Anda di halaman 1dari 6

ASMA DALAM KEHAMILAN

Definisi
 The American Thoracic Society mendefinisikan sebagai Suatu penyakit dengan
ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan
dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil suatu
pengobatan.
 Gibbs dkk (1992) mendefinisikan sebagai suatu gangguan inflamasi kronik pada
saluran napas yang banyak diperankan oleh terutama sel mast dan eosinofil

Epidemiologi:
Asma merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering dijumpai pada
kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil menderita asma.

Patofisiologi:
Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh
spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang
kental. Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi),
distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan
difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia,
hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut.

Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada


permukaan sel mast paru, yang akan diikuti dengan pelepasan berbagai
mediator kimia untuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator
ini menimbulkan efek langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan
permiabilitas kapiler bronkus. Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin,
leukotrien C,D,E, prostaglandin PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2.
Mediator-mediator ini menimbulkan reaksi peradangan dengan bronkokonstriksi,
kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping kemampuan mediator-
mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi, leukotrien juga meningkatkan
sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya mekanisme transpor mukosilia.

Gambaran Klinis:
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengi (wheezing) dan pada
sebagian penderita disertai rasa nyeri di dada.

Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut :


1. Asma akut intermiten :
Diluar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa
provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam status

1
asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan
kortikosteroid.
Faktor-faktor yang mencetuskan serangan sering berupa :
a. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus.
b. Kegiatan jasmani (exercises induced ashtma)
c. Lingkungan pekerjaan (occupational asthma)
d. Obat-obat (drug induced asthma)
e. Tidak jelas

2. Asma akut dan status asmatikus:


Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera mencari
pertolongan. Bila serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan obat-obat
adrenergik beta dan teofilin disebut status asmatikus.

3. Asma kronik persisten (asma kronik):


Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas,
sehingga diperlukan pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut
disebabkan oleh karena saluran nafas penderita terlalu sensitif selain adanya
faktor pencetus yang terus-menerus.

Diagnosis

Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti rinitis


alergik, dan keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat
dugaan penyakit asma. Selain hal-hal di atas, pada anamnesa perlu ditanyakan
mengenai faktor pencetus serangan.
Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari derajat
obstruksi jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardi,
pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada penderita asma dalam
serangan. Dalam praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan
diagnosis asma, tetapi banyak pula penderita yang bukan asma menimbulkan
mengi sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang penting dalam asma adalah sebagai berikut :
1. Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversibel.
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk diagnosis asma adalah melihat
respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri sebelum
dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer)
golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak > 20%
menunjukkan diagnosis asma. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting
untuk menegakkan diagnosis, tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan.

2. Tes provokasi bronkial untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronkus.


Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya
hiperreaktifitas bronkus harus dilakukan tes provokasi histamin, metakolin,
alergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan

2
inhalasi dengan aquadestilata. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih
setelah tes provokasi adalah bermakna.

3. Pemeriksaan tes kulit


Tujuan tes kulit yaitu menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam
tubuh. Tes ini hanya menyokong anamnesa, karena alergen yang
menunjukkann tes kulit yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma;
sebaliknya tes kulit yang negatif tidak selalu berarti tidak ada faktor
kerentanan kulit.

4. Pemerikasaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam serum.


Kegunaan pemeriksaan IgE total tidak banyak dan hanya untuk menyokong
adanya penyakit atopi.

5. Pemerikasaan radiologi
Pada umumnya pemeriksaan foto dada penderita asma adalah normal.
Pemeriksaan tersebut dilakukan bila ada kecurigaan proses patalogik di paru
atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumo-mediastinum,
atelektasis dll.

6. Analisa gas darah


Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma berat. Pada keadaan tersebut dapat terjadi hipoksemia,
hiperkapnea dan asidosis respiratorik.

7. Pemeriksaan eosinofi dalam darah


Pada penderita asma jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat.
Selain dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya
dosis kortkosteroid yang diperlukan penderita asma, jumlah eosinofil total
dalam darah dapat membantu untuk membedakan asma dari bronkitis kronik.

8. Pemeriksaan sputum
Disamping untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot, spiral
Churschmann.

Penanganan
Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk menjaga ibu
hamil sedapat mungkin bebas dari gejala asma, walaupun demikian eksaserbasi
akut selalu tak dapat dihindari.
Pengobatan yang harus diusahakan adalah :
 Menghindari terjadinya gangguan pernapasan melalui pendidikan terhadap
penderita, menghindari pemaparan terhadap alergen, dan mengobati gejala
awal secara tepat.

3
 Menghindari terjadinya perawatan di unit gawat darurat karena kesulitan
pernapasan atau status asmatikus, dengan melakukan intervensi secara awal
dan intensif.
 Mencapai suatu persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping
melindungi keselamatan ibu.

