Anda di halaman 1dari 44

Assalamu’alaikum Wr.

wb
KELOMPOK 10

Fahadz Nur Amidan


Faridathul Choiriyah
Neng Rani
Siti Fauziah
Yudi Wardiman
ASMA
Apa itu Asma ?
ASMA
Asma  gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya.

Adanya inflamasi  menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan


napas  sehingga timbul gejala episodik berulang (mengi, sesak
napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan dini
hari).
Bagaimana Asma di Dunia saat ini ?
Bagaimana Asma di Indonesia ?
Prevalensi Asma di Indonesia Tahun 2013
Sumber : Riskesdas 2013, BaLitbangkes Kemenkes RI
Prevalensi Asma Berdasarkan Umur di Indonesia Tahun 2013
Sumber : Riskesdas 2013, BaLitbangkes Kemenkes RI
Faktor Risiko Asma
Lanjutan...

Sumber : PDPI, 2003


Patofisiologi

Sumber : PDPI, 2003


Sumber : GINA (Global Initiative for Astma), 2016
Sumber : GINA (Global Initiative for Astma), 2016
Sumber : GINA (Global Initiative for Astma), 2016
Komplikasi
• Pneumothorax
• Atelektasis
• Gagal Napas
• Bronkitis
• Fraktur Iga
• Status asmatikus
• Hipoksemia
Gejala Klinis
• Kepekaan selaput lendir bronkus, hiperreaktif otot
bronkus, peningkatan produksi mukus, spasme otot
polos dan penyempitan jalan napas.

• Gejala asma yang utama yaitu batuk, mengi


(wheezing), pernapasan pendek, dan sesak dada.

• Pada serangan asma lebih berat, gejala tambah banyak:


silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi
dada, takhikardi, pernapasan cepat dan dangkal.
DIAGNOSA
1. Anamnesis yang baik : mengenai gejala yang
dirasakan
2. Pemeriksaan fisik : napas menjadi cepat dan dangkal
dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada
(pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi
terdengar mengi, karena pasien sudah lelah untuk
bernapas).
3. Pengukuran faal paru
4. Pemeriksaan lain : uji provokasi bronkus, pengukuran
status alergi
Pemeriksaan Faal Paru

Spirometri :
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasitas vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi
paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat
bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.

Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari


2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Peak Expiratory Flow Meter :
yang diukur adalah arus puncak ekspirasi (APE) yang dinyatakan dalam
L/menit. Caranya meteran di posisikan ke 0, kemudian pasien menghirup
napas dalam, kemudian instruksika untuk menghembuskan napas dengan
sangat keras kedalam mulut PEF meter.

Parameter : Terjadi sumbatan jalan napas : jika nilai APE < 80% nilai prediksi.

Variabilitas tergantung pengukurannya apakah di pagi hari atau malam hari.


Pagi hari untuk mendapat nilai terendah dan malam hari untuk mendapat nilai
tertinggi. Nilai normal Variabilitas < 20%
Rumus :
Variabilitas harian = APE malam – APE pagi x 100%
½ (APE malam + APE pagi

Sumber : (Pharmaceutical care, 2007 dan PDPI, 2003)


Klasifikasi Derajat Berat Asma

Sumber : PDPI, 2003


Penatalaksanaan Terapi Asma
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru
seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk
exercise
5. Menghindari efek samping obat
Penatalaksanaan asma juga berguna untuk mengontrol
penyakit.

Asma dikatakan terkontrol bila :


1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala
malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal
(idealnya tidak diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Terapi Non Farmakologi
 Edukasi
 Latihan pernapasan
 Olahraga dan latihan fisik teratur
 Menghindari pemicu alergi
 Berhenti merokok
 Diet
Terapi Farmakologi
Ditujukan untuk mengatasi dan mencegah
gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas
pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah terapi farmakologi jangka panjang, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol.

Pengontrol sering disebut pencegah, dimana yang termasuk obat


pengontrol :
• Kortikosteroid inhalasi
• Kortikosteroid sistemik
• Sodium kromoglikat
• Nedokromil sodium
• Metilxantin
• Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
• Agonis beta-2 kerja lama, oral
• Leukotrien modifiers
• Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
• Lain-lain
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada
dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.

Yang termasuk pelega adalah :


• Agonis beta2 kerja singkat
• Kortikosteroid sistemik. (digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi
hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan
dengan bronkodilator lain).
• Antikolinergik
• Aminofillin
• Adrenalin
Pengobatan berdasarkan derajat berat asma
Sumber : PDPI, 2003
Penatalaksanaan serangan akut
Terapi Asma Pada Kondisi Khusus
Sumber : PDPI, 2003

 Kehamilan
Pada umumnya semua obat asma dapat dipakai
saat kehamilan kecuali komponen α adrenergik,
bromfeniramin dan epinefrin. Kortikosteroid
inhalasi sangat bermanfaat untuk mengontrol
asma dan mencegah serangan akut terutama
saat kehamilan (bukti B).
Bila terjadi serangan, harus segera ditanggulangi
secara agresif yaitu pemberian inhalasi agonis
beta-2, oksigen dan kortikosteroid sistemik.
 Pembedahan
Bila didapatkan VEP1 < 80% nilai terbaik/prediksi, maka
pemberian kortikosteroid akan mengurangi obstruksi
jalan napas (bukti C).

Pada penderita yang mendapat kortikosteroid sistemik


dalam 6 bulan terakhir, sebaiknya diberikan
kortikosteroid sistemik selama operasi yaitu
hidrokortison IV 100 mg atau ekivalennya setiap 8 jam
dan segera diturunkan dalam 24 jam pembedahan.

