Anda di halaman 1dari 7

Asma Bronkial Stabil

No. Dokumen No. Revisi Halaman1/4


............................... 0
RSUP Dr. SARDJITO
Disusun Oleh Diperiksa Oleh:

Tanggal Terbit KSM Paru Direktur Medik Dan Keperawatan

Panduan Praktik Ditetapkan Oleh:


Januari 2019 Direktur Utama,
Klinik

DR dr. Darwito SH SpB(K) Onk


NIP. 196002031988031003
- PPK ini khusus membahas tatalaksana Asma Bronkial Stabil, terutama
1. Wewanti asma persisten sedang dan berat
- Repons pasien terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi
- PPK ini berlaku sejak tanggal diterbitkan sampai revisi berikutnya
2. Pengertian Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernafasan yang ditandai
dengan riwayat gejala seperti mengi, nafas pendek, dada terasa berat, batuk
yang terjadi bervariasi sepanjang hari dan intensitasnya disertai dengan
expiratory airflow limitation yang bervariasi1,2.
3. Anamnesis Pasien datang dengan keluhan : mengi, nafas pendek, dada terasa berat,
batuk yang terjadi bervariasi sepanjang hari dan intensitasnya, memburuk
saat malam dipicu oleh aktivitas, cuaca, alergen, kelembaban udara dan
iritasi.
4. Pemeriksaan Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
Fisik normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah
wheezing ekspiratoir saat auskultasi paru. Pada asma stabil, pemeriksaan
fisik dapat normal.
5. Pemeriksaan Parameter dan metode untuk menilai faal paru pada asma bronchial yang
Penunjang secara luas digunakan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak
ekspirasi
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik 1 (VEP1) dan kapasitas vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Nilai normal dari VEP1/KVP >75%, bila terjadi obtruksi jalan
nafas VEP1/KVP < 75% atau VEP1 <80% nilai prediksi. Reversibilitas,
yaitu perbaikan VEP1 secara spontan atau setelah inhalasi bronkodilator.
Reversibilitas ini dapat membantu diagnosis asma dan menilai derajat berat
asma.
Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter). Alat ini relatif lebih mudah digunakan untuk memantau
kondisi asma. Reversibilitas, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah uji
bronkodilator dapat bermanfaat dalam diagnosis asma. Cara pemeriksaan
variabilitas APE harian : diukur pagi hari untuk mendapat nilai terendah dan
malam hari untuk mendapat nilai tertinggi.
Adanya expiratory airflow limitation yang bervariasi:
 Setidaknya 1x pemeriksaan diagnostik tercatat FEV1 Rendah atau
FEV1/FVC < 75-80%
 Bronkodilator reversibilitas, FEV1 > 12% setelah pemberian
bronkodilator
 Adanya variasi diurnal harian > 10% pada APE
 FEV1 meningkat > 12 % nilai prediktif setelah 4 minggu pemberian
anti inflamasi
Pemeriksaan Penunjang Lain untuk Diagnosis
Uji Provokasi Bronkus
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal, uji ini sebaiknya
dilakukan. Uji ini mempunyai nilai sensitivitas tinggi dan spesifisitas
rendah.
Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji ini mempunyai nilai kecil
untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor
risiko/pencetus dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan.
6. Kriteria Diagnosis asma bronkhial dapat ditegakkan berdasarkan keluhan dan gejala
Diagnosis klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya1
1. Gejala yang khas seperti mengi, nafas pendek, dada terasa berat,
batuk yang terjadi bervariasi sepanjang hari dan intensitasnya,
memburuk saat malam dipicu oleh aktivitas, cuaca, alergen
2. Adanya bukti expiratory airflow limitation :
a. terdapat reversibilitas bronkodilator pada uji spirometri (FEV 1
meningkat > 12% atau 200 ml post uji bronkodilator)
b. nilai rata-rata variabilitas harian peak flow meter > 10%, pada 1-
2 minggu pengamatan. Pengukuran peak flow meter dilakukan
minimal 2x sehari, paling baik 3x pengukuran. Pengukuran
dapat dilakukan apabila muncul gejela atau pada pagi hari.
Dihitung dengan cara : (APE tertinggi-APE terendah) dibagi
rata-rata APE harian tertinggi dan terendah, dibuat rata-rata
selama 1-2 minggu pengukuran
c. terdapat peningkatan FEV 1 > 12 % dari baseline setelah
pemberian anti inflamasi selama 4 minggu.
d. Penurunan FEV1 lebih dari 10 % dan > 200 ml pada exercise
challenge test.
e. Penurunan FEV1 ≥ 20% dari baseline pada bronchial challenge
test (metakolin dan histamine dosis standar), atau ≥ 15% dengan
hiperventilasi yang terstandar, saline hypertonic, dan manitol.
f. Variasi FEV 1 >12 % atau > 200 ml selama beberapa kali
kunjungan ke dokter, pada saat tidak terjadi infeksi saluran
nafas.

7. Diagnosis J45Asthma
(ICD 10) J45.0 Predominantly allergic asthma
Allergic:
 bronchitis NOS
 rhinitis with asthma
Atopic asthma
Extrinsic allergic asthma
Hay fever with asthma
J45.1Nonallergic asthma
Idiosyncratic asthma
Intrinsic nonallergic asthma
J45.8Mixed asthma
Combination of conditions listed in J45.0 and J45.1
J45.9Asthma, unspecified
Asthmatic bronchitis NOS
Late-onset asthma
8. Diagnosis a. PPOK,
Banding b. gagal jantung kongestif,
c. obstruksi mekanis (misal tumor)

9. Tatalaksana Program penatalaksanaan asma meliputi 7 komponen, yaitu :


1. Edukasi
2.Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3.Identifikasi dan mngendalikan faktor pencetus
4.Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5.Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6.Kontrol secara teratur
7.Pola hidup sehat

Prinsip terapi pada asma, sesuai rekomendasi GINA 2018:


 Saat ini, terapi langkah 1 adalah dengan pemberian short-acting
beta2 -agonist (SABA) saat dibutuhkan saja. Namun, peradangan
saluran napas kronis telah ditemukan bahkan pada pasien dengan
gejala asma jarang atau pasien dengan onset baru. Penelitian
penggunaan kortikosteroid inhalasi (ICS) pada populasi ini masih
sangat terbatas1.
 Pengobatan dengan ICS dosis rendah secara teratur setiap hari
sangat efektif dalam mengurangi gejala asma dan mengurangi risiko
eksaserbasi terkait asma, rawat inap dan kematian
 Pada pasien dengan gejala persisten dan / atau eksaserbasi meskipun
sudah menggunakan ICS dosis rendah, pertimbangkan untuk step up
terapi, tapi cek terlebih dahulu apakah teknik inhalasi sudah benar,
kepatuhan, paparan alergen yang terus menerus dan komorbiditas
o Untuk orang dewasa dan remaja, step up terapi yang dipilih adalah
kombinasi ICS / long-acting beta2-agonist (LABA).
o Untuk orang dewasa dan remaja, risiko eksaserbasi berkurang
dengan kombinasi ICS dosis rendah / formoterol (dengan
beclometasone atau budesonide) sebagai terapi pemeliharaan dan
pereda, dibandingkan dengan penggunaan sebagai terapi
pemeliharaan (controller) saja dengan SABA as needed.
 Pertimbangkan untuk step down terapi setelah kontrol asma yang
baik telah dicapai dan dipertahankan selama sekitar 3 bulan, untuk
menentukan pengobatan paling minimal (dosis terkecil) yang dapat
mengontrol gejala maupun mencegah eksaserbasi
o Memberikan pasien rencana tindakan asma tertulis, memonitor,
dan jadwal kunjungan tindak lanjut
o Jangan sepenuhnya menarik ICS kecuali ini diperlukan sementara
untuk mengkonfirmasi diagnosis asma.
 Untuk semua pasien dengan asma:
o Memberikan pelatihan keterampilan menggunakan inhaler: ini
sangat penting untuk keefektivan terapi,
o Mendorong kepatuhan dengan obat controller, bahkan ketika
gejala jarang terjadi
o Memberikan pelatihan manajemen mandiri asma (monitoring
mandiri gejala dan / atau PEF, menulis rencana terapi, dan) untuk
mengontrol gejala, meminimalkan risiko eksaserbasi dan
menentukan kapan harus datang ke pusat layanan kesehatan.
 Untuk pasien dengan satu atau lebih faktor risiko eksaserbasi:
o ICS dosis harian diperlukan, memberikan rencana tindakan asma
tertulis, dan kontrol lebih sering dibandingkan pasien berisiko
rendah
o Mengidentifikasi dan mengatasi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi, (misalnya merokok, fungsi paru-paru yang rendah)
o Pertimbangkan strategi non-farmakologis dan intervensi untuk
membantu mengontrol gejala dan mengurangi risiko eksaserbasi,
(Misalnya berhenti merokok, latihan pernapasan)

(GINA, 2018)
10. Edukasi  Menghindari alergen
 tentang prognosis
 rencana terapi
 komplikasi
 cara penggunaan obat inhaler

11. Prognosis Dubia ad bonam

12. Indikator Diagnosis tegak dengan klinis dan pemeriksaan penunjang.


Medis

13. Syarat Pulang -


untuk pasien
Rawat Inap

14. Penelaah dr. Eko Budiono, Sp.PD KP


Kritis dr. Sumardi, Sp.PD, KP
dr. Bambang Sigit Riyanto, Sp.PD-KP, FINASIM
dr. Heni Retnowulan Sp.PD KP
dr. Ika Trisnawati Sp.PD KP
dr. Nur Rahmi Ananda, Sp.PD

15. Daftar 1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma
Pustaka Management and Prevention, 2018. Available from:
www.ginasthma.org
2. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Asma : Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia

Ketua Komite Medik Ketua KSM Paru

dr. Supomo, Sp.BTKV dr. Eko Budiono, Sp.PD-KP


NIP. 19531128198202001 NIP. 196611022000031002

Anda mungkin juga menyukai