Obat-obat anti asma yang sering digunakan


Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan asma secara garis besar dapat
dibagi dalam 5 kelompok utama yaitu beta adrenergik, methylxanthine,
glukokortikoid, cromolyn sodium dan anti kolinergik, di samping itu terdapat obat-
obat lain yang sering digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita asma
seperti ekspektoran dan antibiotik.
a. Beta adrenergik agonis
Dalam golongan ini epinefrin merupakan obat yang paling sering digunakan.
Epinefrin menstimulasi reseptor beta-2 menyebabkan bronkodilatasi, tetapi
juga menstimulasi reseptor alfa dan beta-1 yang menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi perifer dan takikardia baik pada ibu maupun janin, juga
menyebabkan fetal distres, ini merupakan kelemahan teoritis penggunaan
epinefrin dalam kehamilan, untungnya epinefrin mempunyai waktu paruh
pendek dan belum ada laporan yang menunjukkan adanya efek jangka
panjang terhadap janin pada penggunaannya dalam kehamilan.
Terbutalin merupakan beta agonis yang sering digunakan untuk terapi
tokolitik pada persalinan prematur. Dalam pengobatan asma dosisnya
sebaiknya dikurangi pada saat mendekati aterm, meskipun tidak terdapat
laporan yang menunjukkan adanya penundaan bermakna dalam onset
persalinan normal, bila obat ini digunakan sebagai terapi inti asma standar.

Obat adrenergik yang digunakan untuk terapi asma


Obat Reseptor Pemberian Dosis yang dianjurkan
Epinefrin Alfa, beta 1,2 subkutan 0,3-0,5 ml larutan 1:1000 tiap 20 mnt x 3
Inhalasi 200-300 mkrgram/semprot, 1-2 semprotan
tiap 4 jam

Isoetharine Beta 2 Inhalasi 340 mkrgram/semprot, 3-7 x tiap 3-4 jam


Metered dose semprot tiap 3-4 jam
Aerosolized 0,5 ml larutan 1% diencerkan 1:3 dgn. Salin

Isopreterenol Beta 1,2 Inhalasi Larutan 1:100, 3-7x inhalasi tiap 4-6 jam
Larutan 1:200, 5-15x inhalasi, tiap 4-6 jam
Intravena 0,5-5 mikrogram/menit, lewat infus

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Metaproterenol Beta 2 Inhalasi 650 mkrgram/semprotan, 2-3x tiap 3-4 jam

4
Metered dose 0,3 ml larutan 5%, tiap 4 jam

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terbutalin Beta 2 subkutan 250 mkrgram tiap 15 menit x 3
Oral 2,5 mg tiap 4-6 jam

b. Methylxanthine (Teofilin)
Teofilin dengan berbagai garamnya termasuk dalam golongan ini.
Mekanisme teofilin menimbulkan bronkodilatasi tidak jelas, diduga melalui
inhibisi kompetitif terhadap enzim fosfodiesterase, sehingga menyebabkan
terjadinya peningkatan kadar siklik AMP karena degradasinya yang menurun.
Aminofilin merupakan suatu garam dietileniamin dari teofilin dan merupakan
satu-satunya obat golongan xanthin yang dapat diberikan secara parenteral
c. Glukokortikoid
Kortikosteroid digunakan sejak lama untuk pengobatan asma. Kortikosteroid
bukan merupakan bronkodilator, tetapi bermanfaat dalam mengarungi
inflamasi pada saluran napas. Umumnya disepakati memberikan steroid
seawal mungkin pada penderita dengan serangan asma akut berat.
Pemakaian kortikosteroid selama kehamilan tidak menyebabkan
meningkatnya resiko komplikasi baik pada janin maupun ibu.
d. Cromolyn Sodium
Cromolyn sodium bukan merupakan bronkodilator, efek terapeutik utamanya
adalah inhibisi terhadap degranulasi sel mast, sehingga mencegah terjadinya
pelepasan mediator kimia untuk reaksi anafilaksis. Cromolyn berguna baik
untuk asma alergik maupun non alergik.
e. Anti Kolinergik
Obat antikolenergik seperti atropin sulfat dapat memberikan efek
bronkodilatasi ada penderita asma, tetapi penggunaannya menjadi terbatas
karena efek samping yang tidak diinginkan. Golongan antikolinergik yang
lebih sering digunakan adalah ipratropium bromida, terbukti efektif dan
kurang menimbulkan efek yang tidak diinginkan.

Penanganan serangan asma akut pada kehamilan


Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara cepat
dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat diruang unit
perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan janin dalam kandungan.
Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut:
1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-80
mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia.
2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan penderita
Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan cairan, cairan
yang digunakan biasanya ringer laktat atau normal saline.
3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis
0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10-20
mikrogram/ml.
4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis 0,25
mg

5
5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose, tiap 4 jam
atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5 mg/kgBB/jam
6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang menyertai
7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus yang
mengancam kehidupan.
8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit dengan
terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus, pada keadaan
ini penderita ini harus ditangani di unit perawatan intensif

Penanganan asma dalam persalinan


Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka persalinan
harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi
pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala
asmanya pada waktu persalinan.

Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu
yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortison 100
mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut
selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam
kehamilan seperti telah diuraikan di atas.

Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk
penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio
sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih
anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu
terjadinya bronkospasme yang berat.

Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam,


memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps akan
bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai