Anda di halaman 1dari 39

KONSEP PENYAKIT

Chronis Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

A. Definisi COPD
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya (PDPI, 2003).
Menurut GOLD (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung
Disease), PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah diobati dengan
beberapa efek ekstrapulmonal yang signifikan berkontribusi terhadap tingkat
keparahan penderita. Karakteristik penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran
udara tersebut biasanya bersifat progressif dan berhubungan dengan respon
inflamasi pulmonal terhadap partikel atau gas berbahaya (GOLD, 2011)
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan sekumpulan
penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaraan patofisiologi utamanya. Bronkitis
kronis, emfisema paru, dan asma bronkial membentuk satu kesatuan yang
disebut Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) (Sylvia Anderson
Price, 2005).
Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk
kronik yang produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut.
Sementara emfisema didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di hujung
terminal bronkiol yang permanen dan abnormal disertai dengan destruksi
pada dinding alveolus serta tanpa fibrosis yang jelas (Kamangar, 2010).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah kelainan dengan klasifikasi yang
luas, termasuk bronkitis, brokiektasis, emfisema, dan asma. Ini merupakan
kondisi yang tidak dapat pulih yang berkaitan dengan dispnea pada aktivitas
fisik dan mengurangi aliran udara (Suzanne C. Smeltzer, 2001)
Penyakit paru-paru obstruktif kronis (PPOK) atau Chronis Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai
oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang
dikenal dengan COPD adalah: Bronkhitis kronis, emfisema paru-paru, dan
asma bronkhial. Sering juga penyakit ini disebut dengan chronic airflow
limitation (CAL) dan chronic obstructive lung diseases (COLD) (Irman
Somantri, 2008: 49).
B. ASMA BRONKHIAL
1. Definisi
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri
bronkospasme periodic (kontraksi spasme pada saluran napas). Asma
merupakan penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor
biokimia, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi.
2. Tipe Asma
Asma terbagi menjadi alergi, idiopatik, nonalergik dan campuran.
a. Asma Alergik/ekstrinsik, merupakan suatu jenis asma dengan yang
disebabkan oleh allergen (misalnya bulu binatang, debu, ketombe,
tepung, sari makanan, dan lain-lain). Allergen yang paling umum
adalah allergen yang perantaraan penyebarannya melalui udara
(airborne) dan allergen yang muncul secara musiman (seasonal).
Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit
alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan ezkema atau rhinitis
alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma.
Gejala asma umumnya dimulai saat kanak-kanak.
b. Idiopatik atau nonalergik asthma/intrinsik, merupakan jenis asma
yang tidak berhubungan langsung dengan allergen spesifik. Faktor-
faktor seperti common cold, infeksi saluran napas atas, aktivitas,
emosi, dan polusi lingkungan dapat menimbulkan serangan asma.
Beberapa agen farmakologis juga dapat menjadi faktor penvetus
asma. Serangan asma ini dapat menjadi lebih berat dan dapat
berkembang menjadi bronchitis dan emfisema. Pada beberapa
pasien, asma jenis ini dapat berkembang menjadi asma campuran.
Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (>35 tahun).
c. Asma campuran (mixed asthma), merupakan bentuk asma yang
paling sering ditemukan. Dikarakteristikan dengan bentuk kedua
jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergi.
3. Etiologi
Sampai saat ini, etiologi asma belum diketahui secara pasti. Namun
fenomena yang sering terjadi pada semua penderita asma adalah
hiperaktivitas bronchus. Faktor penyebab yang sering menimbulkan asma
perlu diketahui dan sedapat mungkin dihindarkan. Faktor-faktor tersebut
adalah:
a. Alergen utama: debu rumah, spora jamur, dan tepung sari
rerumputan
b. Iritan seperti asap, bau-bauan, dan polutan
c. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrem
e. Aktivitas fisik yang berlebihan
f. Lingkungan kerja
g. Obat-obatan
h. Emosi
i. Lain-lain: seperti refluks gastro esofagus
4. Gambaran Klinis
Gejala asma terdiri atas triad: dispnea, batuk dan mengi (bengek atau
sesak napas). Gejala sesak napas sering dianggap sebagai gejala yang
harus ada (‘sine qua non’). Hal tersebut berarti jika penderita
menganggap penyakitnya adalah asma namun tidak mengeluhkan sesak
napas, maka perawat harus wakin bahwa pasien bukan menderita asma.
Gambaran klinis pasien yang menderita asma :
a. Gambaran objektif yang ditangkap perawat adalah kondisi pasien
dalam keadaan seperti dibawah ini :
1) Sesak napas parah dengan ekspirasi memanjang disertai
wheezing.
2) Dapat disertai batuk dengan sputum kental dan sulit dikeluarkan.
3) Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan.
4) Sianosis, tatikardia, gelisah, dan pulsus paradoksus.
b. Gambaran subjektif yang ditangkap perawat adalah pasien
mengeluhkan sukar bernapas, sesak dan anoreksia.
c. Gambaran psikososial yang diketahui perawat adalah cemas, takut,
mudah tersinggung, dan kurangnya pengetahuan pasien terhadap
situasi penyakitnya.
5. Patofisiologi
Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan
oleh limfosit T dan B. Asma diaktifkan oleh interaksi antara antigen atau
molekul IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen
yang menimbulkan asma bersifat aerborn. Alergen tersebut harus
tersedia dalam jumlah banyak dalam periode waktu tertentu agar mampu
menimbulkan gejala asma. Namun dikasus lain terdapat pasien yang
sangat responsif, sehingga sejumlah kecil alergen masuk kedalam tubuh
sudah dapat mengakibatkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi fase akut asma
adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik,
dan bahan sulfat. Sindrom khusus pada sistem pernapasan yang sensitif
terhadap aspirin terjadi pada orang dewasa, namun dapat pula dilihat
pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis
vasomotor perennial lalu menjadi rhinosinusitis hiperplastik dengan polip
nasal dan akhirnya diikuti oleh munculnya asma progresif.
Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat dikurangi gejalanya
dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini,
toleransi silang akan terbentuk agen anti inflamasi nonsteroid,
mekanisme terjadinya bronkospasme pleh aspirin ataupun obat lainnya
belum diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan
leukotriene yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.
Antagonis beta-adrenergik merupakan hal yang biasanya
menyebabkan obstruksi jalan napas pada pasien asma, demikian juga
dengan pasien lain dengan peningkatan reaktivitas jalan napas. Oleh
karena itu, antagonis beta-adrenergik harus dihindarkan pada pasien
tersebut. Senyawa sulfat yang secara luas digunakan sebagai agen
sanitasi dan pengawet dalam industri makanan dan farmasi juga dapat
menimbulkan obstruksi jalan napas akut pada pasien yang sensitif.
Senyawa sulfat tersebut adalah kalium metabisulfit, natrium sulfit dan
sulfat klorida. Pada umumnya tubuh akan terpapar setelah menelan
makanan atau cairan yang mengandung senyawa tersebut seperti salad,
buah segar, kentang, kerang, dan anggur.
Faktor penyebab yang telah disebutkan diatas ditambah dengan
sebab internal pasien akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan
antibodi. Reaksi tersebut mengakibatkan dikeluakannya substansi
histamin, bradikinin, dan anafilatoksin. Sekresi zat-zat tersebut
menimbulkan tiga gejala seperti berkontraksinya otot polos, peningkatan
permeabilitas kapiler, dan peningkatan sekresi mukus seperti terlihat
pada gambar berikut ini.
6. Pathway

Pencetus serangan
(alergen, emosi stress, obat-obatan dan infeksi)

Reaksi antigen dan antibodi

Dikeluarkannya substansi vasoaktif


(histamin, bradikinin, dan anafilotoksin)

Kontraksi otot polos Permeabilitas kapiler Sekresi mukus meningkat

Bronchospasme  Kontaksi otot polos Produksi mukus bertambah


 Edema mukosa
 Hipersekresi
Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh
Obstruksi saluran napas
(risiko/aktual)
Bersihan jalan napas
tidak efektif
Hipoventilasi
Distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru-paru
Gangguan difusi gas di alveoli

Kerusakan pertukaran
gas

Hipoksemia
Hiperkapnia

Untuk melihat derajat beratnya asma biasanya dilakukan


pemeriksaan secara komprehensif dengan menggunakan alat ukur seperti
pada tabel 4-2.
Tabel 4-1 pengkajian untuk menentukan derajat beratnya asma

Menisfestasi Klinis Skor 0 Skor 1


a. Penurunan toleransi aktivitas Ya Tidak
b. Penggunaan otot napas tambahan, Tidak ada Ada
retraksi intercostal
c. Wheezing Tidak ada Ada
d. Respiratory per menit <25 >25
e. Pulse rate per menit <120 >120
f. Teraba pulsus paradoksus Tidak ada Ada
g. Puncak expiratory flow rate 1L/menit >100 <100
Keterangan: jika terdapat skor empat atau lebih, maka pasien
diperkirakan mengalami asma berat. Selanjutnya pasien harus
diobservasi untuk menentukan ada tidaknya respons dari terapi atau
segera dikirim ke rumah sakit.

Tabel 4-2 perubahan dalam arteri blood gas yang berhubungan dengan
asma

Ringan Sedang Berat Status


asmatikus
PO2 Meningkat Normal sampai Hipoksemia Hipoksemia berat
hipoksemia ringan
PCO2 Menurun menurun sampai normal Meningkat Peningkatan jelas
pH Alkalosis Alkalosis Alkalosis asidosis

7. Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip penatalaksaan asma bronkhial:
a. Diagnosa status asmatikus, faktor penting yang harus diperhatikan
adalah:
1) Walau terjadinya serangan
2) Obat-obatan yang telah diberikan (jenis dan dosis)
b. Pemberian obat bronkodilator
c. Penilaian terhadap perbaikan serangan
d. Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteroid
e. Setelah serangan mereda:
1) Cari faktor penyebab
2) Modifikasi pengobatan penunjang selanjutnya
8. Obat-obatan
a. Beta agonists
Beta agonists (β-adrenergic agents) merupakan jenis obat yang
dberikan paling awal yang digunakan dalam pengobatan asma. Hal
tersebut dikarenakan obat ini bekerja dengan cara mendilatasikan
otot polos. Agen adrenergik juga meningkatkan pergerakan silia,
menurunkan mediator kimia anafilaksis, dan dapat menignkatkan
efek bronkolasi mediator kimia anafilaksis, dan dapat meningkatkan
efek bronkolasi dari kartikosteroid. Agen adrenergik yang sering
digunakan antara lain epinephrine, albuterol, metaproterenol,
isoproterenol, isotharine, dan terbutaline. Biasanya diberikan secara
parental atau inhalasi. Cara inhalasi merupakan jalan pilihan utama
dikarenakan dapat memengaruhi secara langsung dan mempunyai
efek samping yang lebih kecil.
b. Bronkodilator
Pada kasus penyakit asma, bronkodilator tidak digunakan secara
oral tetapi dipakai secara inhalasi atau parental. Jika sebelumnya
telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya
diberikan aminophilin secara parenteral. Demikian sebaliknya, bila
sebelumnya telah digunakan obat golongan teofilin secara oral maka
sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol
atau parenteral.
Obat-obat brakodilator simpatometik berefek samping
menimbulkan takikardia sehingga penggunaan parenteral pada orang
tua harus dilakukan dengan hati-hati. Obat jenis inipun berbahaya
pada pasien dengan penyakit hipertensi, kardiovaskuler, dan
serebrovaskuler. Pada orang dewasa, bronkodilator diberikan
bersama 0,3ml larutan epinefrin 1 : 1000 (perbandignan tersebut
adalah perbandingan epinefrin dan zat pengencer, sehingga yang
digunakan adalah epinefrin dengan pengenceran 10-30) secara
subkutan. Sedangkan pada anak-anak diberikan bronkodilator
sebanyak 2-3 kali atau sesuai kebutuhan.
c. Kortikosteroid
Bila pemberian obat- obat bronkodilator tidak menunjukan
perbaikan, maka pengobatan dilanjutkan dengan 200 mg
hidrokortison secara oral atau dengan dosis 3-4 mg/Kg BB intervena
sebagai dosis pemulaan dan dapat diulang 2-4 jam secara parenteral
sampai serangan akut terkontro, dengan dikuti pemberian 30-60 mg
prednison atau dengan dosis 1-2 mg/Kg BB/hari secara oral dalam
dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara bertahap.
d. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen menggunakan kanul hidung dengan
kecepatan aliran O2 2-4 liter/ menit yang dialirkan melalui air untuk
memberikan kelembapan. Obat ekspektoran seperti
Gliserolguaiakolat dapat juga digunakan untuk memperbaiki
dehidrasi. Oleh karena itu, intake cairan peroral dan infus harus
cukup dan sesuai dengan prinsip rehidrasi. Antibiotik diberikan
hanya bila ada infeksi.

C. BRONKHITIS KRONIS
1. Definisi
Bronkhitis akut adalah radang pada bronkhus yang biasanya
mengenai trakhea dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan
laringotracheobronchitis. Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan
nafas tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit sistemik misalnya pada
morbili, pertusis, difteri, dan tipus, abdominalis.
Istilah bronkhitis kronis menunjukkan kelainan pada bronkhus yang
sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai
faktor, meliputi faktor yang berasal dari luar bronkhus maupun dari
bronkhus itu sendiri. Bronkhitis kronis merupakan keadaan yang
berkaitan dengan produksi mukus trakheobronkhial yang berlebihan,
sehingga menimbulkan batuk yan terjadi paling sedikit selama tiga bulan
dalam waktu satu tahun untuk lebih dari dua tahun secara berturut – turut.
Bronkhitis kronis bukanlah merupakan bentuk menahun dari
bronkhitis akut. Walaupun demikian, seiring dengan waktu, dapat
ditemulan periode akut pada penyakit bronkhitis kronis. Hal tersebut
menunjukkan adanya serangan bakteri pada menimbulkan kerusakan
yang lebih banyak sehingga akan memperburuk keadaan.
2. Etiologi
Terdapat tiga jenis penyebab bronkhitis akut, yaitu:
a. Infeksi : staphylococcus (stafilokokus), streptococcus (streptokokus),
pneumococcus (pneumokokus), Haemophilus influenzea.
b. Alergi
c. Rangsangan lingkungan , missal: asap pabrik, asap mobil, asap
rokok, dll.

Bronkhitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik


pada beberapa alat tubuh, yaitu:

a. Penyakit jantung menahun, yang disebabkan oleh kelainan patologik


pada katup maupun miokardia. Kongesti menahun pada dinding
bronkhus melemahkan daya tahan sehingga infeksi bakteri mudah
terjadi.
b. Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut, area infeksi merupakan
sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronkhus.
c. Dilatasi bronkhus (bronkhiektasi) , menyebabkan gangguan susunan
dan fungsi dinding bronkhus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
d. Rokok dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir
bronkhus sehingga drainase lender terganggu. Kumpulan lendir
tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
3. Patofisiologi
Serangan bronkhitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau
dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronkhitis kronis.
Pada umumnya, virus merupakanawal dari serangan bronkhitis akut pada
infeksi saluran nafas bagian atas. Dokter akan mendiagnosis bronchitis
kronis jika pasien mengalamibatuk atau mengalami produksi sputum
selama kurang lebih tiga bulan dalam satu tahun atau paling sedikit
dalam dua tahun berturut- turut.
Serangan bronchitis disebabkan karena tubuh terpapar agen infeksi
maupun noninfeksi (terutama rokok), iritan (zat yang menyebabkan
iritasi) akan menyebabkan timbulnya respons inflamasi yang akan
menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema, mukosa, dan bronkospasme.
Tidak seperti emfisema, bronkhitis lebih memengaruhi jaln nafas kecil
dan besar dibanding alveoli. Dalam keadaan bronkhitis, aliran udara
masih memungkinkan tidak mengalami hambatan.
Pada keadaan normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut
“mucocilliary defence”, yaitu penjagaan paru-paru yang dilakukan oleh
mukus dan siliari. Pada pasien dengan bronkhitis akut, sistem
mucocilliary defence paru-paru mengalami kerusakan sehingga lebih
mudah terserang infeksi.

Ketika timbul infeksi, kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan


hiperplasi (ukuran membesar dan jumlah bertambah) sehingga produksi
mukus akan meningkat. Infeksi juga menyebabkan dinding bronkial
meradang, menebal (sering kali sampai dua kali ketebalan normal), dan
mengluarkan mukus kental. Adanya mukus kental dari dinding bronkial
dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus dalam jumlah banyak akan
menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran
udara besar. Bronkhitis kronis mula-mula hanya memengaruhi bronkhus
besar, namun lambat laun akan mempengaruhi seluruh saluran napas.

Mukus yang kental dan pembesaran bronkus akan mengobstruksi


jalan napas terutama selama ekspirasi jalan napas selanjutnya mengalami
kolaps dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru.
Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolus, hipoksia, dan
asidosis. Pasien mengalami kekurangan O² jaringan dan ratio ventilasi
perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PO². Kerusakan
ventilasi juga dapat meningkatkan nilai PCO² sehingga pasien tersebut
terlihat sianosi. Sebagai kompensasi dari hipoksemia, maka terjadi
polisitemia (produksi eritrosit berlebihan).

Pada saat penyakit bertambah parah, sering ditemukan produksi


sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonari. Selama
infeksi, pasien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan RV
dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hipoksemia akan
timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF
(Congestive Heart Failure).

4. Manifestasi Klinik
Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami :
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar,
yang mana akan meningkatkan produksi mukus.
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari
paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk
terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan
menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan
meningkat.
d. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua
kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental
ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan
menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran
udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada
bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
e. Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi
jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami
kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru.
Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia
dan asidosis.
f. Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi
perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan
ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2.
g. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka
terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit
memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena
infeksi pulmonary.
h. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan
peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak
ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju
penyakit cor pulmonal dan CHF
5. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan utama ditujukan untuk mencegah, mengontrol infeksi,
dan meningkatkan drainase bronkhial menjadi jernih,. Pengobatan yang
diberikan adalah sebagai berikut:
a. Antimicrobial
b. Postural drainase
c. Bronchodilator
d. Acrosolized Nebulizer
e. Surgical intervention
D. EMFISEMA PARU-PARU
1. Definisi
Emfisema paru merupakan gangguan paru-paru yang ditandai oleh
pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan.
Sesuai dengan definsi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak
termasuk emfisema jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang
udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan. Namun,
keadaan tersebut hanya sebagai “overinfation”.
2. Tipe Emfisema
Terdapat tiga tipe dari emfisema :
a. Emfisema sentriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan
kerusakan bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas.
Imflamasi meramabah sampai bronkhiolus tetapi biasanya
kantung alveolus tetap bersisa.
b. Emfisema panlobular (panacinar)
Merusak ruang udara pada selirih asinus dan umumnya juga
merusak paru-paru bagian bawah. Tipe ini sering disebut
centriacinar emfisema, sering kali timbul pada perokok. Panacinar
timbul pada orang tua dan pasien dengan defisiensi enzim alpha-
antitripsin.
c. Emfisema paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan
isolasi blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru.
Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak
spontan.
Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspneu dan infeksi
pulmoner dan sering kali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan).
3. Patogenesis
Terdapat empat perubahan patologik yang dapat timbul pada pasien
emfisema, yaitu:
a. Hilangnya elestisitas paru-paru
Protase (enzim paru-paru) mengubah atau merusak alveoli dan
saluran napas kecil dengan cara merusak serabut elastin. Sebagai
akibatnya, kantung alveolus kehilangan elastisitasnyta dan jalan
napas kecil menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli
menjadi rusak dan yang lainnya kemungkinan menjadi membesar.
b. Hiperinflasi paru
Pembesaran alveoli sehingga paru-paru sulit untuk dapat
kembali ke posisi istarahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya bullae
Dinding alveolus membengkak dan berhubungan untuk
membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara diantara parenkim
paru-paru) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray
d. Kolapsnya jalan napas kecil dan udara terperangkap.
Ketika pasien berusaha untuk ekhalasi secara kuat, tekanan
positif intratoraks akan menyebabkan kolapsnya jalan napas.
4. Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada
dinding alveolus yang akan menyebabkan overdistensi permanen ruang
udara. Perjalanan udara akan terganggu akibat dari perubahan ini.
Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya
destruksi dinding (septum) diantara alveoli, jalan napas kolaps sebagian,
dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat alveoli
dan sputum kolaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolus (disebut
blebs) dan diantara parenkim paru-paru (disebut bullae). Proses ini kan
menyebabkan peningkatan ventylatory pada “dead space” atau area yang
tidak mengalami pertukaran gas atau darah.
Kerja napas meingkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi
jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Emfisema
juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi
penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap
normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang
berusia muda biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan
merokok.

5. Pathway

Asap tembakau dan Predisposisi genetik Faktor-faktor yang tidak


polusi udara (defisiensi alfa antitrypsin) di ketahui

Gangguan Sekat & jaringan Seumur hidup


pembersihan paru-paru penyokong hilang

Peradangan bronchus Saluran nafas kecil kolaps


dan bronkhiolus saat ekspirasi

Obstruksi jalan napas PLE (emfisema PLE asimptomatik pada


akibat peradangan panlobular) orang tua

Hipoventilasi alveolus Dinding bronkhiolus


melemah dan alveoli pecah

CLE dan PLE


Saluran napas kecil kolaps
Bronkhiolitis kronis
sewaktu ekspirasi

CLE bronchitis kronis CLE (emfisema


sentriolobular)

Gambar 6-2 Mekanisme Timbulnya Emfisema

Sumber: Price dan Wilson 1996


6. Manifestasi Klinik
a. Penampilan Umum
1) Kurus, warna kulit pucat, dan flattened hemidiafragma
2) Tidak ada tanda CHF (Cingestive Heart Failure) kanan
dengan edema dependen pada stadium akhir
b. Usia 65-75 tahun
c. Pengkajian fisik
1) Napas pendek persisten dengan peningkatan dispnea
2) Infeksi sistem respirasi
3) Pada auskultasi terdapat penurunan suara napas meskipun
dengan napas dalam
4) Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas
5) Jarang produksi sputum dan batuk
d. Pemeriksaan jantung
1) Tidak terjadi pembesaran jantung. Cor pulmonal timbul pada
stadium akhir.
2) Hematokrit <60%
e. Riwayat merokok
Biasanya terdapat riwayat merokok, tapi tidak selalu ada.
7. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan utama pada pasien emfisema adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup, memperlambat proses perkembangan
penyakit, dan mengobati obstruksi jalan nafas yang berguna untuk
mengatasi hipoksia. Pendekatan terapi mencakup ;
a. Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan
kerja nafas
b. Mencegah dan mengobati infeksi
c. Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi
paru-paru
d. Memelihara kondisi yang memungkinkan untuk memfasilitasi
pernafasan.
Jenis obat yang diberikan :

a. Bronkodilator
b. Terapi aerosol
c. Pengobatan infeksi
d. Kortikosteroid
e. Oksigenasi

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK COPD


1. Chest X-ray
Dapat menunjukan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vascular,
peningkatan bentuk bronkovaskular, dan normal ditemukan saat periode
remisi
2. Pemeriksaan fungsi paru-paru
Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan
abnormalitas fungsi apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi, dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi, misal : bronkodilator
3. TLC
Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asma, menurun
pada emfisema
4. Kapasitas inspirasi
Menurun pada emfisema
5. FEVI/FVC
Untuk mengetahui rasio tekanan volume ekspiasi (FEV), rasio
menjadi menurun pada bronchitis dan asma
6. ABGs
Menunjukan proses penyakit kronis, seringkali PO3 menurun dan
PCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema),
seringkali menurun pada asma dengan pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi
7. Bronkogram
Dapat menunjukan dilatasi dari bronkus saat inspirasi, kolaps
bronkial pada tekanan ekspirasi (emfisema) dan pembesaran kelenjar
mukus.
8. Daerah Komplit
Dapat menggambarkan adanya peningkatan hemoglobin (emfisema
berat) dan peningkatan eosinophil

9. Kimia darah
Menganalisis keadaan alpha 1-antitrypsin yang kemungkinannya
berkurang pada emfisema primer
10. Sputum kultur
Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen dan
pemeriksaan sitology untuk menentukan penyakit keganasan atau alergi
11. ECG
Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (pada pasien dengan asma
berat dan atrial disritmia), gelombang P pada Leads II, III, AVF panjang
dan tinggi dan axis QRS vertical (emfisema)
12. Pemeriksaan ECG setelah olahraga dan stress test
Membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pernafasan,
mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator, dan
merencanakan/mengevaluasi program.

F. KOMPLIKASI COPD
1. Hipoksemia
Penurunan nilai PO2 <55 mmHg dengan nilai saturasi O2 <85%. Pada
awalnya pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
2. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2. Tanda yang timbul nyeri
kepala, fatigue, letargi, dizziness, dan takipnea
3. Infeksi Saluran Pernafasan
Diakibatkan peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsang
otot polos bronkial, dan edema mukosa. Terhambatnya aliran udara
meningkatkan kinerja napas dan menimbulkan dyspnea
4. Gagal Jantung
Cor pulmonal ( gagal jantung kanan akibat penyakit paru-paru) harus
diobservasi, terutama pada pasien dyspnea berat. Komplikasi ini sering
berhubungan dengan bronchitis kronis, namun beberapa pasien emfisema
berat juga mengalami masalah ini.
6. Disritmia Jantung
Timbul akibat dari hipoksemia, penyakit jantung lain dan efek obat
atau terjadinya asidosis respiratori
7. Status Asmatikus
Status asmatikus merupakan komplikasi utama yang berhubungan
dengan asma bronkhial. Penyakit ini sangat berat potensial mengancam
kehidupan dan sering kali tidak memberikan respon terhadap terapi yang
biasa diberikan. Penggunan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher
sering terlihat
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Chronis Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam


praktek keperawatan. Hal ini biasa disebut sebagai suatu pendekatan problem
solving atau pemecahan masalah, yang memerlukan ilmu, teknik dan keterampilan
intrapersonal ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien. (Nursalam, 1996. hal.
1).

Pada bagian ini akan menguraikan tentang konsep dasar asuhan keperawatan
klien dengan COPD, dimana asuhan keperawatan ini menggunakan pendekatan
proses diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi.
( Nursalam dikutip dari dr Iyer, 1996. hal. 1 ).

A. Pengkajian :
1. Anamnesa
a. Biodata
Merupakan data dasar yang berkaitan dengan identitas klien
yang terdiri atas:
1) Klien, meliputi:
a) Nama,
b) Umur:
- penyakit Bronkhitis Kronis: 45-65 tahun
- penyakit Emfisema Paru-paru: 65-75 tahun
c) Jenis kelamin, penyakit Raynaud lebih sering diderita oleh
wanita
d) Suku bangsa,
e) Agama,
f) Pendidikan,
g) Pekerjaan,
h) Status,
i) Alamat.
2) Penanggung jawab, meliputi:
a) Nama,
b) Umur,
c) Agama,
d) Pendidikan,
e) Pekerjaan,
f) Hubungan,
g) Sumber biaya
b. Keluhan Utama
Keluhan yang paling dirasakan oleh klien pada saat dilakukan
pengkajian. Misalnya sesak nafas, nyeri dada, batuk, dan gejala-
gejala lainnya yang berhubungan dengan penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) atau Chronis Obstructive Pulmonary Disease
(COPD).
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
1) P : Hal-hal yang memperparah dan meringankan nyeri,
2) Q : Karakteristik nyeri yang dirasakan, biasanya seperti
ditusuk-tusuk, seperti ditimpa benda yang berat, seperti dipukul,
seperti diremas-remas dan sebagainya.
3) R : Daerah dimana nyeri tersebut dirasakan. Apakah nyeri
tersebut menyebar ke daerah lain.
4) S : Apakah nyeri yang dirasakan mengganggu aktivitas
sehari-hari klien.
5) T : Terjadi saat aktivitas dan istirahat, waktu dan durasi nyeri.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Menjelaskan penyakit yang diderita sebelumnya, misalnya
riwayat asthma pada saat anak-anak, infeksi saluran nafas, dan lain
sebagainya.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Menjelaskan tentang penyakit yang pernah diderita anggota
keluarga terdahulu yang berhubungan dengan penyakit penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) atau Chronis Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) seperti riwayat alergi pada keluarga, dan lain
sebagainya.
f. Riwayat Psikososial
Menjelaskan tentang keadaan psikososial klien. Yaitu stress
emosional, hubungan ketergantungan, kurang sisitem pendukung,
keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan antar keluarga,
ansietas, ketakutan dan peka rangsang, dan lain sebagainya.
g. Pola Kebiasaan
Menjelaskan tentang kebiasaan aktivitas sehari-hari yang terdiri
atas:
1) Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan.
Kaji status riwayat kesehatan yang pernah dialami klien,
apa upaya dan dimana kliwen mendapat pertolongan kesehatan,
lalu apa saja yang membuat status kesehatan klien menurun.
2) Pola nutrisi metabolik.
Tanyakan kepada klien tentang jenis, frekuensi, dan jumlah
klien makan dan minnum klien dalam sehari. Kaji selera makan
berlebihan atau berkurang, kaji adanya mual muntah ataupun
adanyaterapi intravena, penggunaan selang enteric, timbang juga
berat badan, ukur tinggi badan, lingkaran lengan atas serta
hitung berat badan ideal klien untuk memperoleh gambaran
status nutrisi.

3) Pola eliminasi.

a) Kaji terhadap frekuensi, karakteristik, kesulitan/masalah


dan juga pemakaian alat bantu seperti folly kateter, ukur
juga intake dan output setiap sift.
b) Eliminasi proses, kaji terhadap prekuensi, karakteristik,
kesulitan/masalah defekasi dan juga pemakaian alat
bantu/intervensi dalam BAB.

4) Pola aktivitas dan latihan


Kaji kemampuan beraktivitas baik sebelum sakit atau
keadaan sekarang dan juga penggunaan alat bantu seperti
tongkat, kursi roda dan lain-lain. Tanyakan kepada klien tentang
penggunaan waktu senggang. Adakah keluhanpada pernapasan,
jantung seperti berdebar, nyeri dada, badan lemah.
5) Pola tidur dan istirahat
Tanyakan kepada klien kebiasan tidur sehari-hari, jumlah
jam tidur, tidur siang. Apakah klien memerlukan penghantar
tidur seperti mambaca, minum susu, menulis, memdengarkan
musik, menonton televisi. Bagaimana suasana tidur klien apaka
terang atau gelap. Sering bangun saat tidur dikarenakan oleh
nyeri, gatal, berkemih, sesak dan lain-lain.
6) Pola persepsi kognitif
Tanyakan kepada klien apakah menggunakan alat bantu
pengelihatan, pendengaran. Adakah klien kesulitan mengingat
sesuatu, bagaimana klien mengatasi tak nyaman : nyeri. Adakah
gangguan persepsi sensori seperti pengelihatan kabur,
pendengaran terganggu. Kaji tingkat orientasi terhadap tempat
waktu dan orang.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Kaji tingkah laku mengenai dirinya, apakah klien pernah
mengalami putus asa/frustasi/stress dan bagaimana menurut
klien mengenai dirinya.
8) Pola peran hubungan dengan sesame
Apakah peran klien dimasyarakat dan keluarga, bagaimana
hubungan klien di masyarakat dan keluarga dan teman sekerja.
Kaji apakah ada gangguan komunikasi verbal dan gangguan
dalam interaksi dengan anggota keluarga dan orang lain.
9) Pola produksi seksual
Tanyakan kepada klien tentang penggunaan kontrasepsi dan
permasalahan yang timbul. Berapa jumlah anak klien dan status
pernikahan klien.
10) Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress.
Kaji faktor yang membuat klien marah dan tidak dapat
mengontrol diri, tempat klien bertukar pendapat dan mekanisme
koping yang digunakan selama ini. Kaji keadaan klien saat ini
terhadap penyesuaian diri, ugkapan, penyangkalan/penolakan
terhadap diri sendiri.
11) Pola sistem kepercayaan
Kaji apakah klien sering beribadah, klien menganut agama
apa?. Kaji apakah ada nilai-nilai tentang agama yang klien anut
bertentangan dengan kesehatan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Manifestasi klinik Penyakit Paru Obstruktif Kronik :
1) Peningkatan dispnea.
2) Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot
abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping
hidung).
3) Penurunan bunyi nafas.
4) Takipnea.
b. Gejala yang menetap pada penyakit dasar
1) Asthma
a) Batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan
dada seperti terikat.
b) Mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar
tanpa stetoskop.
c) Pernafasan cuping hidung.
d) Ketakutan dan diaforesis.
2) Bronkhitis
a) Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-
abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari.
b) Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing.
c) Sesak nafas
3) Bronkhitis (tahap lanjut)
a) Penampilan sianosis
b) Pembengkakan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh
edema asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor
pulmunal).
4) Emphysema
a) Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest”
(diameter thoraks anterior posterior meningkat sebagai
akibat hiperinflasi paru-paru).
b) Fase ekspirasi memanjang.
5) Emphysema (tahap lanjut)
a) Hipoksemia dan hiperkapnia.
b) Penampilan sebagai “pink puffers”
c) Jari-jari tabuh.
c. Keadaan umum :
1) Kesadaran mengalami penurunan jika ditemukan keluhan pusing
fatique
2) Vital Sign : suhu kadang-kadang ditemukan sub febris/ demam
nadi dapat meningkatkan/ menurunkan , Tekanan darah relative
menurun, pernapasan meningkat.

d. Kulit

Teraba panas. Warna kulit Cyanosis. Turgor kulit menurun.

e. Kepala

Tidak ada benjolan pada kulit kepala dan wajah bentuk simetris.
f. Mata

Mata simestris antara kanan dan kiri, sclera tidak ikterik dan
konjungtiva tampak anemis, respon pupil terhadap cahaya mengecil
bila terkena cahaya.

g. Telinga

Daun telinga simetris dan tidak ada lesi. Pendengaran tidak


menggunakan alat bantu.

h. Hidung dan Sinus

Posisi anatomis hidung bentuk simetris dan terdapat pernafasan


cuping hidung.

i. Leher

Distensi vena jugularis.

j. Pemeriksaan dada/ pernafasan

Dapat ditemukan batuk dengan sputum/ dahak dengan


haemapysis nyeri dada dan sesak nafas dispnea, suara nafas
tambahan : wheezing, sianosis ekspirasi memanjang pada auskultasi
memanjang pada auskultasi trakhea : sianosis.

k. Riview Of System
1) Sistem Pernafasan (B1 : Breathing)
Nafas pendek, khususnya pada saat kerja, cuaca atau
episode serangan asthma, rasa dada tertekan/ketidakmampuan
untuk bernafas. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap
hari selama 3 bulan berturut-turut selam 3 tahun sedikitnya 2
tahun. Sputum hijau, putih, kuning dengan jumlah banyak
(bronchitis), episode batuk hilang timbul dan tidak produktif
(empisema), riwayat Pneumonia, riwayat keluarga defisiensi
alfa antitripsin, Respirasi cepat dangkal, biasa melambat, fase
ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir
(empisema), pengguanaan otot bantu pernafasan, dada barell
chest, gerakan diafragma minimal. bunyi nafas ronchi,
wheezing, redup, perkusi hypersonor pada area paru (udara
terjebak, dan dapat juga redup/pekak karena adanya cairan).
Pada pasien Bronkhitis kronis: batuk persisten, produksi sputum
seperti kopi, dispnea dalam beberapa keadaan, variabel
wheezing pada saat ekspresi, serta seringnya infeksi pada sitem
respirasi.
2) Sistem Kardiovaskuler (B2 : Bleeding)
Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung,
distensi vena leher, pembesaran jantung (bronchitis kronis), cor
pulmonal (bronchitis kronis), dan Hematokrit >60% (bronchitis
kronis).
3) Sistem Persarafan (B3 : Brain)
Tidak ada gangguan.
4) Sistem Pencernaan - Eliminasi Alvi (B4 : Bowel)
Mual/muntah, nafsu makan menurun, penurunanan BB
menetap (empisema) dan peningkatan BB karena edema
(Bronkitis).
5) Tulang-Otot-Integumen (B6 : Bone)
Pembengkakan pada ekstremitas bawah, sianosis perifer,
kelemahan umum/kehilangan masa otot, turgor kulit buruk,
edema, sianosis bibir dan dasar kuku, jari tabuh, dan lain
sebagainya.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Test faal paru
1) Kapasitas inspirasi menurun
2) Volume residu : meningkat pada emphysema, bronkhitis dan
asthma
3) FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit
Paru Obstruktif Kronik
4) FVC awal normal  menurun pada bronchitis dan astma.
5) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada
emphysema).
b. Transfer gas (kapasitas difusi).
Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik Transfer gas relatif baik.
Pada emphysema : area permukaan gas menurun.

Transfer gas (kapasitas difusi).menurun

c. Darah :
Hb dan Hematokrit meningkat pada polisitemia sekunder.
Jumlah darah merah meningkat

Eo dan total IgE serum meningkat.

Analisa Gas Darah  gagal nafas kronis.

Pulse oksimetri  SaO2 oksigenasi menurun.

Elektrolit menurun oleh karena pemakaian deuritika pada cor


pulmunale.

d. Analisa Gas Darah


PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada astma.
PH normal asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
e. Sputum :
Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran.

Kuman patogen >> :

Streptococcus pneumoniae.

Hemophylus influenzae.

Moraxella catarrhalis.

f. Radiologi :
Thorax foto (AP dan lateral).
Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area
paru-paru.

Pada emphysema paru :


- Distensi >
- Diafragma letak rendah dan mendatar.
- Ruang udara retrosternal > (foto lateral).
- Jantung tampak memanjang dan menyempit.
g. Bronkogram
menunjukkan dilatasi bronkus, kolap bronkhiale pada ekspirasi
kuat.
h. EKG.
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise
jantung. Bila sudah terdapat Kor Pulmonal terdapat deviasi aksis ke
kanan dan P- pulmonal pada hantaran II, III dan aVF. Voltase QRS
rendah. Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 V1 rasio R/S kurang
dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.

i. Lain-lain perlu dikaji


Berat badan, rata-rata intake cairan dan diet harian.

B. Diagnosa Keperawatan
Memberikan dasar-dasar memilih intervensi untuk mencapai hasil
menjadi tanggung jawab dan tanggung gugat perawat.
Adapun diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien dengan
COPD adalah sebagai berikut :
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal dan kental.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
berkurang. (obstruksi jalan napas oleh secret, spasme bronkus).
3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan
pada selaput paru-paru.
4. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder terhadap peningkatan
kerja pernafasan atau kesulitan masukan oral sekunder dari anoreksia.
5. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek, mucus
bronkokonstriksi dan iritan jalan napas.
6. Intoleransi aktivitas akibat keletihan hipoksemia dan pola pernapasan
tidak efektif
7. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang
penyakitnya.
8. Kurang pengetahuan mengenai proses dan prognosis penyakit
berhubungan dengan kurang informasi. ( Doenges, 1999. hal 156 ).

C. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan langkah berikutnya adalah
menentukan perencanaan keperawatan yang meliputi pengembangan strategi
desain untuk mencegah, dan mengurangi. ( Nursalam, 2001. hal 51 ).
Tahap dalam perencanaan meliputi penentuan prioritas masalah, tujuan,
kriteria hasil dari masing-masing masalah yang ditemukan.
1. Tujuan Penatalaksanaan

a. Mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.


b. Pemeliharaan fungsi paru yang optimal dalam waktu singkat dan
panjang.
c. Pencegahan dan penanganan eksaserbasi.
d. Mengurangi perburukan fungsi paru setiap tahunnya.
2. Kriteria Keberhasilan :

a. Berkurangnya gejala sesak nafas.


b. Berkurangnya frekuensi dan lamanya eksaserbasi.
c. Membaiknya faal paru.
d. Menurunnya gejala psikologik (depresi, kecemasan).
e. Memperbaiki kualitas hidup.
f. Dapat melakukan aktifitas sehari-hari.

Intervensi dan rasional pada penyakit COPD disajikkan pada tabel 6-3
yang dibuat berdasarkan konsep nursing intervention clasification (NIC) dan
nursing outcome clasification (NOC).
DIAGNOSA TUJUAN RENCANA TINDAKAN RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas Klien dapat meningkatkan 1. Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio 1. Takipnea biasanya ada beberapa derajat dan
tak efektif bersihan jalan nafas inspirasi/ekspirasi. dapat ditemukan pada penerimaan atau selama
berhubungan dengan stress/adanya proses infeksi akut. Pernapasan
gangguan peningkatan Kriteria hasil dapat melambat dan frekuensi ekspirasi
produksi sekret, memanjang dibanding inspirasi.
sekresi tertahan, tebal 1. Mempertahankan jalan 2. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya 2. Peninggian kepala tempat tidur mempermudah
dan kental. napas paten dan bunyi peninggian kepala tempat tidur, duduk dan pernapasan dan menggunakan gravitasi.
napas bersih/jelas. sandaran tempat tidur. Namun pasien dengan distress berat akan
2. Mampu mencari posisi yang lebih mudah untuk
mendemonstrasikan batuk bernapas. Sokongan tangan/kaki dengan meja,
terkontrol bantal dan lain-lain membantu menurunkan
3. Intake cairan adekuat kelemahan otot dan dapat sebagai alat ekspansi
dada.
3. Kaji kemampuan klien untuk memobilisasi sekresi, 3. Memantau tingkat kepatenan jalan nafas dan
jika tidak mampu : meningkatkan kemampuan klien merawat diri /
a. Ajarkan metode batuk terkontrol membersihkan/membebaskan jalan nafas
b. Gunakan suction (jika perlu untuk
mengeluarkan sekret)
c. Lakukan fisioterapi dada
4. Secara rutin tiap 8 jam lakukan auskultasi dada 4. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan
untuk mengetahui bunyi napas, catat adanya bunyi obstruksi jalan napas dan dapat/tidak
napas misalnya : mengi, krokels dan ronki. dimanifestasikan dengan adanya bunyi napas
adventisius, misalnya : penyebaran, krekels
basah (bronchitis), bunyi napas redup dengan
ekspirasi mengi (emfisema), atau tidak adanya
bunyi napas (asma berat).Mengencerkan secret
agar mudah dikeluarkan
5. Catat adanya /derajat disepnea, misalnya : keluhan 5. Disfungsi pernapasan adalah variable yang
“lapar udara”, gelisah, ansietas, distress tergantung pada tahap proses kronis selain
pernapasan, dan penggunaan obat bantu. proses akut yang menimbulkan perawatan di
rumah sakit, misalnya infeksi dan reaksi alergi.
6. Dorong/bantu latihan napas abdomen atau bibir. 6. Memberikan pasien beberapa cara untuk
mengatasi dan mengontrol dispnea dan
menurunkan jebakan udara.
7. Observasi karakteristik batuk, misalnya : menetap, 7. Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif,
batuk pendek, basah, bantu tindakan untuk khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau
memperbaiki keefektifan jalan napas. kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi
duduk paling tinggi atau kepala dibawah setelah
perkusi dada.
8. Berikan obat sesuai dengan resep; mukolitik, 8. mengencerkan sekert
ekspektorans
9. Bronkodilator, misalnya, β-agonis, efinefrin 9. Merilekskan otot halus dan menurunkan
(adrenalin, vavonefrin), albuterol (proventil, kongesti local, menurunkan spasme jalan napas,
ventolin), terbutalin (brethine, brethaire), isoeetrain mengi dan produksi mukosa. Obat-obatan
(brokosol, bronkometer). mungkin per oral, injeksi atau inhalasi. dapat
meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada
diafragma.
10. Anjurkan minum kurang lebih 2 liter per hari bila 10. Hidrasi membantu menurunkan kekentalan
tidak ada kontra indikasi secret, mempermudah pengeluaran. Penggunaan
air hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
Cairan selama makan dapat meningkatkan
distensi gaster dan tekanan pada diafragma.

11. Anjurkan klien mencegah infeksi / stressor 11. Menghindarkan bahan iritan yang menyebabkan
a. Cegah ruangan yang ramai pengunjung atau kerusakan jalan nafas
kontak dengan individu yang menderita
influenza
b. Mencegah iritasi : asap rokok
c. Imunisasi : vaksinasi Influensa.
2. Kerusakan pertukaran Klien mampu menunjukkan 1. Observasi status pernafasan, hasil gas darah arteri, 1. Memantau perkembangan kegawatan
gas berhubungan perbaikan oksigenasi. nadi dan nilai oksimetri pernafasan
dengan gangguan 2. Awasi perkembangan membran mukosa / kulit 2. Gangguan Oksigenasi perifer tampak cianosis
suplai oksigen Kriteria hasil (warna)
berkurang. (obstruksi
jalan napas oleh secret, 1. Gas arteri dalam batas 3. Observasi tanda vital dan status kesdaran. 3. Menentukan status pernafasan dan kesadaran
spasme bronkus). normal
2. Warna kulit perifer 4. Evaluasi toleransi aktivitas dan batasi aktivitas klien 4. Mengurangi penggunaan energi berlebihan yang
membaik (tidak cianosis) membutuhkan banyak Okigen
3. RR : 12 – 24 x /menit
4. Bunyi nafas bersih 5. Berikan oksigenasi yang telah dilembabkan 5. Memenuhi kebutuhan oksiegen
5. Batuk (-) 6. Pertahankan posisi fowler dengan tangan abduksi 6. Meningkatkan kebebasan suplay oksigen
6. Ketidaknyamanan dada dan disokong dengan bantal atau duduk condong ke
(–) depan dengan ditahan meja.
7. Nadi 60 – 100 x/menit 7. Kolaborasi untuk 7. Obat depresan akan mendepresi system
8. Dyspnea (–) a. Berikan obat yang telah diresepkan pernafasan dan menyebabkan gagal nafas
b. Berikan obat depresan saraf dengan hati-hati
(sedatif/narkotik).
3. Gangguan rasa Rasa nyeri berkurang sampai 1. Tentukan karakteristik nyeri, miaalnya ; tajam, 1. Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat
nyaman : nyeri hilang. konsisten, di tusuk, selidiki perubahan pneumonia, juga dapat timbul komplikasi seperti
berhubungan dengan karakter/intensitasnyeri/lokasi. perikarditis dan endokarditis.
proses peradangan Kriteria hasil :
pada selaput paru- 2. Pantau tanda-tanda vital. 2. Perubahan frekuensi jantung atau TD
paru. - Klien mengatakan rasa menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri,
nyeri berkurang/hilang. khususnya bila alasan lain untuk perubahan
- Ekspresi wajah rileks. tanda-tanda vital.
3. Berikan tindakan nyaman, misalnya ; pijatan 3. Tindakan non-analgetik diberikan dengan
punggung, perubahan posisi, musik sentuhan lembut dapat menghilangkan
tenang/perbincangan, relaksasi/latihan napas. ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi
analgesic.
4. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering. 4. Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat
mengiritasi dan mengeringkan memberan
mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan 5. Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada
dada selama episode batuk. sementara meningkatkan keefektifan upaya
batuk.
6. Berikan analgesic dan antitusif sesuai indikasi. 6. Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk
non produktif/proksimal atau menurunkan
mukosa berlebihan, meningkatkan
kenyamanan/istirahat umum.

4. Gangguan kebutuhan Klien akan menunjukkan 1. Kaji kebiasaan diit. Catat derajat kesulitan 1. Pasien distress pernafasan sering anoreksia. Dan
nutrisi kurang dari kemajuan/peningkatan makan/masukan. Evaluasi BB juga sering mempunyai pola makan yang buruk.
kebutuhan tubuh status nutrisi Sehingga cenderung BB menurun
berhubungan dengan
ketidakadekuatan Kriteria hasil 2. Berikan perawaatan oral 2. kebersihan oral menhilangkan bakteri
intake nutrisi sekunder penumbuh bau mulut dan eningkatkan
terhadap peningkatan b. Klien tidak mengalami rangsangan /nafsu makan
kerja pernafasan, kehilangan BB lebih lanjut 3. Hindari makanan penghasil gas dan minuman 3. menimbulkan distensi abdomen dan
kesulitan masukan oral c. Masukan makanan dan karbont meningkatkan dispnea
sekunder dari cairan meningkat
anoreksia d. Urine tidak pekat 4. Sajikan menu dalam keadaan hangat 4. Menu hangat mempenga-ruhi relaksasi
e. Output urine meningkat. spingkter / saluran pencrnaan shg respon
f. Membran mukosa lembab mual/muntah berkurang
g. Kulit tidak kering 5. Anjurkan makan sedikit tapi sering 5. menegah perut penuh dan menurunkan resiko
h. Tonus otot membaik mual
6. Kolaborasi tim nutrisi untuk menentukan diit 6. Menentukan diit yang tepat sesuai perhitungan
ahli gizi
5. Pola nafas tidak efektif Perbaikan dalam pola 1. Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan 1. Membantu pasien memperpanjang waktu
berhubungan dengan pernapasan pernapasan bibir dirapatkan ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan
nafas pendek, mucus Kriteria Hasil: bernapas dengan efisien dan lebih efektif
bronkokonstriksi dan - Melatih pernapasan bibir 2. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas 2. Memberikan jeda aktivitas akan
iritan jalan napas. dirapatkan dan dengan periode istirahat. Biarkan pasien membuat memungkinkan pasien untuk melakukan
diafragmatik serta beberapa keputusan ( mandi, bercukur) tentang aktivitas tanpa distress berlebihan.
menggunakannya ketika perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien.
sesak nafas dan saat 3. Berikan dorongan penggunaan otot pernapasan jika 3. Menguatkan dan mengkondisikan otot-otot
melakukan aktivitas diharuskan pernapasan.
- Memperlihatkan tanda-
tanda penurunan upaya
bernapas dan membuat ‘
jarak dalam aktivitas
- Menggunakan pelatihan
oto-otot inspirasi seperti
yang diharuskan selama
10 menit setiap hari

6. Intoleransi aktivitas perbaikan daalam toleransi Mendukung pasien menegakkan regimen latihan teratur
akibat keletihan aktivitas dengan menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan
hipoksemia dan pola Kriteria Hasil: atau latihan lainnya yang sesuai seperti berjalan
pernapasan tidak - Melakukan aktivitas perlahan.
efektif dengan napas pendek a. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan
lebih sedikit. kembangkan rencana latihan berdasarkan pada
- Mengungkapkan perlunya status fungsi dasar
untuk melakukan latihan
setiap hari b. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk Otot-otot yang mengalami kontaminasi
- Berjalan secara bertahap menentukan program latihan spesifik terhadap membutuhkan lebih banyak oksigen dan memberikan
meningkatkan waktu dan kemampuan pasien. Siapkan unit oksigen portable beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan
jarak berjalan untuk untuk berjaga-jaga jika diperlukan selama latihan. yang teratur, bertahap, kelompok otot ini menjadi
memprbaiki kondisi fisik lebih terkondisi, dan pasien dapat melakukan lebih
banyak tanpa mengalami napas pendek. Latihan yang
bertahap memutus siklus yang melemahkan ini.

7. Cemas berhubungan Tujuan : rasa cemas 1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien. 1. Untuk menentukan tingkat kecemasan yang
dengan kurangnya berkurang/hilang. dialami pasien sehingga perawat bisa
pengetahuan tentang memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
penyakitnya. Kriteria Hasil :
2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan 2. Dapat meringankan beban pikiran pasien.
1. Klien mengungkapkan rasa cemasnya.
bahwa ia tidak cemas. 3. Lakukan pendekatan kepada klien dengan tenang 3. Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-
2. Ekspresi wajah rileks. dan meyakinkan dan hindari pemberian informasi pasien sehingga pasien kooperatif dalam
3. RR : 12 – 24 X / menit. atau instruksi yang bertele-tele dan terus menerus. tindakan keperawatan.
4. N : 60 - 100 X / menit 4. Berikan penjelasan yang sederhana dan singkat 4. Penjelasan yang sederhana dan singkat tentang
tentang tujuan intervensi dan pemeriksaan tujuan intervensi dan pemeriksaan diagnostik
diagnostik serta anjurkan kepada klien untuk ikut serta anjurkan kepada klien untuk ikut serta
serta dalam tindakan keperawatan. dalam tindakan keperawatan dapat mengurangi
beban pikiran pasien.
5. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, 5. Sikap positif dari tim kesehatan akan membantu
dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha menurunkan kecemasan yang dirasakan pasien.
memberikan pertolongan yang terbaik dan
seoptimal mungkin.
6. Berikan kesempatan pada keluarga untuk 6. Pasien akan merasa lebih tenang bila ada
mendampingi pasien secara bergantian. anggota keluarga yang menunggu.
7. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman. 7. Lingkung yang tenang dan nyaman dapat
membantu mengurangi rasa cemas pasien.
8. Kurang pengetahuan Klien mengerti tentang 1. Jelaskan/kuatkan penjelasan proses penyakit 1. Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan
mengenai proses dan penyakit, perawatan dan individu. Dorong pasien/orang terdekat untuk perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan.
prognosis penyakit program pengobatannya. menanyakan pertanyaan.
berhubungan dengan 2. Instruksikan/kuatkan rasional untuk latihan napas, 2. Napas bibir dan napas abdominalis/diafragmatik
kurang informasi. Kriteria hasil : batuk efektif, dan latihan kondisi umum. menguatkan otot pernapasan, membantu
meinimalkan kolaps jalan napas kecil, dan
A. Klien memahami proses memberikan indivisu arti untuk mengontrol
penyakit dan kebutuhan dispnea. Latihan kondisi umum meningkatkan
pengobatan. toleransi aktivitas, kekuatan otot, dan rasa sehat.
B. Melakukan 3. Diskusikan obat pernapasan, efek samping dan reaksi 3. Pasien sering mendapatkan obat pernapasan
perilaku/perubahan pada yang tidak diinginkan. banyak sekaligus yang mempunyai efek samping
hidup untuk memperbaiki hamper sama dan potensial interaksi obat.
kesehatan umum dan Penting bagi pasien memahami perbedaan antara
menurunkan resiko efek samping menganggu (obat dilanjutkan) dan
pengaktifan ulang COPD. efek samping merugikan (obat mungkin
C. Mengidentifikasi gejala dihentikan/diganti).
yang menerlukan evaluasi 4. Diskusikan faktor individu yang menigkatkan 4. Faktor lingkungan ini dapat
intervensi. kondisi, misalnya ; udara terlalu kering, angina, menimbulkan/meningkatkan iritasi bronchial
lingkungan dan suhu ekstrem, serbuk, asap menimbulkan peningkatan produksi sekret dan
tembakau, seprai aerosol, polusi udara. Dorong menjadi hambatan jalan napas.
pasien/orang terdekat untuk mencari cara mengontrol
faktor ini dan sekitar rumah.
5. Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan 5. Penghentian merokok dapat
menghentikan merokok pada pasien dan/atau orang memperlambat/menghambat kemajuan COPD.
terdekat. Namun meskipun pasien ingin menghentikan
merokok, diperlukan kelompok pendukung dan
pengawas medis. Catatan : penelitian
menunjukan bahwa rokok “ side-streams “ atau
“second hand’ dapat terganggu seperti halnya
merokok nyata.

6. Diskusikan tentang pentingnya mengikuti perawatan 6. Pengawasan proses penyakit untuk membuat
medik, foto dada periodik, dan culture sputum. program tetapi untuk memenuhi perubahan
kebutuhan dan dapat membantu mencegah
komplikasi.

Tabel 6-3. Intervensi dan rasional pada penyakit COPD


D. Implementasi (Pelaksanaan)
Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan
keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien.
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi,
disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal, intelektual, teknikal
yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan
selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai
implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah
dilakukan dan bagaimana respon pasien.

E. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan


evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah
implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam
perencanaan.

Anda mungkin juga menyukai