Anda di halaman 1dari 39

TUGAS MATA KULIAH

FARMASI RUMAH SAKIT

“Therapeutic Drug Monitoring (TDM)


Obat Doripenem dan Natrium Diklofenak”

Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Ria Fitriah (2019 000 071)
2. Rifani Fauzia Wilton (2019 000 072)
3. Rifqi Nuscha Al M (2019 000 073)
4. Riski Maulana (2019 000 074)
5. Rizky Oktavia Jabeth Putri (2019 000 075)
6. Rusiana (2019 000 076)
7. Ruth Debora (2019 000 077)
8. Samuel (2019 000 078)
9. Sekarayu Tisnawati (2019 000 079)
10. Selvi Erlita Romdon (2019 000 080)

Kelas : C

Dosen Pengampu: Ahmad Subhan, S. Si., M. Si., Apt.

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS PANCASILA
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Pemantauan obat terapeutik (TDM) umumnya didefinisikan sebagai pengukuran
laboratorium parameter paramater kimia, yang dengan interpretasi medis yang tepat,
akan secara langsung mempengaruhi prosedur peresepan obat. Jika tidak TDM mengacu
pada individualisasi dosis obat dengan mempertahankan konsentrasi obat plasma atau
darah dalam rentang terapi yang ditargetkan atau jendela. Dengan menggabungkan
pengetahuan farmasetik, farmakokinetik, dan farmakodinamika farmakokinetik, TDM
memungkinkan penilaian efikasi dan keamanan obat tertentu dalam berbagai pengaturan
klinis. Tujuan dari proses ini adalah untuk rejimen terapi individual untuk keuntungan
pasien yang optimal. Secara tradisional, TDM melibatkan pengukuran konsentrasi obat
dalam berbagai cairan biologis dan menginterpretasikan konsentrasi ini dalam istilah
parameter klinis yang relevan. Apoteker dan farmakologis klinis menggunakan prinsip
farmakokinetik untuk menilai interpretasi ini (1).
Pengukuran konsentrasi plasma obat yang diberikan dalam terapi berguna
untuk sejumlah kecil senyawa yang efek farmakologisnya tidak dapat dinilai dengan
mudah dan untuk itu margin antara dosis yang memadai dan dosis yang berpotensi toksik
kecil. Namun, pengujian untuk senyawa yang jauh lebih luas, dan kadang-kadang
metabolit, dapat diminta untuk menilai kepatuhan (kepatuhan, kesesuaian) dengan terapi
atau untuk menyelidiki dan jika mungkin mencegah efek pengobatan yang merugikan,
interaksi obat-obat, atau keracunan akut. Untuk beberapa agen, dosis obat dapat dipantau
secara tidak langsung. Namun, tes obat masih mungkin diminta, misalnya pada pasien di
mana terapi antihipertensi tampaknya refraktori terhadap pengobatan dan kepatuhan
dipertanyakan (2).
Natrium diklofenak adalah obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) yang
dianjurkan untuk digunakan dalam kondisi rematik yang menyakitkan dan inflamasi dan
kondisi non-rematik tertentu. Ini tersedia dalam sejumlah bentuk administrasi yang dapat
diberikan secara oral, rektal atau intramuskuler. Penyesuaian dosis tidak diperlukan pada
manula atau pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati. Obat ini memiliki waktu
paruh eliminasi yang relatif singkat, yang membatasi potensi akumulasi obat. Dalam

2
3

banyak uji klinis, kemanjuran diklofenak setara dengan banyak NSAID yang lebih baru
dan telah mapan yang telah dibandingkan. Sebagai analgesik, ia memiliki onset yang
cepat dan durasi aksi yang panjang. Ketika diberikan secara intramuskular, paling tidak
sebanding dengan dan sering lebih unggul daripada, banyak kombinasi narkotika dan
spasmolitik pada kolik ginjal dan empedu (3).
Pengalaman klinis yang luas telah diperoleh dengan diklofenak jelas
membentuk profil keamanannya. Hal ini ditoleransi dengan baik dibandingkan dengan
NSAID lainnya dan jarang menghasilkan ulserasi gastrointestinal atau efek samping
serius lainnya. Diklofenak dapat dianggap sebagai salah satu dari beberapa NSAID
pilihan pertama dalam pengobatan kondisi nyeri dan inflamasi akut dan kronis (3).
Doripenem anggota baru dari kelas carbapenem antibiotik beta-laktam dengan
cakupan spektrum luas dari Gram-positif, Gram-negatif dan patogen anaerob mirip
dengan imipenem dan, terutama, meropenem. Antibiotik parenteral ini mungkin
menawarkan aktivitas sedikit lebih daripada meropenem terhadap patogen yang dipilih,
termasuk cakupan beberapa galur Pseudomonas aeruginosa yang tidak rentan terhadap
karbapenem antipseudomonas lainnya. Terapi empiris dengan doripenem, seperti halnya
dengan karbapenem antipseudomonal lainnya, mungkin berguna di rumah sakit dan
pengaturan unit perawatan intensif di mana resistensi multi-obat telah muncul, terutama
pada patogen enterik Gram-negatif. Ketika P. aeruginosa atau patogen Gram-positif
yang resistan terhadap beberapa obat seperti Staphylococcus aureus yang resisten
methicillin atau enterococci yang resistan terhadap vankom terlibat, doripenem harus
digunakan dalam kombinasi. Doripenem memiliki spektrum aktivitas yang luas terhadap
banyak patogen rumah sakit umum, termasuk P. aeruginosa dan Burkholderia cepacia,
yang mirip dengan meropenem (4).
Doripenem adalah 1-β-metil karbapenem dengan substitusi rantai samping
spesifik yang meningkatkan aktivitas terhadap basil gram negatif negatif. Laporan yang
diterbitkan sejak 1994 menggambarkan doripenem memiliki ciri-ciri adalah aksi
bakterisida terhadap sebagian besar spesies, stabilitas untuk dehidropeptidase ginjal
manusia, stabilitas β-laktamase terhadap enzim yang biasa terjadi, termasuk β-laktamase
(ESBL) spektrum luas yang berkembang, kualitas farmakokinetik dan farmakodinamik
mirip dengan meropenem (waktu paruh 1 jam) dengan risiko minimal reaksi merugikan
kejang, efek pada antibiotik tertentu hampir 2 jam in vitro untuk P. Aeruginosa, dan
ikatan protein serum rendah (8,9%) (5).
4

II. RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan TDM?
2. Bagaiamana farmakokinetika dan farmakodinamika Doripenem?
3. Bagaiamana farmakokinetika dan farmakodinamika Natrium Diklofenak?
4. Bagaimana kasus yang terjadi di masyarakat terkait TDM obat doripenem dan
natrium diklofenak?

III. TUJUAN
1. Mengetahui apa yang dimaksud TDM
2. Menjelaskan bagaiaman farmakokinetik dan farmakodinamik doripenem
3. Menjelaskan bagaiaman farmakokinetik dan farmakodinamik natrium diklofenak
5. Menggambarkan dan menjelaskan contoh kasus yang terjadi di masyarakat terkait
TDM obat doripenem dan natrium diklofenak
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Farmakodinamika(6)
Dalam arti luas Farmakologi ialah ilmu yang mengenai pengaruh senyawa terhadap
sel hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Farmakologi terutama fokus
terhadap subdisiplin yaitu farmakodinamika dan farmakokinetika. Farmakodinamik
adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek bikomiawi dan fisiologi obat,
serta mekansime kerjanya. Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi
dengan reseptornya pada sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini
mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk
obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional : hal ini
mencakup 2 konsep penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal
tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi
yang sudah ada. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai
reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat berperan sebagai reseptor fisiologis
untuk ligan endogen (hormone, neurotransmiter). Obat yang efeknya menyerupai
senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, obat yang tidak mempunyai aktivitas
intrinsic sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut
antagonis. Selain itu, ada obat yang jika berikatan denganreseptor fisiologik akan
menimbulkan efek intrinsik yang berlawanan dengan efek agonis, yang disebut agonis
negatif.

B. Farmakokinetika(6)
“Kinesis” artinya perjalanan. Jadi farmakokinetika ialah apa yang dialami obat dalam
tubuh mahluk hidup yaitu absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.
Farmakokinetika atau kinetika obat yaitu nasib obat dalam tubuh atau efek obat
terhadap tubuh. Dalam arti sempit, farmakokinetik khususnya mempelajari
perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya dalam darah
dan jaringan sebagai fungsi dari waktu. Farmakokinetika meliputi 4 proses yaitu
absorbsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme atau

6
7

biotransformasi, dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif, merupakan proses
eliminasi obat.
Proses farmakokinetika :
1. Absorpsi
Ini merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh, melalui
jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Kecepatan absorbsi obat
tergantung pada :
a) Kelarutan Obat harus dapat melarut atau obat sudah dalam bentuk terlarut.
Sehingga dari kecepatan melarut mempengaruhi kecepatan absorpsi.
b) pH obat yang bersifat asam lemah akan mudah menembus membran sel pada
suasana asam. Jika pH obat berubah (ditambah buffer) maka absorbsi akan
melambat.
c) Sirkulasi darah Pemberian obat melalui sublingual akan lebih cepat diabsorbsi
dibanding subkutan, karena umumnya sirkulasi darah di subkutan lebih sedikit
(jelek) dibandingkan di sublingual.
d) Cara pemberian
e) Tempat pemberian obat, misalnya dikulit, paru, otot, usus halus, dan lain-lain.
Obat yang oral, absorbsi terjadi di usus halus karena luas permukaannya. Jika
obat inhalasi, diabsorbsi sangat cepat karena epitelium paru-paru juga sangat
luas.
1) Yang terpenting adalah cara pemberian obat peroral, dengan cara ini
tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan yang
sangat luas yakni 200 m2 (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai vili dan
mikrovili).
2) Pemberian obat dibawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam
lemak, karena luas permukaan absorpsi yang kecil sehingga obat harus
melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Obat
sublingual tidak mengalami metabolisme lintas pertama di hati karena
darah dari mulut langsung ke vena kava superior.
3) Pemberian secara rektal hanya untuk beberapa kasus seperti pasien yang
tidak sadar, mual atau muntah untuk menghindari pengrusakan oleh enzim
pencernaan dan biotransformasi di hepar. Obat yang terabsorpsi hanya
50% melalui vena porta dan mengalami metabolisme lintas pertama.
8

4) Pemberian secara Parenteral atau disuntikkan ke dalam tubuh, bisa ke otot


(intra muskuler, IM); ke vena (intravena, IV); ke peritoneum (intra
peritoneum, IP), di bawah kulit (subcutan, SC), dan sebagainya. Dengan
suntikan obat langsung masuk interstisium jaringan otot atau kulit ke
pembuluh darah kapiler lalu masuk ke pembuluh darah sistemik. Obat
yang larut lemak akan masuk ke dalam darah kapiler dengan melintasi
membran sel endotel secara difusi pasif. Hanya obat yang larut dalam air
masu ke darah melalui celah antar sel endotel bersama air. Protein dan
makromolekul lainnya masuk ke dalam darah melalui limfe.
5) Pemberan obat melalui endotel paru-paru Cara ini hanya dilakukan untuk
obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap.
Keuntungannya absorpsi terjadi secara cepat, misalnya pada penyakit
paru-paru. Kerugiannya metodenya sulit dilakukan karena membutuhkan
alat khusus, dosis sulit diatur, dan obat bersifat iritatif.
6) Pemberian topikal pada kulit Pemberian obat digunakan untuk penyakit
kulit, contoh obatnya berupa salep yaitu antibiotika, kortikoseroid,
antihistamin dan antifungus.

2. Distribusi
Obat yang telah melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara
merata ke seluruh jaringan tubuh, khususnya melalui peredaran darah. Seringkali
distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu adanya rintangan,
terikatnya obat pada protein darah atau jaringan dan lemak. Bagian obat yang
mengalami pengikatan protein darah akan hilang aktivitas farmakologinya dan
menjadi inaktif, tetapi tidak mengalami proses biotransformasi dan ekskresi.
Pengikatan protein ini dapat dianggap suatu cara untuk menyimpan obat, karena
bagian yang terikat tidak dirombak atau diekskresi. Pada umumnya, ketika
konsentrasi obat bebas menurun, ikatan obat-protein akan pecah dan obat terlepas
kembali, hingga kadar obat bebas hampir tidak berubah. Dalam darah obat akan
diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah (ikatan hidrofobik, van
der Waals, hidrogen, ionik). Ada beberapa macam protein plasma yaitu
a) Albumin (mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral misalnya steroid).
Albumin mempunyai 2 tempat ikatan yaitu site I dan site II.
9

b) α-glikoprotein (α1 –acid glycoprotein) mengikat obat-obat basa.


c) CBG (corticosteroid binding globulin) khusus mengikat kortikosteroid.
d) SSBG (sex steroid binding globulin) khusus mengikat hormon kelamin.

3. Metabolisme
Metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam
tubuh dan dikatalis oleh enzim. Metabolisme obat khususnya terjadi di hati yakni
di membran retikulum endoplasma (mikrosom) dan sitosol. Tempat metabolisme
yang lain (ekstrahepatik) adalah dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, kulit dan
juga lumen kolon.Tujuan dari metabolisme adalah mengubah molekul obat
menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam
lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya
obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri
kerja obat. Tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug),
kurang aktif, atau menjadi toksik. Reaksi metabolisme dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis yaitu mengubah obat
menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang
aktif.
b) Reaksi fase II merupakan reaksi konyugasi dengan substrat endogen seperti
aam glukoranat, asam sulfat, asam asetat, asam amino yang hasilnya menjadi
sangat polar, dan demikian hampir selalu menjadi tidak aktif.

Obat dapat mengalami fase I atau fase II saja, atau fase I lalu diikuti fase II. Pada
fase I obat dibubuhi gugus polar untuk dapat berinteraksi dengan substrat endogen
fase II. Hasil reaksi I juga sudah cukup polar untuk langsung diekskresi lewat
ginjal tanpa melalui fase II.

4. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit
polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi
melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini
merupakan resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus yang
10

menghasilkan ultrafiltrat yakni plasma minus protein, sekresi aktif di tubuli


proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi obat
melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu
diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat
dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut,
tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat.

Jalur dan mekanisme ekskresi obat (7) :


Jalur Ekskresi Mekanisme Contoh
Filtrasi glomeruli,
Sebagian besar obat; dalam bentuk
Urin sekresi aktif tubuli,
bebas (tidak terikat protein darah)
difusi pasif
Transport aktif, Senyawa ammonium kuartener,
Empedu difusi pasif, strikhnin, kinin, digitoksin, gol
pinositosis penisilin, streptomisin, gol tetrasiklin
Usus halus Difusi pasif Asam organic bentuk ion, doksisiklin
Difusi pasif, Gol penilisin, tetrasiklin, tiamin,
Saliva
transport aktif desoksikolat, etanol, eter
Kamfor, guayakol, minyak atsiri,
Paru Difusi pasif
ammonium klorida
Keringat Difusi pasif Asam dan basa organic lemah, tiamin
Basa organic lemah, asam lemah,
Difusi pasif, transpor
Air susu ibu tirostatik, anestetik, antikoagulan,
aktif
eritromisin, dan antibiotik lain

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Farmakokinetika


Farmakokinetik obat meliputi proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya merupakan interaksi obat dengan
reseptornya, efek ini tergantung pada jumlah obat yang terangkut oleh protein plasma
(albumin) dan jumlah ambilan oleh reseptor pada target organ. Penelitian
11

membuktikan bahwa ada hubungan antara efek farmakologik obat dengan kadarnya
yang terikat dalam plasma atau serum (8).
Banyak obat-obatan seperti inotropik atau sedatif bisa dititrasi untuk efek
klinis segera, antibiotik memiliki lead time yang panjang. Penyakit kritis mengubah
volume distribusi juga disfungsi hati dan ginjal membuat farmakokinetik pada
antibiotik tidak dapat diprediksi. Itulah perubahan yang berpotensi mempengaruhi
keefektifan efek antibiotik. Kurangnya pemantauan obat rutin untuk sebagian besar.
Antibiotik menyulitkan seorang tenaga kesehatan dengan pasien gagal merespon
pengobatan dalam membedakan konsentrasi antibiotik dari kurangnya organisme
secara in vivo. Sebagai aturan umum volume distribusi lebih besar dari normal pada
pasien sakit kritis. Karena itu untuk diberikan pasien dan dosis, konsentrasi puncak
lebih rendah. Jika clearance antibiotik (Cl) tetap tidak berubah, semakin meningkat
volume distribusi (Vd) secara proporsional mengurangi konstanta laju eliminasi (Ke):
clearance = Vd x Ke. Sejak Ke terkait dengan waktu paruh ( t 1/2 ) oleh Ke = ln2
/ t 1/2 , dengan asumsi tidak ada perubahan clearance, kenaikan volume distribusi
memperpanjang t 1/2 . Sebuah peningkatan dalam volume distribusi yang
memperpanjang t 1/2 , merupakan efek yang berguna untuk antibiotik tergantung
waktu tetapi merupakan kerugian besar untuk agen yang tergantung konsentrasi yang
mungkin mencapai puncak yang lebih rendah. Ini adalah alasan yang bagus untuk
memonitor konsentrasi puncak aminoglikosida pada beberapa pasien dan harus
menjadi perhatian sebanyak mungkin untuk dosis dan kegagalan antibiotik, karena
ada overdosis dan toksisitas (9).

1. Disfungsi hati dan konsentrasi antibiotik (9)


Efek antibiotik pada fungsi hati yang terdokumentasi sangat baik. Beberapa
menghambat aktivitas enzim hati, yangberpotensi menyebabkan toksisitas yang
diberikan secara bersamaan dengan obat lain. Eritromisin, klaritromisin,
siprofloksasin, isoniazid, flukonazol, dan itrakonazol adalah enzim yang bersifat
sebagai inhibitor.
Contohnya pada ciprofloxacin dan erythromycin, dengan menghambat
CYP1A2 mengganggu metabolisme dan dapat menyebabkan toksisitas teofilin.
Antibiotik lain adalah penginduksi enzim dan juga dapat menyebabkan masalah
potensial. Sebagai contoh, rifampisin menginduksi sitokrom P450 (CYP3A dan
turunannya) dan dapat terjadi pada kegagalan pemberian warfarin dan HIV
12

protease inhibitor secara bersamaan. Konsentrasi albumin turun dengan gangguan


fungsi hati dan katabolik, sehingga konsentrasi a1- asam glikoprotein meningkat
dengan proses inflamasi. Albumin, yang paling banyak protein dant, berikatan
dengan obat asam dan penurunan albumin berpotensi meningkatkan obat
gratis. Peningkatan konsentrasi asam a-1 glikoprotein, yang mengikat obat-
obatan dasar, akan mereduksi konsentrasi obat bebas. Meski mengurangi ikatan
albumin menghasilkan lebih banyak obat bebas, yang mengarah ke distribusi
jaringan yang lebih besar sehingga mengurangi konsentrasi obat plasma.
Peningkatan konsentrasi bilirubin secara bersamaan menggantikan
antibiotik dari situs pengikatan albumin dapat meningkatkan konsentrasi obat
bebas dan volume distribusi. Perubahan seperti itu biasanya akan memaparkan
obat yang dimetabolisme di hati lebih lanjut. Aktivitas sitokrom P450 mungkin
tidak berubah, naik atau turun karena kehilangan hepatoseluler, induksi atau
penghambatan enzim.

2. Disfungsi renal dan konsentrasi antibiotik (9)

Sebagian besar antibiotik dikeluarkan dari tubuh sebagian besar tidak berubah
dalam urin. Akibatnya oliguria berpotensi mengarah untuk akumulasi
obat. Peningkatan Vd karena kritis penyakit dan kelebihan cairan pada awal
terjadinya oliguria, namun akan menentukan bahwa frekuensi dosis antibiotik
normal setidaknya harus tetap, sementara frekuensi pemberian dosis berikutnya
dikurangi. Pasien didukung oleh terapi penggantian ginjal yang akan
membersihkan antibiotik dengan cara yang mirip dengan ginjal asli dengan laju
filtrasi glomerulus sekitar 35 ml/mnt. Interval dosis peptida sangat
disederhanakan dengan pemantauan rutin konsentrasi antibiotik lain yang tidak
diukur, dan kadar toksik yang hanya terlihat dengan timbulnya komplikasi seperti
kejang.

Evaluasi untuk dosis dan interval pemberian dosis ditetapkan gagal


ginjal akut. Namun, dengan infeksi yang sangat parah seperti endokarditis dan
septikemia meningokokus yang diobati dengan penisilin di spektrum sempit
antara memastikan efektivitas dan toksisitas paling optimal yang dikelola dengan
memperkenalkan sinergi oleh antibiotik lini kedua. Panduan tentang interval
dosis antibiotik didasarkan pada estimasi waktu paruh. Half life terkait dengan
13

clearance dan volume distribusi oleh t 1/2 = ln2 Vd / Cl. Saat menerima terapi
pembersihan ginjal adalah jumlah dari mesin dialisis dan pembersihan non-ginjal
(metabolisme oleh hati atau kehilangan melalui ekskresi bilier). Pada proses
dialisis t 1/2 diperpanjang dan interval dosis perlu ditingkatkan pada pasien yang
tergantung dialisis. Biasanya penisilin, aminoglikosida, sefalosporin,
karbapenem, glikopeptida dan flukonazol memiliki profil t 1/2 pada RRT dan
perlu peningkatan interval dosisnya.

D. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Farmakokinetik NSAID


Ada banyak uji klinis membandingkan berbagai obat anti-inflamasi non-steroid dan
hasil penelitian ini menyatakan bahwa sebagian besar obat-obatan ini sebanding
khasiatnya (10). Namun, tidak ada yang menunjukkan aktivitas antiinflamasi lebih
besar dari yang dicapai oleh aspirin dengan dosis harian 3,4 hingga 4g. Semua
NSAID dihambat oleh prostaglandin sintetase dan tindakan ini dilakukan pada bagian
yang bertanggung jawab atas aktivitas anti-inflamasi (11).
Namun, mereka mempunyai potensi relatif dalam menghambat sintesis
prostaglandin di laboratorium tampaknya tidak terkait dengan khasiat komparatifnya
dalam mengurangi inflammasi pada pasien. Kemampuan obat ini untuk mengurangi
gejala penyakit seperti artritis matoid sebagian disebabkan tindakan mereka pada
komponen lain dari proses inflamasi. Asam propionat yang sekarang sudah ditarik
derivatif benoxaprofen telah terbukti menghambat komponen seluler inflamasi
(12). Meski mode ini berbeda tindakan dipublikasikan secara luas, benoxaprofen tidak
terbukti mempengaruhi penyakit radang pada siapa pun berbeda dengan cara NSAID
lainnya. Dilaporkan perbedaan dalam kemanjuran ini obat tampaknya lebih terkait
dengan komparatif dosis yang digunakan dalam berbagai penelitian dibandingkan
dengan sifat obat apa pun yang spesifik (13).
Diklofenak cepat diserap setelah pemberian oral konsentrasi plasma puncak
biasanya dicapai dalam 2 jam setelah konsumsi. Diklofenak mengalami eliminasi pra
sistemik: sekitar 60% dari dosis oral mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk yang
tidak berubah. Makanan secara nyata menunda absorpsi natrium diklofenak dari tablet
dilapisi enteric memungkinkan tetapi tampaknya tidak mempengaruhi AUC (14).
Pemberian rektal diklofenak sebagai suplemen bentuk supository sama dengan
pemberian oral solusi diklofenak dalam hal tingkat dan luasnya penyerapan (15).
14

Diklofenak tidak terdeteksi dalam ASI wanita (16). Konsentrasi cairan con
sinovial diklofenak meningkat dengan cepat untuk mencapai tingkat signifikan lebih
tinggi daripada dalam plasma dari 4 jam setelah pemberian obat pada (16).
Diklofenak sangat terikat dengan protein plasma (> 99%) (15). Ekskresi urin produk
diklofenak tidak berubah (kurang dari 1 % dari dosis) dan konjugat glukuronida
diklofenak dan metabolitnya terhidroksiasi. Terminal waktu paruh eliminasi
diklofenak adalah sekitar 1 jam (14).

E. Data Obat (17)


Evaluasi
Profil Diklofenak Doripenem
Pengobatan
Sebagai terapi awal dan akut untuk
Infeksi pada dewasa:
rematik yang disertai inflamasi dan
pneumonia
degeneratif (artritis rematoid, ankylosing
nosokomial/termasuk
spondylitis, osteoartritis dan
Indikasi pneumonia dengan
spondilartritis), sindroma nyeri dan
ventilator; infeksi
kolumna vertebralis, rematik non-
intra abdominal
artikular, serangan akut dari gout; nyeri
dengan komplikasi
pascabedah
Hipersensitivitas pada diklofenak atau zat
pengisi lain, ulkus, pendarahan, atau
perforasi usus atau lambung, trimester
terakhir kehamilan, gangguan fungsi
hepar, ginjal, jantung (lihat Peringatan di
atas); Kontraindikasi pada penggunaan
Kontraindikasi secara intravena antara lain penggunaan Hipersensitif
bersama dengan AINS atau antikoagulan
(termasuk heparin dosis rendah), riwayat
hemorragic diathesis, riwayat perdarahan
serebrovaskular yang sudah maupun
belum dipastikan, pembedahan yang
berisiko tinggi menyebabkan pendarahan,
15

riwayat asma, hipovolemi, dehidrasi.


Diklofenak kontraindikasi untuk
pengobatan nyeri peri-operatif pada
operasi CABG (coronary artery bypass
graft

Penigkatan resiko trombotik Sakit kepala, diare,


kardiovaskuler serius, infark miokard, mual, pruritus,
Efek Samping struk yang dapat berakibat fatal, infeksi vulvomikosis,
pendarahan saluran cerna, ulserasi, dan kenaikan enzim hati,
perforasi lambung atau usus ruam, flebitis

Pneumonia
15neumonia15
Oral, 75-150 mg/hari dalam 2-3 dosis, termasuk
sebaiknya setelah makan. Injeksi 15neumonia dengan
intramuskular dalam ke dalam otot ventilator: 500 mg
panggul, untuk nyeri pascabedah dan tiap 8 jam diberikan
kambuhan akutnya, 75 mg sekali sehari dengan infus
(pada kasus berat dua kali sehari) untuk intravena selama 1
pemakaian maksimum 2 hari.Kolik atau 4 jam.
ureter, 75 mg kemudian untuk 75 mg lagi
30 menit berikutnya bila perlu.Infus Komplikasi infeksi
Dosis intravena, lihat 15.1.4.2 Rektal dengan intraabdominal, 500
supositoria, 75-150 mg per hari dalam mg tiap 8 jam
dosis terbagiDosis maksimum sehari diberikan dengan
untuk setiap cara pemberian 150 infus intravena
mg.ANAK 1-12 tahun, juvenil artritis, selama 1 jam.
oral atau rektal, 1-3 mg/kg bb/hari dalam
Lama pengobatan
dosis terbagi (25 mg tablet salut enterik,
biasanya 5-14 hari
hanya supositoria 12,5 mg dan 25 mg).
tergantung pada
tempat dan beratnya
infeksi serta respons
klinis pasien. Tidak
16

dianjurkan untuk
anak di bawah 18
tahun karena data
keamanan dan
efektivitas belum
mencukupi. Tidak
dianjurkan untuk
pasien yang sedang
menjalani
hemodialisa.

Menyusui, AINS dapat meningkatkan


risiko kejadian trombotik kardiovaskuler
serius, infark miokard, dan stroke, yang
dapat fatal. Kejadian ini meningkat
dengan lama penggunaan. Pasien dengan
penyakit kardiovaskuler atau faktor risiko
penyakit kardiovaskuler mempunyai
risiko lebih besar. AINS dapat
meningkatkan ririko kejadian efek
hipersensitif
samping gastrointestinal serius seperti
terhadap doripenem,
pendarahan lambung, ulserasi, dan
Peringatan karbapenem lain dan
perforasi usus dan lambung, yang dapat
golongan beta lactam
fatal. Kejadian ini tidak dapat diduga
sebelumnya dan tidak pasti kapan
terjadinya. Pasien usia lanjut mempunyai
risiko lebih besar untuk efek samping
gastrointestinal ini. Penggunaan topikal
mungkin memberikan efek samping
sistemik lebih kecil daripada penggunaan
oral, namun demikian penggunaan gel
jangka lama pada daerah kulit yang luas
dapat menimbulkan efek samping
17

sistemik. Sediaan topikal sebaiknya


hanya diusapkan pada kulit yang sehat
dan utuh.

F. Interaksi Obat Na Diklofenak(17)


1. Interaksi obat-obat
a. Adrenergic neuron blockers : AINS memberikan efek antagonis terhadap efek
hipotensi Adrenergic neuron blockers
b. Alfa blocker : AINS memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi alfa
blocker
c. Asetosal : meningkatkan efek samping.
d. Ketorolac : meningkatan efek samping pendarahan.
e. Antagonis kalsium : memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi
antagonis kalsium
f. ARB : meningkatkan resiko kerusakan ginjal, memberikan efek antagonis
terhadap efek hipotensi.
g. Antidepresan : meningkatkan resiko pendarahan bila diberikan bersamaan
dengan SSRI, atau venlavaksin
h. Antidiabetes : meningkatkan sulfonylurea
i. Antiepilepsi : meningkatkan efek fenitoin
j. Antikoagulan : meningkatkan resiko pendarahan
k. Antivirus : konsentrasi Na diklofenak dapat meningkat oleh ritronavir,
meningkat toksisitas pada darah bila Na diklofenak diberikan bersama
zidovudin
l. Beta-blocker : Na diklofenak memberikan efek antagonis terhadap efek
hipotensi beta blocker
m. Diazoksid : Na diklofenak memberikan efek antagonis hipotensi diazoksid
n. Diuretic : meningkatkan resiko nefrotoksisitas Na diklofenak, juga
memberikan efek antagonis, dapat meningkatkan resiko hyperkalemia bila Na
diklofenak diberikan bersama diuretic hemat kalium dan antagonis aldosterone
18

o. Glikosida jantung : Na diklofenak dapat meningkatkan konsentrasi glikosida


jantung dalam plasma juga mungkin eksaserbasi gagal jantung dan penurunan
fungsi ginjal
p. Ilopros : resiko pendarahan meningkat bila Na diklofenak diberikan dengan
ilopros
q. Klonidin : Na diklofenak memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi
klonidin
r. Klopidogrel : meningkatkan resiko pendarahan bila Na dikofenak diberikan
bersamaan klopidogrel
s. Korkosteroid : meningkatkan resiko pendarahan di saluran cerna dan ulserasi
bila Na diklofenak diberikan bersama kortikosteroid
t. Litium : Na diklofenak menurunkan ekskresi litium yang dapat meningkatkan
resiko toksisitas
u. Metildopa : Na diklofenak memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi
metildopa
v. Mifepristone : hindari penggunaan Na diklofenak bersamaan dengan
mifepriston
w. Moksonidin : Na diklofenak memberikan efek antagonis terhadap efek
hipotensi moksinidin
x. Nitrat : Na diklofenak memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi
nitrat
y. Pentoksifilin : dapat meningkatkan resiko pendarahan bila Na diklofenak
diberikan bersama pentoksifilin
z. ACEI : meningkatkan resiko kerusakan ginjal bila Na diklofenak diberikan
bersama ACEI, memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi
aa. Pensilamin : dapat meningkatkan resiko nefrotoksis bila Na diklofenak
diberikan bersama penilsilamin
bb. Progesterone : bila Na diklofenak diberikan bersamaan dengan drospirenon
akan beresiko terjadi hyperkalemia (monitor kadar kalium selama first cicle)
cc. Siklosporin : meningkatan resiko nefrotoksisitas bila diberikan bersama
siklosporin, siklosporin meningkatkan konsetrasi Na diklofenak dalam plasma
(kurangi dosis Na diklofenak hingga separuhnya)
dd. Takrolimus : meningkatan resiko nefrotoksisitas bila diberikan bersama
takrolimus
19

2. Interaksi obat-kondisi tubuh


a. Pelemas otot : Na diklofenak dapat menurunkan ekskresi bakoflen
(meningkatkan resiko toksisitas)
b. Sitotoksis : Na diklofenak dapat menurunkan ekskresi metotreksat
(meningkatkan resiko toksisitas)
c. Rhematik : Na diklofenak dan metroteksat dapat diberikan pada pasien
rhematik

3. Interaksi obat-makanan
d. Pisang : konsumsi pisang bersamaan dengan Na diklofenak dapat
meningkatkan kadar kalium dalam darah
BAB III
PEMBAHASAN

A. Doripenem
1. Farmakodinamik (18)
a) Kelompok farmakoterapi: Carbapenem.

Doripenem mengerahkan aktivitas bakterisida dengan menghambat biosintesis


dinding sel bakteri. Doripenem menonaktifkan beberapa protein pengikat penisilin
esensial (PBPs/Penisilin Binding Proteins) yang menghasilkan penghambatan
sintesis dinding sel dengan kematian sel selanjutnya.

Secara in vitro, Doripenem menunjukkan sedikit potensi untuk memusuhi


atau menjadi antogonisasi oleh agen antibakteri lainnya. Aktivitas aditif atau
sinergi lemah dengan amikacin dan levofloxacin telah terlihat untuk Pseudomonas
aeruginosa dan untuk bakteri gram positif dengan daptomycin, linezolid,
levofloxacin, dan vankomisin.

b) Mekanisme Perlawanan
Mekanisme resistensi bakteri yang mempengaruhi doripenem termasuk inaktivasi
zat aktif oleh enzim penghidrolisis karbapenem, PBP mutan atau yang diperoleh,
penurunan permeabilitas membran luar dan efflux aktif. Doripenem stabil
terhadap hidrolisis oleh sebagian besar beta laktamase, termasuk penisilin dan
sefalosporinase yang diproduksi oleh bakteri gram positif dan gram negatif,
dengan pengecualian carbapenem terhidrolisis beta-laktamase yang relatif jarang.
Spesies yang kebal terhadap karbapenem lain umumnya mengekspresikan
resistensi bersama terhadap doripenem. Stafilokokus yang resisten terhadap
metisilin harus selalu dianggap resisten terhadap doripenem. Seperti agen
antimikroba lainnya, termasuk karbapenem, doripenem telah terbukti memilih
strain bakteri yang resisten.

20
21

c) Kerentanan
Prevalensi resistensi yang diperoleh bervariasi secara geografis dan dengan waktu
untuk spesies yang dipilih dan informasi lokal tentang resistensi diperlukan,
terutama ketika mengobati infeksi parah. Bila perlu, saran ahli harus dicari ketika
prevalensi resistensi lokal sedemikian rupa sehingga utilitas agen dalam
setidaknya beberapa jenis infeksi dipertanyakan.

2. Farmakokinetik
a) Pasien dengan Fungsi Ginjal Normal
1) Absorpsi (19)
Dalam uji coba fase 1, 125 hingga 1.000 mg doripenem, ketika diberikan
melalui infus intravena (IV), menghasilkan rata-rata maksimum konsentrasi
plasma ibu (Cmax) dari 8.1 hingga 63 mg / L. Kurva waktu area-di bawah
konsentrasi (AUC) ditentukan 8,7 hingga 75,6 mcg • jam / mL. Selain itu,
konsentrasi plasma setelah 11 dosis 500 mg dilaporkan tanpa perbedaan yang
signifikan. Berarti Cmax, waktu paruh, dan AUC setelah satu dosis dan 11
dosis 500 mg adalah 35 berbanding 32 mcg / mL, masing-masing 0,93
berbanding 93 jam, dan 40,2 berbanding 35,2 mcg • jam / mL. Data ini
mewakili waktu paruh rata-rata satu jam, dengan beberapa dosis sehingga
diperlukan selama periode 24 jam.

2) Distribusi
i. Pengikatan protein.
Pengikatan protein plasma imipenem, meropenem dan doripenem
masing-masing rendah (20, 2 dan 9%) dan tidak tergantung pada
konsentrasi obat plasma (20). Doripenem terikat protein minimal (rata-
rata mengikat, 8,1%). Pada kondisi stabil, volume rata-rata distribusi
adalah 16,8 liter. Konsentrasi doripenem dalam cairan peritoneal dan
retroperitoneal sama dengan atau melebihi konsentrasi yang dibutuhkan
untuk menghambat bakteri yang paling rentan (19).

ii. Konsentrasi jaringan (20).


Data konsentrasi jaringan Carbapenem telah disusun dalam ulasan ini
(Tabel 1). Carbapenem didistribusikan terutama secara ekstraseluler dan
22

konsentrasi jaringan dalam kisaran yang sama daripada dalam plasma.


Carbapenem mendistribusikan ke berbagai jaringan dengan volume rata-
rata distribusi pada steady state 0,16 (60,05) dan 0,14 (60,03) l / kg.

3) Metabolisme
Doripenem tidak mengalami metabolisme hati dan karenanya tidak
diperkirakan akan terpengaruh oleh gangguan hati. Ini dimetabolisme menjadi
metabolit tidak aktif, doripenem-M1 oleh enzim, DHP-1 (dehydropeptidase-I
atau dipeptidase-1) ke dalam inactive ring-opened metabolite secara
mikrobiologi (19)(21)

4) Eliminasi
Meropenem, ertapenem, dan doripenem memiliki pengganti metil pada posisi
C1beta yang menghasilkan stabilisasi terhadap DHP-1 dan diberikan tanpa
inhibitor DHP-1. Doripenem terutama diekskresikan sebagai obat yang tidak
berubah melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubular aktif. Rata-rata total
97,2% dari dosis yang diberikan diekskresikan dalam urin sebagai doripenem
yang tidak berubah (78,7%) dan doripenem-M-1 (18,5%). Sebagian besar
pemulihan kemih terjadi dalam waktu 4 jam setelah pemberian. Tiga metabolit
minor tambahan diidentifikasi dalam urin: konjugat glisin dan taurin dari
doripenem-M-1 dan teroksidasi doripenem-M-1,31 Imipenem, meropenem
dan doripenem memiliki paruh in vivo sekitar 1 jam. Waktu paruh terminal
doripenem sekitar 1 jam dan pembersihan plasma dan pembersihan ginjal
masing-masing adalah 11,4 dan 8,60 l / jam.
23

Doripenem dibersihkan oleh ginjal dengan kecepatan rata-rata 10,8 L /


jam, 15% metabolitnya diekskresikan melalui filtrasi glomerulus dan sekresi
tubulus, dan 70% obat diekskresikan tanpa perubahan. Tingkat pembersihan
sedikit lebih tinggi pada pasien keturunan Hispanik dan Latin daripada pada
pasien keturunan Kaukasia. Tidak ada perbedaan yang terlihat di antara pasien
dari latar belakang ras atau etnis lain. Selama sesi hemodialisis empat jam,
total dosis doripenem yang pulih setelah dialisis berkurang sebesar 52%. Dosis
500 mg yang diberikan satu jam sebelum hemodialisis menghasilkan 231 mg
doripenem dan 28 mg metabolit tidak aktif. Meskipun hemodialisabilitas dari
doripenem telah ditentukan, tidak ada rekomendasi saat ini untuk penyesuaian
dosis pada pasien yang menjalani hemodialisis (19).

b) Pasien dengan Disfungsi Ginjal


Sebagai hasil dari paruh eliminasi terminal doripenem pada pasien dengan
gangguan ginjal, paparan sistemik terhadap doripenem secara signifikan
meningkat pada pasien ini. Farmakokinetik karbapenem pada pasien dengan
berbagai tahap gagal ginjal menggunakan gagal ginjal menggunakan terapi
penggantian ginjal. Penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan insufisiensi ginjal
jika bersihan kreatinin (CrCl) turun di bawah 50 mL / menit. Dosis doripenem yang
direkomendasikan untuk CrCl antara 30 dan 50 mL / menit adalah 250 mg IV, diberikan
lebih dari satu jam setiap delapan jam; dosis untuk CrCl antara 10 dan 30 mL / menit
adalah 250 mg IV diberikan lebih dari satu jam setiap 12 jam.
24

c) Pasien dengan Gangguan Hati (20)


Gangguan fungsi hati tidak mengubah disposisi obat (deskripsi dari distribusi dan
eliminasi obat). Karakterisasi dari disposisi obat adalah penting sebagai syarat
untuk determinasi atau modifikasi regimen dosis untuk individu dan kelompok
pasien.

B. Case Report – Therapeutic Drug Monitoring (TDM) (22)

Judul Laporan Kasus :

“Continuous High-Dose Infusion of Doripenem in a Pneumonia Patient Infected by


Carbapenem-Resistant Pseudomonas aeruginosa: a Case Report”

Kasus

Enam puluh tiga hari sebelum memulai terapi untuk infeksi ini, seorang pasien wanita
berusia 59 tahun telah dipulangkan pada hari ke 22 pasca operasi di ICU kami setelah
penggantian katup mitral. Namun setelah 41 hari keluar, ia mengalami pneumonia karena
infeksi oleh P. aeruginosa, dan dengan demikian kembali ke ICU, di mana ia harus tetap
menggunakan ventilasi mekanik (karena kegagalan pernapasan) dan terapi penggantian
ginjal terus menerus (CRRT; karena AKI). Strategi pemberian dosis untuk doripenem
dihitung untuk menentukan infus kontinyu untuk mencapai target konsentrasi serum
tertentu dari obat yang tidak terikat, yang ditetapkan menjadi 32μg / mL, yaitu, empat kali
lebih tinggi dari MIC yang sebenarnya (8mg / L). Jika maksimal dosis (3 g / hari) akan
diberikan melalui infus intravena terus menerus (1 g / 80 mL saline normal / 8 jam; 10
mL / jam, setiap 8 jam), konsentrasi target hanya dapat dicapai ketika total clearance
doripenem (CLtot) <3.6L / jam. Namun, laporan sebelumnya telah menunjukkan izin
25

doripenem 2,7-5,9 L / jam oleh tubuh (CLBODY); doripenem clearance oleh CRRT
(CLCRRT) dalam kasus ini dihitung 0,6L / jam berdasarkan laju aliran efluen dari CRRT.
Oleh karena itu, probabilitas bahwa CLtot pasien adalah <3,6L / jam rendah. Selanjutnya,
simulasi Monte Carlo yang dihitung oleh R (ver. 3.5.3, https://www.r-project.org/)
memperkirakan bahwa ada kemungkinan 7,6% untuk mencapai 32μg / mL doripenem
yang tidak terikat dengan menggunakan model farmakokinetik populasi. Oleh karena itu,
pemantauan obat terapeutik (TDM) diterapkan. Nilai-nilai untuk konsentrasi doripenem
yang tidak terikat dalam serum dan nilai-nilai dari tes laboratorium lainnya selama pasien
tinggal di ICU disajikan pada Gambar. 1. Sampel disiapkan oleh ultrafiltrasi
menggunakan Nanosep Omega 10K dan konsentrasi doripenem yang tidak terikat dalam
serum dikuantifikasi dengan kromatografi cair berkinerja tinggi [14]. Konsentrasi
doripenem yang tidak terikat adalah 47,8 μg / mL pada 20 jam setelah pemberian dosis
dimulai. Konsentrasi menurun menjadi 33,6 μg / mL pada 111 jam, meskipun konsentrasi
ini dipertahankan pada tingkat yang empat kali lebih tinggi dari MIC. Infus doripenem
terus menerus dilakukan selama 11 hari, setelah itu pasien dikeluarkan dari ICU. Setelah
akhir infus kontinyu doripenem, MIC terhadap P. aeruginosa terdeteksi dalam dahaknya
adalah 8mg / L, yang tidak dievakuasi.

1. Pembahasan

Dalam studi kasus ini, kami telah melaporkan bahwa infus doripenem dosis tinggi
terus menerus memberikan penyembuhan yang berhasil bagi pasien yang menderita
pneumonia dan infeksi P. aeruginosa yang kebal terhadap doripenem. Meskipun
26

colistin dapat digunakan sebagai antibiotik untuk melawan P. aeruginosa yang


resisten terhadap carbapenem, colistin dilaporkan menyebabkan reaksi yang
merugikan, seperti nefrotoksisitas dan neurotoksisitas. Oleh karena itu, penggunaan
colistin hanya direkomendasikan ketika antibiotik lain tidak dapat digunakan.

Hanya sedikit laporan yang tersedia tentang efek samping yang bergantung
pada dosis dari doripenem; oleh karena itu, pemberian doripenem dosis tinggi
mungkin lebih aman daripada dosis normal colistin. Sampai saat ini, target beta
laktam farmakokinetik / farmakodinamik (FK / FD) untuk keberhasilan aktivitas
bakterisida telah menjadi waktu di mana konsentrasi obat yang tidak terikat di atas
MIC (% fT> MIC), dengan nilai target 40% untuk karbapenem. Target FK / PD
sekarang telah diperbarui untuk menunjukkan bahwa konsentrasi obat yang tidak
terikat harus lebih dari empat kali lebih tinggi dari MIC (% fT> 4 × MIC) untuk efek
terapi maksimal. Oleh karena itu, nilai target 60% atau 100% telah dianjurkan. Karena
fraksi doripenem yang tidak terikat telah dilaporkan 91,1%, kami bertujuan untuk
mempertahankan konsentrasi doripenem yang tidak terikat lebih dari empat kali lebih
tinggi daripada MIC dengan menggunakan infus kontinyu (32mg / L).

Laporan sebelumnya telah menyarankan berbagai strategi pemberian dosis


untuk doripenem pada pasien dengan CRRT. Namun, hanya sejumlah kecil informasi
yang tersedia untuk P. aeruginosa yang resistan terhadap doripenem. Dalam hal ini,
meskipun kami mulai dari dosis maksimal (3g / hari), kemungkinan mencapai
konsentrasi target tampaknya rendah; oleh karena itu, kami menerapkan TDM. TDM
dilakukan dengan menggunakan sampel serum yang diambil untuk tes laboratorium
lainnya; CLtot dihitung menjadi 2,4 L / jam pada saat konsentrasi doripenem yang
tidak terikat adalah 47,8 μg / mL dalam serum. Persamaannya disajikan di bawah ini.

CLtot = dosis (125 mg/h) x unbound fraction x (0,911) / unbound concentration (47,8 mg/L)

CLCRRT dihitung 0,6L / jam dari laju aliran efluen CRRT. (Persamaannya dijelaskan di bawah ini)

CLCRRT = effluent flow rate (0,65 L/h) x unbound fraction (0,911)

Oleh karena itu, CLBODY dihitung menjadi 1,8 L/jam (CLBODY = CLtot-
CLCRRT). Karena CLtot dan CLBODY lebih kecil dari asumsi dan% fT> 4 × MIC =
100%, optimasi dosis lebih lanjut tidak diperlukan. Sebaliknya, fungsi ginjal membaik
seperti yang ditunjukkan oleh perubahan pada output urin (hari pertama, 56mL / hari;
27

6 hari kemudian, 498mL / hari) dan kadar kreatinin serum (hari pertama, 0,97mg / dL;
6 hari kemudian, 0,79mg / dL) selama terapi. Fungsi ginjal yang meningkat mungkin
mengakibatkan penurunan konsentrasi doripenem yang tidak terikat dalam serum
menjadi 33,6 μg / mL, ketika CLtot, CLCRRT, CLBODY, dan% fT> 4 × MIC
dihitung menjadi 3,4L / jam, 0,6L / h, 2.8L / jam, dan 100%, masing-masing.

Yang penting, karena kadar kreatinin serum awal tidak abnormal tinggi, sulit
untuk memperkirakan fungsi ginjal secara tepat pada pasien dengan CRRT. Selain itu,
konsentrasi doripenem yang tidak terikat dalam serum 6 hari setelah dosis awal
menurun ke tingkat yang hampir mendekati batas bawah dari konsentrasi target,
menunjukkan bahwa CLtot dan CLBODY bervariasi selama terapi. Secara kolektif,
penerapan TDM dalam kombinasi dengan infus doripenem terus menerus dapat
berguna pada pasien dengan CRRT. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu
keamanan infus doripenem dosis tinggi terus menerus yang belum dikonfirmasi.
Karena itu, diperlukan intervensi yang cermat, seperti TDM. Oleh karena itu, studi
lebih lanjut dari infus doripenem dosis tinggi terus menerus harus dilakukan.

2. Kesimpulan

Kesimpulannya, ini adalah kasus pertama di mana infus doripenem dosis tinggi terus
menerus memberikan penyembuhan yang berhasil melawan pneumonia yang
disebabkan oleh P. aeruginosa yang resisten terhadap doripenem. Selain itu, TDM
mungkin berguna untuk pasien dengan farmakokinetik variabel karena MIC
umumnya tinggi bakteri resisten.
28

C. Natrium Diklofenak

Natrium diklofenak merupakan salah satu OAINS derivat asam fenilasetat (23). Selain
antiinflamasi, natrium diklofenak juga mempunyai aktivitas lain sebagai analgesik dan
antipiretik. Senyawa ini merupakan inhibitor cyclooxygenase nonselektif yang potensinya
jauh lebih besar daripada indometasin, naproksen, atau beberapa senyawa lain.

Berikut ini adalah struktur kimia natrium diklofenak:

Gambar 1. Natrium Diklofenak


Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase (COX)
sehingga produksi prostaglandin di seluruh tubuh akan menurun. Penghambatan
terhadap enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) diperkirakan memediasi efek antipiretik
(penurunan suhu tubuh saat demam), analgesik (pengurangan rasa nyeri), dan
antiinflamasi (anti peradangan). Sedangkan penghambatan enzim COX-1 menyebabkan
gangguan pada pencernaan berupa luka atau ulkus di lambung disamping gangguan
pembekuan darah (24).
Natrium diklofenak sering digunakan untuk penanganan simptomatik jangka
lama pada artritis reumatoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Senyawa ini mungkin
juga berguna untuk penanganan jangka pendek cedera otot rangka akut, bahu nyeri akut
(bisipital tendinitis dan subdeltoid bursitis), nyeri paskaoperasi, dan dismenorea. Selain
itu, ada juga bentuk larutan yang digunakan untuk penanganan radang paskaoperasi
setelah pengangkatan katarak. Efek samping timbul pada sekitar 20% pasien, akibatnya
sekitar 2% pasien menghentikan terapi. Efek saluran cerna merupakan yang paling
umum diantaranya mual, gastritis, perdarahan, pembentukan ulkus hingga perforasi
dinding usus. Efek samping lain meliputi eritema kulit, sakit kepala, reaksi alergi, retensi
29

cairan, dan edema. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak, ibu menyusui, atau wanita
hamil (23).

1. Farmakodinamik (23)

Efek analgesik natrium diklofenak jauh lebih lemah daripada efek analgesik opioid.
Namun, tidak seperti opioid, natrium diklofenak tidak akan menimbulkan ketagihan
dan efek sentral yang merugikan. Sebagai analgesik, natrium diklofenak mempunyai
onset yang cepat dan durasi yang panjang serta berguna untuk mengobati nyeri akut
hingga kronik. Obat ini juga telah terbukti memiliki efek yang menguntungkan
dalam serangan migrain. Dalam kondisi peradangan paskatrauma dan paskaoperasi,
natrium diklofenak dengan cepat mengurangi nyeri spontan dan nyeri pada gerakan
serta mengurangi pembengkakan inflamasi dan edema luka.

Ketika digunakan bersamaan dengan opioid untuk pengelolaan nyeri


paskaoperasi, natrium diklofenak secara signifikan mengurangi kebutuhan opioid.
Sebagai antipiretik, natrium diklofenak akan menurunkan suhu badan hanya pada
keadaan demam. Sedangkan sebagai antiinflamasi, natrium diklofenak sering
dimanfaatkan pada pengobatan kelainan muskuloskeletal seperti artritis reumatoid,
osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. OAINS ini dapat meredakan nyeri saat
istirahat, nyeri saat bergerak, kekakuan pada pagi hari, dan pembengkakan sendi.

2. Farmakokinetik (25)
a) Absorpsi
Natrium diklofenak melalui saluran cerna berlangsung cepat dan sempurna. Laju
absorpsi akan melambat jika diberikan bersamaan dengan makanan, tapi tidak
dengan jumlah yang diabsorpsi. Natrium diklofenak 100% diserap setelah
pemberian oral dibandingkan dengan pemberian IV yang diukur dengan
pemulihan urin. Namun, karena metabolisme first-pass, hanya sekitar 50% dari
dosis yang diserap tersedia secara sistemik. Makanan tidak memiliki efek
signifikan pada tingkat penyerapan diklofenak. Namun, biasanya ada
keterlambatan dalam permulaan penyerapan 1 hingga 4,5 jam dan penurunan
kadar plasma puncak <20% (7).
30

b) Distribusi
Volume distribusi yang jelas natrium diklofenak adalah 1,4 L / kg. Diklofenak
lebih dari 99% terikat dengan protein serum manusia, terutama untuk albumin.
Pengikatan protein serum konstan pada kisaran konsentrasi (0,15-105 μg / mL)
yang dicapai dengan dosis yang direkomendasikan. Diclofenac berdifusi ke
dalam dan keluar dari cairan sinovial. Difusi ke dalam sendi terjadi ketika kadar
plasma lebih tinggi daripada yang ada di cairan sinovial, setelah itu proses
membalikkan dan kadar cairan sinovial lebih tinggi dari kadar plasma. Tidak
diketahui apakah difusi ke dalam sendi berperan dalam efektivitas diklofenak.

c) Metabolisme
Natrium diklofenak berlangsung di hati oleh isoenzim sitokrom P450 subfamili
CYP2C menjadi 4-hidroksidiklofenak, metabolit utama, serta bentuk
terhidroksilasi lain. Metabolit tersebut akan diekskresi dalam urin (65%) dan
empedu (35%) setelah mengalami glukoronidasi dan sulfasi.

d) Ekskresi
Diklofenak dihilangkan melalui metabolisme dan ekskresi glukuronida urin dan
empedu serta konjugat sulfat dari metabolit. Diklofenak bebas atau tidak berubah
diekskresikan dalam urin. Sekitar 65% dari dosis diekskresikan dalam urin dan
sekitar 35% dalam empedu sebagai konjugat dari metabolit diklofenak ditambah
yang tidak berubah. Karena eliminasi ginjal bukanlah jalur eliminasi yang
signifikan untuk diklofenak yang tidak berubah, penyesuaian dosis pada pasien
dengan disfungsi ginjal ringan sampai sedang tidak diperlukan. Waktu paruh
terminal diklofenak yang tidak berubah adalah sekitar 2 jam.

3. Pasien dengan Gangguan Ginjal (25)


Farmakokinetik diklofenak telah diteliti pada subjek dengan insufisiensi ginjal. Tidak
ada perbedaan dalam farmakokinetik diklofenak telah terdeteksi dalam studi pasien
dengan gangguan ginjal. Pada pasien dengan gangguan ginjal (klirens inulin 60-90,
30-60, dan <30 mL / menit; N = 6 pada setiap kelompok), nilai AUC dan tingkat
eliminasi sebanding dengan mereka yang pada subjek sehat.

4. Pasien dengan Gangguan Hati (25)


31

Metabolisme hati menyumbang hampir 100% dari eliminasi Natrium Diklofenak,


sehingga pasien dengan penyakit hati mungkin memerlukan pengurangan dosis
Natrium Diklofenak dibandingkan dengan pasien dengan fungsi hati normal.
D. Case Report – Therapeutic Drug Monitoring (TDM) (26)

Judul Laporan Kasus :

“Short-term Administration of Diclofenac Sodium Affects Renal Function After


Laparoscopic Radical Nephrectomy in Elderly Patients”

Kasus

Obat antiinflamasi non steroid menurunkan laju filtrasi glomerulus. Namun, beberapa
penelitian telah dilakukan pada fungsi ginjal pada pasien yang diobati dengan obat
antiinflamasi non-steroid selama minggu pertama setelah nefrektomi radikal laparoskopi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah pemberian jangka pendek dari
obat antiinflamasi non-steroid selama minggu pertama setelah nefrektomi radikal
laparoskopi merupakan faktor risiko gangguan fungsi ginjal.

Studi retrospektif ini disetujui oleh dewan etika Rumah Sakit Universitas Nagoya.
Pada periode antara April 2004 dan Juli 2010, diidentifikasi pasien Jepang dengan
karsinoma ginjal yang tidak menjalani dialisis, tidak memiliki nefritis aktif dan yang
menjalani LRN di Rumah Sakit Universitas Nagoya. Subjek dibagi menjadi kelompok
yang tidak diobati dengan NSAID dan NSAID. Fungsi ginjal pada pasien dievaluasi
menggunakan estimasi nilai GFR (eGFR).

1. Pembahasan

NSAID atau COX-2 inhibitor telah terbukti mengurangi sintesis prostaglandin


vasodilatasi dalam ginjal. Meskipun iskemia ginjal, yang menginduksi penurunan
sintesis vasodilatasi prostaglandin, merupakan faktor risiko untuk gangguan ginjal,
pemberian jangka pendek diklofenak tidak mempengaruhi fungsi ginjal pada pasien.
Ketika dianalisis tentang diklofenak dalam penelitian ini, telah dikonfirmasi kembali
bahwa pemberian jangka pendek diklofenak tidak mempengaruhi fungsi ginjal setelah
Laparoscopis Radical Nephrectomy, sebuah temuan yang konsisten dengan laporan
sebelumnya.
32

Telah dilaporkan bahwa faktor risiko untuk gangguan ginjal setelah


nephrectomy adalah DM dan penuaan. Sebelumnya telah dianalisis hubungan antara
latar belakang / faktor pasien dan tingkat gangguan ginjal. Namun, tidak dapat
melakukan analisis univariat atau berganda karena jumlah subjek sangat kecil. Dalam
jurnal ini juga melaporkan bahwa pemberian NSAID jangka pendek tidak
mempengaruhi fungsi ginjal pada pasien DM. Dalam penelitian ini, untuk kelompok
pasien DM yang diobati dengan NSAID, tidak ada korelasi yang signifikan antara
rasio fungsi ginjal sisa dan dosis total diclofenac sodium (DF) atau loxoprofen sodium
(LP), yang konsisten dengan laporan sebelumnya . Namun, hasilnya lemah, tetapi
korelasi yang signifikan antara rasio fungsi ginjal residual dan dosis total DF, tetapi
tidak pada LP pada pasien usia lanjut yang menjalani LRN.

Menariknya, waktu untuk meningkatkan level kreatinin serum secara


signifikan lebih pendek pada pasien usia lanjut yang diobati dengan DF, dibandingkan
dengan yang dengan non-NSAID. Meskipun DF dan LP adalah penghambat COX
yang sama, hasilnya berbeda. Alasan perbedaan ini antara DF dan LP tidak diketahui.
Satu penjelasan yang mungkin adalah perbedaan dalam selektivitas dari kedua obat
untuk penghambatan COX-1 dan COX-2. Karena potensi DF untuk COX-1 dan COX-
2 lebih kuat 10 dan 120 kali lipat, dibandingkan dengan LP, DF sangat menghambat
hanya COX-2, tetapi juga COX-1 dan muncul menjadi tingkat yang lebih tinggi
dalam penurunan fungsi ginjal dibandingkan celecoxib, penghambat COX-2 selektif.
Inhibitor COX-1 dan COX-2 yang poten sebagai indometasin menurun secara nyata
dalam sintesis vasodilator PG dalam model ablasi ginjal dibandingkan dengan
inhibitor COX-2 selektif.

Pada pasien usia lanjut, aliran darah ginjal dan ekskresi PGI2 urin menurun.
Diambil bersama dengan temuan ini, pemberian jangka pendek dari DF, tetapi tidak
iskemia ginjal yang diinduksi LP, sebagai akibatnya, fungsi ginjal terganggu pada
pasien usia lanjut setelah LRN. Namun, efek kelas untuk semua inhibitor COX-2 tetap
tidak jelas dan beberapa laporan menyatakan bahwa efek inhibitor COX-2 selektif
pada fungsi ginjal mirip dengan yang diamati dengan inhibitor COX-2 non-selektif.
Penelitian lebih lanjut perlu mengklarifikasi keterlibatan penghambatan COX-1 dan
COX-2 dalam fungsi ginjal pada pasien usia lanjut setelah LRN. Gangguan ginjal
yang difokuskan pada penelitian ini adalah berdasarkan masalah obat tetapi tidak pada
operasi onkologis umum, karena ada gangguan ginjal yang berbeda antara
33

penggunaan LP dan DF. Dalam penelitian ini, kami menemukan bukti pertama bahwa
pemberian jangka pendek DF adalah salah satu faktor risiko untuk ginjal penurunan
nilai gangguan setelah LRN pada pasien usia lanjut. Untuk mencegah kerusakan
ginjal setelah LRN pada pasien usia lanjut, penggunaan LP, yang memiliki efek
diabaikan pada fungsi ginjal dibandingkan dengan DF, dianjurkan.
34
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Pemantauan obat terapeutik (TDM) umumnya didefinisikan sebagai pengukuran
laboratorium parameter paramater kimia, yang dengan interpretasi medis yang
tepat, akan secara langsung mempengaruhi prosedur peresepan obat.
2. Farmakodinamik dari Doripenem yaitu mengerahkan aktivitas bakterisida dengan
menghambat biosintesis dinding sel bakteri. Doripenem menonaktifkan beberapa
protein pengikat penisilin esensial (PBPs) yang menghasilkan penghambatan
sintesis dinding sel dengan kematian sel selanjutnya. Sedangkan,
farmakokinetiknya, pada pasien dengan fungsi ginjal normal yaitu adanya
pengikatan protein. Pengikatan protein plasma doripenem rendah dan tidak
tergantung pada konsentrasi obat plasma, didistribusikan terutama secara
ekstraseluler dan konsentrasi jaringan dalam kisaran yang sama daripada dalam
plasma. Setelah itu doripenem diekskresikan sebagai obat yang tidak berubah
melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubular aktif.
3. Farmakodinamik Efek analgesik natrium diklofenak jauh lebih lemah daripada
efek analgesik opioid. Namun, tidak seperti opioid, natrium diklofenak tidak akan
menimbulkan ketagihan dan efek sentral yang merugikan. Sebagai analgesik,
natrium diklofenak mempunyai onset yang cepat dan durasi yang panjang serta
berguna untuk mengobati nyeri akut hingga kronik. Obat ini juga telah terbukti
memiliki efek yang menguntungkan dalam serangan migrain. Sedangkan,
farmakokinetiknya adalah bahwa laju absropsi Natrium diklofenak akan melambat
jika diberikan bersamaan dengan makanan. Pada saat distribusi, diklofenak
berdifusi kedalam dan keluar dari cairan synovial. Difusi ke dalam sendi terjadi
ketika kadar plasma lebih tinggi daripada yang ada di cairan sinovial, setelah itu
proses membalikkan dan kadar cairan sinovial lebih tinggi dari kadar plasma.
Pada saat metabolisme, Natrium diklofenak berlangsung di hati oleh isoenzim
sitokrom P450 subfamili CYP2C menjadi 4-hidroksidiklofenak, metabolit utama,
serta bentuk terhidroksilasi lain. Metabolit tersebut akan diekskresi dalam urin
(65%) dan empedu (35%) setelah mengalami glukoronidasi dan sulfasi, terakhir

35
36

saat ekskresi diklofenak dihilangkan melalui metabolisme dan ekskresi


glukuronida urin dan empedu serta konjugat sulfat dari metabolit. Diklofenak
bebas atau tidak berubah diekskresikan dalam urin.
4. TDM (Therapeutic Drug Monitoring) dapat dijadikan sebagai solusi untuk
menyelesaikan masalah pemberian dosis untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Dimana salah satunya dapat dilakukan pada pemberian infus doripenem
untuk pasien dengan CRRT (continuous renal replacement therapy) dan
pemberian natrium diklofenak pada pasien lanjut usia setelah mengalami
Laparoscopis Radical Nephrectomy.

B. Saran
TDM (Therapeutic Drug Monitoring) adalah salah satu cara yang paling efektif dan
efisien yang berguna untuk menyelesaikan masalah dalam pengobatan. Maka dari itu,
penggunaan TDM sebaiknya lebih dikembangkan lagi dalam farmasi terutama
farmasi rumah sakit dalam menyelesaikan masalah pengobatan bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kang JS, Lee MH. Overview of Therapeutic Drug Monitoring. Korean J Intern Med.
2009;24(1):1–10.

2. Dolscheid-Pommerich R, Stoffel-Wagner B. Therapeutic Drug Monitoring (TDM).


Dtsch Arztebl Int. 2019;116(41):691.

3. Peter A. Todd EMS. Drugs. 1988;35(3):244–85.

4.
https://journals.prous.com/journals/servlet/xmlxsl/pk_journals.xml_summary_pr?p_Jo
urnalId=4&p_RefId=985634&p_IsPs=N.

5. Jones RN, Huynh HK, Biedenbach DJ. Activities of Doripenem (S-4661) Against
Drug-Resistant Clinical Pathogens. Antimicrob Agents Chemother. 2004;48(8):3136–
40.

6. Syarif, Amir dkk. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2016.

7. Hakim L. Farmakokinetik Klinik. Yogyakarta: Bursa Ilmu; 2016.

8. Titus J., Sukmaniah S. & WF. Gizi Sebagai Modalitas Terapi [Internet]. 2012.
Available from: http://www.pdgmi.org/2010/06/gizi-klinik-sebagaimodalitapi
terapi_03.html

9. M Rina et all. Antibiotic Pharmacokinetic and Pharmacodynamic Considerations in


Critical Ilness. Dep Crit Care Med Charing Cross Hosp London Intensive Care Med.
2004;30:2145–2156.

10. EC Huskisson etc. Four Anti-Inflammatory Drugs: Responses and Variations. Br Med
J. 1976;I:1048–9.

11. Joncada, S and Vane JR. Model of Action of Aspirin-Like Drugs. Adv Intern Med.
1979;24:1–22.

37
38

12. Meacock. S.C.R. and Kitchen. E.A. Effects of The Non-Steroidal Anti-Inflammatory
Drug Benoxaprofen on Leucocyte Migration. J Pharm Pharmacol. 1979;31:366–70.

13. Brooks et all. The Effect of Furosemide on Indomethacin Plasma Levels. J Clin
Pharmacol. 1974;I:485–9.

14. Willis et all. The Pharmacokinetics of Diclofenac Sodium Following Intravenous and
Oral Administration. Eur J Clin Pharmacol. 16:405–10, 39–44, 33–7.

15. Riess W et all. Pharmacokinetics and Metabolism of The Anti-Inflammatory Agent


Voltaren. J Rheumatol. 1978;22(Scandinavian):17–29.

16. Fowler. P.D. Voltarol: Diclofenac Sodium. Clin Rheum Dis. 1979;5:427–64.

17. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Informatorium Obat
Nasional Indonesia. Jakarta: Badan POM; 2014.

18. MIMS. Drug Information: Doripenem [Internet]. Available from:


https://www.mims.com/indonesia/drug/info/doripenem yarindo/?type=full#Actions

19. Hilas O, Ezzo DC, Jodlowski TZ. Doripenem (Doribax), a New Carbapenem
Antibacterial Agent. P T. 2008;33(3).

20. Breilh D, Texier-Maugein J, Allaouchiche B, Saux MC, Boselli E. Carbapenems. J


Chemother. 2013;25(1):1–17.

21. Kefarmasian DP. PENERAPAN Therapeutic Drug Monitoring (TDM) Dalam Praktek
Kefarmasian.

22. Oda K, Kamohara H, Katanoda T, Hashiguchi Y, Iwamura K, Nosaka K, et al.


Continuous High-Dose Infusion of Doripenem in a Pneumonia Patient Infected by
Carbapenem-Resistant Pseudomonas aeruginosa: a Case Report. J Pharm Heal Care
Sci. 2019;5(1):4–7.

23. Ganiswarna SG dkk. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;
2012. 208, 218 p.

24. Katzung BG. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika; 2004. 688-689
p.
39

25. Novartis Pharmaceuticals Canada Inc. Voltaren-(Diclofenac Sodium Enteric-Coated


Tablets) Pharmacodynamics Pharmacokinetics. 2018;1–18.

26. Mizuno T, Ito K, Miyagawa Y, Ishikawa K, Suzuki Y, Mizuno M, et al. Short-term


Administration of Diclofenac Sodium Affects Renal Function After Laparoscopic
Radical Nephrectomy in Elderly Patients. Jpn J Clin Oncol. 2012;42(11):1073–8.

Anda mungkin juga menyukai