Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat jumlah penderita
penyakit Lupus di seluruh dunia dewasa ini mencapai lima juta orang.
Sebagian besar dari mereka adalah perempuan usia produktif dan setiap tahun
ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru.
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit Lupus belum dapat diketahui
secara pasti. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Prof. Handono Kalim,
dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5 % terhadap total populasi
masyarakat Indonesia yaitu sekitar 1.250.000 orang. Akan tetapi, sangat
sedikit yang menyadari bahwa dirinya menderita penyakit Lupus. Hal ini
terjadi karena gejala Lupus pada setiap orang berbeda-beda, tergantung dari
manifestasi klinis yang muncul.
Lupus belum dapat disembuhkan. Tujuan dari pengobatannya adalah
untuk mengurangi gejala-gejala, mendapatkan remisi panjang serta mencegah
kerusakan organ lebih lanjut pada penderita. Dengan adanya pengobatan dan
perawatan yang baik, banyak penderita Lupus yang dapat hidup dengan
normal dan memiliki harapan hidup yang lebih panjang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah dalam
makalah ini yaitu: “Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan imunologi: Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) ?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum
Dapat mengetahui dan memahami asuhan keperawatan yang
diberikan pada pasien dengan gangguan imunologi: Sistemik Lupus
Eritematosus (SLE).
2. Tujuan Khusus

1
a. Dapat memahami konsep penyakit Sistemik Lupus Eritematosus
(SLE)
b. Dapat memahami dan melakukan pengkajian keperawatan pada
pasien dengan gangguan imunologi: Sistemik Lupus Eritematosus
(SLE)
c. Dapat memahami dan menentukan diagnosa keperawatan pada
pasien dengan gangguan imunologi: Sistemik Lupus Eritematosus
(SLE)
d. Dapat memahami dan menentukan intervensi keperawatan pada
pasien dengan gangguan imunologi: Sistemik Lupus Eritematosus
(SLE)
e. Dapat memahami konsep dasar implementasi dan evaluasi
keperawatan pada pasien dengan gangguan imunologi: Sistemik
Lupus Eritematosus (SLE)

2
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus, SLE) adalah
penyakit inflamasi kronik yang menyerang hampir semua sistem tubuh,
termasuk sistem muskuloskeletal (Priscilla, Burke & Bauldoff, 2018).
Sedangkan menurut Ermawan (2018), Lupus atau lebih lengkapnya
Systemic Lupus Erythematosis (SLE) adalah penyakit autoimun sistemik yang
terjadi saat sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan dan organ tubuhnya
sendiri. Peradangan yang disebabkan oleh lupus dapat mempengaruhi banyak
sistem tubuh yang berbeda, termasuk sendi, kulit, ginjal, sel darah, otak,
jantung dan paru – paru.
Menurut Brunner & Suddarth (2014), lupus eritomatosus sitemik (SLE)
adalah penyakit kolagen autoimun inflamasi yang sifatnya kronis yang
disebabkan oleh gangguan pengaturan imun yang mengakibatkan produksi
antibodi yang berlebihan.
Jadi, Systemic Lupus Erythematosis (SLE) adalah suatu penyakit akibat
adanya gangguan pengaturan dalam sistem kekebalan tubuh sehingga sistem
kekebalan tubuh seseorang menyerang jaringan dan organ tubuhnya sendiri.

B. Etiologi
Menurut Priscilla, Burke & Bauldoff (2018) dan Infodatin Lupus (2017),
etiologi pasti SLE tidak diketahui. Akan tetapi, faktor genetik, lingkungan,
dan hormonal memainkan peran dalam terjadinya penyakit.
1. Faktor Genetik
Diketahui bahwa sekitar 7% pasien SLE memiliki keluarga dekat
(orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis SLE. Oleh
karena itu, faktor genetik merupakan salah satu faktor risiko SLE.

2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan seperti infeksi, stress, makanan, virus (misal.,
virus Epstein-Barr), antigen bakteri, kimia, antibiotik (khususnya

3
kelompok sulfa dan penisilin), penggunaan obat – obat tertentu, atau
sinar ultraviolet dapat memainkan peran penting dalam aktivasi
mekanisme patologis penyakit.
3. Faktor Hormonal
Perempuan lebih sering terkena penyakit SLE dibandingkan dengan
laki – laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit SLE sebelum
periode menstruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa
hormon, khususnya estrogen menjadi pencetus penyakit SLE. Namun
hingga saat ini, belum diketahui secara pasti peran hormon yang menjadi
penyebab besarnya prevalensi SLE pada perempuan pada periode
tertentu.

C. Patofisiologi
Menurut Priscilla, Burke & Bauldoff (2018), Patofisiologi SLE
melibatkan produksi sejumlah besar jenis autoantibodi terhadap komponen
tubuh normal seperti asam nukleat, eritrosit, protein koagulasi, limfosit, dan
trombosit. Produksi autoantibodi hasil dari hipereaktivitas sel B (respon
humoral) kerena gangguan fungsi sel 2 (respons imun selular). Sebagian besar
kerakteristik autoantibodi pada SLE menghasilkan respons terhadap asam
nukleat, termasuk DNA, histon, ribonukleoprotein, dan komponen lain
nukleus sel.
Autoantibodi SLE berikatan dengan jaringan target mereka untuk
membentuk kompleks imun, yang kemudian menumpuk di jaringan ikat
pembuluh darah, pembuluh limfatik, dan jaringan lain. Penumpukan tersebut
memicu respon inflamasi dengan melepaskan sitokin, peptida vasoaktif dan
penghancuran enzim dan menyebabkan kerusakan jaringan setempat. Ginjal
adalah tempat yang sering mengalami penumpukan kompleks dan kerusakan
jaringan lain yang terkena, antara lain sistem muskuloskeletal, otak, jantung,
limpa, paru, saluran GI, kulit dan peritoneum. Autoantibodi dihasilkan dan
jaringan target mereka menentukan manifestasi SLE.

D. Manifestasi Klinis

4
Autoantibodi yang dihasilkan pada penderita SLE dapat menyerang
berbagai jaringan dan organ tubuh penderitanya sehingga menifestasi klinis
yang ditimbulkan dapat beragam (sesuai dengan jaringan dan/atau organ yang
terserang penyakit ini). Menurut Priscilla, Burke & Bauldoff (2018) dan
Brunner & Suddarth (2014), manifestasi klinis yang dapat timbul pada
penderita SLE, yaitu:
1. Gejala umum: demam, keletihan, penurunan berat badan, dan
kemungkinan artritis, pleurisi.
2. Sistem muskuloskeletal: artralgia multiped dan poliartritis simetris.
Gejala sendi mengenai lebih dari 90% pasien penderita SLE.
Pembengkakan sendi, nyeri tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang
lazim, disertai dengan kekakuan pada pagi hari. Meskipun sinovitis dapat
terjadi, artritis akibat SLE jarang terjadi.
3. Sistem integument: Sebagian besar penderita SLE mengalami manifestasi
kulit pada beberapa titik selama penyakitnya. Ruam kupu-kupu pada
batang hidung dan pipi muncul pada lebih dari separuh pasien dan
mungkin merupakan prekusor untuk gangguan yang sistemik. Lesi
memburuk selama periode eksaserbasi ("ledakan") dan dapat distimulasi
oleh sinar matahari atau sinar ultraviolet buatan. Ulkus oral dapat
mengenai mukosa bukal dan palatum. Manifestasi kutaneus lain
mencakup lesi diskoid (menonjol, berkerak, lesi sirkuler dengan
rimerithematosus), hiva, lesi ujung jari eritematosa, dan homoragi
splinter. Alopesia umum pada pasien SLE, meskipun rambut biasanya
tumbuh kembali. Ulserasi membran mukosa yang kurang nyeri dapat
terjadi pada bibir atau mulut atau hidung.
4. Sekitar 50% penderita SLE mengalami manifestasi penyakit pada ginjal,
antara lain proteinuria, endapan sel, dan sindrom nefrotik. Hingga 10%
mengalami gagal ginjal sebagai akibat penyakit.
5. Abnormalitas hematologi, seperti anemia, leukopenia, dan
trombositopenia umum terjadi pada pasien yang mengalami SLE.
6. Sistem Kardiovaskuler: perikarditis adalah manifestasi klinis pada
jantung yang paling sering dijumpai, sekitar 40% pasien SLE mengalami
perikarditis. Miokarditis kurang umum, tetapi dapat terjadi gangguan
vaskular seperti vaskulitis dan fenomena Rainaud seringkali terjadi.

5
Pasien SLE mengalami peningkatan resiko kejadian trombosis akut
seperti serangan iskemia transien (transient ischemic attack, TIA), stroke,
dan infark miokard. Wanita yang menderita SLE juga beresiko
mengalami arterosklerosis dini. Lesi papular, eritematosus, dan purpura
dapat muncul di ujung jari, siku, jari kaki, permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan dapat berlanjut menjadi nekrosis.
7. Sistem Pernapasan: Pleuritis, efusi pleura, dan pneumonitis merupakan
manifestasi pulmonal umum pada SLE.
8. Efek sistem syaraf penyakit yang umum terjadi, anatara lain disfungsi
kognitif dengan penurunan intelektual, kehilangan memori, dan
disorientasi. Kemungkinan lain manifestasi neurologis, antara lain sakit
kepala, psikosis, dan kejang.
9. Manifestasi okular, antara lain konjungtivitis, fotofobia dan kebutaan
transien akibat vaskulitis retina.
10. Manifestasi GI SLE, antara lain anoreksia, mual, nyeri abdomen dan
diare, dapat mengenai hingga 45% pasien menderita penyakit. Hati dapat
membesar dan pemeriksaan fungsi hati dapat menunjukkan hasil
abnormal.

E. Pathway

F. Komplikasi
Menurut Ermawan (2018), peradangan yang disebabkan oleh Lupus
dapat mempengaruhi banyak area tubuh, termasuk:
1. Ginjal. Lupus dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang serius, dan
gagal ginjal adalah salah satu penyebab utama kematian di antara
penderita lupus.

6
2. Otak dan system saraf pusat. Jika bagian otak terkena lupus, penderita
dapat mengalami sakit kepala, pusing, perubahan perilaku, masalah
penglihatan, dan bahkan stroke atau kejang. Banyak penderita lupus
mengalami masalah ingatan dan mungkin mengalami kesulitan
mengekspresikan pikiran mereka.
3. Darah dan pembuluh darah. Lupus dapat menyebabkan masalah darah,
termasuk anemia dan peningkatan risiko perdarahan atau pembekuan
darah. Hal ini juga dapat menyebabkan pembengkakan pembuluh darah
(vaskulitis).
4. Paru – paru. Lupus dapat meningkatkan kemungkinan terkena radang
pada lapisan rongga dada (pleurisy), yang bisa membuat pernapasan
terasa nyeri.
5. Jantung. Lupus dapat menyebabkan radang otot jantung, arteri, atau
selaput jantung (pericarditis). Risiko penyakit kardiovaskuler dan
serangan jantung juga meningkat.
6. Infeksi. Orang dengan Lupus lebih rentan terkena infeksi karena penyakit
dan pengobatan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh.
7. Kematian jaringan tulang (avascular necrosis). Hal ini terjadi ketika
suplai darah ke tulang berkurang, sering menyebabkan jeda kecil di
tulang, dan akhirnya sampai ke kolaps tulang.
8. Komplikasi kehamilan. Wanita dengan lupus memiliki peningkatan risiko
keguguran. Lupus meningkatkan risiko tekanan darah tinggi selama
kehamilan (preeklampsia) dan kelahiran prematur.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis LES sulit dan rumit. Penegakan diagnosis dapat memerlukan
evaluasi berulang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Menurut American Colloge of Rheumatology yang dikutip dari Hurst
(2016) dan menurut American Rheumatism Association (ARA) yang dikutip
dari Ermawan (2018), ada 11 kriteria Lupus yang digunakan dokter untuk
mendiagnosis pasien Lupus. Kesebelas diagnosis ini memiliki selektivitas
sebesar 96% apabila dari kesebelas kriteria tersebut ditemukan 4 kriteria.
Kesebelas kriteria tersebut sebagai berikut:

1. Ruam Pipi (Buterfly Rush)

7
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan eritema. Dilakukan
pemeriksaan, apakah terjadi eritema dengan batas tegas, berelevasi atau
datar di muka, terutama di wilayah pipi dan sekitar hidung.

2. Ruam diskoid

Bercak diskoid adalah pemeriksaan adanya ruam pada kulit.

3. Fotosensitivitas

Seseorang yang menderita lupus akan kambuh bila terpapar langsung


dengan sinar UV matahari. Dampaknya akan membentuk dan
memperparah ruam pada kulit. Di tahap inilah perawat perlu melakukan
pemeriksaan fotosensitif bercak akibat reaksi sinar matahari sebagai
bahan diagnosa.

4. Pemeriksaan Mulut

Pemeriksaan ini mencakup pemeriksaan ulkus oral dan nasofaring.

5. Arthritis

Pemeriksaan arthritis dilakukan pemeriksaan nanorosif. Pemeriksaan


ini dilakukan untuk mengetahui kondisi pasien, apakah pasien mengalami
rasa nyeri, bengkak dan periksa apakah pasien mengalami efusi di sekitar
tulang persendian.

6. Pemeriksaan Serositis

Inflamasi jaringan serosa tubuh, jaringan tersebut melapisi paru


(pleura), jantung (perikardium), dan lapisan dalam abdomen
(peritoneum)

7. Pemeriksaan ginjal

Hal yang perlu dicatat yaitu pemeriksaan proteinuria (>0,5g) selama


24 jam dan pemeriksaan sedimen seluler. Pemeriksaan sedimen seluler
dimaksudkan untuk mengetahui apakah terjadi abnormalitas pada air
kemih. Di dalam air kemih terdapat zat yang diperoleh dari sel darah
merah, sel darah putih dan sel tubulus ginjal.

8
8. Pemeriksaan Darah

Dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan darah pada penderita


SLE. Pemeriksaan meliputi leukosit, limfosit dan trombosit.

9. Gangguan Neurologi

Dilakukan untuk mengetahui adanya kemungkinan kelainan pada


sistem neurologi yang biasanya tampak sebagai gangguan kognitif yang
meliputi kepenatan, lemah ingatan, kebingungan, kesulitan
mengungkapkan pikiran.

10. Anti-DNA atau antibodi anti-Smith positif atau pemeriksaan antibodi


menunjukan hasil positif

11. Antibodi antinuklear pada titer yang tinggi.

H. Penatalaksanaan
Upaya penanganan meliputi penatalaksanaan penyakit akut dan kronis.
Tujuan penanganan antara lain mencegah kehilangan fungsi organ yang
progresif, mengurangi kemungkinan penyakit akut, meminimalkan disabilitas
yang disebabkan oleh penyakit, dan mencegah komplikasi akibat terapi.
Pemantauan dilakukan untuk mengkaji aktivitas penyakit dan keefektifan
terapi.

1. Medikasi (Farmakologis)
Pasien yang mengalami SLE ringan atau intermiten mungkin
memerlukan sedikit atau tidak ada terapi selain perawatan penunjang.
Artralgia, arthritis, demam, dan keletihan dapat sering dikelola dengan
aspirin atau NSAID lain. Aspirin terutama berguna untuk pasien SLE
karena efek antitrombosit membantu mencegah thrombosis. Akan tetapi,
hal tersebut menyebabkan toksisitas hati dan hepatitis.
Manifestasi SLE pada kulit dan arthritis mungkin ditangani dengan
obat antimalaria seperti hydroxychloroquine (plaquenil).
Hydrochloroguine juga telah terbukti efektif dalam mengurangi frekuensi
episode akut SLE pada orang yang menderita penyakit ringan atau tidak

9
aktif. Toksisitas retina dan kemungkinan kebutaan ireversibel
merupakanmasalah utama dengan obat ini. Karena alesan ini, pasien yang
mengkonsumsi hydroxychloroguine menjalani pemeriksaan oftalmologi
setiap 6 bulan.
Pasien yang mengalami manifestasi SLE yang berat dan mengancam
jiwa (seperti nefritis, anemia hemolitik, miokarditis, perikarditis, atau
lupus CNS) memerlukan terapi kortikosteroid jangka panjang dalam
dosis tinggi. Pasien tersebut dapat memerlukan 40 hingga 60 mg
prednisone per hari pada awalnya. Dosis diberikan secara cepat jika
penyakit pasien memungkinkan, meskipun penurunan dosis dapat
memicu episode akut. Beberapa pasien SLE memerlukan terapi
kortikosteroid jangka panjang untuk mengelola gejala dan mencegah
kerusakan organ utama. Pasien ini berada pada peningkatan risiko
mengalami efek samping kortikosteroid, seperti efek cushingoid,
peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, osteoporosis teraakselarai,
dan hipokalemia. Agens imunosupresif seperti cychlophosthamide atau
azatioprine dapat digunakan, sendiri atau dalam kombinasi dengan
kortikosteroid, untuk menangani pasien dengan SLE aktif atau lupus
nefritis. Ketika agens digunakan dalam kombinasi, dosis toksik yang
sedikit lebih rendah dari setiap obat dapat digunakan. Pasien yang
menerima agens imunosupresif beresiko mengalami infeksi, malignansi,
depresi sumsum tulang, dan efek toksik spesifik terhadap obat yang
diprogramkan. Penelitian yang melibatkan penggunaan terapi biologis
dengan target limfosit T atau B sedang dilakukan (Fauci et al., 2008)
2. Terapi (Non-Farmakologis)
Karena fotosensitivitas akibat SLE, pasien harus diberi kehati –
hatian untuk menghindari pajanan matahari. Pasien harus menggunkan
tabir surya dengan faktor proteksi matahari 15 atau lebih tinggi ketika
diluar rumah. Kortikosteroid topikal dapat digunakan untuk menangani
lesi kulit. Beberapa dokter merekomendasikan menghindari penggunaan
kontrasepsi oral karena estrogen dapat memicu episode akut.
Pasien nefritis lupus yang berkembang untuk mengalami penyakit
gagal ginjal tahap akhir ditangani dengan dialysis dan transplantasi
ginjal.

10
I. Prognosis
Jika fase akut awal terkontrol, meskipun sangat parah, prognosis jangka
panjang biasanya baik (Hurst, 2016).

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pengumpulan data secara sistematis untuk
menentukan status kesehatan dan fungsional kerja serta respons klien pada
saat ini dan sebelumnya (Induniasih & Hendarsih, 2016). Berbagai data yang
dibutuhkan dikumpulkan melalui wawancara maupun berbagai data dari
observasi atau hasil pemeriksaan laboratorium (Prabowo, 2017).
1. Anamnesa

a. Data Biografi
Merupakan data dasar yang berkaitan dengan identitas klien
yang terdiri atas:

11
1) Identitas pasien, meliputi:
a) Nama,
b) Umur, kelompok umur yang paling banyak terkena Lupus
ada pada usia 15 – 45 tahun (Langow & Anang, 2018).
c) Jenis kelamin, perbandingan perempuan dan pria yang
terkena Lupus adalah 9:1 (Langow & Anang, 2018).
d) Suku bangsa,
e) Agama,
f) Pendidikan,
g) Pekerjaan,
h) Status,
i) Alamat.
2) Penanggung jawab, meliputi:
a) Nama,
b) Umur,
c) Agama,
d) Pendidikan,
e) Pekerjaan,
f) Hubungan,
g) Sumber biaya
b. Keluhan utama
Secara umum keluhan utama pasien yang mungkin muncul
adalah demam (>38oC), keletihan, pembengkakan sendi, nyeri tekan,
dan nyeri pergerakan, kekakuan sendi pada pagi hari, anoreksia dan
penurunan berat badan (Priscilla, Burke & Bauldoff, 2018).
c. Riwayat kesehatan sekarang
Perlu dikaji gejala yang pernah dialami pasien seperti adanya
ruam kupu-kupu, ruam diskoid, nyeri sendi, dan gejala lain yang
mungkin dirasakan. Tanyakan sejak kapan keluhan mulai dirasakan,
hal yang memperberat atau memperingan gejala yang dirasakan serta
keluhan lain yang mungkin dirasakan.
d. Riwayat kesehatan dahulu

12
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu perlu divalidasi
tentang adanya riwayat penyakit autoimun lainnya dan riwayat
adanya manifestasi SLE yang serius yang pernah dialami
sebelumnya seperti gangguan ginjal, jantung atau pernapasan.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit
SLE atau penyakit autoimun lainnya. Hal ini perlu ditanyakan karena
salah satu faktor risiko penyebab SLE yaitu faktor genetik.
f. Riwayat psikososial
Secara intrapersonal, cari tahu perasaan yang dirasakan pasien
(cemas/sedih), sedangkan secara interpersonal cari tahu hubungan
dengan orang lain.
Pengkajian psikososial sering didapatkan adanya kecemasan
dengan kondisi sakit dan keperluan pemenuhan informasi tentang
pola hidup higienis yang dapat membantu pasien SLE mengurangi
kemungkinan perburukan manifestasi yang dialami.

2. Pemeriksaan Fisik
Menurut Priscilla, Burke & Bauldoff (2018) dan Brunner &
Suddarth (2014), pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien dengan
SLE meliputi:
a. Sistem Kardiovaskuler
Kaji tanda – tanda vital, nyeri dada, suara (s1, s2, s3), bunyi
systolic clic, bunyi murmur, friction rub pericardium, lesi papular,
eritematosus, dan purpura dapat muncul di ujung jari, siku, jari kaki,
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan dapat
berlanjut menjadi nekrosis.
b. Sistem Pernapasan
Kaji irama dan kecepatan napas, kesimetrisan pergerakan napas,
penggunaan otot pernapasan tambahan, sesak, suara napas tambahan

13
seperti rales atau ronchi, nyeri saat menarik napas. Patut dicurigai
adanya pleuritis, efusi pleura, dan pneumonitis pada SLE.
c. Sistem integument
Kaji adanya ruam kupu-kupu pada batang hidung dan pipi, lesi
diskoid (menonjol, berkerak, lesi sirkuler dengan rimerithematosus),
hiva, lesi ujung jari eritematosa, hemoragi splinter, ulserasi membran
mukosa pada bibir atau mulut atau hidung.
d. Sistem muskuloskeletal
Kaji adanya pembengkakan sendi, nyeri tekan, dan nyeri
pergerakan serta kekakuan sendi pada pagi hari.
e. Sistem Perkemihan
Kaji adanya edema dan hematuria.
f. Sistem persyarafan
Kaji adanya disfungsi kognitif yang ditandai dengan penurunan
intelektual, kehilangan memori, dan disorientasi. Kemungkinan lain
antara lain sakit kepala, psikosis, dan kejang.
g. Sistem Penginderaan
Kaji adanya konjungtivitis, fotofobia dan kebutaan transien
akibat vaskulitis retina.
h. Sistem Gastrointestinal
Kaji adanya anoreksia, mual, nyeri abdomen, diare yang
ditandai dengan peningkatan bising usus, serta kemungkinan
hepatomegali.
3. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium dapat digunakan sebagai data
penunjang untuk mengetahui kondisi pasien dengan SLE, diantaranya
yaitu:
a. Hasil pemeriksaan urin menunjukkan proteinuria ringan, hematuria,
dan endapan sel darah selama eksaserbasi penyakit ketika ginjal
terkena.
b. Pemeriksaan fungsi ginjal antara lain kreatinin serum dan nitrogen
urea darah (BUN).

14
c. Pemeriksaan darah, meliputi leukosit, limfosit dan trombosit untuk
mengetahui kemungkinan adanya anemia, leukopenia, dan
trombositopenia.
d. Pemeriksaan antibodi menunjukan hasil positif (Anti-DNA atau
antibodi anti-Smith positif)

B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Priscilla, Burke & Bauldoff (2018), prioritas intervensi
keperawatan untuk pasien SLE fokus pada masalah kerusakan integritas kulit,
ketidakefektifan perlindungan, dan gangguan pemeliharaan kesehatan.
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul yaitu:
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi atau ruam
2. Ketidakefektifan perlindungan berhubungan dengan peningkatan risiko
infeksi akibat berbagai masalah sistem organ karena penyakit, terapi
kortikosteroid atau imunosupresif
3. Gangguan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan manajemen
penyakit, seperti keletiahan, arthralgia, artritis, dan peningkatan risiko
infeksi

15
C. Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional


.
1. Kerusakan integritas kulit b.d lesi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji pengetahuan mengenai SLE dan 1. Pengkajian memungkinkan
atau ruam keperawatan selama 3 x 24 kemungkinan efek pada kulit. pasien untuk memberi dasar
jam, diharapkan dampak penyuluhan dan informasi
kerusakan integritas kulit pada mengenai pengetahuan yang
pasien dapat berkurang, ada, meningkatkan
dengan kriteria hasil: pembelajaran dan retensi.
1. pasien dapat menerima 2. Pasien perlu memahamai bahwa
2. Diskusiskan hubungan antara
keadaannya sehingga pajanan matahari mungkin tidak
pajanan matahari dan aktivitas
tidak timbul distress hanya menyebabkan manifestasi
penyakit, baik dermatologis dan
emosi dermatologi, tetapi juga dapat
sistemik.
2. kesiapan pasien terhadap
memicu episode akut.
resiko tinggi infeksi 3. Strategi ini dapat membantu
3. Sarankan strategi berikut untuk
meningkat pasien mempertahankan gaya
3. pasien mau menjaga membatasi pajanan sinar matahari :
hidup normal seraya membantu
- Hindari keluar rumah selama
kebersihan area sekitar
mencegah episode akut.
lesi untuk mengurangi intensitas matahari tertinggi

16
risiko infeksi (10.00 pagi atau 15.00)
- Gunakan tabir surya dengan spf
15 atau lebih tinggi ketika
pajanan sinar matahari tidak
dapat dihindari. Oleskan 30
menit sebelum keluar.
- Oleskan kembali tabir surya
selang berenang, latihan atau
mandi
- Gunakan pakaian yang longgar
dengan celana panjang dan wide
– brimmed hats ketika keluar
rumah.
4. Jaga kulit tetap bersih dan kering; 4. Tindakan ini membantu
oleskan krim atau salep terapeutik ke penyembuhan dan mengurangi
lesi sesuai program. risiko infeksi.

17
2. Ketidakefektifan perlindungan b. d Setelah dilakukan tindakan 1. Cuci tangan sebelum dan setelah 1. Hygiene tanagn menghilangkan
peningkatan risiko infeksi akibat keperawatan selama 3 x 24 memberikan perawatan langsung. organisme sementara dari kulit,
berbagai masalah sistem organ jam, diharapkan mengurangi resiko penularan ke
karena penyakit, terapi ketidakefektifan perlindungan pasien.
2. Gunakan teknik aseptik ketat dalam 2. Teknik aseptik memberi
kortikosteroid atau imunosupresif diri pasien dapat teratasi,
merawat jalur intravena dan kateter perlindungan terhadap
dengan kriteria hasil:
1. Perlindungan terhadap urine menetap atau melakukan mikroorganisme eksternal dan
pasien berkaitan dengan semua perawatan luka. mikroorganisme pejamu yang
risiko infeksi dapat tinggal.
3. Terapi dapat menekan respon
ditingkatkan 3. Kaji infeksi secara sering. Monitor
2. Hasil pemeriksaan yang biasa. Seperti peningkatan
suhu dan tanda-tanda vital setiap 4
laboratorium pasien suhu dan inflamasi. Demam
jam. Kaji tanda selulitis, termasuk
menunjukkan perubahan infeksi dapat disalahartikan
nyeri tekan, kemerahan, dan hangat.
kearah yang lebih baik sebagai demam yang umum
Laporkan tanda infeksi ke dokter
3. Efek samping pemberian
berkaitan dengan lupus. Pasien
secara cepat.
terapi pada pasien dapat
menerima terapi imunosupresif
dikurangi
untuk pasien yang memiliki
4. Pasien berpartisipasi
risiko lebih tinggi untuk infeksi.
untuk menjaga kebersihan
salah satunya dengan
4. Peningkatan hitung WBC

18
melakukan hand hygene 4. Monitor nilai laboratorium, termasuk dengan bergeser ke kiri
CBC dan pemeriksaan fungsi organ; (peningkatan jumlah leukosit
laporkan perubahan kedokter. imatur dalam darah) mungkin
menjadi indikasi awal infeksi.
Perubahan pada pemeriksaan
fungsi ginjal, enzim miokard,
atau nilai laboratorium lain
dapat mengindikasikan
keterlibatan sistem organ.
5. Prosedur ini memberi
perlindungan lebih lanjut dari
5. Mulai prosedur isolasi balik atau
infeksi untuk pasien luluh imun
protektif jika diindikasikan oleh
berat.
status imun pasien.
6. Nutrisi adekuat penting untuk
penyembuhan dan fungsi sistem
6. Pastikan asupan nutrien adekuat,
imun.
tawarkan pemberian makan
suplemen jika diindikasikan atau
mempertahankan nutrisi parenteral 7. Hygiene tangan mengurangi
jika diperlukan. risiko infeksi dengan organisme

19
7. Ajarkan pasien pentingnya hygiene endogen.
tangan yang baik setelah
menggunakan kamar mandi dan 8. Medikasi digunakan untuk
sebelum makan. menangani SLE memiliki
8. Monitor kemungkinan efek samping
banyak kemungkinan efek
medikasi mencakup trombositopenia
simpang yang dapat
dan kemungkinan perdarahan,
mengganggu mekanisme
retensi cairan dengan edema dan
perlindungan dan homeotatis
kemungkinan hipertensi, kehilangan
normal.
densitas tulang, osteoporosis, dan
kemungkinan gambar patologi,
toksisitas ginjal atau hati, dan efek
jantung, terutama pada pasien yang
mengalami retensi cairan dan
hipervolemia.

3. Gangguan pemeliharaan kesehatan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan untuk 1. Sebelum melakukan intevensi
b.d manajemen penyakit, seperti keperawatan selama 3 x 24 mempertahankan kesehatan optimal, guna meningkatkan
keletiahan, arthralgia, artritis, dan jam, diharapkan gangguan mengidentifikasi faktor fisik dan pemeliharaan kesehatan pasien,

20
peningkatan risiko infeksi pemeliharaan kesehatan pasien psikososial yang dapat memengaruhi perawat harus mengidentifikasi
dapat teratasi, dengan kriteria pemeliharaan kesehatan. dan memengaruhi faktor yang
hasil: memengaruhinya.
1. Pasien memahami dan mau 2. Untuk melakukan intervensi
2. Beri asuhan dan penyuluhan dengan
meningkatkan manajemen secara efektif, perawat harus
cara yang tidak menghakimi.
kesehatan diri menerima pasien dan keluarga
2. Pasien menunjukkan
sesuai diri mereka sendiri.
koping positif 3. Diskusi terbuka membantu
3. Anjurkan pasien dengan anggota
3. Adanya dukungan dari
pasien dan keluarga
keluarga untuk mendiskusikan efek
keluarga pasien untuk
mengidentifikasi barier terhadap
penyakit dalam kehidupan mereka.
pemeliharaan kesehatan
pemeliharaan kesehatan dan
pasien
mulai menggali strategi
alternatif.
4. Dalam konferensi asuhan ini,
4. Mulai konferensi asuhan
sejumlah perspektif dapat
antardisiplin bersama pasien dan
diungkapkan, memperbaiki
keluarga.
rencana strategi untuk aktivitas
pemeliharaan kesehatan.
5. Konseling dapat membantu
5. Rujuk pasien dan keluarga untuk pasien dan keluarga

21
konseling jika diperlukan. mengembangkan keterampilan
koping yang diperlukan untuk
menerima dan mengatasi
penyakit.
6. Kelompok dan agensi ini
merupakan sumber yang bernilai
6. Rujuk pasien dan keluarga ke
bagi pasien dan keluarga.
komunitas dan agensi pelayanan
sosial, serta kelompok bantuan lokal.

22
D. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi ke status kesehatan yang baik. Implementasi merupakan realisasi
dari perencanaan keperawatan (Induniasih & Hendarsih, 2016).

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan untuk
mengetahui sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.
Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan antara hasil akhir yang
teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan
(Induniasih & Hendarsih, 2016).

23
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus, SLE) adalah
penyakit inflamasi kronik yang menyerang hampir semua sistem tubuh,
termasuk sistem muskuloskeletal (Priscilla, Burke & Bauldoff, 2018).
Penyebab dari Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus
erythematosus, SLE) diantaranya: faktor genetik, faktor lingkungan, dan
faktor hormonal.
Menurut Priscilla, Burke & Bauldoff (2018) dan Brunner & Suddarth
(2014), manifestasi klinis yang dapat timbul pada penderita SLE, yaitu: gejala
umumnya meliputi demam, keletihan, penurunan berat badan, dan
kemungkinan artritis, pleurisi.
Menurut Ermawan (2018), peradangan yang disebabkan oleh Lupus
dapat mempengaruhi banyak area tubuh, termasuk: ginjal, otak dan sistem
saraf pusat, darah dan pembuluh darah, paru-paru, jantung, infeksi, kematian
jaringan tulang, dan komplikasi kehamilan.
Pemeriksaan diagnostik pada pasien yang menderita Lupus eritematosus
sistemik (systemic lupus erythematosus, SLE) adalah: ruam pipi, ruam
diskoid, fotosensitivitas, pemeriksaan mulut, arthritis, pemeriksaan serositis,
pemeriksaan ginjal, pemeriksaan darah, gangguan neurologi, anti-DNA, dan
antibodi antinuklear.

B. Saran
Pengetahuan dan kesadaran masyarakat harus di tingkatkan mengenai
pentingnya menyadari penyakit Lupus, bisa dilakukan sosialisasi mengenai
penyakit Lupus oleh tenaga perawat, karena sangat sedikit yang menyadari
bahwa dirinya menderita penyakit Lupus. Hal ini terjadi karena gejala Lupus
pada setiap orang berbeda-beda, tergantung dari manifestasi klinis yang
muncul. Untuk mengetahui seseorang terkena penyakit lupus maka segera
periksakan ke pelayanan kesehaan terdekat, agar kelak tidak terjadi
komplikasi yang dapat mempengaruhi banyak area tubuh. Seorang perawat

24
profesional juga perlu meningkatkan kemampuan dan keterampilannya dalam
memberikan asuhan keperawatan yang tepat bagi pasien lupus.

DAFTAR PUSTAKA

25
Brunner & Suddarth. 2014. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 12. Alih Bahasa: Devi Yulianti. Jakarta: EGC

Ermawan, Budhy. 2018. Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Sistem


Imunologi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Hurst, Marlene. 2016. Belajar Mudah Keperawatan Medikal-Bedah. Alih Bahasa:


Devi Yulianti. Jakarta: EGC

Induniasih & Hendarsih, Sri. 2016. Metodologi Keperawatan. Yogyakarta:


Pustaka Baru Press

Infodatin Lupus 2017.pdf Diakses dari http://www.depkes.go.id/resources/


download/pusdatin/infodatin/Infodatin-Lupus-2017.pdf Pada 23 Maret 2019
Pukul 15.25 WIB

Langow, Sandra Sinthya & Y B, Anang. 2018. A to Z Penyakit Rematik Autoimun.


Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

LeMone, Priscilla; Burke, Karen M & Bauldoff, Gerene. 2018. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Muskuloskeletal Edisi 5. Alih
Bahasa: Wuri Praptiani. Jakarta: EGC

26

Anda mungkin juga menyukai