Harus diperhatikan pemberian kortikosteroid jangka


lama dapat menghambat penyembuhan luka (bukti C).
 Asma dengan Rinitis : Obat-obat antiinflamasi
seperti kortikosteroid, kromolin, antileukotrien
dan antikolinergik efektif untuk kedua penyakit,
sedangkan agonis alfa lebih efektif untuk rinitis
dan agonis beta lebih efektif untuk asma.
 Asma dengan sinusitis : Sinusitis akut dan kronik
dapat mencetuskan asma. Pemberian antibiotik
dapat mengurangi gejala untuk beberapa waktu.
Pemberian antibiotik minimal 10 hari.
Pengobatan juga meliputi pemberian obat
dekongestan atau steroid topikal.
INTERAKSI OBAT
Obat golongan agonis β2 dan teofilin
kontraindikasi dengan obat golongan β -blocker
non selektif.
STUDI KASUS
Ny. AB seorang ibu 57 tahun, tinggi 150 cm dan berat badan
48 kg. Riwayat pengobatan yang digunakan Ny. AB selama
ini adalah asetaminofen 500 mg bila mengalami sakit kepala
dan diresepkan dexamethason 0,5 mg tablet dan
salbutamol 2 mg tablet (masing-masing 3x sehari) sejak
frekuensi sesak napasnya meningkat. Kombinasi terapi anti
asma ini mulai dikonsumsi sejak 4 bulan yang lalu hingga
saat ini. Sebelumnya, Ny. AB sejak kecil didiagnosa
mengidap asma dan saat remaja bila serangan sesak napas
menyerang Ny. AB mengkonsumsi aminofilin tablet dengan
dosis dan frekuensi sesuai.
Penyelesaian Kasus
 Ny. AB umur 57 tahun
 didiagnosa asma sejak kecil
 Riwayat pengobatan :
Pada saat remaja jika terjadi serangan digunakan
aminofilin tablet (dengan dosis dan frekuensi yg sesuai),
Asetaminofen 500 mg bila mengalami sakit kepala,
4 bulan terakhir konsumsi kombinasi deksametason 0,5 mg
dan salbutamol 2 mg (masing-masing digunakan 3x
sehari).
• Saat serangan digunakan aminofilin tablet
• Disebutkan dalam (PDPI,2003) bahwa “Aminofilin termasuk golongan xantin yang
termasuk pula dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama
daripada agonis beta-2 kerja singkat (bukti A)”.
• Artinya disini pemberian aminofilin tablet sebagai pelega pada kasus pada saat
pasien terjadi serangan kurang tepat.
• Alasan pertama : aminofilin bukan obat pilihan utama pada saat terjadi serangan.
• Alasan kedua : sediaannya yg dalam bentuk tablet tidak tepat karena onset kerja
lama sedangkan pada kasus serangan dibutuhkan onset kerja yang cepat, dimana
dalam (PDPI, 2003) disebutkan aminofilin dapat dipertimbangkan untuk digunakan
yaitu aminofilin yang kerja singkat, tetapi disini aminofilinnya yg onset kerjanya
lama.
• Sehingga lebih tepat pada saat terjadi serangan digunakan agonis β2 kerja singkat
seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol yang merupakan terapi pilihan pada
serangan akut (bukti A). Disebutkan pula dalam (PDPI, 2003 dan GINA, 2016) yaitu
menggunakan formoterol (walaupun termasuk agonis β2 kerja lama tetapi
mempunyai onset kerja cepat dengan durasi lama). Pemberiannya secara inhalasi.
• Asetaminofen 500 mg bila sakit kepala
• Sebenarnya penggunaan asetaminofen 500 mg tidak menjadi
masalah karena disini penggunaannya jika pasien hanya
mengalami sakit kepala dan juga tidak mengalami interaksi
dengan obat yang diresepkan bersamaan yaitu salbutamol dan
dexametason.
• Tetapi seperti kita ketahui asetaminofen merupakan analgesik
dengan menghambat enzim COX yang mengkatalis
pembentukan prostaglandin dan asam arakidonat. Dimana
asam arakidonat ini teroksidasi menjadi leukotrien-leukotrien
yang berperan penting menyebabkan inflamasi, sehingga disini
parasetamol menjadi faktor risiko yang dapat memperburuk
kondisi asma.
• Sehingga untuk pasien asma harus berhati-hati dalam
penggunaan parasetamol, jangan digunakan rutin.
• 4 bulan terakhir konsumsi kombinasi deksametason 0,5 mg dan salbutamol 2
mg (masing-masing digunakan 3x sehari).
• Dalam kasus ini pasien diberikan kombinasi obat sebagai terapi pemeliharaan
untuk asma.
• Dimana kombinasi deksametason dan salbutamol menurut kami kurang tepat
digunakan pada terapi pemeliharaan asma.
• Alasan pertama : Disini deksametason yang termasuk golongan kortikosteroid
sebenarnya bisa sebagai terapi jangka panjang tetapi cara pemberiannya yang
sistemik/oral kurang tepat. Sebagaimana disebutkan dalam (PDPI, 2003)
bahwa “kortikosteroid adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif
untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan
steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,menurunkan hiperesponsif
jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualitas hidup (bukti A). Seharusnya diberikan obat golongan
kortikosteroid secara inhalasi.
• Kemudian salbutamol sebagai terapi jangka panjang kurang tepat. Karena
untuk terapi jangka panjang seharusnya digunakan β2 agonis kerja panjang.
• Sehingga lebih tepat untuk terapi jangka
panjang ini yaitu kombinasi kortikosteroid
inhalasi dan agonis β2 kerja panjang, dengan
obat yang direkomendasikan yaitu kombinasi
obat Budesonid dan formoterol secara inhalasi
seperti yang direkomendasikan oleh (GINA,2016)
• Jangan lupa untuk konseling tatacara
penggunaan sediaan inhalasinya kepada Ny. AB
karena disini Ny. AB belum pernah menggunakan
sediaan inhalasi dalam terapi asmanya.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai