Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Asma

2.1.1 Definisi

Menurut ENA, Asma Asma adalah


penyakit kronis yang ditandai dengan
hiperreaktivitas jalan napas, proses inflamasi,
dan obstruksi aliran udara yang reversibel
(bronkospasme).

Menurut somantri (2012), Asma adalah


suatu gangguan pada saluran bronkial yang
mempunyai ciri bronkospasme trakeobronkial (kontraksi spasme pada saluran napas) terutama
pada percabangan trakeobronkial yang dapat diakibatkan oleh berbagai stimulus seperti oleh
faktor biokemial, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi.

2.1.2 Tipe Asma

Tipe asma berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi alergi, idiopatik, dan nonalergik
atau campuran (nrixed) :

1. Asma Alergik/Ekstrinsik, merupakan suatu bentuk asma dengan alergen seperti bulu binatang,
debu, ketombe, tepung sari, makanan, dan lain-lain. Alergen terbanyak adalah airborne dan
musiman (seasonal). Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi
pada keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan
mencetuskan serangan asma. Bentuk asma ini biasanya dimulai sejak kanak-kanak.

2 Idiopatik atau Nonalergik Asma/Intrinsik, tidak berhubungan secara langsung dengan alergen
spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran napas atas, aktivitas, emosi/stres,
dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, seperti
antagonis B-adrenergik dan bahan sulfat (penyedap makanan) juga dapat menjadi faktor
penyebab Serangan dari asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering kali
dengan berjalannya waktu dapat berkembang menjadi bronkitis dan emfisema. Pada beberapa
kasus dapat berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai ketika
dewasa (>35 tahun).

3. Asma Campuran (Mixed Asma), merupakan bentuk asma yang paling sering
Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergi.

2.1.3 Etiologi

Sampai saat ini etiologi asma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang menonjol
pada semua penderita asma adalah fenomena hiperreaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma
sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non-imunologi. Oleh karena sifat inilah,
maka serangan asma mudah terjadi ketika rangsangan baik fisik, metabolik, kimia, alergen,
infeksi, dan sebagainya. Penderita asma perlu mengetahui dan sedapat mungkin menghindari
rangsangan atau pencetus yang dapat menimbulkan asma. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut.

a) Alergen utama, seperti debu rumah, spora jamur, dan tepung sari rerumputan.

b) Iritan seperti asap, bau-bauan, dan polutan.

c) Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus.

d) Perubahan cuaca yang ekstrem.

e) Kegiatan jasmani yang berlebihan.

f) Lingkungan kerja.

g) Obat-obatan.

h) Emosi.

i) Lain-lain. seperti refluks gastroesofagus

2.1.4 Patofisiologi dan Woc

Asma akibat alergi bergantung kepada respons IgE yang dikendalikan ole limfosit T dan
B serta diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel
mast. Sebagian besar alergen yang mencetuska asma bersifat airborne dan agar dapat
menginduksi keadaan sensitivitas, alerge tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak untuk
periode waktu tertent Akan tetapi, sekali sensitivisasi telah terjadi, klien akan memperlihatkan
respons yang sangat baik, sehingga sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah dapu
menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.

Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut asma adalah aspirin,
bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindrom pernapasan
sensitif-aspirin khususnya terjadi pada orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat
pada masa kanak-kanak Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang
diikuti ole rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asma progresif.

Klien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan pemberian obat setiap
hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-
inflamasi non-steroid lain. Mekanisme yang menyebabkan bronkospasme karena penggunaan
aspirin dan obat lain tidak diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien
yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.

Antagonis B-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan napas pada klien asma,
sama halnya dengan klien lain, dapat menyebabkan peningkatan reaktivitas jalan napas dan hal
tersebut harus dihindarkan. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit,
natrium sulfit dan sulfat klorida, yang secara luas digunakan dalam industri makanan dan
farmasi. sebagai agen sanitasi serta pengawet dapat menimbulkan obstruksi jalan napas akut
pada klien yang sensitif. Pajanan biasanya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang
mengandung senyawa ini, seperti salad, buah segar, kentang kerang, dan anggur.

Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah dengan pencetus lainnya dari internal klien
akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibodi Reaksi antigen-antibodi ini akan
mengeluarkan substansi pereda alergi yangsebetulnya merupakan mekanisme tubuh dalam
menghadapi serangan. Zat yang dikeluarkan dapat berupa histamin, bradikinin, dan anafilatoksin.
Hasil dari reaksi tersebut adalah timbulnya tiga gejala, yaitu berkontraksinya otot polos,
peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan sekret mukus, seperti terlihat pada gambar
berikut ini.
2.1.5 Manifestasi Klinis

Menurut ENA tanda dan gejala asma, sebagai berikut :

1) Wheezing lebih sering terjadi pada saat ekspirasi, namun bisa timbul pada saat inspirasi
atau tidak ada

2) Batuk dapat timbul tanpa wheezing, terutama pada anak-anak

3) Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan, terutama pada otot sternocleidomastoid pada


dewasa

4) Sesak dada dan hiperresonan pada pemeriksaan perkusi (akibat hiperinflasi)

5) Kecemasan atau gelisah


6) Pembicaraan yang terhenti-henti (tidak mampu untuk berbicara satu kalimat penuh)

2.1.6 Penatalaksaan

 Tindakan spesifik

a) Biarkan pasien mempertahankan posisi yang nyaman.

b) Kaji durasi serta keparahan dari gejala; dokumentasikan pengobatan yang telah didapat
dalam upaya untuk mengelola eksaserbasi

c) Dapatkan akses intravena (pemasangan IV lines) untuk pemberian obat dan hidrasi:
dehidrasi dapat berkontribusi terhadap terjadinya penyumbatan lender dan pengeluaran
katekolamin.

d) Lakukan monitoring jantung dan pulse oximetry terus-menerus

e) Berikan oksigen tambahan untuk menjaga pulse oximetry lebih besar dari 90%.

f) Berikan inhaled SABA seperti albuterol melalui nebulizer atau metered dose inhaler
(MDI), sebaiknya dengan spacer

g) Antikolinergik seperti ipratropium bromide sering dikombinasikan dengan SABA

h) Ukur PEFR sebelum dan sesudah intervensi. Mengukur PEFR secara serial selama pasien
mampu bekerja sama. Ketidakmampuan pasien untuk melakukan pemeriksaan PEFR
merupakan indikator keparahan penyakit

i) Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengatasi komponen inflamasi dari asma

j) Magnesium sulfate dapat dipertimbangkan bila intervensi lain tidak efektif; magnesium
merelaksasi otot halus bronkial melalui mekanisme yang tidak pasti

k) Heliox, campuran helium dan oksigen, dapat meningkatkan pertukaran udara karena
densitas helium yang rendah

l) Intubasi endotrakeal dan perawatan ruang intensif biasanya diperlukan pada pasien
dengan henti napas atau gagal napas.
 Tindakan dengan obat-obatan

a) Beta agonist (beta adregenik agent)

b) Methylxanlines (enphy bronkodilator)

c) Anti kolinergik (bronkodilator)

d) Kortekosteroid

e) Mast cell inhibitor (inhalasi)

2.1.7 Prosedur Diagnostik

a) Pemeriksaan laboratorium rutin, dan rontgen dada biasanya tidak diperlukan; jangan
menunda memulai pengobatan, untuk mendapatkan data data tersebut

b) Gas darah arteri untuk menentukan derajat hipoksemia

c) Peak expiratory flow rate kurang dari 50% dari nilai prediksi

d) Sebagai ukuran keterbatasan aliran udara, PEFR adalah indikator yang lebih handal untuk
keparahan eksaserbasi dari tingkat gejala

e) Pulse oximetry-nilai kurang dari 92% mengindikasikan kemungkinan kebutuhan untuk di


rawat inap

Dapus :
Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika.

Emergency Nurses Association. (2018). Sheehy’s Emergency Nursing: Principles And Practice, Seventh
Edition. America.

Anda mungkin juga menyukai