑎𝑚
Jumlah infus yang disiapkan adalah = 1.1077 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔  2
21.6667 𝑗𝑎𝑚

pasang.

2. Infus 250 mL
Volume infus = 250 mL
Volume aminofilin injeksi = 30 mL (3 ampul masing-masing 10 mL)
Volume total pemberian = 280 mL
Konsentrasi aminofilin = 3 ampul x 240 mg/mL = 720 mg/3 ampul
Konsentrasi aminofilin dalam infus = 720 mg/280 mL = 2.5714 mg/mL
Ramino = 280 mL/24 jam
= 11.6667 mL/jam : 60
= 0.1944 mL/menit x 60 tetes (microdrip)
= 11.6667 tetes/menit  12 tetes/menit
Cek:
Ramino = 12 tetes/menit : 60 tetes/mL
= 0.2 mL/menit x 60
= 12 mL/jam x 2.5714 mg/mL
= 30.8568 mg/jam
85%
Rteo = 100% 𝑥 30.8568 mg/jam

= 26.2283 mg/jam
𝑅 𝑡𝑒𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛 26.2283 𝑚𝑔/𝑗𝑎𝑚
Cpss teofilin = = 26.7453 𝐿 𝑥 0.086625/𝑗𝑎𝑚 =
𝑉𝑑 𝑥 𝐾

11.32086 𝑚𝑔/𝐿
Jadi, infus yang digunakan sebanyak :
Ramino = 12 tetes/menit x 60
= 720 tetes/jam : 60 tetes (microdrip)
= 12 mL/jam
Infus aminofilin akan dipasang selama 24 jam, sehingga infus 250 mL akan
280 𝑚𝑙
habis dalam: 12 𝑚𝑙/𝑗𝑎𝑚 = 23.3333 𝑗𝑎𝑚/𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔

15
24 𝑗𝑎𝑚
Jumlah infus yang disiapkan adalah = 1.0286 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔  2
23.3333 𝑗𝑎𝑚

pasang.

3. Infus 500 mL
Volume infus = 500 mL
Volume aminofilin injeksi = 30 mL (3 ampul masing-masing 10 mL)
Volume total pemberian = 530 mL
Konsentrasi aminofilin = 3 ampul x 240 mg/mL = 720 mg/3 ampul
Konsentrasi aminofilin dalam infus = 720 mg/530 mL = 1.3585 mg/mL
Ramino = 530 mL/24 jam
= 22.0833 mL/jam : 60
= 0.3681 mL/menit x 60 tetes (microdrip)
= 22.0833 tetes/menit  23 tetes/menit
Cek:
Ramino = 23 tetes/menit : 60 tetes/mL
= 0.3833 mL/menit x 60
= 23 mL/jam x 1.3585 mg/mL
= 31.2455 mg/jam
85%
Rteo = 𝑥 31.2455 mg/ jam = 26.5587
100%

mg/jam
𝑅 𝑡𝑒𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛 26.5587 𝑚𝑔/𝑗𝑎𝑚
Cpss teofilin = = 26.7453 𝐿 𝑥 0.086625/𝑗𝑎𝑚 =
𝑉𝑑 𝑥 𝐾

11.4635 𝑚𝑔/𝐿
Jadi, infus yang digunakan sebanyak :
Ramino = 23 tetes/menit x 60
= 1380 tetes/jam : 60 tetes (microdrip)
= 23 mL/jam
Infus aminofilin akan dipasang selama 24 jam, sehingga infus 500 mL akan
530 𝑚𝑙
habis dalam: 23 𝑚𝑙/𝑗𝑎𝑚 = 23.0435 𝑗𝑎𝑚/𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔
24 𝑗𝑎𝑚
Jumlah infus yang disiapkan adalah = 1.0415 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔  2
23.0435 𝑗𝑎𝑚

pasang.

16
4. Infus 1000 mL
Volume infus = 1000 mL
Volume aminofilin injeksi = 30 mL (3 ampul masing-masing 10 mL)
Volume total pemberian = 1030 mL
Konsentrasi aminofilin = 3 ampul x 240 mg/mL = 720 mg/3 ampul
Konsentrasi aminofilin dalam infus = 720 mg/1030 mL = 0.699 mg/mL
Ramino = 1030 mL/24 jam
= 42.9167 mL/jam : 60
= 0.7153 mL/menit x 60 tetes (microdrip)
= 42.9167 tetes/menit  43 tetes/menit
Cek:
Ramino = 43 tetes/menit : 60 tetes/mL
= 0.7167 mL/menit x 60
= 43 mL/jam x 0.699 mg/mL
= 30.057 mg/jam
85%
Rteo = 100% 𝑥 30.057 mg/ jam = 25.5485 mg/jam
𝑅 𝑡𝑒𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛 25.5485 𝑚𝑔/𝑗𝑎𝑚
Cpss teofilin = = =
𝑉𝑑 𝑥 𝐾 26.7453 𝐿 𝑥 0.086625/𝑗𝑎𝑚

11.0274 𝑚𝑔/𝐿
Jadi, infus yang digunakan sebanyak :
Ramino = 43 tetes/menit x 60
= 2580 tetes/jam : 60 tetes (microdrip)
= 43 mL/jam
Infus aminofilin akan dipasang selama 24 jam, sehingga infus 1000 mL
1030 𝑚𝑙
akan habis dalam: 43 𝑚𝑙/𝑗𝑎𝑚 = 23.9535 𝑗𝑎𝑚/𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔
24 𝑗𝑎𝑚
Jumlah infus yang disiapkan adalah = 1.0019 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔  1
23.9535 𝑗𝑎𝑚

pasang.

17
Jumlah
Kemasan R teofilin Cpss teofilin Keterangan
tetesan
100 Ml 6 tetes/menit 28.25 mg/jam 12.20 mg/L Masuk MEC
250 Ml 12 tetes/menit 26.23 mg/jam 11.32 mg/L Masuk MEC
500 Ml 23 tetes/menit 26.56 mg/jam 11.47 mg/L Masuk MEC
1000 mL 43 tetes/menit 25.55 mg/jam 11.03 mg/L Masuk MEC

Kemasan Infus Habis dalam waktu Jumlah Infus


100 mL 21.67 jam/pasang 2 pasang
250 mL 23.33 jam/pasang 2 pasang
500 mL 23.04 jam/pasang 2 pasang
1000 mL 23.95 jam/pasang 1 pasang

Berdasarkan perhitungan di atas, maka aminofilin injeksi yang harus diambil


adalah 3 ampul (masing-masing 10 mL) yang kemudian dilarutkan dalam 1000 mL
infus NS, dengan laju infus 43 tetes/menit, yang diperkirakan akan habis setelah
23.95 jam (paling mendekati 25 jam), dan jumlah infusion bag yang dibutuhkan
sebanyak 1 buah, seharga Rp 22.650,-.

C. Perhitungan Loading Dose


Waktu paruh (t ½) pada kondisi asma = 7-9 jam (MD 38th, p.1129), sehingga
dipilih t ½ = 8 jam
Waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar tunak (steady state):
- T90%ss = 3.32 x t ½
= 3.32 x 8 jam
= 26.56 jam
- T95%ss = 4.32 x t ½
= 4.32 x 8 jam
= 34.56 jam
- T99%ss = 6.65 x t ½
= 6.65 x 8 jam
= 53.20 jam

18
Berdasarkan perhitungan tersebut, diketahui bahwa waktu steady state
sangat lama (lebih dari 24 jam), maka perlu diberi loading dose untuk mempercepat
onset of action dari obat supaya efek terapi dapat cepat tercapai.
- Perhitungan DL teofilin:
DL = Cpss x Vd = 10 mg/L x 26.7453 L = 267.453 mg/L
100%
267.453 Teofilin setara dengan 𝑥 267.453 𝑚𝑔 = 314.6506 mg
85%

Aminofilin
- 1 ampul mengandung 240 mg Aminofilin
- Untuk memperoleh 314.6506 mg Aminofilin, diambil ampul sebanyak:
314.6506 𝑚𝑔
= 1.311 𝑎𝑚𝑝𝑢𝑙  2 ampul
240 𝑚𝑔/𝑎𝑚𝑝𝑢𝑙

Cek ulang :
240 mg/ampul x 2 = 480 mg/ampul
85% 𝑚𝑔
DL teofilin = 100% 𝑥 480 𝑎𝑚𝑝𝑢𝑙 = 408 𝑚𝑔/𝑎𝑚𝑝𝑢𝑙
𝐷𝐿 𝑡𝑒𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛
Cpss teofilin = 𝑉𝑑
408 𝑚𝑔
= 26.7453 𝐿 = 15.2550 mg/L  masuk rentang terapi

Jadi, untuk loading dose diambil 20 mL aminofilin (2 ampul).

D. Perlu/tidaknya dilakukan TDM, bilamana dan mengapa?


Perlu dilakukan TDM dikarenakan Teofilin mrmiliki indeks terapi sempit
dengan rentang MEC 10-20 ug/mL. Menurut beberapa literatur dilaporkan
beberapa pasien mengalami gejala toksisitas pada dosis 20 ug/mL. Selain itu, pasien
juga termasuk dalam kategori pre-obesitas, sehingga diperkirakan jumlah cairan
tubuhnya lebih sedikit dibandingkan cairan tubuh pasien dengan berat badan ideal,
sehingga ditakutkan kadar teofilin dalam plasma mencapai kadar toksik. Alasan
lainnya perlu dilakukan TDM adalah adanya interaksi obat. Berikut interaksi yang
terjadi.
Teofilin (Aminofilin) & Simetidin
Simetidin termasuk dalam golongan H2-reseptor antagonis yang bekerja
pada reseptor histamin sebagai terapi peptic ulcer, memberikan efek supresi asam
lambung, untuk mengatasi gejala mual muntah. Simetidin merupakan enzim

19
inhibitor yang bekerja mengurangi metabolisme dari teofilin (aminofilin) melalui
sitokrom P 450 isoenzim CYP1A2 dalam hepar, sehingga meningkatkan kadar
serum teofilin (aminofilin) dalam darah (Stockley’s Drug Interaction 8th edition).
- Teofilin (Aminofilin) & Eritromisin
Eritromisin menginhibisi metabolisme teofilin di liver menyebabkan
penurunan klirens teofilin sehingga dapat meningkatkan kadar teofilin dalam darah.
Human organic transporter 2 (hOat2) yang ditemukan dalam liver juga terlibat
dalam interaksi antara aminofilin dan eritromisin. Penurunan kadar eritromisin
dalam darah dapat disebabkan oleh inhibisi aminofilin terhadap absorbsi eritromisin
(Stockley’s Drug Interaction 8th edition).
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa simetidin dan
eritromisin dapat menghambat klirens dan metabolisme aminofilin sehingga
menyebabkan peningkatan kadar aminofilin dalam darah. Pengambilan sampel
dilakukan pada waktu, sebagai berikut.
 Setelah pemberian loading dose
 Monitoring 4-6 jam pertama setiap jamnya dan 2 jam pertama pada saat
mencapai kadar tunak
 Monitoring pada hari ke-2 setelah pemberian infus dihentikan
 Sebelum diberikan infus teofilin harus dilakukan monitoring kadar dalam
darah
 Monitoring kadar plasma dalam darah saat penggantian dari infus aminofilin
ke oral teofilin pasien menunjukkan adanya efek samping obat seperti
palpitasi, takhikardi, hipotensi.

Adapun menurut DIH Ed. 24, 2016, beberapa parameter yang harus
diperhatikan ketika monitoring penggunaan teofilin, diantaranya :
1. Heart rate, efek CNS (insomnia, iritabilitas), respiratory rate, arterial or
capillary blood gases.
2. IV Loading dose : pengukuran serum dilakukan 30 menit setelah pemberian
loading dose.
3. IV infusi : pengukuran serum dilakukan setelah pemberian infusi continous,
kemudian setiap 12-24 jam.

20
E. Dosis Teofilin tablet untuk pasien saat KRS, aturan pakai, dan
perhitungannya
Tablet teofilin yang tersedia di pasaran (Indonesia) adalah (MIMS ed 16, 2015):
- Tablet selaput Euphyllin Retard Mite 125 mg (F= 0.91) Rp 181.500,-/100
tab
- Tablet selaput Euphyllin Retard 250 mg (F=0.84) Rp 291.500,-/100 tab
MEC = 10-20 ug/mL
Cp max = 19 mg/L
Cp min = 11 mg/L
- Aturan pakai tablet Teofilin
𝐶𝑝 𝑚𝑎𝑥 1
= −𝑘τ
𝐶𝑝 𝑚𝑖𝑛 𝑒
18.5 𝑚𝑔/𝐿 1
= −0.0866.τ
11 𝑚𝑔/𝐿 𝑒

1.6818 x e-0,0866.τ = 1

e-0,0866.τ = 0.5946

-0.0866.τ = -0.52

τ = 6.0046 jam

Interval waktu yang didapat (6.0046 jam) kemudian disesuaikan


menjadi beberapa angka yang bisa digunakan untuk mengatur interval
waktu pemberian selama 24 jam yaitu 6 jam, 8 jam, dan 12 jam.

τ = 6 jam

𝐶𝑝 𝑚𝑎𝑥∞ 1
=
𝐶𝑝 𝑚𝑖𝑛 𝑒 −𝑘τ

𝐶𝑝 𝑚𝑎𝑥∞ 1
= −𝑘.6
11 𝑚𝑔/𝐿 𝑒

Cp max∞ = 18.4949 mg/L (masuk rentang MEC)

τ = 8 jam

𝐶𝑝 𝑚𝑎𝑥∞ 1
=
𝐶𝑝 𝑚𝑖𝑛 𝑒 −𝑘τ

21
𝐶𝑝 𝑚𝑎𝑥∞ 1
= −𝑘.8
11 𝑚𝑔/𝐿 𝑒

Cp max∞ = 21.9924 mg/L (tidak masuk rentang MEC)

τ = 12 jam

𝐶𝑝 𝑚𝑎𝑥∞ 1
= −𝑘τ
𝐶𝑝 𝑚𝑖𝑛 𝑒
𝐶𝑝 𝑚𝑎𝑥∞ 1
= −𝑘.12
11 𝑚𝑔/𝐿 𝑒

Cp max∞ = 31.0965 mg/L (tidak masuk rentang MEC)

Jadi, berdasarkan perhitungan di atas, maka waktu pemberian tablet teofilin


adalah setiap 6 jam, karena masih memenuhi rentang MEC (Cpmax =
18.4949 mg/L).

Perhitungan dosis menggunakan persamaan:

𝐹.𝐷𝑜 1
𝑥 = Cpmax
𝑉𝑑 1−𝑒 −𝑘.τ

Cp max = didapatkan dari perhitungan sebelumnya (18.4949 mg/L)


F = fraksi obat terabsorbsi (0.91 dan 0.84)
Vd = Volume distribusi (26.7453 L)
Do = Dosis (mg)
τ = interval waktu yang didapat dari perhitungan sebelumnya
(6 jam)
Pemilihan Dosis Tablet Teofilin yang ada di pasaran, yaitu:
- Tablet selaput Euphyllin Retard Mite 125 mg (F=0.91) Rp 181.500,-/100
tab
- Tablet selaput Euphyllin Retard 250 mg (F=0.84) Rp 291.500,-/100 tab
(MIMS ed 16, 2015)

Tablet selaput Euphyllin Retard Mite 125 mg (F=0.91)


𝐹.𝐷𝑜 1
Cp max = 𝑥
𝑉𝑑 1−𝑒 −𝑘.τ
0.91.𝐷𝑜 1
18.4949 mg/L = 26.7453 𝐿 𝑥 1−𝑒 −0.0866.6

22
Do = 220,2785 mg (setiap 6 jam)
Cek Cpmax, Cpmin, dan Cav tablet selaput Euphyllin Retard Mite 125 mg:
0.91.125 𝑚𝑔 1
- Cp max = 𝑥
26.7453 𝐿 1−𝑒 −0.0866.6

= 10.4952 mg/L (Memenuhi rentang MEC)


- Cp min = Cpmax x e-k.τ
= 10.4952 mg/L x e-0.0866.6
= 6.2502 mg/L (Tidak memenuhi rentang MEC)
𝐹.𝐷𝑜
- Cav = 𝑉𝑑 𝑥 𝑘 𝑥 τ
0.91 𝑥 125 𝑚𝑔
= 26.7453 𝐿 𝑥0.0866 𝑥 6

= 8.1853 mg/L (Tidak memenuhi rentang MEC)

Tablet selaput Euphyllin Retard 250 mg (F=0.84)


𝐹.𝐷𝑜 1
Cp max = 𝑥
𝑉𝑑 1−𝑒 −𝑘.τ
0.84.𝑥 𝐷𝑜 1
18.4949 mg/L = 26.7453 𝐿 𝑥 1−𝑒 −0.0866.6

Do = 238.635 mg (setiap 6 jam)


Cek Cpmax, Cpmin, dan Cav tablet selaput Euphyllin Retard Mite 125 mg:
0.84 𝑥 250 𝑚𝑔 1
- Cp max = 𝑥
26.7453 𝐿 1−𝑒 −0.0866.6

= 19.3757 mg/L (Memenuhi rentang MEC)


- Cp min = Cpmax x e-k.τ
= 19.3757 mg/L x e-0.0866.6
= 11.5239 mg/L (Memenuhi rentang MEC)

𝐹.𝐷𝑜
- Cav = 𝑉𝑑 𝑥 𝑘 𝑥 τ
0.84 𝑥 250 𝑚𝑔
= 26.7453 𝐿 𝑥0.0866 𝑥 6

= 15.1113 mg/L (Memenuhi rentang MEC)

F. Rekomendasi sediaan yang beredar di Indonesia


Pasien diberikan tablet selaput Euphyllin Retard dengan dosis 250 mg 4
kali sehari, karena pada perhitungan dosis 250 mg Cp max, Cpmin, dan Cav
memenuhi rentang MEC, yakni antara 10-20 mg/L. Jika MEC tidak tercapai,

23
maka efek terapi yang diharapkan juga tidak akan tercapai. Oleh karena itu,
dipilih tablet dengan dosis 250 mg yang diberikan dengan interval setiap 6 jam.

24
BAB IV
KESIMPULAN

1. Terdapat interaksi antara Teofilin dengan Simetidin dan antara Teofilin dengan
eritromisin yaitu karena simetidin dan eritromisin yang merupakan inhibitor
enzim CYP1A2 dan CYP3A4, sehingga pemakaian Teofilin harus selalu
dipantau.
2. Aminofilin injeksi yang harus diambil adalah 3 ampul (masing-masing 10 mL
= 30 mL), dilarutkan dalam infus NS 1000 mL, laju infus 43 tetes/menit, yang
diperkirakan akan habis dalam waktu 23.95 jam (mendekati 24 jam), dan jumlah
infusion bag yang dibutuhkan adalah 1 pasang, seharga Rp 22.650,-.
3. Loading dose diberikan secara iv bolus sebanyak 2 ampul Aminofilin.
4. Ketika pasien sudah keluar dari rumah sakit, diberikan tablet selaput Euphyllin
Retard 250 mg, dengan pemakaian 4 kali sehari.

25
DAFTAR PUSTAKA

Aslam M, Tan CK, Prayitno A, 2003, Farmasi Klinis, Elex Media Komputindo.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar.

Baxter K, 2008, Stockley’s Drug Interactions, 8th ed., Pharmaceutical Press, Great
Britain.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik , 2007, Pharmaceutical Care
Untuk Penyakit Asma, Bakti Husada, Indonesia.
Drug Information Handbook Ed. 24. 2016. American Pharmacist Association :
Lexicomp
Global Initiative for Asthma (GINA), 2017, Global Strategy for Asthma
Management and Prevention.
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, 2012, Basic & Clinical Pharmacology 12th
ed., McGraw Hill.
Lacy, Charles F, 2015, Drug Information Handbook, 24th ed, American Pharmacist
Association, Lexi-Comp, USA.
MIMS Indonesia, edisi 16, 2015, PT. Medidata Indonesia, Jakarta

Ortiz G. 2008. Asthma diagnosis and management: a review of the updated national
asthma education and pevention program treatment guidelines. Internet
Scientific Publications Jurnal : 6(2).

P. Fagerstrom O, L. Heintz, 1983, Absorption of sustained-release theophylline


tablet, Int J Clin Pharmacol Ther Toxicol. volume 21(7): p359-62

Rengganis I. 2008. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Majalah Kedokteran


Indonesia, 58(11): 444–451.

Rohrbaugh TM, Danish M, Raqni MC, et al, 1982, The Effect of Obesity on
Apparent Volume of Distribution of Theophylline, Pediatric Pharmacology,
2(1): 75-83.
Shargel L, Wu-Pong S, Yu ABC, 2012, Biofarmasetika & Farmakokinetika
Terapan, Edisi Kelima, Airlangga University Press, Surabaya.
Sweetman SC, 2014, Martindale: The Complete Drug Reference, 38th Edition,
Pharmaceutical Press, Grayslake.
WHO expert consultation. 2004, Appropriate body-mass index for Asian
populations and its implications for policy and intervention strategies. The
Lancet, (online), (http://www.who.int diakses tanggal 04 Maret 2018).

26
27
LAMPIRAN PERTANYAAN – JAWABAN
1. Tuliskan rumus dosis ganda iv dan ev! Apakah faktor yang mempengaruhi?
Jawaban:
Dosis ganda Intravaskular (IV)
 Dmaks – Dmin = D0
𝐷0
 Dmaks˜ = 1−𝑓
𝐹.𝐷0
 Dav˜ = 𝐾.𝜏
𝐷𝑚𝑎𝑘𝑠∞ 𝐶𝑝∞
 Cmaks˜ = =
𝑉𝑑 1−𝑒 −𝑘.𝜏
𝐷𝑚𝑖𝑛∞ 𝐶𝑝.𝑒 −𝑘.𝜏
 Cmin˜ = =
𝑉𝑑 1−𝑒 −𝑘.𝜏
𝐷𝑎∞ 𝐹.𝐷𝑜
 Cav˜ = =
𝑉𝑑 𝑉𝑑.𝑘.𝜏
𝐷 1
 =
𝐷𝑜 (1−𝑒 −𝑘𝑎.𝜏 )(1−𝑒 −𝑘.𝜏 )
𝐷𝑜 1
 𝐶𝑠𝑠 = ( )𝑒 −𝑘.𝜏
𝑉𝑑 1−𝑒 −𝑘.𝜏

Dosis Ganda Ekstravaskular (EV)


𝐹.𝑘𝑎.𝐷𝑜 1−𝑒 −𝑛.𝑘𝑎.𝜏 1−𝑒 −𝑛.𝑘.𝜏
 𝐶𝑝 = 𝑉𝑑 (𝑘−𝑘𝑎) [( 1−𝑒 −𝑘𝑎.𝜏 ) 𝑒 −𝑘𝑎.𝑡 − ( )𝑒 −𝑘.𝑡
1−𝑒 𝑘.𝜏
𝐷.𝐷𝑜 𝐹.𝐷𝑜
 𝐶𝐴𝑣∞ = = 𝐶𝑙𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙.𝜏
𝑉𝑑.𝑘.𝜏
𝐹.𝐷𝑜 1
 𝐶𝑚𝑎𝑘𝑠∞ = (1−𝑒 −𝑘.𝜏 )𝑒 −𝑘.𝑡
𝑉𝑑
𝐹.𝐷𝑜.𝐾𝑎 1
 𝐶𝑚𝑖𝑛∞ = 𝑉𝑑(𝐾𝑎−𝑘) (1−𝑒 −𝑘.𝜏 )𝑒 −𝑘.𝑡
2.3 𝑘𝑎
 𝑡𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑘𝑎−𝑘 𝑙𝑜𝑔 𝑘

Parameter utama atau faktor utama yang dapat mempengaruhi regimen dosis ganda,
yaitu:
1. Ukuran dosis obat, dan
2. Frekuensi pemberian obat (jarak waktu antar dosis) (Shargel, ed. V, hal: 185).

28
2. Apakah arti steady state?
Jawaban:
Steady state adalah kondisi dimana kadar obat dalam tubuh telah mencapai
kondisi tunak, kondisi ini terjadi di mana waktu obat untuk masuk ke dalam tubuh
sama dngan waktu obat saat keluar meninggalkan tubuh (waktu eliminasi obat),
sehingga nilai Cmaks˜ - Cmin˜adalah konstan (Shargel, hal: 109;187).

3. Kapan terjadi steady state? Apakah parameternya?


Jawaban:
 Steady state terjadi apabila kadar obat telah mencapai kondisi tunak dan laju
obat yang masuk (laju infus) ke dalam tubuh dinyatakan sama dengan laju
eliminasi obat keluar tubuh.
 Parameter yang digunakan adalah:
o Volume distribusi (Vd)
o Laju Infus (R)
o Tetapan laju eliminasi (k)
o Laju masuk – laju keluar = 0
𝑅
o = 𝑘. 𝐶𝑝
𝑉𝑑
𝑅 𝑅
𝐶𝑠𝑠 = =
𝑉𝑑. 𝑘 𝐶𝑙
Selama infusi IV, peningkatan konsntrasi obat dalam plasma diiringi
dengan peningkatan laju eliminasi obat, hal itu disebabkan laju eliminasi obat
dipengaruhi oleh konsentrasi obat dalam plasma (eliminasi obat = k.Cp).
Konsentrasi plasma akan terus meningkat hingga mencapai keadaan tunak
dimana laju infus = laju eliminasi obat. Sehingga dapat dikatakan bahwa steady
stateberkaitan dngan laju infus dan berbanding terbalik dengan kliren tubuh
(Shargel Ed. 5, Hal: 109).

4. Apakah yang dimaksud dengan accumulation factor? Jelaskan rumusnya!


Jawaban:
Accumulation factor adalah peningkatan kadar obat terakumulasi akibat
adanya pemberian dosis kedua yang lebih cepat dari waktu eliminasi obat secara

29
semurna. Faktor akumulasi menjelaskan berapa banyak obat yang terakumulasi
selama rejimen dosis ganda dan mengukur langsung konsentrasi mana yang
lebih tinggi selama interval pemberian dosis dalam steady state dibandingkan
dengan konsentrasi selama interval pemberian dosis pertama. Faktor akumulasi
dipengaruhi oleh waktu eliminasi obat (t1/2) dan interval waktu pemberian obat
(Shargel Ed. 5, hal: 187).

5. Bagaimana cara menghitung penggantian dosis infus menjadi dosis ganda ev?
Jelaskan perhitungannya!
Jawaban:
 Hitung τ dengan rumus:
Cp max 1
= −kτ
Cp min e
 Setelah mendapatkan τ hitung Cpmax dengan rumus :
𝐶𝑝𝑚𝑎𝑥 1
= −𝑘𝑥𝜏
𝐶𝑝𝑚𝑖𝑛 𝑒
 Hitung dosis dengan rumus:
F x Do 1
Cpmax = (1−e−k x τ)
Vd

6. Bagaimana rumus untuk menghitung pemberian infus sebelum dan setelah


steady state tercapai? Cantumkan gambarnya!
Jawaban:
Persamaan yang menerangkan kadar obat dalam darah sejak pemberian infuse
sebelum mencapai steady state
𝑅
Cp = 𝑉𝑑 𝑥 𝐾 (1 − 𝑒 −𝑘τ )

Persamaan yang menerangkan kadar obat dalam darah sejak pemberian infuse
setelah mencapai steady state
𝑅
Cp = 𝑉𝑑 𝑥 𝐾

30
7. Kadar plasma steady state (Cpss) seharusnya ditetapkan pada kadar MEC
berapa?
Jawaban:
R (teofilin) = Cpss x Vd x K
= 10 mg/L x 26,4105 L x 0,086625/jam
= 22,8715 mg/jam
Aminofilin mengandung 85% teofilin
100%
R (aminofilin) = x 22,8715 mg/jam
85%

= 26,9076 mg/jam
Ampul aminofilin yang dibutuhkan
= 26,9076 mg/jam x 24 jam
= 645,7824 mg : 240 mg/ampul
= 2,6908 ampul ∞ 3 ampul
Dilakukan pengecekan ulang
3 ampul = 3 x 240 mg/mL = 720 mg/30 mL
R (aminofilin) = 720 mg/hari : 24 jam
= 30 mg/jam
85 %
R (teofilin) = 100 % x 30 mg/jam

= 25,5 mg/jam
𝑅 (𝑡𝑒𝑜𝑓𝑖𝑙𝑖𝑛)
Cpss teofilin = 𝑉𝑑𝑥𝑘
25,5 𝑚𝑔/𝑗𝑎𝑚
= 26,4105 𝐿𝑥 0,0866/𝑗𝑎𝑚

= 11,1493 mg/L (memenuhi rentang MEC)

8. Bagaimana profil kadar obat dalam plasma, misal: 2 jam setelah infus distop?
Bagaimana rumusnya?
Jawaban :
k
Log Cp26 = log Cp24 – (2,303 . t)
0,0866
Log Cp26 = log 11,7647- ( 2,303 .2)

Log Cp26 = 0,995374604


Cp26 = 9,8941 mg/L

31
Keterangan:
Cp26 : Kadar obat dalam darah setelah 2 jam infus dihentikan (mg/L)
Cp24 : Kadar obat dalam darah saat 24 jam pemberian infus (11,7647
mg/L)
k : Tetapan laju ekresi (0,0866/jam)
t : waktu infus dihentikan (jam)

9. Apakah pengertian dari loading dose? Apa tujuan diberikan loading dose?
Jawaban :

Loading Dose atau Dosis Muatan, DL atau dosis bolus awal dari suatu
obat digunakan untuk memperoleh konsentrasi tunak secepat mungkin.
Rumus : DL = CSSVD, dari persamaan CssVD = R/k.
𝑅
Oleh karena itu  DL = 𝑘

Keterangan :
R : Laju Infusi
K : Tetapan laju eliminasi (order kesatu)
Css : Konsentrasi obat keadaan tunak
VD : Volume Distribusi
(Shargel, dkk., 2012, Biofarmasetika & Farmakokinetika Edisi Kelima, p 115)

10. Apakah faktor yang menyebabkan perubahan obat dalam plasma pada
pemberian infus?
Jawaban :

Selama infus IV, konsentrasi obat dalam plasma meningkat dan laju
eliminasi obat meningkat oleh karena laju eliminasi bergantung konsentrasi
(yakni, laju eliminasi obat = kCp). Cp tetap meningkat sampai keadaan tunak
dicapai. Konsentrasi obat plasma tunak (Css) berkaitan dengan laju infus dan
berbanding terbalik dengan klirens obat.
(Shargel, dkk., 2012, Biofarmasetika & Farmakokinetika Edisi Kelima, p 109)

32
11. Bagaimanakah konsekuensinya terhadap kadar obat dalam plasma (Cp) dan
waktu mencapai steady state (tss) jika:
A. LD terlalu tinggi?
B. LD sesuai?
C. LD terlalu rendah?
Jawaban:
a. Jika dosis muatan terlalu tinggi atau lebih dari R/k, konsentrasi obat dalam
plasma akan naik dengan cepat, maka waktu yang diperlukan untuk
menurunkan konsentrasi obat dalam plasma ke kadar tunak obat yang
diinginkan lebih panjang.
b. Jika dosis muatan yang diberikan sesuai dengan R/k maka kadar obat
dalam plasma tunak akan dicapai dan dipertahankan dengan cepat.
c. Jika dosis muatan terlalu rendah atau lebih kecil dari R/k, konsentrasi obat
dalam plasma akan naik secara lambat ke kadar tunak obat, tetapi lebih
cepat daripada tanpa dosis muatan.
(Shargel, dkk., 2012, Biofarmasetika & Farmakokinetika Edisi Kelima, p 116-117)

12. Apakah tss dipengaruhi oleh laju infus atau dosis obat? Jelaskan!
Jawaban :
Waktu untuk mecapai konsentrasi keadaan tunak (tss) tidak dipengaruhi
oleh dosis maupun laju infus, melainkan bergantung pada tetapan laju eliminasi
obat untuk volume distribusi yang konstan. Konsentrasi obat plasma tunak
(Css) berkaitan dengan laju infusi sehingga perubahan pada laju infus akan
mempengaruhi Css menjadi lebih besar atau lebih kecil. tss dipengaruhi oleh
waktu paruh (t1/2) obat yaitu obat akan terlihat aktivitasnya apabila tercapai 90%
Css, 95% Css, atau 99% Css.
90% Css = 3.32 x t1/2
95% Css = 4.32 x t1/2
99% Css = 6.65 x t1/2
(Shargel, dkk., 2012, Biofarmasetika & Farmakokinetika Edisi Kelima, p 109-
110)

33
13. Apakah pengertian intermittent infusion? Kapan digunakan?
Jawaban :
Infus iv intermitten merupakan suatu metode infusi obat iv yang
berurutan dimana obat diberikan dengan infusi IV untuk suatu jangka waktu
yang pendek yang diikuti oleh suatu periode eliminasi obat. Kemudian diikuti
oleh infusi iv pendek yang lain.
Pada aturan obat dengan infusi iv pendek, obat tidak dapat mencapai
keadaan tunak. Rasionalisasi untuk infuse iv intermitten adalah untuk mencegah
konsentrasi obat yang tinggi sementara dan berkaitan dengan efek samping.

14. Jika suatu obat memiliki post antibiotic effect (PAE), kapan pemberian
infus berselang intermittent infusion selanjutnya? Jelaskan!
Jawaban :
Post antibiotic effect (PAE) merupakan kondisi waktu tertentu
penekanan pertumbuhan bakteri setelah paparan singkat terhadap antibakteri
(dalam kondisi kadar antibiotika dalam plasma telah melewati batas bawah
MEC). Pemberian dosis intermitten berikutnya adalah pada saat bakteri sudah
mulai bertumbuh lagi atau 10 jam kemudian setelah pemberian infus selama 2
jam.

15. Apakah jenis interaksi obat dengan obat? Jelaskan prinsipnya!


Jawaban :
a. Interaksi Farmasetik (inkompaktibilitas)
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat
langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya
presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya
menyebabkan obat menjadi tidak aktif. Contoh: interaksi karbenisilin
dengan gentamisin terjadi inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrosa 5%
terjadi presipitasi; amfoterisin B dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi
presipitasi.
b. Interaksi Farmakokinetik

34
Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun
menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat secara farmakokinetik yang
terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk
obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena
adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat
farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi farmakokinetik oleh
simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin,
aztemizole tidak dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya.
1. Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal
dapat terjadi melalui beberapa cara:
(1) secara langsung, sebelum absorpsi
Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsorpsi
contohnya adalah interaksi antibiotika (tetrasiklin, fluorokuinolon)
dengan besi (Fe) dan antasida yang mengandung Al, Ca, Mg,
terbentuk senyawa chelate yang tidak larut sehingga obat antibiotika
tidak diabsorpsi. Obat-obat seperti digoksin, siklosporin, asam
valproat menjadi inaktif jika diberikan bersama adsorben (kaolin,
charcoal) atau anionic exchange resins (kolestiramin, kolestipol).
(2) terjadi perubahan pH cairan gastrointestinal
Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya
peningkatan pH karena adanya antasida, penghambat-H2, ataupun
penghambat pompa-proton akan menurunkan absorpsi basa-basa
lemah (misal, ketokonazol, itrakonazol) dan akan meningkatkan
absorpsi obat-obat asam lemah (misal, glibenklamid, glipizid,
tolbutamid). Peningkatan pH cairan gastrointestinal akan
menurunkan absorpsi antibiotika golongan selafosporin seperti
sefuroksim aksetil dan sefpodoksim proksetil.
(3) penghambatan transport aktif gastrointestinal
Pemberian digoksin bersama inhibitor transporter efflux pump
Pglikoprotein (a.l. ketokonazol, amiodarone, quinidin) akan
meningkatkan kadar plasma digoksin sebesar 60-80% dan

35
menyebabkan intoksikasi (blokade jantung derajat-3), menurunkan
ekskresinya lewat empedu, dan menurunkan sekresinya oleh sel-sel
tubulus ginjal proksimal.
2. Mekanisme yang terjadi pada proses distribusi
Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena
pergeseran ikatan protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses
distribusi akan bermakna klinik jika:
(1) obat indeks memiliki ikatan protein sebesar > 85%, volume
distribusi (Vd) obat < 0,15 I/kg dan memiliki batas keamanan sempit
(2) obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat ikatan
(finding site) yang sama dengan obat indeks, serta kadarnya cukup tinggi
untuk menempati dan menjenuhkan binding-site nya. Contohnya,
fenilbutazon dapat menggeser warfarin (ikatan protein 99%; Vd = 0,14
I/kg) dan tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd = 0,12 I/kg) sehingga
kadar plasma warfarin dan tolbutamid bebas meningkat. Selain itu,
fenilbutazon juga menghambat metabolisme warfarin dan tolbutamid.
3. Interaksi yang terjadi pada proses ekskresi obat.
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui
empedu dan pada sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan
karena terjadinya perubahan pH urin. Gangguan dalam ekskresi melalui
empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk
sistem transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan ekskresi
empedu digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu rifampisin.
Obat-obat tersebut memiliki sistem transporter protein yang sama, yaitu
Pglikoprotein. Obat-obat yang menghambat Pglikoprotein di intestin
akan meningkatkan bioavailabilitas substrat P-glikoprotein, sedangkan
hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat menurunkan ekskresi ginjal
substrat. Contoh, itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein di ginjal,
akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-glikoprotein) jika
diberikan bersama-sama, sehingga kadar plasma digoksin akan
meningkat.

36
Sirkulasi enterohepatik dapat diputuskan atau diganggu dengan
mengikat obat yang dibebaskan atau dengan mensupresi flora usus yang
menghidrolisis konjugat obat, sehingga obat tidak dapat direabsorpsi.
Contoh: kolestiramin suatu binding agents, akan mengikat parent drug
(misalnya warfarin, digoksin) sehingga reabsorpsinya terhambat dan
klirens meningkat. Antibiotik berspektrum luas (misalnya rifampisin,
neomisin) yang mensupresi flora usus dapat mengganggu sirkulasi
enterohepatik metabolit konjugat obat (misalnya kontrasepsi
oral/hormonal) sehingga konjugat tidak dapat dihidrolisis dan
reabsorpsinya terhambat dan berakibat efek kontrasepsi menurun.
Penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi
antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama,
terutama sistem transport untuk obat bersifat asam dan metabolit yang
juga bersifat asam. Contoh: fenilbutazon dan indometasin menghambat
sekresi ke tubuli ginjal obat-obat diuretik tiazid dan furosemid, sehingga
efek diuretiknya menurun; salisilat menghambat sekresi probenesid ke
tubuli ginjal sehingga efek probenesid sebagai urikosurik menurun.
Perubahan pH urin akibat interaksi obat akan menghasilkan perubahan
klirens ginjal melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif ditubuli ginjal.
Interaksi ini akan bermakna klinik jika:
(1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%)
(2) obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah
dengan pKa 3,0 - 7,5. Beberapa contoh antara lain: obat bersifat basa
lemah (amfetamin, efedrin, fenfluramin, kuinidin) dengan obat yang
mengasamkan urin (NH4C1)) menyebabkan klirens ginjal obat-obat
pertama meningkat sehingga efeknya menurun; obat-obat bersifat asam
(salisilat, fenobarbital) dengan obat-obat yang membasakan urin seperti
antasida (mengandung NaHCO3, A1(OH)3, Mg(OH)2), akan
meningkatkan klirens obat-obat pertama, sehingga efeknya menurun.
c. Interaksi Farmakodinamik
adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja
atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif,

37
sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun
profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang
berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek
farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi
farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya
jika diketahui mekanisme kerja obat.
Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya:
interaksi antara β-bloker dengan agonis-p2 pada penderita asma; interaksi
antara penghambat reseptor dopamin (haloperidol, metoclo-pramid) dengan
levodopa pada pasien parkinson.
Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologik serta dampaknya antara
lain sebagai berikut:
1. interaksi antara aminogliko-sida dengan furosemid akan meningkatkan
risiko ototoksik dan nefrotoksik dari aminoglikosida;
2. β-bloker dengan verapamil menimbulkan gagal jantung, blok AV, dan
bradikardi berat;
3. benzodiazepin dengan etanol meningkatkan depresi susunan saraf pusat
(SSP);
4. kombinasi obat-obat trombolitik, antikoagulan dan anti platelet
menyebabkan perdarahan.
5. Penggunaan diuretik kuat (misal furosemid) yang menyebabkan
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit seperti hipokalemia,
dapat meningkatkan toksisitas digitalis jika diberikan bersama-sama.
6. Pemberian furosemid bersama relaksan otot (misal, d-tubokurarin)
menyebabkan paralisis berkepanjangan. Sebaliknya, penggunaan
diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorid) bersama dengan
penghambat ACE (kaptopril) menyebabkan hiperkalemia.
7. Kombinasi antihipertensi dengan obat-obat anti inflamasi nonsteroid
(NSAID) yang menyebabkan retensi garam dan air, terutama pada
penggunaan jangka lama, dapat menurunkan efek antihipertensi.

38
d. Interaksi Obat yang dikehendaki
Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk
meningkatkan atau mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu
sehingga diperoleh efek terapetik yang diharapkan. Selain itu, penambahan
obat lain diharapkan dapat mengantisipasi atau mengantagonis efek obat
yang berlebihan. Penambahan obat lain dalam bentuk kombinasi (tetap
ataupun tidak tetap) kadang-kadang disebut pharmacoenhancement, juga
sengaja dilakukan untuk mencegah perkembangan resistensi, meningkatkan
kepatuhan, dan menurunkan biaya terapi karena mengurangi regimen dosis
obat yang harus diberikan.
Kombinasi suatu anti aritmia yang memiliki waktu paruh singkat
misalnya prokainamid, dengan simetidin dapat mengubah parameter
farmakokinetik prokainamid. Simetidin akan memperpanjang waktu paruh
prokainamid dan memperlambat eliminasinya. Dengan demikian frekuensi
pemberian dosis prokainamid sebagai anti aritmia dapat dikurangi dari
setiap 4-6 jam menjadi setiap 8 jam/hari, sehingga kepatuhan dapat
ditingkatkan.
Dalam regimen pengobatan HIV, diperlukan kombinasi obat-obat
penghambat protease untuk terapi HIV dengan tujuan mengubah profil
farmakokinetik obat-obat tersebut. Misalnya, penghambat protease
lopinavir jika diberikan tunggal menunjukkan bioavailabilitas rendah
sehingga tidak dapat mencapai kadar plasma yang memadai sebagai
antivirus. Dengan mengombinasikan lopinavir dengan ritonavir dosis
rendah, maka bioavailabilitas lopinavir akan meningkat dan obat mampu
menunjukkan efikasi sebagai antiviral. Ritonavir dosis rendah tidak
memiliki efek antiviral namun cukup adekuat untuk menghambat
metabolisme lopinavir oleh CYP3A4 di usus dan hati.
Kombinasi obat-obat anti malaria dengan mula kerja cepat tetapi
waktu paruhnya singkat (misal, artemisinin) dengan obat anti malaria lain
yang memiliki waktu paruh lebih panjang, akan meningkatkan efktivitas
obat anti malaria tersebut dan mengurangi relaps. Kombinasi obat-obat anti
tuberkulosis diharapkan akan memperlambat terjadinya resistensi.

39
e. Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs)
Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi klinis
jika:
(1) obat indeks memiliki batas keamanan sempit
(2) mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam
(3) dampak ADIs bersifat serius atau berpotensi fatal dan mengancam
kehidupan
(4) indeks dan obat presipitan lazim digunakan dalam praktek klinik secara
bersamaan dalam kombinasi
Banyak faktor berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna
secara klinik, antara lain faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan
penggunaan obat-obat preskripsi bersama-sama beberapa obat-obat OTC
sekaligus. Usia lanjut lebih rentan mengalami interaksi obat. Pada penderita
diabetes melitus usia lanjut yang disertai menurunnya fungsi ginjal,
pemberian penghambat ACE (misal: kaptopril) bersama diuretik hemat
kalium (misal: spironolakton, amilorid, triamteren) menyebabkan terjadinya
hiperkalemia yang mengancam kehidupan.
Beberapa penyakit seperti penyakit hati kronik dan kongesti hati
menyebabkan penghambatan metabolisme obat-obat tertentu yang
dimetabolisme di hati (misalnya simetidin) sehingga toksisitasnya dapat
meningkat. Pemberian relaksan otot bersama aminoglikosida pada penderita
miopati, hipokalemia, atau disfungsi ginjal, dapat menyebabkan efek
relaksan otot meningkat dan kelemahan otot meningkat.
Polimorfisme adalah salah satu faktor genetik yang berperan dalam
interaksi obat. Pemberian fenitoin bersama INH pada kelompok
polimorfisme asetilator lambat dapat menyebabkan toksisitas fenitoin
meningkat.

16. Bagaimana mekanisme interaksi obat pada fase metabolisme?


Jawaban :
Mekanisme interaksi dapat berupa :

40
(1) penghambatan (inhibisi) metabolisme
(2) induksi metabolism
(3) perubahan aliran darah hepatik.
Hambatan ataupun induksi enzim pada proses metabolisme obat terutama
berlaku terhadap obat-obat atau zat-zat yang merupakan substrat enzim
mikrosom hati sitokrom P450 (CYP). Beberapa isoenzim CYP yang penting
dalam metabolisme obat, antara lain:
a. CYP2D6 yang dikenal juga sebagai debrisoquin hidroksilase dan
merupakan isoenzim CYP pertama yang diketahui, aktivitasnya dihambat
oleh obat-obat seperti kuinidin, paroxetine, terbinafine
b. CYP3A yang memetabolisme lebih dari 50% obat-obat yang banyak
digunakan dan terdapat selain di hati juga di usus halus dan ginjal, antara
lain dihambat oleh ketokonazol, itrakonazol, eritromisin, klaritromisin,
diltiazem, nefazodon
c. CYP1A2 merupakan ezim pemetabolis penting di hati untuk teofilin, kofein,
klozapin dan R-warfarin, dihambat oleh obat-obat seperti siprofloksasin,f
luvoksamin.
Interaksi inhibitor CYP dengan substratnya akan menyebabkan peningkatan
kadar plasma atau peningkatan bioavailabilitas sehingga memungkinkan aktivitas
substrat meningkat sampai terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki.
Berikut ini adalah contoh-contoh interaksi yang melibatkan inhibitor CYP
dengan substratnya:
(1) Interaksi terfenadin, astemizol, cisapride (substrat CYP3A4/5) dengan
ketokonazol, itrakonazol, etitromisin, atau klaritromisin (inhibitor poten
CYP3A4/5) akan meningkatkan kadar substrat, yang menyebabkan toksisitas
berupa perpanjangan interval QT yang berakibat terjadinya aritmia ventrikel
(torsades de pointes) yang fatal (cardiac infarct)
(2) Interaksi triazolam, midazolam (substrat) dengan ketokonazol, eritromisin
(inhibitor) akan meningkatkan kadar substrat, meningkatkan bioavailabilitas
(AUC) sebesar 12 kali, yang berakibat efek sedasi obat-obat sedatif di atas
meningkat dengan jelas.

41
Induktor atau zat yang menginduksi enzim pemetabolis (CYP) akan
meningkatkan sistensis enzim tersebut. Interaksi induktor CYP dengan substratnya
menyebabkan laju kecepatan metabolisme obat (substrat) meningkat sehingga
kadarnya menurun dan efikasi obat akan menurun, atau sebaliknya, induksi CYP
menyebabkan meningkatnya pembentukan metabolit yang bersifat reaktif sehingga
memungkinkan timbulnya risiko toksik.
Berikut adalah contoh- contoh interaksi yang melibatkan induktor CYP dengan
substratnya:
(1) Kontraseptik oral (hormon estradiol) dengan adanya induktor enzim seperti
rifampisin, deksametason, menyebabkan kadar estradiol menurun sehingga
efikasi kontraseptik oral menurun
(2) Asetaminofen (parasetamol) yang merupakan substrat CYP2E1, dengan adanya
induktor enzim seperti etanol, ENH, fenobarbital yang diberikan secara terus
menerus (kronik), menyebabkan peningkatan metabolisme asetaminofen
menjadi metabolit reaktif sehingga meningkatkan risiko terjadinya
hepatotoksisitas.
(3) Teofilin (substrat CYP1A2) pada perokok (hidrokarbon polisiklik aromatik
pada asap rokok adalah induktor CYP1A2), atau jika diberikan bersama
karbamazepin (induktor), akan meningkatkan metabolisme teofilin sehingga
diperlukan dosis teofilin lebih tinggi. Tetapi jika pemberian karbamazepin
dihentikan sementara dosis teofilin tidak diubah, dapat terjadi intoksikasi
teofilin yang berat.

17. Jelaskan contoh interaksi obat secara induksi dan inhibisi enzim liver!
Apakah dampak klinisnya ?
Carbamazepine memiliki sifat autoinduksi yang artinya carbamazepine
secara otomatis atau dengan sendirinya akan menginduksi enzim yang
digunakan untuk memetabolisme dirinya. Enzim yang diinduksi oleh
carbamazepine adalah sitokrom P450 CYP3A4. Induksi enzim akan
meningkatkan kecepatan biotransformasi dari obat yang dimetabolisme yang
berpengaruh pada laju eliminasi obat yang semakin meningkat. Carbamazepine
dimetabolisme di hati, khususnya oleh enzim sitokrom P450 dengan

42
isoenzimnya adalah CYP3A4 dan CYP2C8. Carbamazepine dimetabolisme
oleh CYP3A4 dan CYP2C8 menghasilkan metabolit aktif 10,11-
epoksikarbamazepin, disini yang paling banyak berperan adalah CYP3A4,
CYP2C8 hanya berfungsi untuk mempercepat kerja dari CYP3A4 untuk
mengubah carbamazepine menjadi 10,11-epoksikarbamazepin (Pearce et al.
2008). Selanjutnya diubah menjadi 10,11-dihidroksikarbamazepin yang tidak
aktif oleh enzim epoksihidrolase untuk selanjutnya diekskresikan ke dalam urin
dalam bentuk bebas dan konjugatnya.
Ketokonazol dan ranitidine meningkatkan AUC saquinavir melalui
penghambatan enzim sitokrom P-450 sehingga bioavailabilitas saquinavir
meningkat.

18. Apakah parameter metabolisme/Biotransformasi?


Km = Tetapan metabolisme

19. Bagaimanakah mekanisme interaksi obat terkait pelepasan ikatan obat


protein ?
Pada umumnya obat terikat protein bertindak sebagai molekul besar yang tidak
dapat berdifusi dengan mudah melalui membran kapiler glomeruli. Interaksi obat
dapat mempengaruhi ikatan obat protein dengan adanya pengaruh pendesakan atau
kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma. Kondisi ini mengakibatkan
peningkatan kadar obat bebas salah satu obat dan bila kadar tersebut melebihi MTC
maka akan terjadi toksisitas, sehingga perlu penyesuaian dosis. Contohnya adalah
interaksi obat yang terjadi pada warfarin dan fenilbutazon yang berkompetisi untuk
site ikatan protein yang sama, kompetisi ini menyebabkan ikatan antara warfarin
dan protein tersedak oleh fenilbutazon, sehingga kadar obat bebas warfarin
meningkat dan menyebabkan efek pendarahan.
(Shargel et al, 2012)

43
20. Jelaskan contoh interaksi obat pada fase ekskresi, pada pasien dengan
eliminasi normal, apa dampak klinisnya?
Interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui empedu dan pada
sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal dan terjadinya perubahan pH urin.
Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan
metabolit obat untuk system transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan
menurunkan eksresi empedu digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu
rifampisin. Obat-obat tersebut memiliki system transporer protein yang sama, yaitu
P-glikoprotein. Obat-obat yang menghambat P-glikoprotein di intestine akan
meningkatkan substrat P-glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein di ginjal
dapat menurunkan ekskresi ginjal substrat. Contoh itrakonazol, suatu inhibitor P-
glikoprotein di ginjal, akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-
glikoprotein) jika diberikan bersama-sama, sehingga kadar plasma digoksin akan
meningkat.
Sikulasi enterohepatik dapat diputuskan atau diganggu dengan mengikat
obat yang dibebaskan atau dengan mensupresi flora usus yang menghidrolisis
konjugat obat, sehingga obat tidak dapat direabsorbsi. Contoh : kolestiramin (suatu
binding agents) akan mengikat parent drug (misalnya warfarin , digoksin) sehingga
reabsorbsinya terhambat dan klirens meningkat. Contoh lain antibiotic berspektrum
luas (misalnya rifampisin, neomisin) yang mensupresi flora usus dapat
mengganggu sirkulasi enterohepatik metabolit konjugat obat (misalnya kontrasepsi
oral/hormonal) sehingga konjugat tidak dapat dihidrolisis dan reabsorbsinya
terhambat dan berakibat efek kontrasepsi menurun.
Pada penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara
obat dan metabolit obat untuk system transport yang smaa, terutama system
transport untuk obat yang bersifat asam dan metabolit yang juga bersifat asam.
Contoh : fenilbutazon dan indometasin menghambat sekresi ke tubuli ginjal obat-
obat diuretic tiazid dan furosemid, sehingga efek diuretiknya menurun; salisilat
mengahambat sekresi probenesid ke tubulii ginjal sehingga efek probenesid sebagai
urikosurik menurun.
Perubahan pH urin akibat interaksi obat akan mengahasilkan perubahan
klirens ginjal melalui perubahan jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal. Interaksi

44
ini akan bermakna klinik jika : fraksi obat yang dieksresi utuh oleh ginjal cukup
besar (>30%), dan obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah
dengan pKa 30-7,5. Contoh obat basa bersifat basa lemah (efedrin, qamfetamin,
kuinidin) dengan obat yang mengasamkan urin (NH4Cl) menyebabkan klirens
ginjal obat-obat pertama mingkat sehingga efeknya menurun; obat bersifat asam
(salisilat, fenobarbital) dengan obat-obat yang membasakan urin seperti antasida
(mengandung NaHCO3, Al(OH)3, Mg(OH)2) akan meningkatkan klirens obat-obat
pertama, sehingga efeknya menurun.

21 Bagaimana mengaplikasikan ilmu farmakokinetik untuk penatalaksanaan


interaksi obat pada pasien dengan eliminasi normal?
Interaksi farmakokinetik sering dianggap sebagai dasar pengetahuan
terhadap masing-masing obat dan diidentifikasi dengan mengontrol manifestasi
klinis pasien serta perubahan konsentrasi obat di dalam plasma (Paolo, 2013).
Aplikasi farmakokinetik terhadap tata laksana interaksi obat pada pasien
dengan eliminasi normal dapat dilakukan dengan memberi jarak yang cukup jauh
pada pemberian obat yang berinteraksi. Penyesuaian dosis juga dapat dilakukan
dengan berdasar pertimbangan farmakokinetik dan terapetik dari obat-obatan yang
beriteraksi (Shargel, 2005).
Secara umum, jika respons terapi dapat diprediksi dari konsentrasi obat dalam
plasma, pendosisan pada interval reguler dapat didasarkan pada persamaan
konsentrasi keadaan tunak seperti persamaan(Shargel, 2005)


𝐹𝐷0
𝐶𝑎𝑣 =
𝑘𝑉𝑑 𝜏

Bila waktu paruh eliminasi berubah karena interaksi obat, interval


pendosisan dapat diperpanjang atau dosis dikurangi sesuai dengan persamaan
(Shargel, 2005)


1,44𝐷0 𝑡1/2 𝐹
𝐶𝑎𝑣 =
𝑉𝑑 𝜏

45
46

Anda mungkin juga menyukai